Tepat setelah telfon yang aku terima dari Vernon, aku menghambur dan meninggalkan pekerjaanku. Kabar itu, bagai sebuah petir di siang hari.

Pesanku masih belum di balas orang diseberang sana.

Sepanjang perjalanan, pikiranku mengembara entah kemana-mana. Beberapa kali lupa menginjak rem dan hampir menabrak mobil di depanku, atau stir yang kurang aku tarik ketika belokan menyebabkan aku hampir saja menyerobot pengendara lain.

Sampai di depan halaman rumah Nadit, tanpa mengetuk pintu aku langsung masuk dan menemukan Somi, Mark di ruang tamu.

“Dia diatas, bareng Vernon..” Cicit Somi lirih.

Dengan anggukan kecil, aku melangkah pelan menaiki anak tangga, lalu melihat pintu kamarnya yang terbuka kecil. Ketika aku dorong dan suara decitannya mengejutkan Vernon, ia bangkit dari duduknya di pinggir kasur Nadit. Sedangkan si gadis, hanya menatap jauh keluar jendelanya, bahkan tidak terdistrak dengan suara decit pintu tadi.

Vernon bangkit, menepuk pundakku kemudian pergi.

Aku duduk di lantai, menyenderkan punggung pada nakas dan menatap dirinya yang sama sekali tidak menatapku.

Tatapnya kosong.

“Na..” Panggilku.

She is gone..” Suaranya serak, dari samping pun dapat aku lihat matanya yang bengkak.

I know, I'm sorry..”

Kemudian sunyi senyap mengembara.

Suara detak jam wecker di atas nakasnya yang hanya mampu memenuhi ruangan.

I dreamed about her the night before she left..” Lirihnya lagi. Kini dengan air mata yang mengucur, ia menoleh perlahan menemukan mataku.

“oh ya?”

It was three of us, Gyu. It felt so real..” Aku menunduk sambil memeluk lututku, tidak mampu menatap wajahnya.

You still have me, Nadit. You still have Vernon, Somi and Mark.. And Luna..” Dapat aku lihat sedikit sunggingan hadir di sudut bibirnya.

“Iya.. tapi rasanya.. kosong. Rasanya.. kaya kamu mati rasa dan ngebatin, ‘ini aku di dunia lagi ngapain, ya?’

Aku ingat, berbulan-bulan yang lalu ketika kali pertama aku menemukan dirinya di pinggir pantai dengan keadaan setengah kuyup akibat berdiri jauh hampir ke tengah pantai.

Saat itu kami berdua melempar sendu pada malam, menerka-nerka perihal apalagi hal-hal yang akan disuguhi dunia untuk mengiringi langkah tiap manusia.

Dan memaknai kehilangan.

Perihal mati rasa, perihal kosong di dada yang tidak pernah mampu di tutup oleh apapun. Sampai-sampai kemudian bertanya, “Di dunia ini, aku sedang apa?”

Nadit kehilangan kedua orang tuanya. Pertanyaan itu jauh dua kali lebih relevan untuknya kali ini. Menjamahi dunia kini tak lagi mampu di tatap kedua mata Ayah dan Ibunya, tidak ada lagi dukungan semangat serta senyum sambutan ketika pulang kerumah setelah panjangnya hari yang dijalani penuh dengan peluh dan pelik.

Nadit kehilangan arah dan tidak lagi punya rumah.

“Nadit..” Kini aku beringsut mendekat dan mengistirahatkan daguku di atas lututnya. “Aku tau ini berat buat kamu. Tapi aku harap, kamu gak sedih terus.. You can go to graduate and make a new memories, right? I know your mom will be proud of you..” Aku sibak sedikit rambutnya yang menghalangi wajah. “Okay?”

Ia menggeleng. Satu butir air mata jatuh tepat mengenai jeans yang ia pakai. “I won’t come..” Lirihnya, menatapku yang masih mengistirahatkan dagu diatas lututnya.

I won’t come.. Harusnya graduasiku buat Ibu.. Only her, now i have no reason at all to come..”

Ia mulai terseguk. “Then..” Cicitku. “Kalau buat aku? Will you come?”

Ia diam cukup lama. Matanya menatap lurus dan tenggelam dalam mataku. Berat ia tutup matanya kemudian lagi-lagi menggeleng. “I won’t..”

Kini aku bangkit, ikut duduk di pinggir kasurnya kemudian menariknya tenggelam dalam pelukku. Ia terseguk, bahunya bergetar hebat.

Rasanya, ada sakit yang kembali terulang.

Dulu, aku jatuhkan kepalaku kepada Minghao, hanya untuk menerima kenyataan bahwa aku sendirian. Hari ini, aku tidak pernah menyangka bahwa bahuku akan berguna, untuk seseorang yang letih, yang rapuh karna rumahnya tidak lagi disini.

-

Kata Nadit, keluarga Ayahnya yang ada di Jerman dan Keluarga Ibunya yang ada di Boston akan hadir untuk prosesi kremasi. Malam hari, semuanya hadir merengkuh tubuhnya. Kini ia tidak lagi menangis seperti siang tadi. Mungkin, mati rasa bukan lagi sekedar perumpamaan, mungkin, tubuhnya memang sudah terlanjur kebas.

“Bang..” Seokmin juga hadir, berdiri disebelahku yang jauh dari ruang keluarga. Hanya mampu mendelisik kecil untuk melihat apa yang terjadi disana.

“Hm?”

“Lo.. udah semangatin Nadit?” Aku menoleh menatap Seokmin. “Lo liat.. kaya mayat hidup.”

“Menurutlo.. kalau pun gue semangatin, dia bakalan semangat?”

“Yaiyalah, secara lo kan pacarnya..” Mataku membulat.

“Sembarangan.. Belom.”

“Yaudah anggap aja begitu, udah pacaran. Semangatin, Bang. Dia udah gak punya siapa-siapa lagi, kan?”

Kini aku menatapnya lurus, ia kini dikelilingi keluarga besarnya. Ia tidak mampu tersenyum lama, terkadang matanya mengembara entah kemana.

“Kalaupun dia semangat, Seok, paling luarnya doang. Dalemnya.. you have no idea how broken it is..”

“Iya gue tau, gak ada yang namanya baik-baik aja apalagi kehilangan orang-tua, orang yang di sayang..” Jelas Seokmin. “Paling tidak, Bang.. dikit aja bikin dia senyum. Dari tadi gue perhatiin dia..”

“Kenapa?”

“Sedih aja gue, ikutan sedih..”

Aku buang nafasku, menyenderkan bahu pada dinding dan melipat kedua tanganku di depan dada. “Seok.. lo gak bisa maksa orang buat sekedar senyum barang sedikit. Kalo lo bilang gue harus melakukan sesuatu, gue mau narik dia masuk balik ke kamarnya, gue biarin dia sendiri.. that’s all. Hal yang paling gak gampang dari kehilangan ya itu.. ketemu orang banyak terus pada bilang ‘sabar yaa sabar..’ apa coba yang harus di-sabar-in dari kehilangan, Seok? Gue yakin dia gak butuh sabar, dia butuh waktu. Waktu yang gak akan pernah cukup buat sekedar sembuh..”

Sorry, Bang..”

“Lah kok malah minta maaf lo?”

“Gue lupa.. kalo lo pernah ada di posisi itu..”

Bahu Seokmin aku tarik mendekat ke tubuhku. Menepuknya pelan berkali-kali, “Aelah, Seok.. udah berapa lama coba itu..”

“Lo..” Aku menoleh ketika Seokmin menggantungkan kalimatnya cukup lama. “..masih sering kepikiran mendiang gak, Bang?”

“Bokap?”

Seokmin menggeleng. “Kalau lo gak mau jawab gak papa sih, Bang..”

“Oh..” Kataku. Aku menggaruk pelipisku yang sebenarnya tidak gatal, menepuk-nepuk tekukku kemudian lagi-lagi membuang nafas. “Jangan tanya, Seok. Lo pernah gak nonton film yang paling lo suka, terus pas filmnya habis, lo merasa kosong banget? Nah gitu rasanya gue. Tapi kalo diumpamain sama film, lo masih bisa ngerasain euforia-nya kalau semisal nonton lagi, tapi gue.. entah euforia mana yang mau gue cari. Kosong.. Kosong banget lah, Seok, pokoknya..”

“Niat gue datang ke Malibu emang buat lari. Kaya.. Indonesia sama Australia tu penuh banget sama dia, rasanya kaya ada dimana-mana. Jadi sebelum gue hampir gila, gue memutuskan buat pergi.”

Dari berapa meter jauhnya, mataku menemukan iris hijau-keabuan milik Nadit yang duduk jauh di sudut ruang keluarga sana. Ia tersenyum kecil dengan bibirnya yang pucat dan mata yang sembab.

“Sampe gue ketemu dia..” Dari ekor mataku, dapat aku lihat pandangan Seokmin yang mulai tertuju pada si subjek pembicaraan.

“Untuk pertama kali dalam hidup gue, gue uring-uringan parah. Gue yakin, gue gak yakin. Gue udah yakin pake acara ngajak dia makan malam, tapi besoknya gue ngerasa gak yakin. Gue yakin karna dia yakin, tapi gue tiba-tiba hilang di ketakutan gue sendiri. Gue berusaha mencoba memulai, tapi the idea of ‘what if’ yang konotasinya selalu negatif keliling terus di kepala gue.”

“Sekarang perputarannya udah beda. ‘What if’ yang ada di kepala gue cuman, ‘Kalau aja, gue sama Nadit langsung memulai semuanya tanpa ada keraguan di diri gue waktu itu. Mungkin..”

“Mungkin?”

“Mungkin ada banyak hal lain yang bisa gue temuin di dalam dirinya yang membuat gue bangkit dan gak terus-terusan tersesat di kepala gue sendiri..”

“Untuk pertama kalinya gue jatuh cinta tanpa membandingkan. Bukan berarti gue gak cinta sama mendiang istri gue, gue cinta. Kalau gak cinta gak mungkin gue sampe kabur jauh ampe ke sini..” Jelasku. Masih belum terdistrak dari sosok disana. “Tapi.. Apa yang ada di diri dia.. gue jatuh cinta sama apa yang ada di diri dia. Bukan jatuh cinta buat menggantikan mendiang istri gue. Waktu gue sadar soal itu, that is just.. i don’t know what to say..”

Seokmin mengangguk kecil. “Kadang lagi.. sebenernya gue khawatir dengan jarak umur antara gue sama dia—“

“Yaelah, Bang.. kan lo gak mau nikahin dia detik ini juga, kan? Lagian dia juga udah tamat SMA, gak bakal keliatan..” Ucapnya malah memotong kalimatku cepat.

“I-iyasih.. biar dia kejar mimpinya dulu. Gue.. bakal selalu dukung dia kemanapun dia melangkah..”

-

Abu Ibu Nadit yang telah dikremasi di buang di titik yang sama dengan Ayahnya di pinggir pantai.

Di titik yang sama ketika pertama kali aku dan ia bertemu.

“Langitnya malam ini cantik..” Lirih Nadit dengan suara seraknya.

Keluarganya sudah pulang lebih dahulu setelah proses pembuangan abu. Kemudian aku katakan, kalau memang masih mau berdiam diri, akan aku antarkan dirinya pulang.

“Itu Ibu..” Ia menoleh kemudian tersenyum.

Nadit mengelus lengannya, menunduk menatap kaki telanjangnya yang di sapu ombak.

“Aku bakal pergi kuliah.. Gyu..” Cicitnya kemudian, namun menolak menatap wajahku.

“Oh ya? That is a good news!”

Yes.. It is. And..” Ia gantungkan kalimatnya cukup lama.

“And?”

“Aku bakal pindah ke Jerman..”

Kini aku yang tidak mampu berkata-kata. Kelu. Tidak mampu membalas dan memilih menatap wajahnya yang masih dan masih saja menolak membalas tatap wajahku.

“Keluarga Ayah sama Ibu tadi setuju kalau aku bakalan ngikut paman besok siang berangkat balik ke Jerman, Mingyu..”

Mataku membelalak hebat, kini perlahan mulai berkaca-kaca ketika bertemu matanya yang lagi-lagi di banjiri air mata.

“B-besok?” Ia mengangguk.

“Adik kandung Ayah yang perempuan yang tanggung jawab soal pengangkutan barang dan sewa rumah. Aku cuma tinggal packing barangku dan langsung terbang..”

Jantungku di dalam sana rasanya seperti jatuh, terombang-ambing dan mencuat keluar. Ritmenya tidak lagi sama. Kini beralih menuju tenggorokanku yang mulai panas dan pedih.

“Na..”

“I know..” Ia mengusap air matanya. “We haven’t start anything and—“

We can start it now..” Kini aku tarik bahunya agar ia menatapku.

No..”

Aku terkesiap. Bahuku jatuh.

Ia tarik lenganku yang tadi sempat bertengger di bahunya, kemudian ia genggam dengan tangannya yang dingin di sapu angin malam.

“Mingyu.. ada satu hal yang mungkin gak bisa masuk akal di kepala kamu. But.. we can start it when i am 23..”

Alisku mengkerur hebat, pupil mataku mengikuti gerak pupil mata berwarna hijau-keabuan di hadapanku ini.

“Nadit..?”

I know it sounds crazy, right? but.. loved by you in the same place as i did to you.. is such an amazing things, Gyu.”

Can i know the reason why it should be 23?”

It is.. for my mom..”

Aku hanya mampu membuang nafas kembali. Menunduk menatap bagaimana tangannya yang menangkup tanganku dibawah sana.

Can i borrow your phone?” Alisku menungkik tajam, namun tetap aku keluarkan benda pipih itu dan aku sodorkan pada sosoknya.

Ia mulai melakukan entah apa, kemudian ia kembalikan ke tanganku.

“Ngapain?”

I blocked you.”

What?”

“Listen..” Ia tarik kembali tanganku untuk berada dalam rengkuh tangannya. Ia paksa aku menatap wajahnya, padahal tenggorokanku sudah tidak mampu lagi menahan.

In the next April 6th..” Jelasnya pelan. “I’ll be back to Malibu, and I’ll meet you at the Ice cream shop where we first visited to, okay? 10 AM. Kita bakalan habisin waktu selama 24 jam penuh di 6 April, Mingyu..”

No text, no call, no direct message or anything.” Sambungnya lagi.

But..” Aku yang menunduk tadi buru-buru mengangkat kepala untuk kembali menemukan manik matanya. “If in any cases, you are already find someone else, you don’t have to come. And if you can’t find me at that time too, i already find someone else in the same way. Itu.. itu titik dimana kita harus berhenti..”

Ada bulir air yang kemudian jatuh dari pelupuk mataku.

“..berhenti untuk saling berharap, berhenti untuk saling mengisi kekosongan, berhenti untuk saling jadi yang paling paham dan berhenti.. untuk satu sama lain.”

“Setiap tahun di tanggal 6 April sampai umurku 23 tahun. We’ll do this.. We will see.. if you and i, are truly meant for each other. Because.. I believe in myself and i believe in you..” Sambung Nadit kembali.

Kini wajahnya dipenuhi senyum rekah. Tangannya kemudian menangkup kedua pipiku. “But more than that, Mingyu.. Happiest Birthday.”

Satu hal yang kemudian membuat bagaimana rasa penyesalan itu datang dan menggerogoti jiwaku sampai habis, ketika waktuku untuk dihabiskan bersamanya berhenti disini.

Setelahnya, aku hanya mampu menerka tentang kemungkinan kemungkinan lain yang mungkin saja mengantarku pada titik henti, atau malah menyuruhku kembali berjalan lagi.

Disini, di titik dimana kali pertama aku dan Nadit bertemu. Dan disini pula, kali terakhir aku dan dirinya menghentikan sebuah titik pada beribu-ribu temu. Bahwa setelah ini, tidak ada aku dan Nadit lagi, di Malibu.