Biasanya ia akan mencium kedua mataku yang masih tertutup.
Suara kecupan. Suara kecupan.
Satu. Dua.
Kemudian menuju keningku.
Suara kecupan.
Tiga.
Kemudian puncak hidungku.
Suara kecupan.
Empat.
Kemudian kedua pipiku.
Suara kecupan. Suara kecupan.
Lima. Enam.
Daguku.
Suara kecupam.
Tujuh.
Dan berakhir di bibirku.
Suara kecupan.
Delapan.
Kemudian akan ada suara ringsutan diatas kasur, suara langkah meninggalkan kamar dan decit pintu.
Namun ketika aku membuka mataku, mencari-cari sumber kasih sayang dan sosok yang selalu menghantarkannya, ia hilang. Ia tidak ada dimana-mana.
Seminggu pertama semenjak kematian istriku, aku selalu dihantui oleh berbagai macam hal yang berkecamuk di dalam kepala, apapun itu bentuknya.
Membuatku terjaga sepanjang malam dan tidak mau menyentuh setiap sudut rumah, atau terkadang takut duduk di kamar. Bayangannya ada disana. Bayangan bagaimana ia yang selalu mencintaiku tanpa jeda, tanpa henti.
Tempat ini terlalu sunyi, begitu batinku.
Ketika itu aku memutuskan untuk meninggalkan semua dan pergi jauh. Sejauh apapun yang aku mampu.
Malibu memang bukan tempat dimana orang-orang menjadikannya tempat beradu nasib, bukan juga tempat dimana prospek masa depan sudah terlihat jelas didepan mata, bukan seperti New York, atau Paris. Bukan kota besar, bukan juga yang ramai.
Namun suara air dan pantai disini adalah yang mampu memekakkan telingaku. Suara deru orang-orang sebagai bumbu pelengkap dan aku merasa utuh ketika menemukan empat anak SMA dengan segala tingkahnya. Aku akhirnya dikelilingi sesuatu yang jauh dari kata sunyi.
Tawa mereka, ketika mereka beradu pendapat, ketika mereka tidak sengaja menyenggol suatu barang dan akhirnya jatuh pecah berantakan. Ketika ada yang tidak sengaja menjatuhkan peralatan masak ke lantai, ketika mereka tidak tau bagaimana caranya menyalakan kompor, atau tepung adonan waffle yang terlampau kental dan akhirnya saling menyalahkan. Berisik, dan aku merasa baik-baik saja.
Sekarang, Malibu hanya meyisakan suara debur ombak tanpa henti. Sepi dan sunyi.
Mereka, sumber suara yang selalu jadi pengisi hari-hariku, kini pergi masing-masing menuju cita-citanya.
Tidak terkecuali satu orang yang mengacaukan isi kepalaku saban hari semenjak pertemuan pertama di pinggir pantai malam itu. Atau jumpa yang lain atas tragedi Mickey, atau jumpa lain yang terus timbul, timbul dan timbul, seakan-akan semesta memang melancarkan temuku bersamanya.
Nadeeta.
Si gadis dengan bola mata hijau keabuan dengan senyum tipis yang selalu ia sunggingkan.
Ia pergi.
Sebenarnya, tanpa kejadian duka atas meninggalnya Ibunda Nadit, mungkin ia memang harus pergi. Mengejar cita-citanya yang ia dambakan, berlari menggapai bintang.
5 tahun dari hari ini, apakah perasaan yang dimiliki oleh gadis itu, pun perasaanku masih tetap sama dan jatuh pada orang yang sama? Mungkin disana Nadit akan bertemu banyak lelaki yang jauh lebih baik di bandingkan diriku. Mungkin yang berstatus masih lajang dan tidak memiliki jarak umur yang terlalu jauh seperti apa yang terjadi antara aku dan Nadit. Iyakan?
Dan aku, apa mungkin tidak ada wanita yang membuatku jatuh untuk skala waktu 5 tahun kedepan? Apa mungkin tanpa kabar, tukar pesan, bahkan sekedar melihat kegiatannya di sosial media, perasaanku tetap tumbuh subur untuk sosok gadis yang sedang berada ratusan mil jauhnya itu?
Pagi ini, Nadit sedang apa di sana?
-
Aku memeluk Mama, sudah hampir 1 tahun tidak berjumpa semenjak kepindahanku ke Malibu. Hari ini, akhirnya Mama mendarat di bandara Los Angeles, California. Aku bawa kemudian menuju Malibu dengan jarak tempuh 1 jam dari sana.
“Tenang ya, Nak, disini..” Aku tersenyum. Mama belum pernah menginjak negara luar kecuali Malaysia, itupun sudah lama untuk menemani Papa berobat sebelum meninggal dunia.
“Mama mau stay di LA dulu?” Tanyaku tanpa mengalihkan pandang dari jalanan.
“Gak usah, langsung kerumah aja.”
“Yakin, Ma?”
“Yakin, Nak.”
Begitu sampai, aku katakan untuk langsung masuk ke dalam. Biar aku yang urus koper dan beberapa tas Mama. Weekend kemarin, orang yang biasa datang bebersih rumah sudah merapikan satu kamar yang memang dibiarkan kosong. Untuk Mama datang, atau seperti kemarin ketika Minghao dan Seokmin mengunjungi rumah.
Sprei yang sudah di pasang, ada tanaman segar yang sempat aku beli untuk di pajang agar tampak segar. Pengharum ruangan dan lemari pakaian yang telah dibersihkan. Semua sudah siap, Mama hanya tinggal merebahkan tubuhnya untuk beristirahat.
“Bersih rumah kamu..” Kata Mama, menepuk-nepuk sofa yang memang tiap minggu dibersihkan.
“Iya, Ma. Memang ada yang bersihin rumah. Biasanya datang tiap weekend aja, cuma ini karna Mama main kesini aku suruh datang setiap hari, biar Mama gak perlu cape—”
“Heh! Batalin aja.”
“Loh?”
“Engga papa, Nak. Apasih kerjaan dirumah kamu? Kan bisa Mama kerjain pelan-pelan..” Aku tersenyum kecil.
“Rumah segede ini mau Mama yang sapu?” Candaku. “Lagian udah aku bayar, Ma. Untuk sebulan ini. Nanti kalau Mama masih mau stay disini, gak papa, aku tambahin bayarannya.”
“Boleh Mama stay disini sampe bulan depan?” Aku terbahak kuat.
“Mama apaan, sih? Ya boleh!” Kataku. Kini menggeret kopernya masuk ke dalam kamar. Mama ikut menyusul berjalan di belakangku. Ia letakkan tasnya di atas nakas yang sejak tadi bertengger manis di bahunya, kemudian berjalan dan duduk di ujung kasur. Ia tepuk-tepuk kecil, sambil mengawang menatap seluruh kamar dan mengawang keluar jendela.
“Setiap hari berarti kamu dengerin suara ombak, Mingyu?” Aku mengangguk. Ikut duduk disebelah Mama. Menarik tangannya menuju tanganku dan aku elus pelan.
“Berisik kan, Ma?” Aku tertawa kecil.
Kini Mama mulai menggapai wajahku. Senyumnya mulai muncul dan sejujurnya aku benci situasi ini. Pasti ia akan menanyakan bagaimana kabarku, bagaimana perasaanku dan bagaimana hari-hariku berlalu, setelah kematian istriku.
“Nak..”
“Iya.. Ma?”
Matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengusap lembut pipiku.
“Mama mau ngomong..”
Alisku berkerut, jantungku rasanya hampir jatuh. Apa?
“Tapi Mama istirahat dulu, ya?”
Aku tekuk senyumku kemudian mengangguk pelan. Berjalan keluar dan menutup kamarnya rapat.
Sore menuju malam hari, Mama berdiri dibalik sekat kaca rumah menatap air laut yang terus datang dan pergi. Matahari mulai tergelincir dan langit warnanya perlahan tidak lagi biru. Aku buatkan segelas teh hangat dan duduk di sofa.
Mama menoleh kemudian ikut mengambil tempat, jauh didepanku.
“Pantes kamu betah ya, gak mau pulang ke Jakarta. Cantik disini..” Tanpa mengalihkan pandang dari luar sana, suara Mama menderu.
“Gak gitu, Mah..”
“Jadi kenapa? Betah disini ada yang bikin nyaman?” Beliau terkikik kecil, kemudian mulai mengangkat gelas dan menyeruputnya pelan.
Iya. Di Jakarta enggak ada Nadit. Disini, ada Nadit.
Tapi sekarang tidak lagi.
Aku menatap kosong entah kemana, menekuk senyum mengingat bagaimana kenangan-kenangan itu mulai bermain di dalam kepalaku seperti roll film.
Pertama kali bertemu di pinggir pantai, tragedi Mickey yang kemudian membuka jalan untukku bertemu teman-teman yang umurnya jauh ada dibawahku. Jadi orang tua dadakan karena Vernon secara sembrono berani-beraninya membawa teman-temannya dengan mobil tanpa driver license. Permainan voli di bibir pantai, ulang tahun Vernon dan Seokmin. Kejadian di Geoffrey’s dan Ralphs. Short getaway dan ciuman singkat. Strawberries dan Cigarettes. Van Gogh dan The Last Bookstores. Hari ulang tahun Ibu Nadit, Luna dan A little Life.
Malibu yang berisik kini hanya meninggalkan deru ombak yang datang dan pergi.
Roda hidupku berputar. Namun lagi-lagi ia berhenti dibawah. Rasanya terlalu singkat aku rasakan rentetan Bahagia itu yang perasaannya sukar untuk aku lupa. Sukar untuk aku ingat kapan terakhir kali Bahagia jadi pengiring langkah hidupku.
Kini, semua tiba-tiba jadi kelam dan sendu.
Ada yang menusuk. Ada yang selalu aku rindu.
“Nak..” Aku mendongak, menatap lurus kepada wajah Mama ketika suaranya jadi distraksi atas roll film berisi kenanganku yang kini sudah tidak lagi mampu memelukku.
Kalau ini adalah sebuah film, maka dimanakah aku berada? Masih berada di pertengahan yang penuh dengan konflik menyiksa atau ini adalah akhir dari semua? Kalau ini adalah akhir, berarti aku harus hidup selamanya didalam penyiksaan.
“Iya, Mah?”
“Jadi siapa.. yang kemarin kamu bilang sama Mama?”
Aku menarik nafasku, kini melangkah mendekati beliau dan mengistirahatkan dagu di lututnya.
Lamat aku tatap wanita yang telah mengandung, melahirkan dan merawatku ini. Beberapa bagian wajahnya kini sudah mulai muncul kerutan. Senyumnya terkadang bergetar. Mama, perlahan di makan oleh waktu.
“Mah.. Mingyu rindu..”
Kini aku benamkan wajahku.
Ada bulir air yang perlahan turun dari pelupuk mata. Di pundakku, dapat aku rasakan belaian lembut dan halus dari tangannya. Belaian yang tidak akan bisa aku dapatkan dimana-mana.
Aku kemudian mulai terisak.
Apa yang jadi bahan pokok atas tangisku malam ini? Kebodohanku menyia-nyiakan waktu dan tersesat atas perasaan sendiri? Atau dia yang kini pergi? Atau waktu yang teramat kejam? Atau perasaan yang tidak mampu aku ambil alih?
Atau.. apakah aku ini hanya anak kecil yang sedang mengadu kepada Ibunya? Karena lututku berdarah akibat jatuh setelah belajar naik sepeda?
Itu dia. Aku jatuh dan berdarah.
“Mamah juga rindu, Nak..”
Kecupan hangat kemudian jatuh di puncak kepalaku.
Ini, tempat aku mengadu.
Kemudian tatap Mama menemukan mataku. Ia hapus bulir air mata tadi dari pipiku. Senyumnya jadi teduh.
“Are you okay? Hm? Mau cerita ke Mamah?”
“She left, Mah..” Lirihku. Aku ini, tiba-tiba jadi seorang anak kecil berumur 7 tahun yang sedang meringkuk di lutut Ibunya. Menangis. “Mamah.. kenapa semuanya pergi ninggalin Mingyu?”
“No..” Beliau tarik tubuhku. Memeluknya. “Mamah gak pernah ninggalin kamu, Nak..”
Except her. Kecuali Mama. And for that, I am eternally grateful.
Malam lamat kemudian menjadi larut. Mama bertukar banyak cerita tidak terkecuali aku. Bagaimana statusku dan pertemuan pertamaku dengan satu perempuan yang hari ini entah sedang apa disana. Bagaimana aku bertemu dengan teman-teman yang umurnya jauh dibawahku. Bagaimana tragedi yang terjadi berkali-kali yang meninggalkan sedikitnya pelajaran singkat untukku.
Sampai ketika suara Mama mendadak jadi lirih. Memanggil namaku.
“Mingyu?”
“Hm?”
Kini lagi-lagi, dengan penuh cinta ia usap pipiku dengan belaiannya.
“Kalau Mama nikah lagi, boleh?”
Aku diam cukup lama. Dari manik mata Mama, rasanya mampu aku lihat bagaimana kenangan buruk itu berputar.
Mama yang memukul dadanya terus-terusan di depan jasad Papa yang sudah terbujur kaku, 3 menit setelah dokter katakan jam dan detik kematian Papa. Beliau kehilangan cintanya, dan aku jadi dua kali lebih remuk.
Umur Mama tidak lagi muda. Namun, mengarungi kehidupan seorang diri selama ini pasti cukup membuat Mama tersiksa. Tidak perlu jauh-jauh, anak laki-laki semata wayangnya ini juga melalui hari yang pilu atas nama kehilangan.
Tapi aku tidak bisa bohong, rasa pedih itu tiba-tiba saja menusuk jantungku.
“Dia juga kehilangan, Mingyu. Mama juga.” Jelas Mama. “Kalau Mama masih punya kamu walaupun jauh, dia gak punya siapa-siapa. Maafin Mama baru bilang sekarang, tapi Mama harap kamu bisa ketemu dia dan—”
“Mah..” Lirihku lagi.
“Ya?”
“Do you feel the happiness like Papa always made you feel?”
Mama menggeleng. “What Papa made me feel enggak sama kaya apa yang sudah dia buat untuk Mama. Dia bukan Papa. Dan tujuan Mama adalah untuk beribadah, tidak lebih pun tidak kurang. Mama enggak mau menggantikan Papa, itu yang harus kamu tau. Karena Papa adalah Papa, Dia adalah dia..”
Dalam hidup, kita bisa jatuh cinta berkali-kali. Entah pada orang yang sama atau yang lain lagi. Untuk itu, bukan perkara tidak setia, namun terkadang di beberapa kasus, kehilangan selalu jadi pendamping hidup. Lagi-lagi, masih perkara ikhlas.
Kalau Mama menemukan bahagia dengan cara itu. Aku ikhlas.
Kalau Mama akhirnya menemukan bahagia dengan cara itu. Maka aku tidak lagi ragu.