Last April 6th—2
-
Sejak umur entah berapa tahun, Albert sudah menjadi teman baikku. Sampai ketika akhirnya aku dan orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Malibu.
Setiap aku pulang ke Jerman, ia berusaha menyempatkan diri untuk mampir, which is very kind of him. Tidak jarang ia membawakan bingkisan untuk Ibu, kaset musik untuk ayah dan buku untukku. Bagiku, ia malah jadi yang paling tau.
Aku tidak akan pernah lupa pertama kali ia katakan bahwa ia menyukai warna rambutku, warna mataku dan bibirku yang agak sedikit tebal yang kerap kali membuatku insecure. Setidaknya ketika itu aku tau bahwa ada yang menyukai bibirku.
Ketika Ayah dan Ibu tidak lagi ada dan aku memutuskan untuk pindah ke Jerman, Albert selalu menyisihkan waktu ditengah sibuknya kuliah untuk mengunjungiku. Entah kenapa, ia selalu mempunyai topik yang nyambung bersama paman, bersama bibi. Setiap natal dan tahun baru, ia membawakan kado untukku, paman dan bibi dan tidak terkecuali Seungkwan, yang notabene-nya adalah stranger, terutama bagi Albert.
Hal itu sangat-sangat membuatku sedikitnya terenyuh. Mengingat ketika itu adalah pertama kali aku merasakan bahagianya hari natal dibandingkan yang telah lampau. Tidak pernah sehangat itu. Ia membawa kue jahe yang katanya ia buat sendiri khusus untukku keluargaku. Ia bawa bermacam-macam alat mewarnai dan kami habiskan malam natal didepan perapian menyembuhkan luka masa kecil. Terkhusus aku yang tidak pernah melalui masa-masa indah semacam itu sewaktu kecil dulu.
Melihatnya merawat Luna dengan baik, padahal ia alergi bulu kucing. Jadi setelah itu, biasanya akan ada aku yang memberikan ia sebuah obat berdasarkan saran dari calon dokter muda, Seungkwan. Aku temani ia meneguk tabletnya, ditemani dengan suara bindengnya akibat flu yang dipicu oleh hewan peliharaanku yang satu itu.
“Aku udah bilang, Luna will be okay. Tanpa kamu coba bantu buat ngasuh dia juga she’ll be okay..” Kataku malam itu, duduk bersebrangan dengan sosoknya di meja makan.
“She is so cute, I can’t handle myself not to—”
“Don’t try to hard, Albert..” Ia bergeming. Setelah mengerti maksud perkataanku barusan, ia mengangguk kecil.
“Coba sekali aja, gak mau?”
“You are kind, Alb.” Cicitku pelan. “Banyak orang diluar sana yang mau disayang sama kamu.”
“Kamu enggak mau?” Intonasi suaranya membuatku menyunggingkan senyum kecil kemudian terkikik. Aku membuang nafas, membawa gelas yang bermenit yang lalu diteguk oleh Albert menuju tempat cucian piring.
“I’m serious. Sekali aja? Hm?” Masih berdiri dipinggir tempat cuci piring, aku putar tubuhku sampai akhirnya manik mataku bertemu miliknya. “Dari kecil, my gaze has belonged to you, Nadit. Sampai sekarang pun sama sekali enggak berubah. I mean, why don’t you give me a chance?”
“A chance of what?”
“Loving you..”
“Selama ini kamu juga udah ada di fase itu kan, Albert?”
“No.. I mean—” Albert kini ikut berdiri, membuang nafasnya pelan namun masih jelas dapat aku dengar. “I want us to be more..”
“Kalau udah lebih, terus apa?”
“Terus..” Albert menggantungkan kalimatnya cukup lama, berfikir cukup keras. Ia mengusap tekuk lehernya beberapa kali dan menolak menemui mataku.
“Terus?”
“Kalau udah lebih, I can love you easily. Maksudku, I can hold your hands? You can lean to both of my shoulder if you want to? I can protect you in all cost—”
“Like what? How you protect me in all cost?”
Albert lagi-lagi terdiam. Selagi ia berusaha mencari kalimat lain sebagai pelengkap argumentasinya. Kepalaku berputar hebat, pergi dari tempat aku berpijak. Di Malibu, protect in all cost, orang itu, dan sudah entah berapa kali. And he didn’t asked for more.
“Albert..” Kataku kembali. “I don’t want to be protected, okay? Kalau kamu meminta yang lebih cuma untuk supaya aku bisa lean on disaat aku butuh, atau kamu yang kepengen pegang tanganku in any of condition, I’m not sure that’s.. a form of love. Because if you love me wholeheartedly, Albert, You’ll have no reason at all, you just want to spend your day all along with me without being considerate about holding hands, or lean on or protect me. I think, you are all wrong..”
“Don’t push yourself to hard, okay?” Aku tatap matanya agak lama, raut wajahnya yang berubah dan berbagai macam emosi bercampur disana. “It almost midnight, Alb. You can go home.”
-
“Nadit!” Suara Seungkwan menggema secara tiba-tiba di kamarku. Aku yang sibuk berkaca buru-buru menoleh dan mengusap dadaku agak pelan. Sedikit tekejut.
“Hell!” Balasku.
“Cepetan ayo! Udah jam berapa ini?!” Aku mendongak menatap jam dinding yang berdenting di dinding kamarku. Memang sudah mepet.
“Alright, wait for a second!”
“Aduh! C’mon, Nadit. We truly have no time!”
“Iya-iya! Cerewet!” Seungkwan menarik pergelangan tanganku, menuruni tangga kemudian keluar dari rumah dan buru-buru masuk kedalam mobil. Bibi Tiana dan paman sudah menunggu lebih dulu.
“What took you so long, Nadit?” Gerutu paman ketika aku dan Seungkwan sudah sepenuhnya masuk kedalam mobil.
“Hehe, Sorry.”
Sepanjang perjalanan, dapat aku lihat mata paman yang menatapku dari spion tengah. Entah apa maknanya, tapi matanya sedikit berkaca-kaca. Di sebelah kananku, ada Seungkwan yang terus-terusan tersenyum menekuk bibirnya. Sesekali merapikan rambutku, atau bajuku yang agaknya compang. Suasana di dalam mobil agak sunyi, bahkan radio lokal tidak seasik biasanya.
Jantungku berdetak tidak karuan. Berkali-kali aku menarik nafas dalam kemudian aku buang pelan. Mataku panas dan tenggorokanku rasanya tercekat. Aku tidak boleh menangis walaupun aku ingin. Tidak. Tidak sekarang.
-
“Nadeeta!” Aku menoleh ketika salah satu temanku, Jessica, meneriakkan namaku. Aku sesekali mengerjap, cahaya matahari pagi menuju siang ini cukup terik, namun tidak sepenuhnya menganggu.
“Hey? Jessica? You come?”
“Of course I should come? Are you kidding me?” Kami terbahak cukup kencang. Ia rapikan sedikit rambutku, menatapku dari atas sampai bawah dengan tatapannya yang teduh. Senyumnya itu malah membuatku ingin menangis.
“You look pretty.” Katanya. “Your parents must be proud of you..” Aku menekuk senyum, menarik Jessica kedalam pelukku. Aku peluk ia lama, aku tepuk pelan bahunya dan ia lakukan hal yang sama.
“Thank you for being there for me, ya? Cepetan nyusul..” Ucapku dan dibalas pukulan ringan seraya pelukan yang melonggar. Kami lagi-lagi terbahak.
“Nadit!” Dan yang kali ini, suara paling familiar yang menyambangi pendengaranku.
Ini dia. Kalau aku harus menangis. Mungkin ini waktunya.
“Vernon!” Aku melambai, di ikuti Vernon yang juga melambai di ujung sana. Langkahnya mendekat dan terus mendekat.
Dan satu orang yang berjalan selaras dengan Vernon. Tubuh tingginya serta jas yang ikut memeluknya. Rambutnya tidak acak-acakan seperti yang biasa aku lihat ketika bertahun belakangan datang menyambangi Malibu. Rambutnya ia tata dengan rapi. Namun sayang, dasinya disana agak miring.
Dengan gagah ia melangkah, menemukan manik mataku dan rasa-rasanya kakiku melemah.
Detik selanjutnya, aku tersentak karena Vernon memelukku dengan kekuatan yang membuatku agak sesak.
“Hey? You look prettier when i see you closer!” Aku masih terbatuk akibat pelukan Vernon barusan.
“Aku selalu cantik. Shut up!” Balasku. Vernon kemudian mengacak puncak kepalaku dan tersenyum dengan lebarnya.
“Indeed..” Suara berat itu kemudian muncul. Dengan memberanikan diri, aku mendongak. Berusaha sekuat tenaga menemui manik matanya. Tarikan nafas pertama, dan aku buang perlahan.
Itu, iris mata bronze seperti warna teh manis hangat yang kerap kali mengisi malam-malamku. Mingyu.
“Happy Graduation, Na.” Se-bouquet bunga matahari ia serahkan, kini pelukanku hampir penuh.
“Thank you, Gyu. Thank you for crossed the ocean just to see me with this..” Aku menunduk menatap baju toga ku yang agaknya kebesaran.
“You look pretty. And I’m proud of you..”
Senyum kami mengembang. Ini memang adalah saat yang tepat untuk menangisi kebahagiaan. Aku lemparkan semua bouquet bunga yang terus-terusan aku peluk semenjak keluar dari gedung utama kampus. Aku berlari dan jatuh dalam peluknya. Topi togaku yang ikut terlempar dan aku yang diputar di udara.
“You did it and I’m proud of you, Na..” Cicitnya. Dan aku menangis membekap suara. Secara terus menerus batinku berteriak, “We did it, Gyu. And I’m proud of you too..”
4 tahun. Dan kini perlahan luka darah pengorbanan mulai mengering. Hari ini tahun ke empat ulang tahunnya, kini aku dan ia berhenti pada penyiksaan yang setiap hari memohon meminta ampun. Setelah ini, atas nama perayaan menyambut harapan dan angka yang bertambah pada jalan hidup, aku berjanji akan aku hargai setengah mati.
“.. Happy Birthday, Mingyu. Happiest Birthday. Bahagia menyertaimu.”
-
Di wilayah Sellin terdapat sebuah restoran yang sangat terkenal yaitu Restaurant Seebrücke di kepulauan Rügen. Jarak tempuh dari Berlin menuju pulau itu adalah sekitar 2 jam menggunakan mobil, dan yang benar saja, aku berakhir sedang mengunyah makan siangku bersamaan dengan aku yang tiba-tiba terdistrak akibat usapan jemari disudut bibirku.
“Belepotan..” Katanya, ditutup dengan senyum dan ia yang akhirnya fokus pada piring dihadapannya.
“Itu Vernon gak papa ditinggalin di rumah?” Aku terbahak. Sialnya aku juga ikut tersedak sampai harus buru-buru menegak air mineral.
“He is okay. Dia pasti seneng ketemu temen kaya Seungkwan..” Jelasku.
“Jadi itu Seungkwan?”
“Hm..” Ucapku mengangguk. Kembali mengangkat sendok dan garpu.
“Kenapa undangan wisuda kamu dikasih ke aku? Padahal bibi Tiana kan bisa masuk?” Oh, soal itu.
Aku lagi-lagi tersenyum. Rasanya tulang pipiku sudah mati rasa mengingat entah sudah berapa kali aku harus memasang senyum hari ini.. “She said.. dia gak mau masuk. Awalnya dia suruh Seungkwan aja yang masuk, atau semisal Vernon kalau dia ada kesempatan terbang ke Jerman. Tapi tiba-tiba aku kepikiran kamu..”
“Alasan bibi kamu gak mau masuk, apa?”
“She is a crybaby, Gyu.”
“Hah?”
“No, seriously. Ngeliat Seungkwan dapet nilai sempurna A, dia nangis. God, I remember that day. Dia tuh terlalu sensitif. I bet she doesn’t want to cry in front of people. Walaupun in the end dia tetep nangis pas ngeliat aku keluar dari gedung utama tadi pagi..” Aku terkekeh kecil. mengingat Bibi Tiana yang tiba-tiba menangis histeris ketika menemukanku keluar dari gedung utama kampus. Ia memelukku erat, sangat erat dan terus mengelus pipiku. Secara halus ia terus menggumamkan kalimat ‘I’m so proud of you and I bet my brother too..”
Sehabis berkumpul di halaman kampus, aku memutuskan untuk kembali kerumah. Bersama dengan Mingyu dan juga Vernon. Tepat setelah kami sampai, paman lemparkan kunci mobil kepada Mingyu dan mengerlingkan satu matanya. Entah apa yang terjadi di antara mereka selama menyaksikan aku menerima ijazah pagi tadi didalam gedung utama kampus, rasa-rasanya mereka sudah seperti menjalin hubungan pertemanan bertahun-tahun lamanya.
Dan begitu atas impulsivitas, aku dan Mingyu berakhir disini. Jauh dari Berlin dan memandang air laut yang terus menerus datang dan pergi.
“Thank you..” Ucapnya, membuatku mengerutkan alis kebingungan.
“For what?”
“Kasih aku undangan? Aku ngeliat kamu dari atas nerima ijazah and..” Mingyu membuang nafasnya.
“And?”
“aku udah berapa kali bilang I’m proud of you sih?” Dirinya kemudian terbahak.
“Only god knows.” Balasku ikut berselaras dengan tawanya.
“Nadit..” Ketika panggilan itu meluncur dari mulutnya, aku bergidik ngeri. Di ikuti tatapan tajam matanya yang tenggelam dalam tatapku. Ia berdeham sedikit, mengangkat tangannya ke atas meja dan jatuh diatas tanganku.
“Are we done yet?”
Mendengar pertanyaan itu, rasanya beban besar selama 4 tahun yang lalu perlahan mulai terangkat. Aku letakan tanganku yang satu lagi diatas tangannya. “We are.”
Ada seribu rasa terimakasih yang ingin aku sampaikan, entah lewat lisan ataupun tulisan, itu urusan nanti. Mendengar bagaimana ia yang mengatakan kata ‘kita’ dibanding menyudutkanku, membuatku menyadari bahwa memang sampai sejauh ini pun, aku tidak pernah sendiri.
“Kalau gitu, kita pulang?”
“Kita pulang.”