Third April 6th.
Pagi di enam April, Seungkwan membantuku mencuci piring kotor setelah sarapan dan obrolan ringan yang kami cipta. Sembari membasuh piring, ia bercerita banyak. Terutama soal ia yang selalu tidak punya waktu, bahkan libur semester tidak mengizinkan dirinya memijak tanah kelahirannya.
Selama 3 tahun belakangan, ia selalu menyisihkan waktu yang ia punya untuk bersinggah. Untuk sekedar menghabiskan kue yang bibi Tiana buat, serta aduan-aduan kecil yang ia lontarkan. Seungkwan sudah seperti keluargaku disini. Bahkan kami punya foto keluarga yang di tempel di dinding sewaktu perayaan natal.
Bibi Tiana sendiri sedari dulu ingin punya seorang anak laki-laki, atau perempuan. Namun, semesta berkehendak lain. Penyakit yang dideritanya mengharuskan ia untuk mengangkat rahimnya. Untuk itu, ia adalah yang paling membuka tangan paling lebar untuk menerimaku ketika aku kehilangan Ibu.
Masih di depan bak cucian piring, kekehan kami mengudara memenuhi dapur. Sendok yang tidak sengaja jatuh ke lantai pun jadi alasan tawa kami yang terus menerus terbahak.
Seungkwan kemudian berdeham kecil, mulai berbicara. “Hari ini kamu jadi mau nemuin cowo yang dari Malibu itu, kan?”
Tanpa sadar, tanpa melihat Seungkwan, senyum mengembang di wajahku. Hari ini, hari ulang tahunnya.
“Iya..” Cicitku. Seungkwan kemudian mengangguk.
“Satu tahun ini, you think he is still into you?” Aku membuang nafas kemudian. Membuang pandang pada dinding kosong dihadapanku.
“I don’t know. Ini juga lagi mau di cari tau..” Aku mengeringkan piring terakhir dan langsung meletakannya di rak. Seungkwan ikut mengeringkan tangannya yang basah, kemudian mengistirahatkan tubuhnya dengan bersender kecil membelakangi bak cuci piring.
“Kalau..” Ucapnya tertunduk. “..ternyata hari ini dia gak datang, what will you do next?” Posisiku kemudian sama seperti Seungkwan, membelakangi bak cuci piring dan menatap meja makan yang sudah lebih dulu kami bersihkan.
“I don’t know. Maybe it’ll hurt me like hell.” Balasku. “Terakhir ketemu, dia kenalin aku sama temennya. Perempuan, dari Indonesia.” Kenanganku kembali berputar menuju satu tahun yang lalu. Momen yang paling diluar skenario yang aku gambarkan.
Mungkin ketika aku menunggunya di toko es krim dan berspekulasi bahwa dia tidak datang adalah lebih baik, dibandingkan ia yang mengajakku menemui perempuan lain yang ternyata sedang berada dibawah tanggung jawabnya.
Mingyu bilang, ia terjaga semalaman. Aku bilang kemudian didalam hatiku, bahwa ia berusaha memastikan perempuan itu baik-baik saja sepanjang malam. Dirinya kelelahan dan akhirnya tidur di sofa ruangan rumah sakit. Terbangun di sore hari dan mengelilingi seluruh kota hanya untuk menemukanku.
Seharusnya fakta itu membuatku lebih tenang, karena ia berusaha mencari keberadaanku. Meyakini bahwa aku kembali menghirup udara Malibu, hanya untuk janji-janji semu dan prinsip tidak masuk akal yang aku buat sendiri. menyakiti diriku sendiri, tanpa terkecuali, Mingyu. Tapi, ketika menemukan seorang wanita tergeletak di ranjang rumah sakit, menemukan Mingyu yang rela berkendara dari Malibu menuju Los Angeles hanya untuk menjemput orang tua perempuan itu, membuatku merasakan ribuan hujaman di ulu hatiku. Seiring waktu, aku terlalu mahir menyembunyikan pilu.
Aku tersenyum, mengangguk meng-iya-kan. He had no idea, seberapa kalut aku kala itu. Bisa saja, ia jatuh cinta pada detik pertama, kedua, ketiga, keempat, seterusnya.
Setiap orang selalu bertanya, tidak terkecuali Seungkwan. Mengapa prinsip ini aku pegang teguh bahkan sampai 3 tahun lamanya. Padahal, bisa saja aku membuka block-nya, mulai mengirim pesan kepadanya dan berkata, ‘Mingyu, mungkin aku egois sampai-sampai bikin aku dan kamu menderita. I think it’s enough. Maybe the idea of long distance relationship is fun.’
No.
I need to find myself first. I need to define what it calls love.
Bagiku, menyebrangi lautan untuk menemukan dirinya, adalah bagian dari ‘what it calls love.’ Menunggu dengan sabar di toko es krim untuk presensinya, merasakan detak jantung yang tidak karuan, memeluknya lama untuk melunaskan rindu-rindu yang sudah segunung intensitasinya, menyusuri kota bersama kehadirannya.
Tanpa prinsip yang aku bangun, mungkin aku lupa kalimat ‘menghargai’ itu ada.
Waktu, rasa, peluk, hadir, dan kesempatan.
Ketika jiwa kita merasakan kehilangan, maka perasaan untuk ingin menghargai akan muncul secara brutal. Kemudian akan keluar kalimat semacam ini, ‘dilain waktu, ketika kesempatan lain mengizinkan kami kembali bertemu, maka akan aku peluk dia 1 jam lebih lama dibandingkan yang lalu. Akan aku ciptakan obrolan penuh makna untuk membunuh waktu, mungkin dikesempatan lain, perihal jam kuliahku yang tidak karuan, atau penelitianku yang sempat ditolak mentah-mentah oleh dosenku. Atau, bagaimana ketika itu aku menceritakan rinduku dan apa yang aku lakukan supaya mengingat suaramu.’
Kalau prinsip ini tidak ada, mungkin ketika berjumpa, yang akan aku lakukan hanya sekedar menghadiahkan peluk sebagai simbol formalitas. Karena rindu yang dipupuk, sudah lebih dulu dilunaskan sebelum bertemu, mungkin lewat pesan yang ditukar, mungkin lagi lewat panggilan-panggilan di malam hari.
Dan aku, penuh belajar menghargai.
“Like i said, Nadit, I support you. I bet he’ll come..” Seungkwan menepuk bahuku.
“How can you being this confident.” Aku terbahak. “Aku aja gak percaya diri..”
“Kenapa gitu?” Nafas kecilku terhela ketika pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut Seungkwan. “People falling in love in the unexpected way, Kwan. Gak ada jaminan juga kalau dia enggak jatuh cinta sama perempuan itu..”
“Come on!” Dirinya kemudian berpindah posisi berdiri dihadapanku. “Percaya sama aku. 2 tahun yang lalu itu bukan waktu yang sebentar. But both of you did it, masa iya satu tahun yang ini gak bisa..”
Aku menyunggingkan senyum. “Kwan.. ini bukan soal waktu, tapi soal rasa..”
-
Brandenburg Gate. Pukul 11 pagi aku sudah siap berada disana. Tanganku dingin, badanku panas. Pipiku rasanya letih karena terus-terusan tersenyum memikirkan apa yang harus aku lakukan ketika bertemu dengannya. Mungkin berlari dan memeluknya, seperti adegan romantis film layar lebar yang didramatisir kemudian ia akan memutar tubuhnya ketika aku sudah sampai di peluknya.
Ugh.. tapi disini dipenuhi orang-orang. Aku tidak mau jadi bahan tontonan.
Aku mengambil duduk di kursi yang sudah disediakan. Menoleh kekanan dan kekiri. Memperhatikan satu wajah dengan wajah lain. Ingatanku cukup baik, apalagi mengingat wajah orang yang aku suka, walaupun tidak jarang sering terlupa soal pelajaran mata kuliah.
2 jam berlalu, tidak ada tanda-tanda dirinya yang aku tangkap dengan manik mataku. Membuatku risau. Sesekali pemikiranku menjadi sebab akibat perih yang tiba-tiba menusuk di ulu hatiku. Namun aku buang jauh-jauh pemikiran itu.
2 jam lainnya. Sudah mulai sore. Gelisah menyelimuti seluruh tubuhku.
Mungkin, aku bisa menunggu lebih lama dibandingkan tahun yang lalu. Karena kenyataannya Mingyu tetap mencariku walaupun terlambat.
2 jam lain. Sudah sepi. Menyisakan aku sendiri terduduk murung diatas kursi panjang ini.
2 jam lain.
Benar, ini memang bukan soal waktu, tapi soal rasa.
Ketika melangkah meninggalkan Brandenburg Gate, aku menangis. Hatiku terus bergumam, “Siapapun itu, aku harap Mingyu bahagia.”