Nadit bersenandung sepanjang perjalanan pulang dari sekolah, ketika sampai di depan rumahku, tiba tiba langkahnya terhenti.

“Kenapa?”

“Aku..” Sahutnya. “Aku jadi panas dingin begini.”

“Kamu kaya mau ketemu sama siapa aja deh, Nadit.” Kataku, kini menarik pergelangan tangannya sampai di depan pintu rumah.

Your mom will yelling after she sees my face.” Nadit memutar bola matanya.

She’ll never eat you is the most important thing.” Kini aku dan dirinya sudah sepenuhnya masuk ke dalam rumah.

MOM! I’M HOME!” Teriakku, tidak lama seorang wanita paruh baya turun dari lantai dua, menghampiriku dan juga Nadit, tentu saja.

My boy…and—“

Hi, Ma’am..”

“Nadit? Kamu enggak lagi anmesia kan?” Katanya, menepuk pipi Nadit ketika sudah benar benar berdiri di depan kami berdua.

“Kok anmesia?”

“Ini bukan rumah kamu..”

Mom..” Aku menghela nafas. “Dia mau nemenin aku buat jadwal suntik.” Telapak tangan Ibuku masih disana, di kedua pipi Nadit kemudian mengangguk pelan.

Okay..” Ibu kemudian beralih berjalan ke dapur. “Do both of you want some pancakes before heading to the hospital?”

You made some pancakes?” Tanyaku, menghampiri Ibu.

Yup. Half for us and half for Mr. Kim.”

What?” Aku mengernyitkan alis ketika melihat senyum rekah di wajah Ibu.

A present.” Katanya sedikit berbisik.

Mom, you are married. Don’t tease him.” Ibu memasukan beberapa potong Pancake kedalam kotak makan.

I am. Gak ada yang bilang kalau Ibu mau nikah lagi, Vernon. Ini cuma hadiah kecil aja.” Dirinya sibuk, mondar-mandir kesana kemari hanya untuk beberapa potong pancake yang akan ia berikan kepada Kim.

“Nadit, you wanna try it?” Nadit yang duduk di sofa ruang tamu (yang langsung menghadap ke dapur) berjalan mendekat, memasukan potongan Pancake di garpu yang sempat Ibuku potong tadi.

How does it taste?” Alis Ibu menungkik tajam, menunggu jawaban dari mulut Nadit.

“Wow..” Nadit mengerjapkan mata. “The bestest in town, i bet.” Sahutnya, kemudian tawa Ibu pecah.

“Mr. Kim will like it.”

“Mom..?” Aku membuang nafasku lagi lagi melihat tingkah Ibu dengan senyum rekah di wajahnya itu.

Beberapa menit ketika kami menikmati Pancake buatan Ibu, suara bell menggema di seluruh rumah, aku berspekulasi bahwa mungkin itu adalah Kim yang sudah datang menjemputku.

Nadit menoleh ke arah pintu.

Wanna open it?”

Me?”

“Yup. Ibu lagi sibuk nyuci piring, aku lagi sibuk makan. Kamu yang lagi gak ngapa ngapain.”

Bell lagi lagi berbunyi.

Can someone open that stupid door, please? I am busy!” Ibuku berteriak.

See? Open it!”

I think I can’t

Why?” Nadit mengangkat tangannya, jemarinya bergetar hebat.

I can’t.”

You can, Nadit. You just have to open that door and say hi. that’s all.”

No, Vernon.”

Lagi lagi bellnya berbunyi.

CAN BOTH OF YOU HELP ME OR I WILL THROW THIS PLATE TO YOUR FACE!” Suara piring mulai saling beradu disana.

HURRY UP!”

“OKAY! OKAY!” Nadit menarik nafasnya. “Open the door and say hi, that’s all, right?”

“Yup. Good luck.”

Kini Nadit berjalan menuju pintu, meninggalkanku yang masih asik memasukan potongan Pancake satu demi satu.

Sampai ketika Nadit berteriak, “VERNON! TUKANG POS!”

-

Aku duduk di kursi penumpang disebelah Kim, sedangkan Nadit duduk di belakang. Sunyi, tidak ada yang bersuara, dan ya, canggung.

Kim datang setelah tukang pos tadi, dan Ibu yang membuka pintu menyambut laki laki yang bahkan masih menggunakan kemeja rapi. Tidak lupa, Pancakes buatannya yang sudah ia siapkan dengan penuh suka cita.

“Kamu..” Aku memulai percakapan. “Baru pulang kerja ya?”

Kim tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan, terbahak kecil kemudian mengangguk. “Yup.”

“Oh..” Lagi lagi hening.

Aku kemudian menoleh ke kursi belakang, menatap Nadit yang memainkan jemarinya. Dirinya kemudian menatapku, seakan berkata, “What?” dan aku memberikan jawaban dengan menggeser kepalaku pelan ke arah Kim, seakan menjawab, “Ask him, Nadit.”

Dengan sebuah gestur telapak tangan yang menengadah, Nadit kini seakan akan membalas, “Ask him what?”

Dan untuk sebuah jawaban tanpa kata yang lagi lagi terjadi di antara kami, aku memutar kedua bola mataku malas, dan membuang nafasku, kali ini seakan bersuara, “Stupid.”

Kini aku memutar tubuh, benar benar lurus menatap jalanan, melipat tangan di depan dada dan mengingat perihal perkataan Nadit sebelum bertemu dengan Kim.

(“Aku harus tanya, apa dia beneran datangin aku ke Geoffrey’s dan rumahku, Vernon.”

Go ahead. You should.”

“Dan soal kenapa dia gak ngehubungin aku.”

“Oke. Lagi?”

“Toko Es Krim?”

Nice.”)

Nyatanya? Nol besar. Keberaniannya tidak sebesar mulutnya.

“Ehem..” Nadit mulai berdeham. Oke, bagus, pelan pelan Nadit, ayo tanyakan. “Kim?” Sambungnya.

Oke, permulaan yang bagus.

“Ya?” Mata Kim menatap Nadit lewat kaca spion tengah.

“Hm, I just wann—“

Ah! Ponsel Kim berdering.

“Sebentar ya.” Katanya, memasang Handsfree ke telinga kemudian mulai berbincang entah soal apa yang bahkan aku tidak bisa pahami.

I’ll be back as soon as possible.” Itu kalimat terakhir yang Kim sampaikan sampai telfonnya terputus.

Sorry, Nadit. What was again?”

Oke, Nadit. Kali ini, bilang apa yang mau kamu bilang dan tanya buat Kim.

“Hm..” Dirinya bergumam. “I just wanna tell you that..”

Yup, ayo.

“Ada coklat di kemeja kamu, Kim.”

APA??

“Oh..” Kim menunduk menatap kemejanya, perlahan-lahan dan secara bergantian sambil menatap jalanan. “God, kayanya ini kopi yang barusan aku minum.”

Kini aku kembali memutar tubuhku ke arah Nadit. Memberi isyarat seakan akan bersumpah serapah, “What the fuck was that, Nadit?”

Dirinya menggeleng, melempar pandangan yang seakan menjawab, “Forget about that, Vernon.”

I don’t know who’s the stupidest here. Aku yang menggunggu kalimat kalimatnya, atau dia yang menyia-nyiakan kesempatan. Yang terpenting, shame on you, Nadit. If I could, i will kick your dumb ass.

-

Nadit merealisasikan soal ajakan yang ingin ia tawarkan kepada Kim? Tidak. Sama sekali tidak.

Kini, mobil milik Kim berhenti tepat di depan halaman rumahnya.

Thank you, Kim. Maaf ya harus ngerepotin.”

“It’s okay, Nadit. Aku sama Vernon balik dulu ya.”

“Hati hati.” Mobil Kim kemudian meninggalkan halaman rumah Nadit.

Sepanjang agenda pada hari ini, Nadit seperti bukan Nadit yang aku kenal, banyak diamnya.

Bagaimana kabar hal-hal yang ingin dia tanyakan kepada Kim? Lagi-lagi Nol besar, sama sekali tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

“Vernon..” Kim bersuara.

“Ya?”

“Kayanya kamu harus ikut ke rumahku dulu sebentar. Soalnya aku ada meeting dan kebetulan rumahku searah sebelum lewat rumah kamu dan searah ke kantor. Gak papa?”

“Kamu mau ngapain memangnya?”

“Kemejaku kotor, harus di ganti. Gimana? Atau kamu mau aku anterin langsung pulang?”

“Gak papa, kamu kayanya buru-buru juga, daripada muter-muter. Aku nanti nunggu di mobil aja, ya?”

“Oke.”

Kemudian diam, entah aku yang tidak pandai menciptakan obrolan atau dia yang memang tidak memiliki hal basa basi untuk di tanyakan.

“Kalian masih SMA?” Dirinya mulai bersuara.

“Yup. Tahun depan kuliah.”

“Kamu mau kuliah ambil jurusan apa, Vernon?“ Pandangan Kim sama sekali tidak beralih dari jalanan.

“Aku? Aku mau ambil Bisnis.”

“Wow.. keren. what kind of bussiness you wanted to manage?”

“Hmm..” Sebenarnya, aku belum berfikir jauh kesana. “Belum tau, sekolah aja dulu. Urusan mau bangun bisnis apa belakangan.” Kataku.

“Kalau Nadit? Dia mau kuliah jurusan apa?” Aku yang tadi menoleh keluar jendela, kini menoleh kepada Kim.

Dirinya berdeham.

“Nadit?”

“Iya.”

“Dia gak mau kuliah.” Jawabku secara gamblang.

“Loh, kenapa?” Kini aku mengernyitkan alisku.

“Aku gak tau, kalau kamu mau tau, tanya aja langsung ke dia, punya nomornya kan?”

Kim terdiam, mungkin paham soal sarkas yang baru saja aku lemparkan.

“I-iya.” Hanya itu yang mampu ia balas, bahkan terpatah-patah.

Beberapa menit, kini mobil sampai di depan rumah Kim. Rahangku, bahkan tidak mampu tertutup ketika menatap bangunan rumahnya.

“Ini.. seriusan rumah kamu?” Kim melepaskan sabuk pengamannya.

“Iya.. Is anything wrong?”

“Kamu beli?”

“Ya iya? Emang kalau gak di beli gimana?” Ia tertawa kecil.

“Kamu kerja apa, Kim?” Kali ini ia terbahak sampai sampai membuang kepalanya kebelakang.

“Yang penting, bukan pekerjaan Ilegal, Vernon.” Dirinya menarik kenop pintu. “Sebentar ya.”

Dari dalam mobil, aku melihat dirinya yang berjalan menuju pintu depan, menekan angka di smartlock dan masuk, membuatku semakin yakin bahwa rumah besar dan mewah ini adalah memang rumahnya.

Dan fakta paling mengejutkan adalah, bahwa benar, Kim memang salah satu pemilik rumah di kawasan elit yang sempat aku, Mark dan Nadit spekulasikan saat awal awal menemani Nadit mencari sosok ini.

Dari sini pun, dapat aku dengar suara ombak yang menderu.