“Udah pernah makan disini sebelumnya?” Aku tertawa mengernyitkan alis, tentu saja, belum.

“Belum.”

Hari ini, Mingyu terlihat berbeda dari biasanya. Bukan Mingyu dengan kaos dan celana training yang bisa di kenakannya di setiap akhir pekan kalau aku dan yang lain sedang belajar kelompok di rumahnya.

Turtleneck hitam serta celana hitam dan di tutup dengan luaran coat berwarna khaki.

Sedang aku disini, memakai dress terusan yang secara lega akan aku katakan sama, sama-sama berwarna hitam dengan belahan agak tinggi sampai hampir ke pahaku, dan heels.

Kalau di tanya, segala-galanya soal agenda ini adalah yang pertama buatku. Memakai heels? juga yang pertama. Maksudku, aku sering memakai sepatu heels milik Somi kalau bermain ke rumahnya, tapi memakainya untuk acara seperti ini, adalah yang pertama kali untukku.

“Well, then it’ll be our first.”

“Yup. our first.”

Setelah memesan menu, aku dan Mingyu banyak terdiam, canggung. Padahal, kalau di pikir-pikir, awal pertemuanku dan dirinya, kita membahas banyak, sampai lupa bahwa itu adalah kali pertamanya kita berdua bertemu.

Sepanjang menunggu, kami hanya saling melempar percakapan ringan, tertawa kecil kemudian kembali diam dan suasana jadi sunyi senyap, yang terdengar hanya suara piring dan sendok yang saling beradu.

Tidak ada obrolan perihal nilai ujianku, perihal Vernon dan ide tidak masuk akalnya, perihal maksud makan malam atas dasar apresiasi ini, tidak ada.

Pun, sepanjang menikmati makan malam, obrolan kami hanya ujuk ujuk soal bagaimana aku menjalani hari, atau suasana saat aku bekerja di akhir pekan.

Ada banyak rasa penasaran di dalam diriku, perihal sosoknya, cerita di balik masa-masa kelamnya di tinggal orang-orang yang ia sayang, perihal alasan ia memilih Malibu sebagai tempatnya memulai segalanya kembali, perihal penyebab istrinya menghembuskan nafas terakhir, dan perihal-perihal lainnya. Atau mungkin, alasan singkat selain hadiah apresiasi atas agenda malam ini.

Kalau dipikir, masih ada sekat tebal dan tinggi yang membatasiku dengan Mingyu. Dan aku, rasanya ingin cepat cepat menghancurkannya.

Mungkin Somi tidak sepenuhnya benar dengan argumentasi yang di katakannya tempo hari, dengan sekat tebal tak kasat mata ini, aku pikir Mingyu bukan yang paling mudah akan mengacak-acak hatiku. Bukan.

Setelah selesai, kami meninggalkan restoran hampir pukul setengah 9 malam, agenda fine dining yang di janjikan dan selalu membuat hatiku berdebar tiap malamnya hanya dipenuhi tawa canggung, sunyi senyap yang tidak jarang mengembara di antara sosokku dan sosoknya.

Bahkan ketika keluar menuju parkiran, aku berjalan di belakang menatap punggungnya. Ini, bukan seperti agenda romantisasi yang harap-harap mungkin terjadi. Mungkin Tiba-tiba dirinya yang membuka lengan agar aku rangkul atau mungkin ia yang membenarkan helai rambutku dan menyelipkannya di belakang telinga. Tapi ini, jauh dari sebuah angan klise semacam itu. Kalau begini, mending aku dan dia makan di Geoffrey’s saja.

“Nadit?” Suaranya membuyarkan lamunanku. Kutemukan dirinya sudah berdiri di samping pintu dan hampir membukanya, sedang aku berjalan lambat dengan pikiran yang melanglang buana.

Aku terkesiap, berjalan cepat menuju sosoknya. Sesekali terseok akibat heels 7 senti yang aku kenakan.

“You okay?” Aku mengangguk. Dan ya, membuka pintu mobil sendiri dan duduk dengan nyaman seperti awal tadi.

Suasana di dalam mobil juga tidak ada bedanya, membuatku sedikit bersedih bahwa ternyata aku dan dia memang masih berada di dua wilayah yang berbeda dengan batas yang aku tidak tau setinggi dan setebal apa, tapi aku dan Mingyu, adalah jauh.

“Mau langsung pulang?” Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan.

“Hm.. terserah kamu, Mingyu. Kalau mau kemana mana lagi juga boleh.”

“Kemana ya, aku juga gak tau mau kemana lagi..”

Ajak aku kemana kek, ini masih jam 9 Mingyu, it is okay kalau aku di ajak main sampai tengah malem.

“Soal ajakan kamu, masih berlaku gak?” Kini ia menoleh, secara bergantian antara aku dan jalanan sana.

“Yang mana?” Tanyaku.

“Ice cream?” Aku tertawa, hampir terbahak. Kemudian mengangguk dan menatap dimensi wajahnya.

“Of course. Mau? Kali ini biar aku yang traktir, Mingyu.” Kini bergantian, ia yang terbahak di sana.

“Sure. I’d love to.”

“Tapi kita kerumah kamu dulu.” Kataku, membuatnya mengernyitkan alis.

“Kenapa?”

“Antar mobil kamu.” Aku menepuk dashboard beberapa kali dengan pelan.

“Terus kita kesana naik apa?”

“Walk down the entire streets.” Kini aku tersenyum menatap lurus ke jalanan dan dapat aku lihat sekelebat dirinya yang menoleh ke arahku.

“Terus pulangnya?”

“Kita jalan lagi pulang ke rumah kamu, and then kamu anter aku lagi ke rumahku, naik mobil.” Tawa menghiasi wajahnya, ia mengistirahakan kepalanya di kepala kursi.

“Kamu memang suka nyusahin, ya?”

“I am.” Lagi-lagi gelak tawa tercipta.

-

Aku meringis ketika turun dari mobil yang sudah sepenuhnya terparkir di halaman rumah Mingyu, menoleh ke tulang di atas tumit kakiku dan menemukan bahwa ada lecet disana.

Ah.. harusnya aku dengar apa kata Vernon buat ambil sepatu yang ukurannya 1 kali lebih besar dari ini.

“Nadit? You okay?” Aku memicingkan mata dan mengangkat alisku, menatap sosok Mingyu di seberang mobil sana.

“Hmmm.. i don’t think so..” Kalau begini ceritanya mending tadi gausah sok akal-akalan mau count on the momment dengan alibi mau jalan kaki ke toko es krim.

Stupid Nadit.

“Kakiku lecet.” Mingyu berjalan menuju tempatku berdiri, kemudian mendelisik ke arah kakiku.

“Kalau kamu tetep pake itu, yang ada nanti jadi luka.” Ia berjalan menjauh dari tempatku berdiri dan menuju ke bagasi mobil, mengeluarkan sepasang sepatu sneakers berwarna putih.

“Pake ini aja. Acara formal kita udah selesai.” Aku tersenyum kecil menatapnya menyodorkan sepatu tadi ke arahku, serta kalimatnya barusan. “Mau dipakein?”

Aku diam sejenak, lagi-lagi ada senyum yang tidak bisa aku tahan. Pipiku rasanya jadi panas dan goncangan di dalam dadaku tidak bisa di sembunyikan.

“Nadit? Mau di pakein gak?” Dapat aku lihat dengan jelas alisnya yang menungkik, menunggu jawaban dariku.

Aku yakin, seluruh perempuan itu tidak suka di tanya untuk sebuah hal hal spontanitas, tapi karna perkenalanku dan Mingyu masih terbilang singkat, mungkin dia juga sedang bersikap sopan.

“Boleh..”

Kini, dirinya berjongkok. Menarik sepatu heels tadi dan menggantinya dengan sepatu sneakers miliknya.

“Nadit..”

“Ya?”

“Kebesaran.”

Aku menunduk, menatap sepatu tadi yang tidak sepenuhnya memeluk kakiku, ada lubang kira-kira sebesar 1-1,5 senti yang menganga dari tumit kakiku.

“Oh iya ya?”

“Ukuran kakiku kayanya gak cocok sama kaki kamu.”

Yaudahlah Mingyu, mending kita pulang aja.

“Aku sumpel aja ya?” Aku membulatkan mataku agak terkejut atas idenya, kemudian mengangguk.

Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan satu sapu tangan, melipatnya dan menyodorkannya ke ujung sepatu, kemudian memasukan kakiku kembali dan mengikat talinya.

“Gimana?”

“Pas.” Kataku, tersenyum menatap kakiku yang kini sudah sempurna ada di dalam sepatu milik Mingyu.

“Yang satu lagi pake tissue aja gak papa, ya?”

“Iya, gak papa, Mingyu.” Dirinya membuka mobilnya lagi kemudian, mengambil helai tissue agak banyak kemudian melipatnya dan melakukan hal yang sama seperti yang tadi.

“Perfect.” Ia kemudian berdiri, mengacak puncak kepalaku dan tersenyum. “Heels kamu tinggalin disini aja dulu.”

“Iya, Mingyu. Thank you.”

No problem.”

-

Le Cafe de La Plage Malibu, toko es krim yang jadi destinasi favoritku kalau pergi dengan Vernon maupun Somi. Kalau Mark, aku belum pernah pergi berdua dengannya. Intinya, ini adalah toko es krim favoritku.

Bell pintu berbunyi ketika aku menolak pintunya untuk masuk, menoleh ke arah Mingyu di belakangku.

“Udah pernah kesini?” Ia menggeleng.

Menu favoritku adalah Salted Caramel dengan taburan kacang almond di atasnya, Vernon selalu tau kalau itu jadi prioritas nomor 1 ku kalau duduk disini.

“Sama kaya kamu aja.” Kata Mingyu.

You sure? Gak mau coba rasa lain?” Ia menggeleng.

Okay, then.”

Aku dan dirinya mengambil tempat duduk diluar, jalanan belum kunjung sunyi, masih di penuhi oleh motor dan mobil yang terus berlalu lalang.

Is this the best in town?” Mingyu menyendok es krimnya. Aku mengangguk.

“Kalau di ujung sana, Joules and Watts Coffee,” Tunjukku lurus ke arah Barat. “Disana juga ada Es Krim Caramel, tapi gak seenak yang disini. Kamu kalau mau ngopi disana juga bisa, mereka jual kopi juga.”

Mingyu mengangguk, menoleh ke arah tunjukku tadi.

Rambut yang sedari tadi aku gerai, kini mulai aku angkat ke atas, menggigit karet tipis yang bertengger manis di pergelangan tangan kananku kemudian melilitnya di rambut.

Sampai ketika mataku menemukan mata Mingyu.

“What?”

Dirinya menyunggingkan senyum kecil. “Nothing.”

Lagi-lagi kami hanya sibuk terus terusan menyendok es krim, mengacuhkan satu sama lain sampai cup berukuran sedang itu kosong melompong tidak bersisa apapun.

“Kata Vernon kamu gak mau kuliah?”

Deg.

Apa? Vernon bilang begitu? Kepada Mingyu?

“Did he?”

“Why, Nadit?”

Aku membuang nafas.

“Ekonomi?” Aku tersenyum getir, pernyataan yang Mingyu lempar barusan seakan-akan membuatku jadi orang paling miskin di dunia.

“Aku bisa cari beasiswa kalau aku mau, Mingyu. Itu bukan alasan untuk enggak menuntut ilmu.”

“Then what?” Aku tatap dalam manik matanya dan dirinya yang masih menunggu alasan alasan yang keluar dari mulutku.

Mingyu memang orang asing, tapi ada hasrat di dalam sana yang merasa yakin bahwa apapun yang aku katakan pada sosoknya, semuanya akan baik-baik saja. Sama seperti kali pertama aku dan ia yang saling bertukar cerita.

“I have another dream of the dream, Mingyu.”

“You do?” Aku mengangguk kecil. Kini senyum tergores dari bibirnya.

Ia menoleh ke arah jam tangan, kemudian bergantian ke arahku.

“Mind to tell me your dream of the dream while we are walk down the streets?”

“Sure, why not?” Aku dan dirinya berdiri, meninggalkan meja-kursi serta dua cup kosong dengan bercak sisa es krim yang kami nikmati tadi. Jalanan sepi, hanya suara tapak kakiku dan miliknya yang berselaras menyuarakan langkah.

-

“Wow, that is big.” Mingyu mengangguk, kedua tangannya masuk ke dalam kantong celana.

“Do you think i can reach it?” Ia berhenti kemudian, membuatku spontan ikut berhenti.

First of all, yakin sama diri kamu.”

“Aku selalu yakin, tapi kadang apa yang jadi mimpi-mimpi tinggi belum tentu terealisasi, Mingyu.” Aku kini melipat tanganku di depan dada, mengelus lenganku sendiri, mengawang pada jalanan di hadapanku. “Gak semua mimpi di restui semesta, kan?” Kini aku mulai melangkah, di ikuti oleh sosoknya.

“Itu juga jadi alasan kamu kerja part-time?” Aku tersenyum kecil menoleh ke arah sosoknya, mengangguk.

“Setengahnya aku tabung, setengahnya lagi buat aku jajan.”

“Ibu kamu? Bilang apa?”

“Dia gak pernah setuju soal kerja part-timeku, dia cuma nyuruh aku sekolah aja.” Langkahku dan langkahnya sama, beriringan dalam ritme yang pelan.

“Aku setuju sih sama Ibu kamu.” Mingyu menyisir rambutnya dengan jemari. “Maksudnya, ngeliat kamu dan nilai kamu sebelum kita sama sama ada disini, wajar Ibu kamu khawatir. Karna impactnya bukan cuma konsentrasi kamu yang terganggu, takutnya, keseluruhannya jadi berporos negatif.” Ia membuang nafas.

“Aku bukan mau nakut-nakutin kamu, Nadit. It’s actually better for you to focus on your school. Dan lagi, kamu juga berdiri di dua pilihan yang sama sama jadi prioritas, and there’s nothing you can do, except walk on it together. Iya kan?”

“Kalau kamu punya dua prioritas, kamu harus sama sama seimbang. Fokus kamu juga harus terbelah dua, dan waktu cuma jadi mitos buat kamu. I don’t know what exactly you do right now with me walking down the street dengan fokus kamu yang terbagi-bagi. Are you sure, you get enough sleep? You sure you are feeling alright?”

Aku menyunggingkan senyum kecil. Lebih dan kurang, kurang dan lebih.

That’s why, Mingyu. Karna waktu cuma mitos buatku, jadi i wanted to spend it at least for a while, with you?”

Mingyu tertawa kecil, menunduk. “We have to go home, okay? Get enough sleep and..”

And?” Sosoknya berhenti. Membuatku kebingungan di atas pijakanku sendiri.

Go chase your dream, Nadit. Without me, okay? I am so sorry.. I can’t.”

Somi benar, harusnya aku mempersiapkan dinding tebal. Harusnya aku tidak jatuh dalam setiap gerak-geriknya, harusnya aku tau, sekat itu, tidak mampu untuk aku hancurkan dan melangkahkan kaki masuk ke wilayah teritorialnya.

I’ll take you home.”

Selama ini, rasa yang aku pupuk tidak mendapatkan sebuah balasan setimpal. Bahkan untuk sekedar senyum penuh rasa dari bibirku kepadanya.