Vernon dan Mark duduk dibawah stan es krim kecil di pinggir pantai, memicingkan mata akibat terik matahari untuk melihat satu sahabat perempuannya yang masih terus sibuk dari tadi menoleh ke kanan dan ke kiri. Sesekali, keduanya menjilat es krim dengan cone di tangan masing masing.

“Beneran duda?” Mark menyipitkan matanya, akibat pantulan cahaya matahari.

She said that the man’s wife died. Jadi, Duda, kan?”

She’s crazy.” Kedua manik mata Mark dan Vernon kembali terpaku pada satu perempuan yang sampai sekarang pun masih sibuk berdiri dan mencari diujung sana.

“Pantes.”

“Pantes apa?”

“Lagu nomor 1 di playlistnya ‘Daddy Issues’“ Mark memutar bola matanya malas mendengar pernyataan Vernon barusan.

“Dia gak sadar apa kalau dia masih nenteng tas ransel kaya gitu? Suka sama orang tua?”

Love is blind, dude.” Vernon mengibaskan tangannya didepan wajah.

Blind, it is. Tapi masa sama duda. Umur dia 18 tahun.”

You don’t know how old this man is, Mark. He could be 25? cuma beda..” Vernon menekuk satu persatu jarinya, menghitung. “Tujuh tahun, it’s not a big deal..

And what if, he is 30? She is stupid kalau gitu ceritanya.”

“Hmm..” Vernon lagi lagi menekuk jemarinya, lagi lagi menghitung “Dua belas..” Ia mengangguk, menatap teman perempuannya yang sampai sekarang pun belum putus asa, belum menyerah seakan-akan secercah cahaya akan muncul barang sedetik lagi.

“Gatau deh, terserah dia.” Dari ujung sana, gadis tadi mulai berjalan mendekat.

“Gimana? kelihatan batang hidungnya, gak?” Mark yang lebih dahulu membuka mulut.

Si gadis hanya membanting tubuhnya malas dan membuang nafas. “Nope.

You sure he lives here? in the edge of the beach?

I’m not sure, but that night he said that he lives around here.

“Kalau kamu masih tetep kekeuh, coba ketuk satu satu pintu rumah orang-orang kaya disana..” Mark menunjuk rumah mewah yang berjejer agak jauh dari posisi mereka.

“Bisa jadi. Lets go!

“Hah? Let’s go?

“Iya! Ayo! Kita bagi tiga, biar gak kesorean.”

“Nadit,” Mark menarik tangan si gadis yang dipanggil Nadit tadi. “There is a way..

That is a way, Mark, the only way. Emang cara apalagi yang bisa bikin aku ketemu sama dia?”

“Coba sini aku tanya, setelah kamu ketemu sama dia, terus apa?” Kali ini Nadit diam, mengkerutkan alisnya, berfikir. Iya, Nadit, kalau sudah ketemu, terus apa?

“Dia duda, Nadit.”

And what’s wrong with that? Excuse me?

“Kamu anak sekolah.”

“Terus?”

“Bukannya kamu mikir itu hal yang gak wajar?”

“Oke, fine. Sorry if i bothering both of you. We’ll going home.” Nadit bangkit berlalu, berjalan lebih dahulu meninggalkan dua teman laki-lakinya yang masih terduduk sambil menghabiskan suapan terakhir cone es krim mereka.

“Nadit! Luna gimana?”

“Ambil kerumah.” Keduanya ikut bangkit kemudian berlari menyusul dibelakang pundak sang gadis.