Pukul 3 sore, yang Mingyu dapati adalah 2 orang anak laki laki di depan pintu rumahnya.

“Vernon?”

“Hai.. Kim..” Cicitnya, dan satu temannya yang sempat ada saat tragedi gigitan anak anjing milik Mingyu berminggu-minggu yang lalu.

“Kenapa kalian disini?”

Tidak lama, dua orang perempuan muncul dengan menggenggam snack di tangannya. Nadit, dan seseorang yang dulu juga sempat duduk bersamanya dan Joshua di Geoffrey’s.

“Wow..” Mingyu mengerjapkan mata menatap pemandangan asing dihadapannya ini.

“Kim? Janji kita..” Sahut Vernon membuat Mingyu mengerutkan alisnya.

Janji? Janji apa? Memangnya Mingyu melewatkan sesuatu?

Kemudian Vernon membulatkan matanya dan mengerling. Membuat Mingyu mengeluarkan raut wajah seakan bertanya, “Apa?”

“Kim lupa mungkin, janji soal kita mau belajar di sini, Kim!” Vernon dengan antusias tersenyum dengan lebar.

“O-oh ya..? Oh.. Yup! Janji belajar disini ya, Vernon?”

“Iya! Jadi.. kami boleh masuk, gak?”

Mingyu menatap wajah Nadit yang kebingungan.

Of course, why not?” Dan memberikan jalan pada ke-empatnya untuk masuk ke dalam rumah.

Thank you, Kim.” Somi melambai ke depan wajah Mingyu ketika melaluinya masuk ke dalam.

Tepat ketika pintu tertutup, pandangan ke-empat anak ini mengawang ke seluruh sudut rumah, bahkan rahang mereka tidak mampu tertutup.

God.. Ini rumah apa hotel. Besar banget.” Mark menyahut.

“Kamu bisa liatin pantai terus ya Kim dari dalam sini..” Somi mendekat ke sekat kaca besar yang langsung mengarah ke arah pantai sana.

“I-iya.. gitu..” Mingyu mengusap tekuk, kemudian menarik tangan Vernon menjauh dari teman temannya. “You guys can take a sit everywhere.” Kata Mingyu sebelum menghilang dibalik pintu bersama dengan Vernon.

What. is. that. Vernon?” Mingyu menatapnya tajam sampai sampai membuat Vernon bergidik ngeri.

“O-oke.. First of all, sorry.” Vernon menjelaskan dengan gerak dan gerik dari tangannya.

“Aku janji ini gak gratis dan setelah misi ku selesai, kamu boleh minta apa aja dan bakal aku kabulin.”

Mingyu memasang tampang bingung seakan berkata, “Hah?” ketika mendengar penjelasan Vernon. Dirinya, sama sekali tidak bisa menemukan titik terang dari kejadian ini.

This is about.. Nadit.” Jelasnya.

“Hubungannya sama aku apa?”

She got 20 on her math exam.”

And then..?

“Aku bilang kalau in the next exam dia bakal dapat 100, dia boleh dapet nomor HP kamu dan..” Vernon menggantungkan kalimatnya, menggingit bibir bawah dan ragu ragu untuk bersuara.

“Dan? Dan apa, Vernon?”

“.. have a little date with you at the ice cream shop.”

Whaat?!”

“Yea. Sorry. It makes no sense. Tapi aku gak mau Nadit gak bisa ikut ujian lain gara gara nilainya dibawah 50 terus, Kim. Bisa bisa nilainya juga berpengaruh sama subject lain. And you have no Idea betapa senengnya dia pas aku bilang kalau dia bakal dapat reward itu.”

Mingyu menjambak rambutnya sendiri membelakangi Vernon, lalu mengacak pinggangnya.

“Som! Lihat kulkasnya gede banget!” Samar samar dapat Mingyu dengar suara mereka yang saling bersahut di luar sana.

“Oke.. berapa lama kalian bakal pake rumahku untuk belajar bareng?”

“hm..” Mata Vernon berputar ke atas, dirinya kemudian menekuk jarinya satu persatu, menghitung. “6-7 Minggu, tapi weekend aja selesai Nadit part time.”

Kini, rahang Mingyu yang terjatuh dan tidak mampu berkata-kata.

“Urusanku sama kamu soal suntik menyuntik aja belum selesai, Vernon. Kamu mau nambah urusan baru buat aku?”

“Maaf banget Kim, I swear to God I AM FUCKING SORRY!”

Language!”

Sorry. Sorry.” Vernon terdiam, menatap Mingyu yang mengacak rambutnya asal.

“Ada jaminan gak kalau Nadit bakal dapat nilai 100 in the next exam? Kalau ternyata effort kamu yang sampe segininya tetep bikin dia dapat nilai dibawah 50, gimana?”

Vernon secara mantap menguatkan rahangnya. “I promised you, she will not.”

“Oke, Vernon. You promised me ya. I’ll lend this house buat belajar kelompok kalian selama 6 sampai 7 minggu.” Jelas Mingyu. “Setelah itu, aku gak mau berurusan lagi soal apapun tentang kamu, teman-teman kamu, dan Nadit.”

“Dan Nadit?”

“Yup. Dan Nadit. After the rewards, we are over.

Mereka diam cukup lama saling tatap, Vernon mengernyitkan sedikit alisnya mendengar pernyataan Mingyu barusan.

“Kecuali urusan kamu di rumah sakit, itu perkara lain. Oke?” Sambung Mingyu, kini menawarkan jabatan tangan. “Deal?”

Vernon menarik nafasnya, membuangnya dengan penuh desperasi, menjabat tangan Mingyu. “Deal.”

“Oke. Now go to your friends dan belajar betul-betul ya, Vernon.”

Sebelum Mingyu menarik kenop pintu, Vernon menahannya. “Wait, give me your number first.”

“Loh, bukannya Ibu kamu punya nomor-ku?”

Vernon mengibaskan tangannya di depan wajah. “Dia itu selalu mikir aku anak kecil dan gak pantes berurusan sama orang dewasa. Aku udah pernah coba minta dia buat ngasih aku nomor kamu, tapi ya.. gak dikasih.”

Vernon menjelaskan sambil tertunduk memainkan ponselnya. “Cepetan.”

Mingyu membuang nafas serta bola matanya yang berputar, kemudian memberikan nomor ponselnya kepada Vernon. “Oke. Thank you. I promised i will not touch your stuff, Kim. Count on me.” Vernon hilang dibalik pintu, kini mulai bergabung bersama yang lain.

Mingyu pun ikut melangkah keluar dari ruang kerjanya, tempat dimana perbincangan tadi terjadi. Dan dari jauh, sudut matanya menangkap Nadit yang sedang memegang bingkai foto diujung sana.

“Nadit..” Panggilnya, membuat sang empunya nama menoleh.

“Oh.. Sorry.” Kini ia melepas bingkai tadi dan meletakkannya ke tempat semula.

It’s okay.” Mingyu menyunggingkan senyum kecil.

Is she.. your wife?” Cicit Nadit.

Mingyu mengangguk, masih dengan sunggingan kecil senyumnya, menatap wanita di dalam bingkai tersebut.

She is so pretty. The prettiest girl i’ve ever seen, Kim. Not gonna lie.” Kini pandangan Mingyu beralih pada gadis belasan tahun di samping kanannya yang tersenyum penuh ketulusan menatap wanita di dalam bingkai.

I wish that i can be pretty like her.” Mingyu mengernyitkan dahi, bingung atas pengakuan Nadit.

“Nadit, you are. You shouldn’t wish for anything more. You are enough.”

Ada gejolak kecil di jantung Nadit ketika kalimat itu meluncur dari mulut Mingyu, membuatnya menekuk senyum dan menyembunyikan wajahnya.

Matanya kemudian beralih ke satu bingkai berukuran sedang dengan seorang anak kecil disana. Memakai denim jaket dan alis yang sedikit mengkerut, ada tulisan di sudut gambarnya.

Mingyu, 1997.

“Mingyu?“ Nadit kini menoleh ke arah Mingyu.

“Itu waktu umurku 3 tahun.”

“Mingyu?” Nada suara Nadit berusaha memastikan, kalau memang ukiran nama yang tertulis disana benar nama orang ini.

People used to call me Mingyu.”

Then why you introduce yourself as . Kim?” Manik mata Mingyu tidak lepas dari gambar seorang anak kecil yang kini sudah menjelma menjadi orang dewasa dan umurnya hampir menyentuh kepala 3, dirinya sendiri.

“Banyak hal yang udah terjadi sama nama Mingyu, Nadit. I wanted to started all over again.. here. So, that’s why it’s Kim.”

Nadit mengangguk sebagai balasan, kemudian diam dan menimbang, soal sesuatu yang ingin ia sampaikan, sesuatu yang ingin dia lakukan dan sesuatu yang mungkin akan jadi berbeda dari yang lainnya.

“Kalau aku panggil kamu Mingyu, kamu keberatan gak?” Kini, sesuatu yang sudah sepenuhnya menjelma menjadi kalimat pertanyaan meluncur dari bibir Nadit.

Not at all, of course. Karna mau kaya gimana pun, Mingyu adalah bagian dari aku bahkan semenjak aku lahir.”

“Mingyu, then. Can I?”

Sure..” Dirinya tersenyum sedikit menekuk bibir. “Mingyu, then.”