Last April 6th.
-
Bagiku, perasaan akan selalu jadi misteri paling aneh. Satu detik pertama perasaanmu akan terus membuncah sampai-sampai rasanya ingin muntah. Detik selanjutnya, yang kamu rasakan adalah perasaan benci.
Aku tidak bohong perihal pertama kali Anindita memijakkan kaki di Malibu. Aku tidak bohong perihal senyumku yang menyambutnya di bandara. Itu bukan senyum formalitas, bukan senyum sekedar menyambut, namun tersisip senyum lain yang sarat makna.
Intinya, ada Anindita di Malibu sempat menutup satu kekosongan yang sudah bertahun-tahun menyelimutiku.
Sejak pertama kali bertukar pesan, aku menganggapnya sebagai teman baik. Ia sering bertukar pengalaman bagaimana ia menghabiskan waktu mengais pundi-pundi rupiah. Tidak jarang, apa yang dilakukan oleh Anindita, aku lakukan juga.
Aku bercerita bagaimana hecticnya sewaktu sekretarisku harus resign dan semua manajemen agaknya kacau-balau. Aku harus menghabiskan waktu lebih banyak di kantor dibandingkan biasanya. Aku akan pulang larut malam kemudian mandi dan terjun menuju dunia mimpi. Setidaknya, aku tidak akan memiliki waktu senggang hanya untuk memicu perasaan rindu akan orang yang aku tidak tau sedang apa disana.
Tapi tetap saja, berisiknya deru air yang terus datang dan pergi kerap kali mengundangnya hadir.
Setelah membawanya ke Malibu dari bandara Los Angeles, meletakkan barang bawaannya di hotel yang sudah ia reservasi melalui online, aku ajak ia mengelilingi kota surga di dunia ini. Dari satu tempat menuju tempat lainnya.
Namun sayang, seluruh kota Malibu adalah Nadit.
Dan aku berada pada posisi paling salah karena harus kembali menapak tilas bahkan kepada tempat yang hanya aku lewati sekilas.
Es krim Salted Caramel kesukaannya, A Little Life karya Hanya Yanagihara, atau The Night We Met yang secara tidak sengaja terputar di radio lokal. Setelahnya, kepalaku akan dibanjiri oleh presensinya. Irises milik Van Gogh, The Last Bookstore, kikikannya yang menggelikan atau teriakannya kepada sahabat lelakinya. Ia yang tidak setuju soal maple syrup lebih baik untuk pancake, dan gambaran ia yang tenggelam di kaosku. Oh—jangan lupa rambutnya yang menyeruak bak singa itu.
“Mingyu?”
“Eh? I-iya?”
Anindita yang duduk di kursi penumpang mendadak membuyarkan lamunku.
“Kamu mikirin apa? Kenapa senyum-senyum gitu?” Aku berdeham. Mengelus tekuk dan menepuk setir mobilku beberapa kali.
“Eng-engga. Tadi barusan aku lihat ada anak perempuan kecil yang disuapin es sama ayahnya.” Alih-alih mengacuhkan alibiku barusan, dirinya malah mencecarku dengan pertanyaan.
“Kamu lebih suka punya anak perempuan apa laki-laki?” Aku menaikkan alisku agak terkejut. Diam sebentar berusaha mencerna pertanyaan barusan. Seharusnya ini bukan pertanyaan sensitif, mengingat aku yang sudah pernah menikah dan menyadari bahwa Anin adalah teman baik rasanya tidak begitu menyinggung.
Tapi aku tersinggung.
“Itu cuma pertanyaan brainstorming aja, Mingyu..” Tetap saja.
Aku menghela nafas, agak berat. Perihal keturunan, punya anak perempuan atau lelaki sudah dari jauh-jauh hari aku mimpikan. Benar, manusia tugasnya hanya berencana, sisanya akan ada maha kuasa yang mengeksekusi semuanya. Tidak terkecuali kehilangan yang merenggut bahagiaku, bahkan sekoyong-koyongnya tujuan hidupku.
Aku angkat cepat bahuku. “Anything. Aku gak masalah harus perempuan atau laki-laki.” Sadar akan intonasi suaraku, Anin kemudian diam. Ia diam cukup lama sampai aku dan ia tiba di hotel tempat ia menginap.
“Mingyu..” Cicitnya sebelum turun.
“Iya?”
“Kalau aku udah boleh gerak, boleh kasih sign, gak?” Aku menekuk bibirku. Perempuan ini punya pendirian yang teguh. Sangat teguh dan berani.
Aku menggeleng pelan. “Jangan gerak..”
“Gak bisa, ya?”
Selepas pertanyaan Anin meluncur, kenangan dikepalaku mulai berputar seperti reel film. Nadit, Nadit dan Nadit. Aku tidak bohong kalau melihat Anin senyumku akan mengembang dengan sempurna dan bukan berlandaskan formalitas semata. Membalas pesannya kadang mengundang perasaan aneh seperti aku masih remaja dulu.
Bersama Anin mungkin adalah pasti, tapi bukan berarti Nadit bukan yang pasti.
“Anin, my heart has belong to her since I barely remember. It is with her wherever she goes and I can’t controlled it anymore cause she’s owned it already. She can do whatever she wants while I can’t.” Kecewa tergambar jelas dalam cahaya matanya, tapi aku berani bersaksi, senyum yang aku hadiahkan kepada Nadit adalah bukan senyum penuh rasa yang aku berikan kepada Anin. Lebih dari itu.
And being endearingly owned by Nadit, walaupun belum secara resmi, is beautiful. She has a heart that loves without asking for anything, but to be okay. Dan aku tidak akan pernah rela menukarkan hati itu kepada apapun, siapapun.
“Lucky her..”
“No, Lucky me..”
-
“Jasku kebesaran gak sih?” Vernon terus menggerutu, padahal matahari sudah hampir berada di puncak.
“Kan aku udah bilang kemarin, pilih yang pas di badan kamu, Vernon.”
“Kamu gak tau aja aku di New York stress banget supaya bisa dapet gelar. Kayanya gara-gara itu mangkanya berat badanku turun..” Gerutunya lagi sambil membenarkan dasi.
“Really?” Aku menungkikkan satu alisku menatap ia yang tidak kunjung selesai mempersiapkan diri. Aku hampir terlambat.
“I look bad..”
“No, you look cool. C’mon.”
“Bisa pakai kemeja biasa aja gak? It’s too formal..” Kali ini ia merengek. Seperti anak kecil yang malas dipakaikan baju oleh orang tuanya.
“C’mon, Vernon. We have no time.” Buru-buru aku bergegas keluar, mencari kunci kamar, mengambil jasku.
“Undangan udah belum?” Aku menjentikkan jari. Yup, untung saja.
Aku tidak mungkin meninggalkan undangannya.
“Glad you remember, Vernon. Now I got it.” Aku mengerlingkan mataku dan membuatnya bergidik geli. “Ayo cepetan! Tunggu apa lagi..” Ia mulai melangkah meninggalkan kamar hotel dimana aku dan ia menginap.
“Kim..” Belum sempat aku kunci pintunya, sapaan itu membuatku merinding.
“What?” Dengan senyum lebar yang menghiasi kedua sudut bibirnya, ia menepuk pundakku. “Apa, Vernon?” Kataku lagi.
“Nothing, I just..”
“You just what?”
“I truly am proud of you..” Aku terbahak membuang kepalaku kebelakang. Pintu yang telah terkunci rapat dan senyum serta mataku yang mendadak panas.
“I’m proud of myself too. I am.”