Nadit mengikat apron yang bertuliskan ‘Geoffrey’s’ di atas dadanya, di ikuti Somi yang juga dengan semangat mengikat tali apron di pinggangnya.

“Kamu serahin aja semua sama aku, you don’t have to worry, i’m an expert.” Somi mengerlingkan matanya, menggulung rambutnya kemudian dengan semangat membawa daftar menu dan keluar dari dapur, Nadit terkekeh geli.

Dirinya pun ikut bersemangat mengambil beberapa menu dan keluar dari dapur, memberikan setiap meja menu, kemudian dengan langkah cepat beralih ke meja lainnya dan mengeluarkan notes kecil yang ia simpan di kantong apronnya.

Ketika catatan menu sudah siap di lembar kertas, dengan cepat ia pergi ke dapur dan menggantungkan tiap menu, kemudian dengan bersemangat lagi membawa pesanan yang sudah siap disajikan.

Somi? jangan tanya, dia bahkan dua kali lebih bersemangat dari Nadit.

Dari pukul 10 pagi, sampai dimana jam menunjukan pukul 4 sore hari, disitu akhirnya kedua gadis itu berhenti.

Dengan kemeja putih dan rok pendek hitam, keduanya selesai dan melepas apronnya, mengambil tempat duduk paling pinggir di luar, supaya bisa melihat matahari tenggelam dengan sangat jelas. 1 jam lagi.

Somi dan Nadit melepas ikatan rambutnya, tepat diseberang Nadit, Somi mengeluarkan amplop putih hasil kerja kerasnya hari ini, menghitungnya dengan semangat.

“Oke..” Sahutnya. “Yours..” Kemudian menggeser berlembar uang tadi kehadapan Nadit.

What? No! Yours.”

No. No. Yours, Nadit.”

“Som, Yours!”

Yours!!”

YOURS!!” Keduanya terdiam, ketika berpasang mata menatap mereka.

“Nadit..”

“Som, rambut kamu jadi lepek. Jadi mending duitnya kamu pake buat beli shampoo di supermarket.”

What?!” Alis Somi berkerut. “Take this or you’ll never be my best of the best friend in the world. And you’ll never find someone just like me!” Somi menguatkan rahangnya.

No.” Kini tangan keduanya saling menimpa lembaran uang tersebut.

Hey! Kalau gak mau duitnya sini mending buat aku aja.”

Shut up, Jenkins!” Nadit mengeluarkan jari tengahnya kepada seorang lelaki di seberang sana, seorang koki yang Nadit kenal betul, sesekali ikut berkeliling jadi pelayan.

Take it.” Cicit Somi. “Anggap aja, hasil kerja keras kamu dua kali lipat hari ini, okay?”

“Som..”

Seriously. Take it, Nadit.” Mata Somi jatuh pada pupil Nadit.

Dirinya membuang nafas, kemudian mengalihkan pandangannya dari sosok sahabatnya itu. “You dumb fucking bitch, Som.”

I am.” Somi mengangkat bahunya.

Fuck you.” Tangan Nadit kemudian memasukan lembaran uang tadi kedalam kantong roknya.

I love you too.” Balas Somi memiringkan kepalanya dan tersenyum lebar.

“Aku laper banget, kita harus pesan makan.” Jelas Somi, mendongak kemudian mengangkat tangannya tinggi.

“Jenkins! Menu please.” Somi memetik jarinya ke udara, mengundang tawa dari Nadit dan wajah bingung Jenkins.

Jenkins diujung sana sekali lagi memastikan kalau memang dirinya dipanggil dengan cara menunjuk dirinya sendiri dan membuat gestur di bibir. “Me?”

Somi mengangguk. “Yes! Menu please.” Jenkins memutar bola matanya malas, tapi tetap mengambil lembar menu dan mengantarnya ke meja Somi dan Nadit.

Excuse me, can i get the list of the menu, please?” Ketika Jenkins sampai di meja, seorang lain ikut memanggil Jenkins.

Nadit menoleh kebelakang, ketika suaranya berasal dari punggungnya.

Matanya sedikit bergetar, terdiam cukup lama sampai akhirnya bersuara.

“Kim?” Sahutnya, membuat orang diujung sana mengernyitkan alisnya.

“Nadit?”

Keduanya membeku, bingung.

‘Shit. what the hell on earth is going on right now?’ Nadit, membatin.