She talks a lot.
Kata Nadit, teman perempuannya namanya Somi. Dan kataku, temanku ini namanya Joshua, sekalian aku perkenalkan kepada mereka.
Joshua sendiri adalah teman Minghao yang mengambil andil besar soal kepindahanku ke Malibu. Lahir di Los Angeles, menghabiskan hidupnya mengunjungi Malibu hanya dengan hitungan jam. He’s mixed and he talks Indonesia very well, like a native.
It’s kinda weird, sebenarnya, duduk bersama anak belasan tahun, padahal umurku dan Joshua hampir menginjak 30.
“Almost.” Jelas Joshua, memberikan klarifikasi bahwa dirinya belum sepenuhnya berkepala 3.
“And you?” Somi, menunjukku.
“Almost.” Kataku, ikut kata Joshua dan mengangkat bahu. “How about both of you?” Aku balas bertanya.
“Eighteen.” Nadit dan Somi secara serempak bersuara. Kemudian saling tatap dan saling ‘toss’ di udara. “uuuu, that was perfect.” Sahut mereka. aku terkekeh kecil.
“Kalian emang beneran kerja disini?”
“Aku aja, dia enggak.” Jawab Nadit.
“Tapi, memangnya udah legal?” Keduanya saling tatap.
“Hm.. ya.. boleh boleh aja gak sih?” Aku dan Joshua membuang nafas pelan, tidak ingin terlibat lebih jauh perihal urusan pekerjaan paruh waktu ini.
Tadi, ketika Nadit menyadari eksistensiku, secara gamblang ia malah menarik kursi ke sebelahku. “Can I?” Tanyanya, dan aku balas dengan anggukan.
“Ajak temen kamu juga, Nadit.” Ia diam sejenak, mengangkat alisnya. “*Is it okay * kalau kita.. gabung?” Ia menatapku dan Joshua secara bergantian. Dan dengan senyum lebar, Joshua yang mengangguk mantap.
“Of course, why not?” Balas Joshua. Begitu kemudian tercipta banyak obrolan antara aku, Nadit, Somi dan Joshua.
Sepanjang perbincangan, rasanya aku bukan seperti berbincang dengan anak belasan tahun, rasanya lebih dari itu.
Aku ingat, malam hari ketika pertama kali aku bertemu sosok Nadit. Dengan tutur katanya, aku pikir dia lebih dewasa dari umurnya. Mengingat dirinya hampir mengakhiri hidupnya berminggu yang lalu di pinggir pantai.
Dengan itu pun, aku sedikit berspekulasi, bahwa mungkin, dirinya di dewasakan oleh keadaan yang entah apa itu. Aku juga suka cara ia masuk ke dalam obrolan, masuk kedalam suasana dan seakan akan dirinya dan Joshua sudah berteman lama.
“Kim?” Panggilnya.
“Ya?”
“Kok kamu bengong?” Aku kemudian membenarkan posisi dudukku.
“The sunset..” Alibiku. “Quite pretty, right?” Namun ternyata, alibiku barusan mengalihkan pandangan ketiga orang ini, karna berpasang mata mereka, mulai beralih ke ufuk barat sana.
Matahari, mulai tenggelam.
Joshua tidak bohong soal ‘view’ di sini. Karna tepat di pupil mataku, matahari secara sempurna tenggelam diujung sana.
“Wow.” Gumamku. “So this is what you all see every single day?”
“Wait? Emang kamu gak pernah?”
Pertanyaan Somi barusan mengundang tawa dari Joshua. “He just moved, Somi.”
“From?” Kali ini Nadit yang bertanya.
“Indonesia.”
“Bali?” Somi membulatkan matanya bertanya.
“No, aku dari Indonesia tapi bukan dari Bali. Aku dari Jakarta.”
“Tapi pernah ke Bali?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Somi. “Sumpah Bali itu masuk ke list tempat yang pengen banget aku kunjungin.”
“Oh ya?” Aku lagi lagi membenarkan posisi dudukku, kali ini menopang dagu dan fokus kepada Somi.
“Iya, banyak orang yang bilang kalau liburan pokoknya harus ke Bali. Jadinya aku penasaran dan masukin Bali jadi tempat destinasi yang harus aku datangin.” Jelasnya bersemangat.
“You should. Indeed.” Kataku.
“Kamu emang pindah ke Malibu kenapa, Kim?” Kali ini Nadit bersuara. Aku menyunggingkan senyum kecil, tidak perlu menjelaskan lebih.
“You know the answer, anyway.” Aku yakin, dirinya masih ingat pembahasan berminggu yang lalu. Soal keadaanku yang sangat tidak memungkinkan untuk meneruskan hidup di tanah kelahiranku sana. Perihal pahit yang tidak mampu aku telan dan memilih lari meninggalkan segalanya.
“Yes. I know, then.” Cicitnya pelan, kemudian tersenyum.
-
Malam hari, sebelum aku meninggalkan Geoffrey’s, Nadit di sana, ikut mengantarku ke parkiran.
“Kim?”
“Yup?”
“Do you have..hmm” Ia menggantungkan kalimatnya, memijit jemari. “..some..time?”
“Now?”
“Ada toko es krim dideket sini, I mean—“
“Aku harus anter temenku balik ke Los Angeles, Nadit.”
“Wow, it quite far.” Ia mengusap tekuknya, tertawa canggung.
“1 jam, lebih dan kurang.”
“Yup. 1 jam, lebih dan kurang.” Ia mengulang kalimatku.
“Sorry, Nadit.”
“It’s okay, Kim.”
“Aku pergi dulu ya kalau gitu?” Ketika tubuhku hampir sepenuhnya berbalik, dirinya lagi lagi memanggil.
“Kim?”
“Ya?”
“My number.” Ia selipkan robekan kertas kecil di jemari tanganku. “Text me if you have time, or if you’re not in a relationship.” Ia mengangkat bahunya.
“O-oke.” Kataku, menunduk menatap robekan kecil serta beberapa angka yang tertulis disana.
“Safe drive, Kim. Semoga kita bisa ketemu lagi.” Aku tersenyum kecil.
“Isn’t it weird for you, Nadit?”
“Weird?” Alisnya sebelah menungkik tajam.
“Terakhir kali, kita mikir kalau kita gak bakal ketemu. Ternyata, ini kali ketiga kita ketemu lagi semenjak kejadian di pinggir pantai malam itu. Iyakan?” Ia mengangguk, memberi validasi.
“Aku harap, semesta gak banyak bercanda. Dan aku harap, semoga kita memang bisa ketemu lagi.” Jelas Nadit lagi.
“Bye, Nadit. It was nice to talk with you, just like that night. Aku pergi dulu.”
Dirinya mengulum senyum. Aku melangkah menuju mobil kemudian, memutar kemudi dan melihat sosoknya hilang dari kaca spion.
“Padahal gue naik commuterline juga bisa, Gyu.” Joshua terbahak.
“Stop nguping omongan orang, Joshua. Gak sopan.” Candaku.
“Dude, are you in love?” Aku menggeleng, memijit pelipis. “Oh, she is in love, with you.”
“She’s eighteen, Josh. Shut up.”
-
Si Mingyu yang bodoh.
Disini aku lagi, didepan Geoffrey’s. Menimbang sesekali menatap kertas kecil di tangan kananku. Haruskah aku masuk untuk sekedar menemuinya?
Namun pada akhirnya, aku melangkah masuk. Mengedarkan pandangan kemana mana, berharap kalau dia memang masih ada disana.
Perkataan Joshua beberapa jam yang lalu mengawang dikepalaku. “Dude, are you in love?”
No, she is eighteen.
Alasan aku ada disini, mungkin untuk menimbang ajakannya soal duduk di toko es krim.
Iya, tidak lebih dan tidak kurang.
“Excuse me.” Aku panggil waiter yang sore tadi sempat melayaniku.
“Yes? Can I help you?”
“Nadit, dia kerja disini, kan?”
“Iya, dia kerja disini, tapi udah ganti Shift, bahkan pas sore tadi.” Jelasnya.
Aku terpaku, kemudian mengangguk pelan. “Oke. Thank you.”
“No problem, Sir.” Si Waiter kemudian berlalu dan sibuk mengembara ke seluruh restoran.
Benar, kalau dia belum ganti shift, tidak mungkin secara terang terangan sore tadi ia dengan santai duduk bersamaku.
Aku masuk ke mobil kemudian, memutar stir keluar dari pekarangan restoran. Sesekali, secara bergantian aku menatap kertas kecil berisi nomor ponsel Nadit, sesekali fokus ke jalanan.
Haruskah aku kerumahnya? Haruskah aku menelfonnya? Haruskah aku mengajaknya?
Tidak.
Jawabannya adalah tidak.
Kim Mingyu, kalau tidak mau terjatuh lebih dalam, maka berhenti adalah jawaban.