kala.


mingyu, my idea of the kindest.


I repeat, I wasn’t running away—” Wajah Migu kusutnya bukan main. “—i just went to the toilet.

To escape.

Fuck, can you stop?”

Did you know that all of those people blamed me?” Migu sudah melalui banyak hal-hal aneh selama beberapa tahun hidupnya. Tapi yang kali ini, sangat sulit ia elaborasi maknanya. Sangat sulit ia tarik benang kusutnya.

Because we do look alike?” Keduanya diam. Cukup lama sembari pelan-pelan mengikis jarak. Masih menolak kenyataan bahwa orang dihadapan mereka masing-masing adalah seutuhnya manusia.

Okay. I saw that you are coming from Indonesia.”

I am.”

Me as well.”

“Ngaco lo.” Senyap jadi pengang kemudian. Kini Migu memijit tulang hidungnya. Dompetnya masih belum bisa ia temukan. Migu memang pergi menuju toilet yang salahnya tidak berada di satu bangunan yang sama ditempat ia memutuskan menghabiskan sorenya di Malibu. 30 menit ia habiskan disana untuk memikirkan cara seperti apa yang harus ia kerahkan agar bisa membayar semua yang ia pesan.

Migu tidaklah berniat lari dari tanggung jawab. Sampai ketika ia kembali ke restoran, beberapa orang sedang menarik kerah laki-laki dihadapannya ini. Yang perawakannya hampir mirip, bahkan satu tahi lalat di pipi kanannya.

“Mingyu.” Sahutnya. Memperkenalkan diri.

“Lo jangan bercanda lah.” Balas Migu kesal. “Kenapa nama lo sama nama gue juga kedengerannya sama.”

Pria bernama Mingyu tadi menghembuskan nafas, pada akhirnya merogoh kantong celana, mengeluarkan kartu identitas miliknya dan terang-terangan menunjukannya pada anak laki-laki didepannya.

“Anjing. Dunia ada-ada aja dah.”

Diselimuti senggang, masih diatas pasir pantai, keduanya samar mendengar teriakan beberapa warga lokal yang sedang memukul bola voli kesana dan kemari. Angin pantai tidak lelah-lelahnya menggerus surai-surai kelam yang tengah berdiam diri disana.

“Jadi.. lo tinggal disini?” Pertanyaan Mingyu yang memecah hening membuat Migu menggeleng, pandangannya tidak lepas menatap bagaimana air pantai yang terus menerus datang dan pergi.

“Gue di Los Angeles, kesini cuma main.” Jelasnya. Cukup singkat. “Lo? liburan kesini?”

Mingyu tertawa. “No. Gue emang tinggal disini.”

“Banyak juga duit lo berarti.” Titik anehnya mulai terlihat, keduanya tiba-tiba terbahak.

“Terus lo balik ke Los Angeles gimana?” Tidak menjawab, Migu hanya menarik bahunya cepat. Tidak berselera memikirkan cara. Belum lagi yang berenang dikepalanya adalah bagaimana ia mengurus segala persuratan untuk membuat kartu-kartu baru.

“Mau gue anterin aja gak?” Kini pandangan Migu terpaku pada si sosok yang mempunyai figur yang sama pada wajahnya.

Migu masihlah terpaku. Kepalanya masih berusaha memecahkan misteri yang cukup aneh ini. Ia mulai bergumam, apakah ini dirinya di masa yang akan datang nanti?

“Lo percaya ini bukan konspirasi semesta?” Alis Mingyu mengkerut ketika dilempari pertanyaan semacam itu. “Lo sama gue mirip banget anjing.” Tipikal Migu.

Kali ini giliran Mingyu yang menarik bahunya, ogah memikirkan terkait konspirasi yang barusan Migu katakan. “Kalau emang konspirasi, then just let it be.” Lirihnya. Kini memasukan kedua tangannya ke dalam kantong celana.

“Itu yang barusan pergi duluan cewe lo?” Migu bertanya dengan berhati-hati. Karena sempat sebelum ia kalang kabut, irisnya menatap pasangan ini disudut restoran. “Kalau gak mau jawab juga gak papa sih..”

“Iya..” Balas Mingyu singkat.

“Kenapa pergi duluan?”

Ada sunggingan kecil disudut bibir Mingyu. Ia kemudian mengalihkan pandangannya yang semula terpaku pada laut lepas, menuju lawan bicaranya yang sudah lebih dulu memaku tatap dikarenakan sudah kepalang penasaran duluan. “Lo merasa gak sih kalo kadang laki-laki tuh do some shits?”

“Maksudnya?”

“Lo pernah selingkuh gak?”

Mata Migu membulat hebat, “Lah anjing kaga lah. Gue senakal-nakalnya jadi cowo engga mau gue selingkuh.” Mingyu selesai kemudian. Ia sudah punya banyak argumentasi sebagai bentuk amunisi yang sudah ia siapkan kapanpun ia akan membela dirinya. Tapi kali ini, ia kalah telak.

“Kenapa? lo ketauan selingkuh?” Sambung Migu lagi.

“Udah bertahun-tahun yang lalu sih tapi. Enggak ketahuan but i did, once. so that's why she left.”

Migu mengangguk. “It’s okay. At least kalo orang-orang gak mau maafin lo, lo maafin diri lo sendiri aja.” Jelasnya. “Habis ini, lo take time buat rekonsiliasi. Maksud gue, kalaupun itu udah jadi human naturenya cowo, lo harus yakinin diri lo sendiri kalau lo..” Tunjuk Migu tepat didepan mata Mingyu. “.. gak akan ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. I mean, man, keledai aja gak bakal jatuh di lubang yang sama buat kedua kalinya, and you know, keledai adalah hewan paling dungu diantara banyaknya hewan.” Migu menyeringai. “Unless if you really want to be one of them.”

Anggukan kecil kini datang dari Mingyu. Ia berenang menuju masa lalu, bertahun-tahun yang lalu. Dimana perputaran hidupnya bak rollercoaster rusak yang sebentar lagi akan jatuh dan hancur. “It sounds ridiculous, to be honest.” Kata Mingyu. Ia melangkah mendekati air pantai dan membiarkan kakinya dihantam habis habisan hingga membasahi setengah celananya. “Gue udah berusaha menjadi seseorang yang belajar dari masa lalu. Jadi pribadi yang lebih baik as i should. Tapi disini tetep aja gue kelihatan sebagai villain-nya. And it will always be. Right?”

I repeat, you can prove it to her that you won’t do the same way as you did back then, Mingyu. Your action will speak louder.”

Right.” Mingyu bingung. Perasaannya harus ia kategorikan sebagai apa di titik ini. Ia bingung dengan seorang anak bernama Migu yang tiba tiba muncul bak sebuah plot-twist didalam harinya. Perawakan yang sama, tinggi yang hampir sama, bahkan senyum yang tidak kalah. Rasa-rasanya, jauh antara sadar dan tidak sadar, jauh pada realisasi yang nyata dan tidak nyata, di antara itu pada pertumpahan emosinya pada sore hari ini, ia merasa bahwa jauh sebelum dimensi ini ada, ia pernah sekali bersinggungan dengan Migu.

Karena rasanya, ia seperti merangkul dan dirangkul. Rasanya, ia pernah hidup di perasaan ini entah kapan. Déjà vu.

“Lo ngapain jauh-jauh dari Los Angeles ke Malibu?” Kali ini, Migu ikut-ikut melangkah menuju pinggir pantai dan mengikuti apa yang Mingyu lakukan.

“Lari.” Katanya. “Gue selalu lari ke Malibu. Cuma apes aja gue hari ini, terus ketemu lo.”

“Jadi ketemu gue adalah bagian dari apes lo?”

“Ya lo mikir lah. Apa gak aneh gue ketemu orang yang mukanya mirip bener kaya begini sama gue?” Lagi-lagi, anehnya lagi, mereka malah terbahak.

What did you do in Los Angeles, Migu?”

College.”

Ah.. I see.” Mulut Mingyu terbuka lebar dan mengangguk. “A student, huh?”

“Yup.”

How old are you?”

“20.” Balasnya singkat. “How about you?”

“28.”

“Gokilll~” Migu tertawa, menepuk tangannya di udara.

“Kenapa?”

“Ini gue 8 tahun yang akan datang.”

“Anjir lo.” Keduanya lupa ini hening yang keberapa. Namun ditengah momen senyap serta kaki yang serasa ditarik jauh oleh air laut, mereka berusaha membersihkan pikiran yang carut-marut didalam sana. Berusaha menarik satu per satu benang yang kusut di dalam kepala, berusaha menemukan tenang yang aman.

“Kali ini, lo lari ke Malibu karena apa?” Tidak langsung menjawab, Migu menarik pelan nafasnya, dan ia buang pada interval waktu kesekian.

“Lo pernah gak, merasa terjebak di tempat yang sama sekali bukan mimpi lo?”

“Hm..” Mingyu berfikir. Ia tidak tau pasti, yang ia tau ia hanya menjalankan segala apa yang ada didepan matanya sepenuh hati. Menyambut hari tanpa benci, karena konsep segalanya tentang hidup, adalah menerima.

“Maybe? Gue juga gak terlalu pay attention sama hal itu.”

“Ada di Malibu, adalah bagian dari mimpi lo?” Pertanyaan lain dari mulut Migu.

I think, yes.”

“Oke..” Alis Mingyu berkerut. Ia menelisik sedikit lekuk wajah Migu yang ekspresinya murung.

“Ada di Los Angeles bukan bagian dari mimpi lo?” Kali ini pertanyaan Mingyu meresap habis habisan pada rungu. Migu diam. Ia berusaha sekuat tenaga bangun di pagi hari tanpa tangisan. Mencoba sekuat tenaga menerima dirinya ada dimana dan menanam dalam-dalam mimpinya.

“Ada di New York adalah bagian dari mimpi gue.” Lirih Migu dengan melipat bibirnya.

Then why did you ended up in Los Angeles, man?”

A complicated story.” Migu mendongak, menghirup udara lebih dalam sampai menusuk paru-parunya dan perlahan menimbulkan perih pada kerongkongannya. “Gue hidup gak bisa bikin jalan sendiri, Mingyu. And it irritates me.” Jelasnya. “Gue harus selalu bikin semua orang ngeliat gue seakan akan gue seneng ada disini, di California, di dorm gue, di kelas gue, dan segala assignment yang demi Tuhan gak berselera untuk gue sentuh. Gue berantem sama diri gue sendiri terus-terusan. Gue berusaha jadi versi beda-beda sama setiap orang yang gue jumpai. Dan rasanya itu semua udah sangat cukup untuk menguras tenang gue, dan gue memutuskan buat main kesini karena satu satunya tempat gue lari ya.. Malibu.

“Kaya.. lo ngerti gak sih. Gue tanam mimpi gue untuk ada di New York, dan gue ngerasa gue itu floating. Gue gatau gue ngapain di California ini. Gue masih belum bisa bikin gebrakan untuk mimpi itu sendiri dan hal itu yang bikin gue sulit nerima kenyataan.” Sambung Migu.

“Oke.. Coba lo liat gimana itu air pantai datang terus pergi.” Migu menatap sinis lawan bicaranya.

Not helping, sorry.”

You know, Migu, the way they coming back and forth? they never stop. but still give you peace? they are indeed still floating. like you said. mereka gak kemana-mana, gak tau juga mau ngapain selain bulak-balik datang dan pergi. but.. it is still in it. Kadang, pelan-pelan dia bikin batu-batu karang disana hancur. You just.. really need a time to break your boundary, Migu.”

Time..” Migu menggeleng. “It is just a bullshit, i bet. Sumpah ya gue muak banget ngomongin soal waktu. Lo gak bisa mengukur capeknya orang, terus lo masih aja nyuruh orang-orang buat nunggu? Kaya.. lo mau nunggu berapa lama lagi supaya bisa mencapai mimpi lo sendiri.”

“Sepuluh, dua puluh, tiga puluh. is it matter?”

“Pak—“

I’m not that old.”

You are almost thirty.

Come on.

“Mingyu.”

Better.”

How many shits you’ve been through? Sampe lo setenang ini ditengah carut-marut kepala lo?” Mingyu terbahak. Ia menerka, entahlah.

“Sebenernya yang penting bukan tujuannya, Migu. It is all about lo yang duduk di atas kapal punya lo yang lagi berlayar. Kadang, yang lo lihat cuma laut lepas. Kadang, lo gak sengaja ketemu pulau kecil antah-berantah. Tapi di sepanjang laut lepas lo bisa lihat banyak ikan-ikan yang gak pernah lo tau ada sebelumnya. Di pulau-pulau, lo bisa ketemu sama tumbuhan-tumbuhan langka yang gak pernah lo jumpai. Lo bisa berhentiin kapal lo buat sebentar, buat ngeliat kemana ikan-ikan itu berenang, buat turun ke pulau cuma buat ngerasain pasirnya setelah perjalanan panjang lo diatas laut lepas.

“Kalau lo cuma fokus sama tujuan tanpa ngeliat kanan dan kiri, then you’d missed the fun. Just.. take time, enjoy it.”

Masuk akal, sedikit. Batin Migu dengan sebuah anggukan kecil yang lain yang hadir sebagai jawaban atas pernyataan Mingyu barusan.

“Lo masih punya banyak mimpi gak?”

“Lo jangan bilang karena gue udah mau 30 tahun mangkanya nanya kaya gitu.”

Sort of.” Mingyu terkekeh kecil, menggeleng heran.

“Bicara soal mimpi, kita semua pasti punya banyak. Gue, lo. Gak peduli seberapa tua lo hidup di bumi, pasti lo akan terus dan terus bermimpi.”

“Jadi.. apa mimpi lo selanjutnya?” Jawabannya masih menggantung, ia tersenyum. Ia wajib dan harus punya mimpi yang akan dicapai hari ini, besok atau hari hari lain yang akan datang. Tapi kali ini mimpinya datang dari kecamuk emosinya belakangan hari, dan ia berharap semuanya cepat mereda.

“Gue tanya lain deh,” Menyadari pertanyaannya digantungkan cukup lama, Migu tidak sabar. Ia memutar tubuhnya agar lebih leluasa bercakap dengan lawan bicaranya. “Harapan apa yang lo harapin pas lo ulang tahun tepat di jam 12 malam?”

Bukan pertanyaan rumit.

Tanpa ragu, tanpa jeda, “Gue mau gue selalu senyum.”

Menyadari ekspresi aneh di wajah Migu, ia bertanya, “Apa yang salah sama harapan gue?”

“Gue bingung apakah gue di umur 28 akan jadi seperti lo.” Decak Migu.

Mingyu terbahak. “Lo tau, walaupun semakin gue bertambah umur semakin gue merasa ulang tahun udah gak seseru yang dulu, tapi gue berharap setiap satu hari hari yang gue punya, semuanya dimulai, dijalani dan ditutup dengan senyum. Gue ngerasa, berarti selama hari itu, ada yang banyak menghargai ‘hari gue’ dan membuat gue merasa bahwa gue ini worth to be recognized.” Jelas Mingyu.

“Kaya hari ini?”

Debar debur ombak masih disana. Langit mulai menggambarkan warna oranye dan maroon-nya. Perlahan matahari mulai tergelincir untuk beristirahat dari panjangnya hari.

“Tunggu, apakah alasan lain dari lo yang kabur ke Malibu hari ini karena orang-orang lupa kalau hari ini lo nambah usia?”

Permainan ini semakin lucu. Sebuah tanya yang dijawab tanya. Migu tersenyum dengan seringai kecil yang dimaknai Mingyu sebagai bentuk nyeri tidak tersirat. “They are all human afterall. What did you expect?”

“Migu..” Panggilan itu membuat bulu kuduk Migu rasanya berdiri, ia merinding. “I’m wishing you a greatest birthday. I am.”

Me too.” Kemudian ada lagi titik paling aneh, ketika mereka saling merangkul, kemudian memeluk tubuh satu sama lain. Selain untuk memberikan selamat, sekali untuk memastikan bahwa orang dihadapan mereka masing-masing adalah manusia sepenuhnya, seutuhnya.

“Kok lo bisa tau, tapi?”

Man, you just showed your card identity just to show me that indeed your name is Mingyu.”

“Oh.. right.”

“Gila gue takut banget umur 28 gue jadi pikun kaya lo.”

“Bisa gak stop bilang kalo lo takut jadi kaya gue di umur lo yang ke 28 cuma karena gue sama lo mirip?”

“Orang-orang selain punya mimpi, mereka juga punya ketakutan. Same as i do.”

“Lo takut menjadi gue?”

Why not?”

Damn you must be kidding me.” Migu terbahak hebat. Belum terjadi semenjak pagi tadi ia melarikan diri untuk agenda ulang tahunnya yang di lupa.

Glad that i met you, Mingyu.” Senyum simpul lahir di bibir Migu. “Glad that we got the same birthday as well.”

Happiest Birthday then, Migu.”

“Selamat dirgahayu.” Kini keduanya saling melukis senyum. Ini cukup. Segalanya yang kacau hari ini, dengan menemukan hal-hal baik, membuatnya terlihat sepadan.

Jonathan Safran Foer pernah menulis di dalam bukunya yang berjudul Extremely Loud and Incredibly Close, “Time was passing like a hand waving from a train I wanted to be on.” Waktukah yang sebenarnya berdiri paling egois atau kita yang terlampau menyia-nyiakannya? Ia akan selalu menang diatas apapun.

“Lo percaya teori multiverse gak?” Mingyu berdecak. Migu memang bukan lawannya dalam berbincang apalagi perihal sesuatu yang sudah melindas zaman. Mingyu sudah cukup tua, hampir.

“Apa? Lo mau bilang kalau kita itu bagian dari teori-teori multiverse?” Mingyu menggelengkan kepalanya dengan sunggingan senyum kecil. Dasar ABG. “Jangan kebanyakan nonton film lah, Gu.”

“Yeh bukan gitu. Tapi sampe sekarang gue masih menganggap ini aneh.” Migu tidak bohong, selama perbincangan panjang mereka tadi, masih belum Migu temukan titik tumpu benang kusutnya.

“Gu, mending lo gausah ngasih beban ke kepala lo cuman buat menerka-nerka sebuah jawaban.” Mingyu melipat kedua tangannya didepan dada. “Kaya yang gue bilang, enjoy naik kapal lo sendiri. Mungkin, ini bagian dari hal-hal menarik kalo lo seenggaknya berhentiin kapal lo barang sebentar. No need a rush.” Cahaya oranye dari langit mengiluminasi wajah keduanya, memantul dalam irisnya seakaan disana ikut terbentang laut lepas dengan angin yang mengacak surai.

“Tapi kalaupun teori multiverse itu ada, kayanya gak mungkin deh kita ada di satu dimensi yang sama.” Mingyu menolak ikut menghabiskan energinya untuk memikirkan perihal dunia fiksi yang tidak ada habis habisnya ini, tapi setelah ia pikir lagi, ia sedikit tertarik.

“Kalaupun teori multiverse itu ada, gue harap ‘gue’ ditiap-tiap universenya selalu bahagia.” Migu lekat menatap langit yang hari itu dilukis indah. Mungkin sebagai hadiah atas hari kelahirannya.

“Gu, lo pernah ngebayangin lo jadi apa di salah satu universe yang mungkin ada?” Migu kali ini terkekeh dan terbahak hebat. Kemudian ia sapu tekuknya dan beralih menatap si lawan bicara.

“Lo pernah gak bayangin diri lo sendiri jadi penyanyi? Atau jadi orang yang dikenal banyak orang? Yang nama lo diteriakin dimana mana? Ngisi banyak artikel?” Alis Mingyu mengkerut tidak percaya, ia sudah punya segalanya disini, untuk apa ia membayangkan dirinya ada di dimensi seperti itu? Tapi pada ujungnya, mereka malah tertawa.

“Penyanyi? Famous person?” Mingyu memastikan kembali.

“Kalau gue jadi penyanyi, gue gak perlu repot-repot petik bintang di langit kalau gue mau. Soalnya bintangnya pasti udah ada banyak di bumi.”

Dasar remaja, batin Mingyu. “Yaudah sekarang lo teriakin nih disini sama diri lo sendiri di multiverse lain yang sekarang lagi jadi penyanyi.” Mingyu menepuk bahu Migu disela sisa-sisa tawa yang mereka punya.

Migu menarik nafasnya, ia bersiap. Ia serius perihal ia yang akan berteriak. Langit belum sepenuhnya gelap. Mungkin kalau matahari mendengarkan, bersamaan dengan tergelincirnya ia, akan disampaikan dalam bahasa dunia yang mungkin di dimensi lain tidak ia mengerti.

“BUAT DIRI GUE SENDIRI DI SETIAP DIMENSI!!!” Mingyu mengkerutkan alisnya, mungkin gendang telinganya hari ini akan meninggalkan trauma atas teriakan hebat Migu barusan. “DIMANA PUN LO BERADA..” Oh tidak, Mingyu mendeteksi getaran tidak biasa dari cara Migu berteriak. “GUE BANGGA SAMA LO!!” Migu menarik nafas sejenak. “LET'S ROCK THE WORLD!”

Pada akhirnya, ia runtuh pada satu bahu orang asing yang berjam lalu baru ia temui. Ia hanyalah anak laki-laki yang sedang melangkah merajut jalan untuk menjemput mimpinya sendiri. Tapi belakangan, rasanya beban dipundaknya beratnya bukan main.

“Buat diri gue di dimensi yang lain..” Lirih Mingyu disela tepuknya pada bahu Migu. “Gue harap setiap jam 12 malam ulang tahun lo, kapanpun itu, semoga lo cuman menemukan senyum.”

Mendengar Mingyu dan harapannya yang cuma ia bisik, Migu terbahak. Di sela tangisnya ia terbahak.

Di ujung senja, mereka memutus langkah. Hari ini sudah cukup aneh dan tidak kalah lega. Benar, semuanya jadi sepadan, batin Migu. Semuanya butuh waktu, batin Mingyu.

Migu melambai jauh disana mengucap pamit dimana iris mata Mingyu menangkapnya disertai lukis senyum pada kedua sudut bibirnya. Keduanya berenang dalam esensi yang sama, ‘itu aku. Itu aku dibawah langit oranye beserta sapuan deru ombak Malibu. Itu aku, mungkin delapan tahun yang lalu. Itu aku, mungkin delapan tahun yang akan datang. Itu aku, yang kemarin, besok atau lusa, masih menyusun mimpi-mimpinya menjadi akar penguat dalam segala kemungkinan tanpa ujung dalam perputaran dunia. Itu aku yang tidak terbatas. itu aku.’