“Bu, aku pergi, ya?”

Ia diam. Ibuku diam dan sibuk dengan urusannya sendiri di dapur sana setelah kepulangan kami dari rumah sakit.

“Aku pergi.” Hampir ketika aku menutup pintu, suaranya memanggil namaku.

“Nadit.”

Yes?”

I hope this is your last.”

Alisku berkerut, tidak mengerti maksudnya. “Last of what?”

Your part-time.”

Aku menghela nafas yang cukup panjang. Ibu di ujung sana sibuk, bahkan tidak sedikitpun menoleh ke arahku. Aku benarkan letak ransel yang ada di bahu kanan.

“Kalau gitu, kasih aku alasan yang masuk akal supaya aku berhenti.” Ibu tiba-tiba menghentikan agendanya, kini berbalik dan berjalan mendekatiku menuju pintu.

“Kamu pikir kejadian di Geoffrey’s kurang masuk akal, hm?”

“Bu, Ibu gak bisa menyamaratakan seluruh tempat di Malibu itu sama cuma gara-gara kejadian di Geoffrey’s. They are a good person.”

“Nadit, I meant it. I can make all things work. You just need to sit down.”

“Setelah ayah meninggal? Ibu bisa jamin? I know how struggled you are bahkan untuk urusan tagihan listrik dan air, Bu. And you wanted to make my dream works? Are you kidding me? Bukannya buat ngasih jajan aku aja Ibu mikir dua kali?”

“Nadit..”

I’m too much. And I know it, I’m being rude. But I couldn’t hold it for any longer.

How dare you are.” Ibu menangis. And I feel like I am just a bad person ever exist. “Kamu pikir selama ini Ibu ngapain? I’m trying to make you happy, Nadit.”

Oh yes, you are. Tapi ibu selalu membatasi segala hal untuk kebahagiaanku. You said you trying to? Hm? Bahkan aku gak boleh jatuh cinta, kan? Gimana kalau ternyata bahagiaku datangnya dari jatuh cinta sederhana di masa SMA? Gimana kalau temen-temen kerja part-timeku yang jadi sumber bahagiaku? Gimana kalau aku ngabisin malam di pantai di tempat abu ayah di buang cuma satu-satunya cara aku bisa bahagia ngerasain eksistensi ayah walaupun sebenernya gak ada. And you, Mom! Ibu ngelarang aku untuk ngelakuin itu semua.”

“Ibu selalu telfonin aku dan marah kalau aku ke pantai barang sebentar. Are you sure you trying to make me happy?” Dadaku membuncah. Kini bulir air mata mulai ikut mengalir, sama seperti yang ada di pipi Ibuku.

Leave this home.” Cicitnya.

Yes, Mom. Thank you for all of your effort to make me happy, it useless. If dad was here—”

YOUR DAD WASN’T HERE!! Jadi berhenti manggil Ayah, ayah, ayah! Nadit.”

Why? Because you hate him so much? Because you were being abused by him? And you couldn’t find your happiness—”

Satu tamparan berhasil mendarat di pipiku.

Leave.”

Rahangku mengeras. Dengan cepat aku gapai kenop pintu dan keluar dari rumah. Aku seka kedua mataku ditengah jalan menuju Ralphs Supermarket, ranselku di bahu kanan aku genggam erat.

Aku selalu bertanya perihal kenapa ibu melarangku untuk jatuh cinta. Yup, sekedar jatuh cinta. Bahkan bukan sebuah hubungan. And she said, “You haven’t mature enough to know it yet.” Itu adalah hal yang selalu aku adukan kepada teman-temanku, bahwa menyebalkan ketika orang dewasa selalu menganggap anak belasan tahun tidak tau apa-apa dan belum waktunya.

Terutama, sangat menyebalkan ketika harus melempar cerita tentang masalah hidup kepada orang dewasa dan jawaban yang diterima adalah, “You still 18, my problem is more harder than you.”

Fuck.

But Mingyu didn’t answer it like that.

Well, tapi dia tetap aja nganggap aku anak kecil yang labil dengan perasaan yang aku punya buat dia. Dan itu menyebalkan, not gonna lie.

Setelah kejadian di Geoffrey’s waktu itu, malam hari ia sempat mengirimiku pesan dan bertanya soal keadaanku, which is, not completely good.

Aku memutuskan untuk membalas pesannya di pagi hari.

Sejujurnya, tidak ada perasaan yang sebegitu merambatnya lagi di dalam hatiku perihal dia. Perang argumentasi yang terjadi saat mobil Mark hampir di tahan pihak kepolisian kala itu sudah cukup menjawab semuanya. Bahwa ia tidak melakukan segala hal atas dasar perasaan yang sama seperti yang aku miliki untuk sosoknya.

Aku terlalu menomor-satu-kan sosok lelaki itu, padahal diriku hanya sebuah opsi semata. No. Ibaratnya, di lembar ujian, aku bahkan tidak masuk di tiap opsi jawabannya. Tidak di A, atau di E. Tidak ada, aku ini hanya sosok anak kecil yang ia temui tempo hari di pinggir pantai, and all of sudden, kita malah mengadu nasib soal perasaan kehilangan.

Seperti kata Taylor Swift, “Lay the table with the fancy shit, and watch you tolerate it.”

Sekarang aku menertawakan lariknya.

Aku ingat bagaimana pemilihnya aku ketika harus membeli sebuah baju atas fine dinning yang membuat dadaku membuncah tidak sabar menanti. Selesai bahkan 1 jam sebelum ia menjemput, menatap lama diriku di cermin hanya untuk mengulur waktu sakit hati. Lagi-lagi Taylor Swift benar perihal lagunya, “I know my love should be celebrated, but you tolerate it.”

Mingyu just tolerate it.

Mataku sudah sepenuhnya kering ketika aku sampai di Ralphs. Robin menyambutku, menepuk bahuku beberapa kali dan memberikan semangat untukku pada sore menjelang malam ketika itu.

Aku pergi ke ruang ganti, mengganti pakaianku yang aku letakkan di dalam loker serta vest dengan tulisan ‘Ralphs’ di bagian kanannya. Aku berlari kecil menuju kasir, antrian panjang.

You are too late, aku kewalahan.” Kata Robin, memijit pelipisnya. Robin sendiri adalah seorang supervisor, bukan ranahnya untuk mengambil alih kasir dan jujur saja aku merasa tidak enak. Berkali-kali aku katakan maaf kepadanya.

You said sorry again, you’ll be fired, Nadit.” Ia terbahak, akupun begitu.

Robin kemudian pergi, aku mengambil alih kasir dan mulai bekerja. Menghitung satu persatu barang belajaan bahkan hampir 2 jam lamanya.

Selama 2 jam, aku berdiri. Tidak menemukan celah untuk duduk barang sekejap. Ralph hari ini sedang tidak waras.

You okay, Nadit?” Este, gadis di seberangku bertanya sambil memberikan scan di tiap barcode barang belanjaan orang yang ada di depannya.

You should worrying yourself first, Este.” Kami terbahak.

Setelah 2 jam lebih, aku duduk bersama Este di bawah meja kasir dan sebotol minuman di tangan yang aku tegak dengan anarkis.

“Wow.. Woww.. Calm down, girl.”

“Ahhhh..” Suaraku setelah menegak hampir setengah isi botol minuman tadi, Este terbahak. Ia pun mulai menegak minumannya, namun lebih tenang dibanding diriku tadi.

Kami luruskan kaki, serta punggung yang bersandar pada dinding meja kasir yang terbuat dari triplek biasa. Sejujurnya, kapanpun bisa hancur seketika dengan kami yang bersandar.

“Pegel.” Sahut Este, memijit kakinya. “Awal bulan, weekend. They were crazy.”

Yes. They were.”

Setelah perbincangan singkat, aku mulai merapikan rak-rak. Barang-barang yang di letakan asal karna terlanjur memasukannya ke dalam cart namun tidak jadi membeli, barang yang posisinya tidak lagi beraturan, barang-barang baru yang mulai aku susun dari ruang penyimpanan menuju rak karna stocknya sudah habis atau menipis.

Sesekali mengepel lantai, tidak jarang aku temukan noda es krim disana.

Setelah itu, di waktu istirahat sembari menunggu waktu jam pulang, aku duduk di atas lantai, di satu lorong berisi makanan ringan, aku senderkan pundakku. Sebenarnya takut-takut, takut kalau rak-nya malah jatuh akibat dorongan dari pundakku karena bersender. Tapi aku pikir, ini cukup kuat.

Aku keluarkan ponselku, mengirim pesan kepada Somi dan meminta izin untuk menginap di rumahnya. Mungkin sampai aku berbaikan dengan Ibu.

Tidak lama, Robin menghampiriku, ikut duduk di sebelahku. Bahkan ikut menyenderkan pundaknya seperti yang sedang aku lakukan. Ia lipat kedua kakinya.

How’s your mom?” Sahutnya, menoleh pelan ke arahku.

“Well, masih belum ada kemajuan.”

“Aku boleh tau, Ibu kamu sakit apa?”

Aku hela nafasku pelan, menggigit dalam bibirku.

“Awalnya, Ibu di diagnosa dokter Pankreatitis atau radang pankreas. Dokter bilang penyebabnya bisa jadi karena virus, kelainan genetik atau mungkin efek samping obat-obatan, kita waktu itu kurang yakin penyebabnya apa.” Mataku kosong, memikirkan satu hal yang mengembara di kepala, hal yang membuatku yakin akan satu penyebabnya, namun aku simpan dalam-dalam.

“Dokter bilang lagi, Insulin biasanya diproduksi dan dilepas dari sel sel pankreas, jadi karena pankreas Ibu udah meradang, sel-selnya udah gak mampu menghasilkan insulin yang cukup buat buang glukosa dari darah supaya bisa ngontrol gula darah. Akhirnya, dokter harus mendiagnosa lagi kalau Ibu kena gula darah tinggi atau Hiperglikemia.”

Robin mengerjapkan matanya beberapa kali setelah aku selesai menjelaskan.

“Jadi.. Ibu biasanya harus check up buat meriksa gula darahnya.”

Damn, girl. You are.. tough.” Robin merangkul bahuku, menariknya kemudian menepuknya beberapa kali, memberikan semangat.

He is a nice one.

Kini Robin istirahatkan kepalanya, mendongak menatap langit-langit tinggi supermarket.

Life is sucks, right, Nadit?”

Aku tarik dalam nafasku, membuangnya. “Yup. It is.”

Ia kemudian mengangkat tangannya, menampilkan jam tangan yang melingkar disana.

Wanna drink?”

“Eh?”

C’mon, Nadit. I saw a cigarettes on your bag earlier, you suck it often? Have you drink an alcohol before?”

“Well, aku gak selalu ngerokok, sometimes. But, Alcohol..”

Come on, it’ll calm your mind, believe me.”

“Hmm.. Robin.. I don’t think—” Ia menarik cepat pergelangan tanganku, membuat tubuhku langsung bangkit dari duduk.

Wait!” Kami berhenti, saling tatap. Tanganku tadi sudah lebih dulu aku lepas dari genggamannya. “I am 18, Robin. I can’t.

“Tapi kamu ngerokok, what’s the difference?”

I know, but—”

You can take a oneshot, it’ll calm your head, Nadit. Aku tau kepala kamu berisik. I’m trying to help you.” Aku telan ludahku, berfikir lama. Robin menyentuh bahuku dengan alis matanya yang menungkik. Mungkin, satu gelas tidak akan membuatku lupa jalan menuju rumah Somi, kan?

Okay, I’ll take a shot. Oneshot.

Robin tertawa kecil. “Oneshot, twoshot, the stage is yours, Nadit.”

Kini kami melangkah bersama, dirangkulnya bahuku berjalan menuju halaman belakang Ralphs yang aku pun tidak tau ternyata ada. Kutemukan Henry, Ricko dan Phoebe. Rekan kerjaku.

You got a new mates, huh?” A blondie Henry.

Don’t be rude, she wants a oneshot to calm her head down.”

Sure, take a seat, queen.” Ginger head, Phoebe, mempersilahkanku duduk dengan cara yang sarkastik, menurutku.

Mereka tuangkan segelas dan disodorkan ke hadapanku.

Aku belum pernah menyentuh air keras semacam itu, I have no idea how it tastes. And yes, I never been drunk before. But maybe, if I get drunk, Robin will help me, right? He is the nicest mates I’ve ever met.

“Ayo, Nadit. Kamu nunggu apa?”

Oke. Oneshot.

Ketika air itu mulai menjamahi tenggorokanku, rasanya panas. Sesaat itu juga, dapat aku rasakan kepalaku yang mulai mengawang kecil.

Another shot?” Rockie, the brunette one.

No, Thanks. I promised Robin to only take oneshot.” Cicitku. Panas di tenggorkanku masih belum mereda.

“Ah, gak asik kalau kamu cuma minum sekali.” Ucap Rockie.

Sorry.”

“Take it.” Cicit Robin. “It’ll make you head more calm.” Kini ada gelas lain yang sudah terisi tersematkan di tanganku.

“Kalian selalu ngelakuin ini setiap hari?”

“Ck.” Phoebe yang duduk disebelahku berdecak. “Jangan banyak tanya kaya anak sekolah, take it or leave.”

“Phoebe, jangan galak sama tamu.” Robin membenarkan posisi duduknya, menjurus ke arahku. “Nadit, try it.”

Twoshot.

Threeshot.

Fourshot.

A Laugh.

A sad stories of mine.

Fiveshot.

I’m crying.

Another shot.

Another Laugh.

A shot.

A shot.

A Nauseous.

Guys, aku mau ke toilet dulu.”

Another Laugh.

Kepalaku pusing, berat, serta mataku yang mulai mengawang. Aku berjalan sembari menopang tubuhku kepada dinding, berusaha menggapai kamar mandi sebelum semua keluar dari perutku.

“Nadit, aku bantu.” I know, Robin will help me.

Dirinya menuntunku menuju toilet, membopohku dengan satu tangan meraih pinggangku, ia genggam kuat. Tapi, apa yang kurasa bukan sama sekali genggaman untuk membantu.

“Kamu ngapain?!” Aku tolak tubuhnya yang lebih besar dariku. Ia tersungkur.

I’m trying to help you, stupid whore!”

What?

Tubuhku oyong. Barusan dia bilang apa? Aku tidak mampu melihat dirinya dengan jelas. Ia dorong tubuhku sampai menabrak dinding.

Jatuh tersungkur, tubuhku tidak lagi kuat menahan semua, bahkan kakiku sendiri tidak mampu menopang badanku.

Robin berjongkok, wajahnya samar tertangkap iris mataku. Ia angkat daguku, kini lurus tatap mataku bertemu miliknya.

You just.. so pretty. Since day one I met you, I really wanted to taste you. Guess this is the time?”

Apa?

JERK!” Suara gaduh tiba-tiba terdengar nyaring. Aku tidak lagi mampu menahan dan tidak lagi mampu menyaksikan, aku hanya ingin mengeluarkan segala isi perutku dan pulang untuk tidur, kepalaku sakit, tenggorokanku semakin nyeri.

“Nadit, you okay? Hey? Hey? Shit, are you drunk? Nadit? Can you hear me?”