Jantung Mingyu di sana berdetak tidak karuan saat menemukan cahaya lampu mobil polisi serta empat anak remaja yang sedang mengistirahatkan pundaknya pada mobil.
Ia buru-buru berlari mendekat.
Mata Nadit sempat membulat sempurna, kemudian membuang wajah menolak menemukan tatap.
“Ada yang luka?” Mark menatap aneh orang di hadapannya ini.
“Kamu bilang apa sama dia, Vernon?”
“Permisi, Pak.” Mingyu mendongak. Satu polisi tadi kemudian menatapnya dari atas sampai bawah. “So.. i don’t know which one is your child but—“
“Saya! Saya pak. Ini ayah saya.” Vernon menarik satu lengan Mingyu, membuatnya mengernyitkan alis.
“What?” Bisiknya.
“Please help me, Kim.”
“O-oh. Yes. Saya.. A-ayahnya.”
“You sure?” Mingyu terbahak keras.
“I’m sure. Kenapa harus gak yakin? Kan anak saya.” Kini Mingyu melingkarkan tangannya di bahu Vernon. Ia remas kuat sampai-sampai Vernon harus menahan nyerinya.
Opsir polisi tadi melihat keduanya secara bergantian. “But you.. are.. Asian?” Mingyu tertawa kikuk kemudian, di ikuti Vernon di sebelahnya.
“Well ya, i married a foreigner!”
“Yup! My Mom is a foreigner! Right, dad?” Dengan kedua manusia yang masih asik dalam agenda manipulatifnya, ketiga yang lain hanya mengernyitkan alis di atas pijakan sendiri. Bingung harus bereaksi seperti apa atas kejadian yang sedang mereka tonton didepan mata mereka.
“Okay. So.. they are driving without a driver license.” Mingyu membulatkan matanya kemudian mengangguk menatap Vernon.
“Oh.. Without driver license ya, Vernon.” Ulang Mingyu, Vernon bergidik ngeri ketika mendengar nada suara yang keluar dari mulut Mingyu serta tatapan itu.
“Yes, Jadi, karna mereka masih di bawah umur, harusnya mobilnya saya bawa ke kantor. Tapi karna bapak udah datang, jadi saya cukup amankan disini dan..” Opsir polisi tadi menulis, “Surat peringatan.” Ia merobek satu kertas kemudian memberikannya ke tangan Mingyu.
“Thank you,sir. Don’t let your child driving without driver license. Good night.” Sosok polisi tadi dengan mobilnya serta lampu sirine yang merekah kemudian hilang ditelan gelapnya malam.
Lengan Mingyu yang tadi sempat melingkar di bahu Vernon, kini jatuh.
Dari manik mata Vernon, dapat ia lihat lelaki ini yang mulai berkacak pinggang serta mengacak rambutnya frustasi.
“Make a line. All of you.” Tunjuk Mingyu, dan buru-buru ke-empatnya saling berdiri bersebelahan membuat garis.
“Are four of you out of a mind?” Diam. Sunyi dan senyap. Tidak ada yang berani menjawab.
“Jawab. Vernon?”
“Sorry, Kim.” Mingyu masih menatap ke-empatnya.
“Who’s idea it is?”
“Me.” Tanpa ragu, Vernon bersuara. “Aku cuma mau ngajak Nadit main. Soalnya, dari kemarin mukanya murung terus. Aku gak tau kalau bakal jadi kaya gini. Sorry.”
Kini tatap Mingyu berpindah pada sosok Nadit yang terkejut atas jawaban temannya sendiri.
“So.. you blame me, Vernon?”
“No. Gak gitu—“
“Kenapa kamu bawa namaku?”
“Niatku baik, Nadit. I just want you to—“
“Then, don’t. Aku gak butuh apapun, siapapun buat sekedar menghibur. *I told you, Vernon. Aku gak kenapa-napa.”
Kini, di atas pijakannya, Mingyu sedikitnya paham.
“Guys—“
“And you, Somi. Kamu temenku apa bukan sih? Harusnya kamu yang paling ngerti aku. Segala apa yang kejadian sama aku tuh selalu aku certain ke kamu, iyakan? Kamu tuh cuma mikirin diri sendiri tau gak?”
“What, Nadit?”
“Nadit—“
“Aku gak ada urusan sama kamu, Mingyu.” Bola mata Nadit bergetar. “Kita gak ada urusan apapun sama dia, kecuali kamu.” Telunjuk Nadit berhenti di depan wajah Vernon.
“Lain kali, don’t call him. Don’t ask for his help. Don’t.” Langkah kaki Nadit kini pergi menjauh, meninggalkan teman-temannya yang lain.
“Nadit!” Mingyu berlari kecil, memanggil sosoknya.
“Nadit! Sebentar! Can’t you stop?” Acuh.
“Nadit! Kamu marah karna aku gak bisa balas perasaan kamu?!“
“TERUS KENAPA KAMU BIKIN AKU BERHARAP?!”
Di pinggir trotoar, agak jauh dari tiga teman Nadit yang lain, keduanya berhenti saling hadap.
“Kenapa kamu waktu itu dateng cuma buat bantuin aku sama temen-temen yang lain buat part-time, Mingyu? Kenapa kamu mau di panggil Mingyu dan kenapa kamu bilang aku cukup tanpa harus jadi cantik kaya istri kamu? Kenapa kamu kasih aku nomor telfon kamu dan ajak aku fine dinning padahal aku gak dapat nilai 100 di ujian Matematika, Mingyu? Kenapa?”
Kini air mata yang sudah lama memupuk jatuh menciptakan sungai kecil di kedua pipi Nadit. Semenjak malam di toko es krim itu, Nadit mati rasa. Ia tidak bereaksi apa-apa, namun jauh didalam ulu hatinya ada perih dan ia ingin sekali menangis dan meraung untuk mengatakan pada dunia, ada sakit yang ia bendung. Hari ini, semua tumpah. Berserakan dan hancur.
“Kalau gitu.. Kamu salah, Nadit.” Mata Mingyu dapat melihat dengan jelas bagaimana air mata itu terus menuruni kedua pipinya. “Aku gak pernah punya niat buat mainin perasaan kamu.” Kini bergantian Mingyu yang bersuara.
“Aku datang ke Geoffrey’s waktu itu cuma buat pergi nyari makan siang dan turns out mereka butuh bantuan. Kalian butuh bantuan. Apa ada alasan lain buat aku nolak bantuin kalian padahal di satu sisi kalian temenku?”
“Nama Mingyu udah jadi bagian dari aku dan aku gak punya alasan larang siapapun buat manggil aku kaya gitu. Kalau temen-temen kamu mau, they can call me Mingyu. Dan aku selalu percaya bahwa porsi cantik tiap orang adalah cukup, Nadit. Istriku cukup dan kamu cukup.”
“Nomor telfon dan Fine Dinning adalah bentuk apresiasi. Sebelumnya udah sempet aku bilang, Kan? Bahwa gak ada yang perlu kamu bangun atas sebuah nama harapan untuk sekedar hal sederhana kaya gitu.”
“Itu kenapa aku gak bisa balas perasaan kamu. Kamu masih terlalu labil dan belum bisa memaknai banyak hal lebih dari satu kata dewasa. Kamu belum bisa bangun batas atas diri kamu untuk hal-hal kecil yang selalu aku lakuin atas dasar sesama manusia.”
“Terus segala jalan cerita yang di tulis dunia, kamu tetep denial?” Si gadis terseguk dengan suara paraunya.
“Cara semesta mempertemukan manusia dengan manusia yang lainnya gak semata-mata untuk merayakan perasaan, ada banyak hal yang bisa kamu delisik dari itu semua. Pertemuan kita pertama kali di pinggir pantai mungkin jadi alasan kenapa kamu masih ada disini dan gak tenggelamin diri kamu ke tengah laut.”
Pipi Nadit belum kunjung kering oleh air mata.
“See? Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari jalan pertemuan dunia. Kamu, cuma butuh ruang untuk melihat.”
“Fine, Mingyu. it was nice to know you.” Mingyu dapat dengar dengan jelas bagaimana suara Nadit yang parau. Kini, sosoknya berjalan menjauh.
Tukai kaki Mingyu sangat ingin berlari mengejar sosoknya. Menarik pergelangan tangannya untuk lebih baik di antar pulang di tengah jam malam seperti ini. Namun, kembali lagi.
Nadit adalah seorang gadis 18 tahun yang masih hidup di dalam fantasi yang ia bangun sendiri. Masih belum mampu memaknai batas yang satu dengan yang lain.
Kalau Nadit belum mampu melakukan itu semua, maka Mingyu yang harus jatuh dan turun tangan membangun batas atas dirinya sendiri.