Narendra, 1998.
“Lihat bagaimana dirinya tidak terkukung dan tidak mampu terguncang oleh kenyataan negara dimana masa otoriter dan krisis mengelilingi tubuhnya. Lihat bagaimana ia yang berorasi, lihat bagaimana langkahnya berkontribusi, dan lihat bagaimana ia mulai berani menarik pena dan menulis larik baru dalam puisi hidupnya, ia melawan.”
Jakarta, 12 Desember 1996.
Hari ini Ibu masak kari kambing lagi, Kak. Aku sudah katakan kepada Ibu kalau aku bisa-bisa kena kolesterol kalau makan daging kambing sampai sesering itu. Tapi aku tidak bohong, kalau kari kambing yang di masak Ibu adalah memang yang terbaik. Aku yakin, kalau kamu disini, kamu pasti akan menyetujuinya. Juga jempolmu yang akan mengudara dan mendeklarasikan bahwa kari kambing Ibu adalah yang paling juara.
Minggu lalu, aku baru selesai ujian. Minggu-minggu yang berat sebenarnya. Kalau kamu disini, pasti akan kamu ajak aku berkeliling Ibukota. Kita akan makan Es Krim yang katanya adalah replika dari es krim yang paling terkenal di Surabaya, es krim Zangrandi. Aku sih, tidak tau rasa es krim Zangrandi itu gimana, soalnya janji kamu buat ajak aku ke Surabaya belum kamu penuhi.
Semoga setelah kamu balas surat ini, kamu langsung bangkit dan membawaku ke Surabaya ya, Rendra. Narendra Aditama. Supaya kamu bisa berhenti mnyombongkan kampung halamanmu itu tapi acap kali sibuk dan tidak pernah mau membawaku kesana.
-
Surabaya, 25 Desember 1996.
Adik cerewet!
Sudah aku baca surat-mu dan ini sedang aku tulis supaya bisa cepat-cepat aku kirimkan ke Ibukota sana. Hei! Hei! Kemana embel-embel Kakak atau Abang di tulisanmu itu, hm? Tidak sopan, tau! Aku ini kan 2 tahun lebih tua di atas kamu.
Besok, kalau aku kembali ke Jakarta, aku ajak kamu pulang supaya bertemu Ibu mertuamu. Hahaha.
Ujianmu hasilnya bagaimana? Nanti ketika membalas ini, kalau sudah keluar hasil ujianmu, fotokopikan, aku penasaran. Apa benar buku tebal dengan gambar anatomi tubuh itu kamu buka setiap malamnya? Ayolah, kamu bilang kamu mau jadi dokter yang keren ditahun baru milenial nanti, bukannya begitu?
Ibu dan Ayah bagaimana kabarnya? Pasti Ayah kesepian ya, karna tidak punya teman untuk berdiskusi perihal bagaimana perbedaan idealisme antara Seokarno dan Bung Hatta, kan? Aku janji, aku akan balik secepatnya ke Jakarta untuk mengunjungimu, Ayah dan Ibu.
Narendra Aditama.
-
Jakarta, 13 Januari 1997.
Kak Rendra!
Kenapa tahun baru tidak ke Jakarta? Menyebalkan. Kamu juga tidak membalas suratku pada akhir tahun lalu. Kamu baik-baik saja, kan?
Kakak, kabari aku kalau kamu kenapa-napa. Jangan bikin aku khawatir seperti ini, ya?
Ibu dan Ayah bagaimana kabarnya? Ajak mereka main ke Jakarta lagi, kak. Aku selalu merindukan bagaimana melihat punggung keduanya, juga punggung kedua orang tuaku duduk di kursi panjang taman rumah. Atau sesekali melihat mereka tertawa terbahak di ruang lepas sana.
Sebenarnya, kalau kamu menghabiskan waktu lagi untuk membaca buku idealisme negara sampai lupa membalas suratku, aku akan marah! Sudahlah, kak. Negara ini akan baik-baik saja kalau kamu tutup barang sebentar bukumu dan menulis untukku, ya?
Kak Rendra, aku mulai merindukanmu. Jangan lupa balas suratku.
-
Surabaya, 1 Februari 1997.
Adik, kamu apa kabar dan sedang apa?
Maaf ya, kegiatan organisasi di kampus belakangan lagi padat-padatnya. Suratmu sudah aku terima bulan yang lalu, tapi baru bisa aku balas sekarang karena padatnya jadwalku. Sekali lagi maafkan aku, ya? Aku janji, kalau nanti main kembali ke Jakarta, aku ajak kamu berkeliling dengan motor butut Pakde ku yang tidak sebagus mobil Ayahmu. Yang penting, tidak akan mogok di tengah jalan. Ya?
Kuliah kedokteranmu bagaimana? Kamu sudah hapal seluruh anatomi dan bahasa latinnya? Penyakit apa yang akhirnya bisa kamu temukan obat mujarabnya? Ceritakan, dik. Aku sudah mulai haus akan celotehanmu.
Dik, di Surabaya hari ini hujan. Mendung, dan sendu.
Yang aku bayangkan hanyalah bagaimana kalau kita beringsut bersama di dalam selimut tebal kemudian saling dekap. Memejamkan mata dan membiarkan hangatnya deru nafas membakar kita. Dan lagu dari piringan hitam yang kemudian akan memenuhi ruangan, menghantar kita kepada dunia mimpi sampai akhirnya terbangun untuk menyaksikan matahari ternyata sudah berdiri di pucuk kepala lagi.
Dik, aku rindu.
Narendra Aditama.
-
Jakarta, 26 Februari 1997.
Hari ini, giliran Jakarta yang di guyur hujan secara anarkis, Kak Rendra. Kalau kamu disini, kamu pasti akan terus-terusan terkejut dengan guntur yang terus-terusan menyahut tidak ada henti. Cahayanya dari luar jendela sana seperti blitz kamera yang menangkap gambar seperti seorang paparazzi.
Kamu tau tidak, Kak? Hari ini aku mencoba membaca buku Pak Pram. Iya, tenang saja, aku membacanya secara diam-diam. Supaya aku tidak dibuntuti intel seperti kelompokmu disana yang terlalu rajin membaca buku yang dianggap rezim-rezim itu buku komunis.
Kalau kamu tanya alasannya apa, aku mau jadi seperti kamu. Seorang aktivis yang akan selalu membela keadilan negara. Atau, supaya kita bisa bertukar pikiran perihal tulisan ini. Supaya aku bisa mendelisik dan lagi-lagi takjub perihal argumentasimu yang penuh sihir dan magis.
Kak Rendra, ayo ke Jakarta.
-
Surabaya, 11 Mei 1997.
Adik, kamu apa kabar? Sedang apa di Jakarta sana? Cuacanya hari ini cerah atau mendung?
Maafkan aku yang baru membalas suratmu, ya? 2 hari yang lalu aku baru selesai di introgasi para aparat akibat ketahuan membuka forum diskusi di satu kos temanku di sekitar Jalan Mulyosari Utara. Kalau aku ceritakan, kamu simpan sendiri saja dan jangan sampai ada yang menemukan secarik surat ini, ya?
Dik, aku percaya kamu.
Sore itu, tiba-tiba segerombol pria dengan tubuh besar mendobrak pintu kamar kos temanku, dan ternyata adalah aparat negara. Mereka berasumsi bahwa ketika itu, kami sedang berdiskusi perihal menjatuhkan presiden dan buku-buku soal idealisme. Memang benar adanya, namun karena kapasitas kos temanku cukup kecil dan saat itu anggota yang lain tidak ada disana, kami akhirnya membuat alasan bahwa ketika itu kami sedang berdiskusi perihal buku sastra Jepang karena beruntungnya, saat itu hanya ada aku dan 4 temanku yang sama-sama berada di bawah naungan sastra Jepang.
Mereka juga menemukan satu jurnal sastra Jepang di dalam tasku yang ketika itu beruntungnya tidak aku keluarkan dari sana.
Pipiku sempat di tampar, cukup kuat sampai membuat bibirku pecah dan meninggalkan luka disana. Tapi kamu tidak perlu khawatir, lukanya sudah kering.
Aku baca kemarin, katanya kamu mau mencoba membaca buku pak Pramoedya? Tidak usah. Kamu cukup baca buku anatomi tubuhmu itu yang tebalnya membuatku mengerutkan kening sampai tidak mau lurus. Kamu tidak perlu jadi aktivis yang berjuang membela keadilan. Kamu, cukup jadi perempuan dengan jas putih selembut sutra dan stetoskop di lehermu, ya? Kalau nanti aku, pacarmu ini terluka akibat tamparan lain di kemudian hari, aku mau kamu yang obati lukaku. Boleh?
Perihal tukar pikiran, ada banyak hal yang bisa kita tukar, dik. Mungkin soal bagaimana Ibumu bisa membuat Kari Kambing seenak itu dibanding Ibu-Ibu lain di Surabaya? Apa rahasianya? Atau, bagaimana soal tukar pikiran tentang alun-alun Yogyakarta yang suasananya berbeda dengan alun-alun di Surakarta.
Dik, secepatnya aku akan mengunjungimu ke Jakarta.
Narendra Aditama.
-
Surabaya, 15 Juni 1997.
Pagi itu, aku akhirnya memijakkan kaki di Surabaya setelah 9 jam perjalanan menggunakan bus antar kota. Menemui Kak Rendra.
Hari ini, dirinya genap berusia 22 tahun. Tepat hari ini.
Aku pergi ke Surabaya tanpa memberitau kabar apapun kepadanya. Perihal alamat rumah, dulu sewaktu pertama kali bertemu, kami bertukar alamat, untuk saling mengirimi surat yang akhirnya terus berlanjut sampai sekarang.
Aku sendiri tidak tau persis jalan menuju rumahnya, tentu saja, ini kali pertamanya aku ada di Surabaya. Aku tenteng tasku di bahu sebelah kanan, dan sekotak kue tart aku genggam di tangan kiriku. Selanjutnya, aku tunjukan alamat yang tertulis pada secarik kertas kepada tukang becak yang aku tumpangi. Ia mengangguk, mulai mengais sepedanya, sekaligus membawaku mengelilingi kota Surabaya, melewati patung buaya dan hiu yang ada di tengah kota.
Aku tidak sabar untuk mencicipi kue ini, juga es krim Zangrandi yang paling terkenal disini.
Pada sebuah simpangan, tukang becak yang mengais sepeda bilang kepadaku bahwa aku sudah ia antar masuk ke dalam perumahan, jadi ia bertanya, rumah mana tepatnya yang akan aku kunjungi.
Aku diam. Karna aku sama sekali tidak tau rumah Kak Rendra yang mana, warnanya apa, atau terletak di sudut mana.
“Enggak papa, Pak. Saya turun disini aja.”
Setelah membayar dan turun, aku menyusuri seluruh jalan perumahan. Berjalan kaki dibawah teriknya matahari kemudian menemukan satu wanita paruh baya sedang membersihkan halamannya.
“Permisi, Ibu..” Ia mendongak.
“Oiyo.. ono opo, cah ayu?” Aku terkikik kecil, sedikit paham.
“Rumah Mas Narendra disini, Bu?”
“Oh.. sing aktivis kui, yo? Kui lo, omah e, sing pager ireng.” Wanita paruh baya itu menunjuk lurus kebelakang punggungku.
Iya, itu pasti rumah kak Rendra, mobilnya masih sama seperti yang orang tuanya bawa dulu ketika ke Jakarta.
“Orang-orang tau ya, Bu, kalau Mas Rendra itu aktivis?”
“Yoiyo. Tapi meneng-o, mbak. Nek enek sing takon, opo meneh aparat. Wis, rasah dijawab. Soal e aku yakin, Mas Rendra iki mesti membela negara. Sedang berjuang.” Aku tersenyum lebar.
“Mba e sopo ne Mas Rendra?”
“Pacarnya, Bu. Dari Jakarta.”
“Woalah, tapi ngerti ya tadi saya bicara apa?”
Aku terkikik kecil. “Mengerti, Ibu.”
“Ayu tenan pacar e Mas Rendra. Kalau belum dengan Mas Rendra, saya jodohkan dengan anak bungsu saya.” Aku terbahak.
“Kalau gitu, saya duluan ya, Bu?”
“Iya-iya. Hati-hati, Mba.”
Aku melangkah menjauh. Meninggalkan wanita paruh baya tersebut dengan senyum rekah yang menghiasi wajah. Mas Rendra sedang membela negara. Kalimat itu tertancap sangat kencang dalam sanubariku, sampai-sampai ingin membuatku menangis tersedu.
Ketika sampai, tepat didepan daun pintu rumahnya yang tertutup rapat dan hening tanpa ada suara didalamnya, aku mengetuk.
Berkali-kali, namun tidak ada jawaban.
Apa sedang tidak ada orang di rumah?
Ada banyak rasa kecewa mengerubungi tubuhku, apa harus aku kunjungi kos temannya yang satu kali pernah ia katakan ada di Jalan Mulyosari Utara?
Tiba-tiba, decit pintu membuatku cepat menoleh, seseorang mengintip dibalik daun pintu.
Manik matanya yang tidak asing, Kak Rendra.
Ketika mengetahui eksistensiku, cepat ia tarik aku masuk ke dalam. Ia cengkram kuat bahuku, kemudian menjamahi setiap sudut wajahku, tubuhku dengan matanya.
“Kak?”
“Kamu gak-papa? Kamu kenapa ada di Surabaya?” Nafasnya tersenggal. Ia kemudian mengunci pintu dan mendudukkanku di sofa.
Kini matanya jadi teduh ketika melihatku, ia buang nafasnya pelan, kemudian menarikku kedalam dekap hangat tubuhnya. Kuat, kuat sekali.
“Selamat ulang tahun, Kak Rendra.” Setelah melepas peluk, aku serahkan kue tart yang aku bawa. Aku sudah tidak tau bentuknya seperti apa, mungkin sudah hancur dan tidak lagi berbentuk kue seperti yang aku beli.
“Kamu jauh-jauh dari Jakarta cuma buat ulang tahunku?” Aku mengangguk. Ia tersenyum. Cerah. Kemudian ia tarik kembali aku kedalam peluknya.
“Aku rindu kamu, Kak. Jarak waktu ketika pertama kali kita ketemu di Surakarta, kemudian ketika kamu akhirnya pertama kali main ke Jakarta dan sampai saat ini, lama sekali, Kak.”
“Aku tau, maafin aku.”
Setelahnya, dia potongkan satu kue tartnya (yang untungnya masih berbentuk bagus) untuk ia suap masuk ke dalam mulutku. Krimnya enak, enak sekali.
Kami habiskan waktu kami berdua di ruang keluarga dengan menyantap kue yang aku bawa.
“Yang lain kemana, kak?” Aku mendelisik, melihat kekanan dan kekiri. Berusaha mencari eksistensi orang tuanya, namun nihil.
Kak Rendra kemudian meletakkan sendoknya, membuang nafas kecil, kemudian menangkup wajahku dengan telapak tangannya.
“Dik, aku buron sudah 2 bulan ini. Itu mangkanya aku belum bisa mengirimimu surat.” Mataku membulat hebat.
“Jantungku hampir loncat ketika mendengar suara ketukan di pintu. Ayah dan Ibu aku asingkan sementara ke Semarang, di tempat eyang. Kos temanku yang sempat aku ceritakan sudah di grebek, begitu juga markas yang lain. Waktu kamu hari ini salah, Dik, untuk datang ke Surabaya dan menemuiku.”
Aku berkaca-kaca. Kemudian kembali terngiang perihal perkataan wanita paruh baya tadi. Mas Rendra sedang membela negara.
Menjadi aktivis seperti Kak Rendra di tahun penuh gejolak ini adalah memang berat. Namun aku yakin, tekatnya untuk membela masyarakat yang ditindas negara tidak akan luntur. Ia selalu menjunjung tinggi keadilan, bahkan sekecil coklat yang aku beri untuknya, ketika pertama kali sebuah insiden yang mengantar kami menuju hubungan lebih. Tahun 1995, di Surakarta.
Ketika itu, aku tidak segaja tersandung dan menumpahkan jajanan yang aku beli kepada pejalan kaki di alun-alun Selatan Surakarta. Kak Rendra.
Selain akhirnya menjadi tontonan pengunjung lain, aku harus menanggung malu lainnya.
“Maaf ya, Mas.” Kataku.
“Iya, Mba.” Dirinya membersihkan pakaiannya dengan tisu basah yang selalu aku bawa kemana-mana di dalam tasku. Di kursi Panjang, aku duduk menciptakan jarak di sebelahnya, sambil memegangi bungkus tisu basah agar supaya gampang ia ambil.
Aku tau dirinya kesal. Jadi pada akhirnya, sebuah coklat yang aku simpan di dalam tasku dengan agak berat hati aku sodorkan kepadanya.
Alisnya mengkerut tajam.
“Permintaan maaf saya, Mas. Maaf ya, Mas, sekali lagi.” Dirinya malah terkekeh.
Kak Rendra sewaktu itu mengambil coklat yang aku sodorkan, kemudian mematahkannya menjadi dua bagian, mengembalikan setengahnya kepadaku. “Buat Mba-nya.” Katanya.
“Gak usah, Mas. Buat Mas aja semua. Gak papa.” Ia menggeleng, malah menarik tanganku dengan tangannya, memaksaku menerima kembali barang yang telah aku beri.
“Biar adil.” Begitu katanya.
Malam itu, tahun 1995 di alun-alun Selatan Surakarta, obrolan kami malah menuju saling menukar informasi pribadi.
Soal, apa yang sedang aku dan dirinya lakukan di Surakarta sedangkan ia adalah orang Surabaya dan aku sendiri orang Jakarta. Katanya, ia mengunjungi eyangnya yang ada di Semarang, namun mampir sebentar ke Surakarta. Aku sendiri, memang sedang berlibur untuk merayakan libur panjangku sehabis tiga tahun masa putih abu-abu.
Atau lagi, perihal tukar pikiran berat soal pemberontakan Kwangju pada tahun 1980 di Korea Selatan yang saat itu tidak mampu melahirkan negara demokrasi sedangkan People's Power Manila mampu melengserkan Presiden Marcos dan membuat banyak negara cemburu dan iri, tidak terkecuali negara yang kami pijaki. Soal, bagaimana bisa kekuatan manusia mampu mengguncang negaranya serta melahirkan keadilan dan kemakmuran yang menentramkan.
Sebuah obrolan berat untuk dibicarakan padahal itu adalah kali pertama kami bertemu. Aku sendiri tidak menyangka, kalau ilmu sejarahku yang pas-pas-an ini ternyata bisa menyambung dengan ilmu bacaan yang Kak Rendra punya ketika itu.
“Saya.. boleh tau alamatnya, tidak? Manatau, kepingin mengirim surat.” Aku tersenyum hebat. Jantungku rasanya berdetak tidak karuan.
Saat itu, akhirnya kami bertukar alamat. Dan setahun setelahnya, kira-kira bulan Agustus 1996, dirinya mengunjungiku ke Jakarta. membawa keluarganya singgah menuju kediamanku. Dan hari itu, adalah kali pertama Kak Rendra mengatakan kalimat paling magis yang benar-benar menyihirku.
“Kita.. terlalu sering mengirim surat hanya untuk status yang kurang jelas.” Cicitnya. Angin sepoi-sepoi dibelakang rumahku kala itu menabrak surai kelamnya, berantakan dan bahkan menusuk matanya. “Kita.. pacaran saja, gimana?”
Aku tersenyum kecil. Belum menjawab.
“Aku gak bisa selalu janji bakal main ke Jakarta terus buat ngeliat kamu, tapi kamu bisa pegang percaya kamu untukku. Ya?”
“Iya.”
Aku ingat rasanya. Bagaimana ranum bibirnya mengecup cepat milikku. Ketika itu, seharusnya waktu berhenti berdetak barang sekejap.
Kini manusia penuh rasa cinta itu akhirnya kembali ada di depan mataku setelah perjalanan hubungan jarak jauh yang cukup lama. Aku merindukannya, sangat-sangat merindukannya. Kini jemarinya mengelus pipiku, pupilnya tenggelam didalam pupilku, serta senyum kecil di sudut bibirnya.
Narendra-ku.
“Aku.. boleh cium?” Aku terkikik kecil. Mengangguk.
Tidak lama, akhirnya mulutku tertutup, ditutup oleh miliknya. Leguhan nafasnya dapat aku dengar pelan, serta nafas hangat yang menampar pori wajahku. Ia disana, melumat dan bermain.
Senyum merekah di sudut bibirnya ketika ia tarik ciuman singkat tadi, kemudian berganti menuju sudut mataku, ia kecup.
Aku menelusuri seluruh sudut rumah Kak Rendra. Sederhana dan nyaman. Ketika memasuki kamarnya, aku temukan banyak buku disana. Satu nakas di sebelah kasurnya, dan pemutar piringan hitam. Aku terkagum.
“Ini.. bisa di putar?” Tanyaku. Menoleh padanya yang sibuk merapikan buku-bukunya yang berantakan tidak tersusun. Kak Rendra menoleh, menatap telunjukku yang menunjuk pemutar piringan hitam yang ada di atas nakasnya. Ia tersenyum.
“Bisa.. mau?”
“Mau.” Kataku.
Ia kemudian menarik satu laci nakasnya, mengeluarkan beberapa piringan hitam disana dan menyuruhku memilih. Ada Bob Tutupoly yang aku tidak terlalu paham lagu miliknya yang mana, ada lagi Benyamin Sueb, kemudian satu yang aku baca, milik Koes Plus.
“Mau denger yang mana?”
“Terserah kamu aja, Kak.”
“Lagu lagunya Koes Plus, tau gak?”
“Yang mana?”
“Andaikan Kau datang kembali?”
“TAU TAU!” Balasku teriak kegirangan.
“Stt..” Kak Rendra menempatkan telunjuknya didepan bibir. Aku langsung menekuk bibirku.
“Suaranya pelan aja, boleh, ya?” Aku mengangguk. Tidak lama, alunan melodi dari sana mulai memenuhi ruangan.
Aku kemudian bangkit, mendelisik pada rak buku dikamarnya. Banyak. Kemudian aku temukan satu majalah tahun 70-an, dan menemukan ada bagian yang terpotong.
“Kok.. bolong?”
“Oh.. itu puisinya WS. Rendra yang sewaktu dulu adanya cuma di majalah keluaran kaya gini. Jadinya aku potong dan aku tempel di buku jurnalku.”
“Kamu cari majalah keluaran tahun 70-an kaya gini dimana, Kak?”
“Toko barang bekas.” Ia tertawa kecil.
Aku kemudian duduk di pinggir tempat tidurnya, ia ikut duduk disana, menyusulku. Kepalaku masih mendongak, mengawangkan pikiran soal betapa penuh kejutan laki-laki disebelahku ini. Buku, musik, puisi dan sajak jadi bagian dari tumbuhnya.
Aku kemudian menoleh, mendapati ia yang sudah menatapku lebih dulu.
“Kakak.. kamu gak takut?” Cicitku pelan.
Ia menggeleng.
“Bahkan sampe kamu jadi buron gini, kak?”
Ia tersenyum kecil.
“Dik..” Serunya. “Tujuanku bukan yang aneh-aneh. Tujuanku adalah untuk kembali menegakkan keadilan di negara ini. Tujuanku adalah untuk membela yang tertindas. Diskusi dan bacaanku bukan tentang idealisme komunis seperti apa yang rezim rezim itu pikirkan, tidak, Dik. Aku tidak takut untuk negaraku, tidak.” Air mataku memupuk. Sekali lagi, perkataan wanita paruh baya tadi kembali terngiang, Mas Rendra, sedang membela negara.
Aku peluk tubuhnya. Pahlawan, mungkin bukan mereka yang memegang senjata ataulah bambu runcing. Kekasihku ini, yang hanya bermodalkan kemeja di tubuhnya, serta landasan sastra pada pemikirannya yang ia gunakan sebagai senjata, saat ini sedang berjuang.
Malam hari pukul 7, aku pamit.
Lama ia dekap tubuhku yang kecil ini. Lama ia simpan wajahnya di dalam ceruk leherku. Lama.
Awalnya aku menolak untuk diantar menuju Terminal Bus mengingat statusnya adalah buron. Ia berdalih bahwa ia bisa menggunakan jaket dan topi untuk menutup seluruh wajahnya.
“Enggak, Kak.”
“Aku antar!” Aku sedikit terkejut dengan nada suaranya. Ia yang memunggungiku kemudian berbalik pelan, menangkup pipiku kemudian menjelaskan. “Setelah ini, kalau aku belum membalas suratmu, tandanya aku masih dalam pantauan, ya? Kalau selama berbulan-bulan aku belum juga membalas surat kamu, aku mohon supaya kamu jangan datang ke Surabaya, situasi belum aman. Aku gak mau kamu kenapa-napa. Ya?” Aku mengangguk paham. Pada akhirnya, ia mengantarku sampai ke terminal bus.
Ia bisikkan dengan lembut kalimat : “Akan aku kirim kamu surat secepatnya, aku mencintaimu.” Kemudian menyuruhku naik. Aku bilang, ia boleh pulang setelah aku naik, tapi dirinya malah ngotot akan menungguiku sampai Busku meninggalkan terminal untuk kembali ke Jakarta.
Padahal, itu sangat berisiko.
Lambaian kecil aku terima ketika Bus akhirnya berjalan dan meninggalkan Surabaya. Entah kapan akan aku jumpai kembali sosoknya.
-
Jakarta, 1 Juli 1997
Kak Rendra! Bagaimana kabarmu hari ini? Aku harap kamu baik-baik saja, ya.
Tadi aku sempat ke toko buku, menemukan buku kumpulan penyair kesukaanmu, WS. Rendra. Aku baru saja menyadari bahwa ternyata nama kalian sama.
Sajak dan Puisinya bagus, Kak. Aku harap aku bisa menonton ia membaca syairnya langsung. Bagaimana kalau kita agendakan? Nanti, kalau semisal ada informasi perihal WS. Rendra, akan aku paksa kamu datang ke Jakarta.
Kak, kalau masih belum kamu kirimkan surat balasan, itu tandanya aku masih khawatir. Semoga kamu disana selalu baik, ya.
-
Jakarta, 25 September 1997.
Kak, masih belum aku terima surat darimu. Kamu baik-baik saja di Surabaya, kan? Aku harap rezim-rezim itu tidak berlaku keji sampai harus menangkapmu. Karena belakangan, beberapa aktivis di kampusku tiba-tiba saja hilang tanpa jejak, kak. Semakin hari, semakin banyak demonstrasi dan rusuh dimana-mana.
Kemarin, temanku bercerita kalau kakaknya yang salah satu aktivis mahasiswa hilang begitu saja, Kak. Tatap matanya selalu penuh harap. Menanti keajaiban akan kembalinya kakak sulungnya itu. Tapi kata Ayah, tidak ada yang perlu di harapkan. Mungkin, kakaknya hanya tinggal nama di tempat antah berantah.
Kak Rendra, aku masih menanti suratmu. Semoga Surabaya selalu tenang. Semoga, kamu selalu baik-baik saja.
-
Jakarta, 23 Desember 1997.
Kak Rendra, masih belum aku terima suratmu.
Kamu disana baik-baik aja, kan?
Kak, tolong.. tolong berikan sedikitnya kabar. Entah apapun itu.
Pikiranku mulai takut dan khawatir, kak.
-
Semarang, 13 Maret 1998.
Nak, ini Ibu. Ibu harap, surat ini sampai kepadamu dan alamatmu di Jakarta masih yang dulu.
Nak, Rendra sudah pulang.
Kita, coba ikhlas bersama, ya?
Bulan Agustus, ketika Ibu kembali dari Semarang, rumah yang di Surabaya sudah terbobol. Seluruh bagian rumah berantakan.
Narendra tertangkap.
Semenjak itu, Ibu sendiri tidak tau Rendra ada dimana. Ibu selalu berharap, kalau ia tiba-tiba muncul dari balik pintu, kemudian kami akan berpeluk bersama. Ibu berharap, Rendra pulang menuju rumah.
Tubuhnya kemudian ditemukan terdampar di pantai Glagah, Kulon Progo, Yogyakarta. Senja menuju malam.
Nak, Keikhlasan memang bukan suatu hal yang mudah untuk diterapkan. Ibu hancur, disini semua hancur. Dan ibu yakin, ketika kamu membaca surat ini, kamu sama hancurnya dengan kami.
Tapi, Nak. Narendra putra kesayangan Ibu itu, kini di rengkuh langit dalam keadaan sedang berjuang membela negaranya. Ia menang, kini ia sedang bersorak girang bersama teman seperjuangannya. Mungkin, ia belum sampai di titik pasti sebuah kemenangan. Tapi, Ibu selalu bangga.
Nak, Narendra selalu menyempatkan diri berkisah soalmu. Katanya, ia selalu tenggelam dalam gelap bola matamu. Katanya, rambutmu wangi, katanya lagi, pipimu yang sedikit gembul itu sehalus sutra. Ketika bercerita, ia seperti seseorang yang sedang mabuk dan lupa waktu. Kini, Ibu merasa kosong. Karna sudah tidak ada lagi celotehan Narendra perihal kamu.
Bumi Surabaya hari ini memeluk kekasihmu, Nak. Datanglah nanti, ketika keadaan sudah mulai membaik. Narendra pasti merindukanmu.
-
Surabaya, 30 Juni 1997.
Aku tidak tau, apakah kamu yang akhirnya membaca surat ini, atau orang rumah yang menemukannya lebih dulu dan akhirnya membacanya. Intinya, aku belum bisa mengirim surat ini menuju Jakarta. Kalaupun nanti sudah terkirim, aku tidak tau tanggal berapa akhirnya kamu menerimanya, tapi aku harap semoga ketika sampai ketanganmu, aku baik-baik saja dan keadaan juga mulai membaik.
Aku takut, Dik, jujur saja.
Teman-temanku mulai menghilang satu per-satu. Setiap malam, tidurku tidak pernah nyenyak, takut-takut kalau para rezim itu menemukanku disini, dirumahku sendiri. dimana harusnya ini jadi tempat pulang, tempat paling aman dari kejamnya dunia luar.
Setelah ini, mungkin aku harus pergi ke Yogyakarta, ada rencana yang sebelumnya telah kami susun di pantai Glagah di kabupaten Kulon Progo sana. Maaf, mungkin ketika aku pergi kesana nanti, kamu tidak tau kalau aku ada disana. Mungkin lagi, ketika rencana kami itu berhasil, sesaat aku pulang kembali ke Surabaya, telah aku terima bertumpuk surat dari Jakarta, darimu.
Aku mulai membayangkan, kalau nanti keadaan sudah membaik, akan aku ajak kamu main ke pantai Glagah. Kita duduk di bebatuannya, kemudian bernyanyi bersama. aku bukan yang mahir bermain gitar, tapi akan aku bawa untuk mengiringi suaramu nanti. Akan aku bawa juga puisiku, yang sudah aku tulis untukmu tapi belum berani aku syairkan.
Kemudian kita akan berlari, membiarkan bagaimana debur ombaknya membasahi baju kita. Kamu akan aku peluk, sekuat tenaga, kalau bisa sampai aku dan kamu jadi satu.
Sore hari, ketika matahari hampir tergelincir, kamu akan mencari sosokku. Membiarkan angin memeluk tubuhmu yang kecil itu. Ketika itu, aku akan muncul dari punggungmu, kamu menoleh dan menemukanku melambai dari bibir pantai sisi yang berlawanan darimu.
Tapi, kalau semisal rencana itu tidak berjalan dengan baik, dan ternyata aku tidak lagi mampu merengkuh tubuhmu. Percayalah, ketika angin memelukmu, itu adalah bentuk tidak nyata rinduku untukmu, itu aku. Itu Narendra Aditama yang jatuh dalam sumur tanpa ujung kasihmu, yang tersesat di bola matamu, yang mengalunkan puisi dan syair hanya kepadamu. Itu aku.
Aku yang merengkuhmu dalam sendu, itu aku yang pulang kepadamu.
Narendra Aditama.
-
Pantai Glagah, Kulon Progo, Yogyakarta. Juni 1998.
Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan. Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku. Aku merindukan wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa. Kampus telah diserbu mobil berlapis baja. Kata-kata telah dilawan dengan senjata. Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini. Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat. Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan
Suatu malam aku mandi di lautan. Sepi menjadi kaca. Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit. Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada. Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ? Udara penuh rasa curiga. Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat. Suara lautan adalah suara kesepian. Dan lalu muncul wajahmu.
(WS. Rendra. Pejambon, Jakarta, 28 April 1978)
-
Narendra, 1998.
Aku terima suratmu dari Surabaya, Kak. Ketika aku terima, kita sudah berada di Bulan Juni tahun 1998, empat bulan setelah kematianmu. Tubuhmu di terjang ombak dan dipeluk pasirnya ketika itu kata Ibu.
Narendra, kamu menang.
Kini, kita sudah menyapa reformasi.
Harusnya kamu ada disini, meloncat dan berteriak girang karena akhirnya perjuanganmu tidak jadi sia-sia. Seharusnya kita beradu argumen soal idealisme baru tanpa harus bersembunyi dan memperbaiki markas. Seharusnya kamu ada disini, menyairkan sajak atau puisi.
Aku tidak bisa membayangkan apa yang telah kamu lalui. Tapi aku, ketika itu, selalu mengharapkan balasan suratmu. Hanya untuk menantikan bahwa kamu baik-baik saja. Namun ternyata, darahmu harus tumpah ketika membela negara ini.
Kemudian aku selalu merasa iri, ketika bumi dengan leluasa memeluk tubuhmu, sedang aku tidak lagi mampu. Yang dapat aku lakukan hanya menebar kelopak bunga, untuk memberikan wangi pada peluknya, pada kamu.
Narendra, angin pantai hari ini benar-benar mengingatkanku tentang bagaimana hangatnya deru nafasmu menyapu wajahku, tentang bagaimana kita kala itu, menghabiskan waktu, membunuh sendu. Aku mulai merindukanmu.
Tentang bayangan imajinasi soal, apakah ini kamu yang sedang pulang menujuku? Apakah ini kamu yang sedang merengkuhku didalam sendumu yang tidak lagi mampu mengapit jemariku? Apakah ini kamu, Narendra Aditama? Yang tidak lagi mampu mengukung rindu?
Narendra, terimakasih sudah ada. Terimakasih ketika itu kamu memijak di Surakarta. Aku terbangkan cinta dan kerinduanku pada langit sana. Semoga kamu selalu tau, bahwa aku selalu bersyukur, bertemu pejuang sepertimu, dicintai olehmu.
Kita perjuangankan lagi ya, perihal cinta kita di tempat dan waktu yang lain. Aku mencintaimu, Kak Rendra.
Yogyakarta, 1998.
-
Jakarta, 10 Mei 2000.
Kak Rendra, aku hari ini telah kembali dicintai.
Kisah kita, hari ini aku lepas, ya? Aku tutup. Aku mencintaimu, Kak. Akan aku ceritakan bagaiman akhirnya jas putih itu melekat di tubuhku, bagaimana akhirnya aku mampu untuk menyembuhkan setelah perjalanan pembelajaran yang panjang 4 tahunku, dan bagaimana akhirnya aku mampu untuk bangkit, mengikhlaskan. Nanti, ya, kak. Semuanya, nanti.
—fin.