“that was a good dream.” Nadit membentangkan kedua tangannya. Rambut yang menyeruak dan wajah berminyak juga.. bau yang agak menyengat. Ada sensasi lengket di sudut-sudut bibirnya.
Tapi..
“Shit! Shit! Shit!!!” Ia menunduk, melihat bagaimana baju yang ia kenakan adalah bukan baju terakhir yang ia pakai saat berada di Ralphs. Nadit peluk dirinya sendiri, “No fucking way.”
Ia buru-buru turun dari kasur, meraih kenop pintu dan menyadari bahwa tempat ini tidak terlalu asing.
“Good mor—”
“Shit! What did you do to me?!” Vas bunga yang berada di sisi kanannya dengan cepat ia genggam, hampir ia lempar kepada lawan bicaranya.
“Wow~ Tunggu.” Mingyu menengadahkan telapak tangannya di udara, berusaha melindungi diri. “Calm down.” Katanya lagi.
“I didn’t do anything to you.. okay?”
“Terus bajuku mana? Kenapa aku disini? Harusnya aku sleepover di rumah Som—DAMN! SOMI?” Nadit memukul-mukul tubuhnya, matanya mengembara, mencari. “Handphone?” Ia malah melempar tanya kepada Mingyu.
“I have no idea where you phone is..”
“Baterainya tinggal 2%, Mingyu..” Lirih Nadit sedikit.
“Aku gak tau..”
Tapi kemudian tetap Nadit angkat tinggi lagi vas bunga kaca yang ia genggam. “What did you do?” Sahutnya lagi.
“Aku gak ngapa-ngapain?” Seorang perempuan paruh baya kemudian keluar dari satu ruangan, baunya wangi, mungkin sehabis menyetrika baju. “It was her. Yang gantiin baju kamu.” Vas bunga yang diangkat ke udara tadi kini perlahan turun. Tidak lama, wanita tersebut pamit untuk pulang, karena seluruh pekerjaan rumah telah selesai ia kerjakan.
“Terus mana bajuku? Vestnya?”
“Vestnya aku buang, baju kamu baru dicuci.”
“Kenapa di buang?”
Mingyu melangkah mendekat. “You should tell me what exactly happen, Na. Gak ada kapoknya ya kamu?”
“First of all, don’t call me, ‘Na.’ It sounds stupid.”
“It sounds cute.” Mata Nadit membelalak hebat, ia angkat kembali vas bunga kaca yang masih terus ia genggam tadi ke udara. Mengancam akan menghancurkannya.
“Go on. Aku masih punya banyak duit buat beli vas bunga yang kaya gitu.” Mingyu berlalu, membelakangi dirinya sembari sibuk di dapur sana entah melakukan apa.
What? Vernon benar, si Mingyu itu memang sombong. Batinnya.
“Bajuku.” Nadit menyerah. Ia turunkan tangannya.
“Kena muntah.”
“Hah? Muntah siapa?”
“Ya muntah kamu sendiri, masa muntah kucing?”
“Kenapa muntah?” Mingyu hela nafasnya, membalikkan tubuh menatap lurus ke arah Nadit yang seharusnya malu dengan keadaannya yang kacau. Kaos kebesaran, celana tidur panjang yang kedodoran dan rambutnya yang seperti singa.
“Harusnya aku yang tanya sama kamu, kenapa kamu bisa muntah? Kamu ngapain di Ralphs? Kok bisa sampe muntah?”
Nadit diam. Ia cium tubuhnya, baunya menyengat. Bukan bau keringat atau bau lainnya. Bau.. minuman keras yang tadi malam di tegaknya.
“Wait..” Mulut Nadit menganga, matanya membulat. “Itu bukan mimpi?”
“Mimpi apa, Nadit? Yang mana yang kamu pikir mimpi?”
“Aku mimpi ada orang yang berantem buat.. I don’t know, maybe.. trying to saved me? Terus aku diantar pulang kerumah, terus..” Kalimat Nadit terputus. Ia tutup mulutnya dengan telapak tangan, mengingat kembali kejadian yang katanya adalah imaji di dalam tidurnya. Tukainya melangkah mundur perlahan.
“Terus apa?” Mingyu angkat tinggi alisnya, ia lipat kedua tangannya di depan dada. “Hm?”
“Itu.. Mimpi.. kan?”
Mingyu angkat bahunya cepat, memutar kembali tubuhnya dan sibuk di dapur. “Kalau kejadiannya sama persis kaya yang tadi malam, kamu pikir itu mimpi? I don’t think so, Nadit. And thank you, for making last night such a trouble, especially for me.”
“Did..you..”
“Apalagi?”
“Mingyu.. Did you.. KISS ME?!”
“WHAT??”
Nadit tutup mulutnya dengan tangan, matanya masih membelalak. Mingyu pun yang tadi asik dan masih sibuk di dapur sana memutar tubuhnya dan menatap si gadis tidak percaya.
“I didn’t kiss you!”
“Tapi kamu bilang itu bukan mimpi!”
“Iya memang. But I didn’t kiss you! Itu gak sopan, biar kamu tau. Sekarang stop ngomongin hal nyeleneh, duduk disana, and *EAT. YOUR. BREAKFAST.” Mingyu tunjuk meja makan sebelum ia datang dengan dua piring waffle dan sebotol maple syrup yang ia bawa belakangan.
“Habis ini mandi, kamu bau.” Nadit putar bola matanya sembari memasukan potongan waffle ke dalam mulut.
Ponsel Mingyu kemudian berdering.
Vernon.
“Damn.”
“Language, Nadit.”
“Jangan angkat.” Tangan Mingyu menggantung di udara, alisnya mengkerut.
“Why?”
Nadit tekuk bibirnya sendiri. “Bilang kalau aku gak ada disini atau jangan angkat.”
“That’s it. Kamu cerita sama aku apa yang udah kamu lakuin sampe harus bohong kaya gini?”
“I didn’t do anything, Mingyu.”
“Did you remember that you were drunk?”
“Well.. I took a shot, two shot actually, but..”
“God..” Mingyu mengusap wajahnya. “I’ll pick it up.”
“No.. Please.”
“Kalau aku gak angkat dia curiga dong kalau kamu memang disini.” Dering nada panggilan masuk di ponsel milik Mingyu masih terus mengudara di seluruh ruangan, ditengah argumentasi keduanya.
“Ya kamu tinggal bilang aja kalau kamu sibuk, Mingyu.”
“I can. Tapi ini Minggu, Nadit. Gak ada orang sibuk di hari Minggu.”
“Kamu bisa bilang diri kamu sendiri sibuk di hari Minggu.”
“What?”
Panggilannya mati.
“See? Vernon bakal curiga kalau aku memang ngumpetin kamu disini.” Mingyu lipat tangannya di depan dada.
“Kamu punya sirup caramel aja gak? Aku gak suka sirup maple.”
“Enakan sirup maple dibanding sirup caramel.”
Nadit diam.
“Kamu.. gak..ada..sirup..karamel..ya..Mingyu?” Cicitnya dengan nada suara yang terus mengecil.
Mingyu pijit pelipisnya, anak ini bahkan tidak peduli kalau dirinya hampir habis malam lalu.
“Terus apa? Kamu mau ngumpet disini sampe kapan?” Tanya Mingyu.
Ting!
Dering notifikasi pesan masuk.
Dari Vernon.
‘I know she is with you.’ ‘answer the phone now’
“See?” Tunjuk Mingyu pada layar ponselnya.
“Oke, Fine! Suruh aja mereka kesini, habis itu aku certain semua.”
“Good.” Mingyu mulai mengetik. “Sehabis ini kamu mandi, aku anter kamu pulang dan minta maaf sama Ibu kamu.”
“Tapi, Gyu..”
Tubuh Mingyu terhenti seketika.
“Maksudku.. Mingyu. Iya, itu.. aku gak mau pulang.”
“Gyu sounds cute, tho.”