#13, home.
“Last night, i asked the stars to bring you back to me.” -K. Azizian
Namanya Lee Chan, duduk di kelas 12 IPS 2, mata pelajaran kesukaannya adalah Geografi. Teman sekelasku dan teman sebangku ku, bahkan semenjak kelas 10 dulu.
Chan akan selalu bersemangat kalau guru mata pelajaran Geografi sudah masuk ke kelas, ia akan meluruskan punggungnya, tersenyum merekah dan selalu penasaran tentang segala bentuk bumi, isi, fenomena, gejala dan kejadiannya.
Kalau Chan akan bersemangat soal pelajaran Geografi, maka aku akan menemukan diriku sendiri dan seluruh teman sekelasku terduduk murung dan malas, terlebih saat sisa-sisa jam pelajaran menuju istirahat, kenapa? Karena Chan akan terus bertanya.
“Jadi, kronologi perkembangan muka bumi itu belum ada jawaban yang valid ya, Bu?” Chan mengangkat tangannya ke udara, sebelum melontarkan pertanyaan.
“Ada banyak teori dari para ahli, ya yang namanya teori pasti akan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Mulai dari 180 tahun yang lalu yang dikemukakan bahwa Benua Pangea yang merupakan daratan India, Australia, Antartika dan Amerika selatan yang menjadi satu akhirnya terbelah menjadi dua. Kemudian di 130 tahun yang lalu, dua Benua yang mulai memencar ke Utara dan banyak penjelasan ahli lainnya. Untuk penjelasan kompleks, kamu bisa tanyain saya langsung atau baca di buku ya, Chan? Karena kalau saya jelaskan, ntar sampe sore kita gak pulang pulang.” Guruku tertawa, Chan mengangguk tersenyum.
“Sekian ya buat hari ini, sampai bertemu lagi minggu depan.” Guruku yang terlihat masih muda kira kira berada di tengah umur 20-an itu berjalan meninggalkan kelas, dan murid murid mulai memecah keheningan.
Aku mengistirahatkan kepalaku dengan tangan, menatap Chan. “Chan, kenapasih lo seneng banget sama Geografi?” Chan menoleh sedetik, kemudian hanya mengangkat bahunya.
“Seru kalau kata gue.”
“Apa serunya?”
“Menurut gue nih ya,” Kini dirinya memutar tubuh, kini berhadapan denganku. “Kenapa benua benua ini tuh bisa pisah pisah, karena kekuatan angin gak sih? Maksudnya, gimana ceritanya daratan ini tuh bisa bergerak ke khatulistiwa? Atau, jangan jangan dulu ada gempa bumi dahsyat yang bikin daratan tenggelam dan akhirnya tercipta lautan yang misahin seluruh benua? Kalau gitu berarti—”
“Stttttt” Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir, menutup mata kemudian menarik nafas. “Chan, waktunya istirahat. Mari kita jajan!”
“Oke, lets go.” Chan tidak pernah marah kalau omongannya aku potong, ia akan ikut masuk dalam pembahasan baru yang aku lontarkan untuk menghilangkan pembahasan miliknya yang lama. Maafin aku, Chan, tapi aku gak suka Geografi.
Di kantin, Chan akan terus memesan makanan kesukaannya, indomie goreng dan jus jeruk yang menurutku rasanya 100 persen lemon karena luar biasa masam, tapi anehnya, Chan suka.
Chan punya kebiasaan, suka mengambil sesuatu yang menyangkut di rambutku. Semisal, kalau saat perjalanan balik dari kantin menuju kelas, ada daun kering yang hinggap di puncak kepalaku, ia akan sigap mengambil dan membuangnya..
..atau sisa coklat di sudut bibirku.
Seperti saat ini misalnya, ada helai benang disana. Selagi mengunyah, matanya terpaku pada benang tersebut dan tangannya siap menyingkirkan, dan aku selalu berharap, agar setiap hari selalu ada Chan yang menyingkirkan hal apapun dari diriku. Entah itu di rambutku, puncak kepalaku, pipiku, maupun ujung bibirku.
“Kenapa?” Katanya, sadar kalau dirinya aku pandangi. Aku tersenyum, kemudian menggeleng.
“By the way, Masa lo gak penasaran sih kok bisa benua kita tuh—”
“Chaannnnn,” Rengekku. “Gue gak suka Geografi.”
“Lo sukanya apadeh?”
Lo. Lo, Chan.
“Ya apa aja selain Geografi.”
“Matematika juga ngeluh melulu, Bahasa Inggris juga, Ekonomi juga, apalagi?”
Coba deh, Chan. Kamu ceritain semua tentang kamu, aku bakal dengerin dan gak akan ngeluh.
“Yaudah sih yang penting sekolah.”
“Gak gitu, kan dari minat lo di SMA, lo bisa nentuin bakal kuliah apa nanti.”
“Yaudah itu urusan belakangan, sekarang lo habisin tu Indomie goreng, sebentar lagi masuk jam pelajaran.”
“Mau gak?” Tawarnya pada es jeruk masam yang dia pesan, aku menggeleng.
“Asem.”
“Iya, kaya muka lo kalau lagi belajar, asem terus.”
“Kurang ajar”
-
“Pulang sekolah main yuk?” Chan mengerutkan alisnya ketika aku melontarkan ajakan itu. Ia memasukan beberapa buku dari laci ke dalam tasnya.
“Mau main kemana?”
“Kemana aja, Chaan. gue bosen di rumah terus.”
“Yang jelas dulu kemana baru gue mau.”
“Hmmmm...” Aku meletakkan jari telunjuk di daguku, bola mata keatas, berfikir. “Mending lo ikut gue aja dulu, gimana?”
“Yang jelas dulu mau kemana.”
“Adaaa.”
“Gak, pergi sendiri aja sana.”
“Yah, gak asik lo.”
“Ya yang jelas mau kemana.”
Chan itu gampang dibujuk, buktinya, hanya dengan menarik narik tangannya sambil merengek di depan kelas dan jadi bahan tontonan kelas lain, dia langsung setuju untuk aku ajak ke suatu tempat.
Ada satu danau kecil yang jauh dari kota. Aku menyisihkan sedikit jajanku agar bisa menaiki busway untuk menuju kesana bersama Chan. Diatas rumput di pinggir danau yang dia pijak, Chan menggerutu.
“Lo mau berenang ngajakin gue main ke danau?”
“Ih enggak, Chan..” Aku melipat tanganku di depan dada. “Terakhir gue kesini, ketemu dua angsa tau.. Jadi gue kepikiran mau ngeliat angsanya lagi bareng lo..”
“Aneh aneh aja deh lo.” Ia membanting ras ranselnya ke atas rumput, kemudian duduk memeluk lutut. Sesekali angin meniup surai gelapnya. Aku kemudian ikut duduk disampingnya, tersenyum.
“Lo bosen gak sih temenan sama gue?” Tanyaku, ia mengerutkan alisnya.
“Biasa aja.”
“Berarti seneng?”
“Apanya?”
“Ya temenan sama gue?”
“Ya seneng..”
“Sebangku terus sama gue dari dulu, seneng juga?”
“Hmm.. Seneng.”
“Chan.. Kalau kita ngomong pake aku-kamu, aneh gak ya?” Raut wajah Chan kemudian berubah.
“kenapa kok pengen ngomong pake aku-kamu? Emang gue-elo kenapa?”
“Ya gak papa, lucu aja kalau pake aku-kamu, kaya spesial gitu.”
“Lo bukan martabak, gaada spesial spesial.” Aku memutar malas kedua bola mataku. Kini akupun sama, duduk memeluk lutut sama seperti yang dilakukan Chan. Ia mengedarkan pandangannya kemana mana, menatap sekitar. Disini sunyi, lumayan jauh dari jalanan kota, karena tadi pun sehabis turun dari busway, aku dan Chan masih harus jalan beberapa meter untuk sampai kesini.
“Angsa yang kamu bilang tadi, mana?” Senyum merekah terlukis di wajahku, ingin tertawa tapi sedikit malu. Jadi aku memutuskan untuk acuh, dan ikut mencari dengan mengedarkan pandangan.
“Hmm, kali aja nanti keliatan.” Chan mengangguk.
“Chan..” Panggilku.
“Hm?” Ia menoleh kali ini, menatap diriku yang menatapnya.
“Kamu tau ga? Kalau angsa itu simbol kesetiaan?”
“Engga, siapa yang bilang?”
“Ih.. Serius.”
“Ya kan aku nanya? Emang iya?”
“Angsa tuh, kalau punya pasangan , pasti cuma satu sampai mati.”
“Masa?”
“Katanya sih gitu.”
“Loh, kok malah katanya.”
“Ya aku baca baca sih gitu.”
“Mending kamu baca ensiklopedia, infonya pasti dan gak ‘katanya’ ” Aku memukul pelan bahu Chan, ia sedikit meringis.
“Kenapa mau ngajakin aku liat angsa?” Chan bertanya, masih mengelus bahunya yang sempat aku pukul tadi.
“Kadang tuh ya,” Aku mengawangkan pandangan ke langit sana, hampir sore. “Kalau aku ngeliat hal hal yang menarik, kepikirnya kamu terus, Chan..” Kini aku menoleh, Ia pun, masing masing manik kami bertemu.
“Misal kaya angsa ini, pasti aku langsung mikir ‘kalau lihat bareng Chan, pasti seru ya’ atau, kaya naik busway tadi, pasti kepikiran ‘kalau naik busway berdua sama Chan, pasti seru’ “ Aku menunduk menyembunyikan senyum.
“Kesampean ya..” Dapat aku lihat sudut bibir Chan yang tertarik ke atas. “Lagian kamu ngapain kesini sendirian?”
Aku mengangguk kecil menatap rumput dengan kosong, “Rumah, belakangan lagi gak baik.”
“Masih?”
“Iya..” Kini Chan mengelus pundakku, menepuknya pelan.
“It’s okay, you have me. You will always have me, Kan?” Rumah, bukan lagi sekedar tempat, tetapi manusia. Anak manusia yang setiap detiknya selalu aku teriakan namanya. Tempat istirahat kini bukan lagi sekedar kasur untuk di tiduri, melainkan manik matanya, bahu kokohnya, dan gesekan kulitnya yang terkadang terkena kulitku. Rumahku yang hangat, Chan.
“Aku udah bilang sama Mamah buat ninggalin Papah..” Cicitku. “Tapi kata Mamah, kita nanti mau makan apa..” Aku menyunggingkan senyum kekecewaan.
“Papa.. Ketauan lagi?”
Aku mengangguk, “Kali ini cewenya beda lagi, Chan. Aku gak habis pikir, padahal harusnya duit buat mainin cewe bisa buat pendidikan aku, buat jajanin Mamah, tapi..” Mataku mulai panas dan perih, mengingat bagaimana laki-laki berstatus Ayah Kandungku itu tak puas-puasnya mencari kebebasan tak beretika di luar sana.
“Hey..Kapanpun kalau rumah lagi gak baik baik aja, pulang.. Ke aku.” Chan tersenyum, mengusap tetesan air mata yang mengucur deras di satu pipiku.
“Aku boleh peluk gak?” Chan terkikik kecil mendengar permintaanku, kemudian mengangguk.
Aku benamkan kepalaku, aku sembunyikan wajahku. Tetesan air mataku sedikit membekas di seragam sekolah yang masih di gunakannya. Ia mengelus pundakku, lagi lagi menepuknya pelan.
Ya, mungkin rumah hanya sesederhana dua tangan yang saat ini sedang memelukku erat di situasi paling bawah tekanan hidupku.
Aku ingat, pertama kali Chan menemukanku duduk sendirian di halte bus pada malam hari. Ia menggunakan kaos oblong dengan mengendarai sepeda motor, sedangkan aku masih menggunakan pakaian sekolah lengkap. Dan lagi, aku tidak mau pulang kerumah kala itu karena keadaan rumahku, yang tidak baik baik saja.
“Lo ngapain disini malem malem?” Katanya, membuyarkan lamunanku.
“Chan?”
“Lo ngapain?”
“Gue.. Nunggu-”
“Nunggu apa? Bus? Yakali udah jam segini lo nungguin bus. Lo ngapain?”
Aku diam, tidak memberikan jawaban. “Jangan bilang.. Lo kabur dari rumah ya?” Aku mendongak, menatap dirinya yang berdiri didepanku. Ragu-ragu ingin menyuarakan perihal satu hal yang sedari tadi aku lamunkan.
“Chan, kalau lo gak keberatan, ajak gue kabur, boleh? Kemana aja.” Raut wajah Chan berubah, ia mengernyitkan alisnya kuat.
“Gila lo?”
“Sebentar aja, Chan.” Manik matanya masih belum pergi dari sosokku, ia kemudian menarik nafas pelan dan membuangnya.
“Yaudah, habis itu kasih tau rumah lo, biar gue anter pulang.”
Di sepanjang perjalanan yang aku sendiri tidak tau kemana, kita hanya diam. Terlebih aku, menangis dalam diam, membiarkan angin menyapu wajah, mengeringkan air mata, dan sesekali menatap Chan lewat kaca spion motornya.
“Udah ya, sekarang kasih tau rumah lo dimana, biar gue anterin pulang.”
“Iya, Chan.”
Pukul 10 malam, motor Chan berhenti tepat di depan halaman rumahku. Aku yakin, malam itu Chan juga mendengar suara yang bersahutan dari dalam, serta beberapa barang yang berjatuhan.
“Didalem—”
“Iya, Chan. Gapapa.. Biasa juga gitu. Makasih ya, gue balik dulu..” Ketika aku membalikan tubuh, Chan menahan pergelangan tanganku. Dapat aku lihat jakunnya yang bergerak naik dan turun.
“Gue coba telfon.. nyokap gue, kalau dibolehin, lo ke rumah gue aja. Mau?” Aku tatap maniknya, diam tidak memberikan jawaban, tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku ingin kabur dan bersembunyi dari situasi yang menyesakkan ini, dan Chan, jadi tempatku kala itu.
“Bentar ya..” Berselang beberapa menit, ia kembali menghampiriku. “Yuk?”
“Boleh, Chan?”
“Boleh, kata Bunda boleh..” Sampai detik ini, aku tidak pernah lupa bagaimana segaris senyum yang hadir di wajah Chan malam itu, bagaimana ia yang menarik tanganku untuk ikut naik kembali ke motornya, bagaimana Bundanya mempersilahkan ku masuk. Padahal kalau dipikir, bagaimana perasaan orang tua melihat anak lelakinya membawa seorang gadis kerumah pukul 10 malam, tapi malam itu, ada yang membuka tangan, untuk sekedar memberikanku wadah untuk beristirahat dari sebuah kebisingan.
-
Chan meminjamkan bajunya, dan aku sedikit tenggelam karena ukuran badannya yang dua kali lebih besar dari badanku.
“Gue cuma punya kaos kaya gitu kalo di rumah..” Katanya.
“Gak papa.”
“Lucu lo tenggelem gitu,” Ia terkikik kecil. “Lo tidur di kamar tamu gak papa ya?”
“Iya Chan, gak papa.”
“Lo udah bilang orang tua lo kalau disini?” Aku menyunggingkan senyum kecil.
“Mereka biasanya gak sadar kalau gue udah pulang, gak sadar kalau gue pergi. Jadi.. Kayanya gak bakal kecarian.”
Chan mengangguk kecil, “Sorry..” Cicitnya.
“No.. It's okay. Tetangga gue juga kalau ngeliatin gue pulang ke rumah suka miris..” Kemudian hening tercipta.
Chan sedikit berdeham, kemudian bersuara, “Lo tau kopi dalgona gak?” Tanyanya tiba tiba.
“Tau, emang kenapa?”
“Mau coba bikin? Di atas ada balkon kecil, ntar kita ngobrol diatas, mau?”
“Boleh..”
Malam semakin larut, sampai sampai aku dan Chan harus menahan tawa kalau kalau terjadi sesuatu yang lucu. Semisal ketika Chan harus mengaduk adonan dalgona tapi mangkuknya malah berlari kesana dan kesini, atau dia yang secara tidak sengaja menumpahkan susu, atau es batu yang bertumpahan ke lantai atau malah terbang ke sink cucian piring hingga menimbulkan suara yang cukup kuat.
“Ups..” Katanya, kemudian terkikik.
“Pelan pelan, Chan..”
Aku melirik ke jam dinding saat berjalan menaiki anak tangga menuju lantai atas, hampir pukul 12 malam. Sebelum berlalu, Bunda Chan bilang supaya tidak bergadang dan langsung tidur kalau agenda mengobrolnya sudah selesai, dan kami mengangguk paham.
Chan meminjamkan sweaternya, mengingat angin malam kurang bagus untuk kesehatan. Aku mengencangkannya, sesekali menggigil menggertakan gigi, tapi tetap menyesap es kopi dalgona yang dibuat tadi. Kami menopang dagu di balkon rumah milik Chan, menatap komplek perumahan yang sudah sepenuhnya sepi.
“Lo ntar sakit udah tau dingin minum es.”
“Lo juga.”
“Gue tahan banting” Chan menyahut dengan menepuk dadanya beberapa kali, membuatku tertawa kecil.
“Chan..” Panggilku, ia menoleh. “Hm?”
“Kenapa.. Lo peduli soal urusan rumah gue? Maksudnya, bisa aja tadi lo pergi tanpa harus repot repot nelfon nyokap lo dan ngasih gue tempat?”
Chan tersenyum dengan mengawangkan pandangannya ke langit sana. “Dulu.. gue punya temen..” Suaranya sedikit parau, entah karena udara dingin yang membuat hidungnya tersumbat atau lain hal, tapi suaranya agak serak. “Namanya Chan Hee. Mirip ya kaya nama gue?” Ia tertawa kecil.
“Terus? Hubungannya sama ngasih gue tempat?”
“Sebelum itu, coba gue tanya, kenapa lo mau?”
“Ada disini?”
“Iya, kenapa mau gue ajakin? Bisa aja lo mikir kalau gue nipu? Atau lo gue bawa kemana gitu? Kenapa lo malah mau?”
“Gue.. Mau kabur, Chan. Di rumah.. berisik. Kalaupun In case lo ngelakuin suatu yang jahat kaya yang lo bilang tadi, gue udah pasrah karena gue capek.”
“That’s why. Karena lo capek, dan karena lo mau kabur. Disini gue ngasih lo tempat escape, disini gue ngasih lo tempat istirahat. Bukan cuma bising sekitar, tapi juga bising di kepala lo.”
Aku terdiam, kemudian menggumamkan kata terimakasih. “Terus hubungannya sama Chan Hee tadi, apa?” Chan yang tadi berbincang dengan manatap mataku, kini menunduk, memainkan jemarinya.
“Dia sama kaya lo, rumahnya bising. Setiap gue mau main atau mau jemput dia, nyokap bokapnya selalu berantem..” Jelas Chan, kini menatap langit gelap tanpa bintang.
“Terus? Gue masih belum menemukan korelasi antara temen lo dengan lo yang bantuin gue.”
“Dia..” Chan menggantungkan kalimatnya, “Dia bunuh diri, di kamarnya sendiri.” Dengan suara parau, Chan menatap tangannya yang saling bertaut.
“Sorry..” Kataku.
“Lo tau.. Mungkin dia butuh tempat buat sekedar melarikan diri dan tempat buat mengistirahatkan kebisingan di sekitarnya.. Tapi gue gak pernah mencoba untuk menawarkan itu, sampe sampe dia capek dan memutuskan cari tempat istirahat sendiri, selamanya..” Kini Chan menatapku, sedikit tersenyum masam. “Dia masih belasan tahun, pemikirannya belum panjang. Gue gak mau kehilangan temen gue yang lainnya, mau itu temen deket, sekedar temen, temen baru kenal, gue gak mau..” Dari sini, ada embun di pelupuk matanya yang bisa aku lihat dengan jelas.
“Gue nangis nangis di lutut Bunda.. Walaupun Bunda terus terusan bilang itu bukan ranah gue buat menyesali keadaan, tapi tetep aja, Chan Hee adalah sahabat gue, dan gue ngerasa jadi sahabat yang gagal buat dia, bahkan untuk sekedar ngasih tempat buat istirahat.” Kini aku tepuk pelan bahunya, mengelusnya dan tersenyum memandang wajahnya.
“Lo beruntung banget bisa punya Nyokap kaya Bunda..” Kataku, Chan mengangguk.
“Gue pun, kalau seandainya harus lahir kembali, gue mau tetep lahir dari rahim Bunda..”
“Kalau gue.. Kalau harus lahir kembali, gue harap bukan dari Sperma bokap gue.”
“Bokap lo kenapa?”
Aku menarik nafas sedikit dalam, “Gue gak ngerti deh Chan, Bokap Nyokap gue nikah diatas janji satu untuk sehidup semati, tapi bokap gue kayanya kalo punya satu gak merasa puas. Jadi dia melanglang buana entah kemana mana buat sekedar ngasih makan egonya, brengsek.”
“Sorry.. to hear that.. sad story of yours. Tapi nyokap lo, dan lo, adalah perempuan hebat. Not gonna lie.”
“Biasa aja, lo jangan ngeliatin gue kaya gitu, ntar jatohnya lo sama tetangga-tetangga gue gak ada bedanya”
“oke, so.. You have me”
“Hah?”
“Katanya tadi gue harus beda? Mungkin tetangga lo cuman bisa natap lo miris dengan pulang ke rumah yang berisik. Lo bisa andalin gue, you have me, dan lo bisa pulang kapanpun lo mau.”
“Ke.. Sini?”
“Boleh, ke gue.. Juga boleh.”
Pulang, dan rumah.
Selesai menapak tilas bagaimana sosok ini hadir untukku, aku selalu punya banyak permintaan. Kalau aku boleh minta sama Tuhan, aku mau orang yang sedang aku peluk ini jadi rumahku selamanya. Hal yang tidak aku dapatkan di rumah, yang secara harfiah adalah bukan manusia, tapi di rumah ini, Chan, aku bisa dapatkan segalanya.
Aku masih dibekap oleh tubuhnya, Chan masih terus mengelus dan menepuk pundakku pelan, sampai akhirnya bergumam, “Aku minggu depan mau ke Australia..”
Aku lepas pelukanku kemudian, menatap manik matanya.
“Ketemu adik Bunda ya?”
“Iya, katanya lagi sakit disana.”
“Lama gak?”
“Enggak, 5 hari doang.”
“5 hari itu lama, Chan..”
“Gak sampe seminggu loh”
“Ya tetep aja, kamu gak ada.” Ia terkikik geli sambil menunduk.
“Gak lama, aku bakal pulang.. Janji” Ia mengeluarkan jari kelingkingnya, kemudian aku taut dengan jari kelingkingku.
“Udah janji ya, Chan..”
“Iya, janji aku bakal pulang. Kaya mau kemana aja deh.”
Lenggang tercipta, sangking sunyinya, yang aku dengar adalah suara gemerisik akibat daun dan ranting pohon yang saling bersinggungan. Dan gemericik air yang disebabkan oleh dua angsa yang sekarang di tangkap oleh kedua manik mataku dan Chan. Kemudian, aku bersuara, “Kamu tuh, kalau lagi liat sesuatu pernah kepikiran aku gak?”
“Pernah..”
“Contohnya?”
“Pengen bawa kamu ke Australia.” Aku tertawa hebat, sampai sampai membuang kepalaku kebelakang. “Kenapa malah ketawa?”
“Gimana kalau kita berdua kuliahnya ntar di Australia aja?”
“Boleh, ayo?”
“Kamu tuh..” Aku menggantungkan kalimatku sejenak, “Ngajak ke Australia kaya mau ngajak berangkat sekolah deh, Chan”
“Tadi katanya mau kuliah di Australia?”
“Oke, tahun depan, aku sama kamu ngobrol kaya gini tapi di depan Sydney Opera House, gimana?”
“Hahaha, See you tahun depan?”
“Nope, kita berangkat bareng”
“Oke! Deal!”
-
Menuju keberangkatan Chan ke Australia, dia jadi sering mengirimkan pesan secara intens, bahkan untuk sekedar menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, atau tiba tiba berada didepan rumahku membawakan makanan, kemudian berbincang kecil sampai akhirnya dia pergi untuk kembali pulang ke rumah.
Di Bandara pun ketika aku mengantarnya sampai ke pintu keberangkatan, ia terus terusan menggenggam pergelangan tanganku. Mungkin, dia juga tau sebuah batasan, bahwa diantara kami memang tidak ada apa-apa, dan mungkin, argumentasi soal menjadi teman itu cukup, memang cukup untukku dan Chan.
Sampai ketika masuk jam untuk memasuki ruang tunggu keberangkatan, ia memelukku erat. Terus berbisik untuk menunggunya pulang.
Chan, tanpa kamu menyuruhku, tanpa kamu beri aba aba pun, aku akan selalu menunggu.
5 hari katanya. Aku meyakinkan diriku bahwa 5 hari memang bukan waktu yang lama. Disanapun, ketika Chan memberikan kabar bahwa ia telah mendarat dengan selamat, ia terus terus mengirimkanku pesan. Lagi lagi menanyakan apakah aku sudah makan, hari ini akan makan apa dan sebagainya. Chan, tidak pernah jadi se-intens ini perihal hal-hal kecil, dan perasaan yang terpendam jauh didalam sana, bergejolak merasakan kebahagiaan.
“Pengen ketoprak.” Katanya lewat sambungan telfon.
“Emang di Australia gaada ketoprak?”
“Yee, mikir ajadeh di Australia ada ketoprak gak?”
“Ya kali aja ada pedagang kaki lima disana.” Aku terbahak.
“Ngaco kamu.”
“Yaudah, ntar pas pulang kesini kita jajan ketoprak. Mangkanya cepet pulang.”
“Baru sebentar aja udah kangen.”
“Dih? Siapa yang bilang gitu?”
“Jadi gak kangen?”
“Eh?”
“Kangen gak?”
“Apaansih, Chan?”
“Ditanya bukannya jawab. Jadi kangen gak nih? Hm?”
“Hm, kangen sih.. Sedikit.” Cicitku, menjawab takut-takut.
“Sedikitnya seberapa?”
“Setengah sendok makan.”
“Garem setengah sendok makan bisa bikin makanan jadi keasinan”
“Terus?”
“Ya kangen setengah sendok makan juga bisa bikin gelisah galau merana, iya gak?”
“Gak galau.”
“Masa?”
“Ya ini di telfon kan jadinya gak galau.”
“Kalau tadi gak di telfon?”
“Bisa di chat?”
“Kalau gak di chat?”
“IH CHAN KAMU APAANSIH?” Dapat aku dengar suara tawanya yang terbahak di ujung sana, sampai beberapa menit hingga membuatku jengkel.
“Ntar pas pulang, aku mau ngomong sama kamu.” Katanya tiba-tiba.
“Ya ngomong aja kali, Chan. Gausah pake acara pas pulang. Tua nungguin jadinya tau gak?” Lagi lagi aku dengar ia terkikik kecil diseberang sana.
“Ya aku mau ngomongnya eyes to eyes”
“Video Call bisa.”
“Oh kamu jadi pengen Video Call? Yaudah nih aku—”
“IH KAN KAMU APAANSIH?”
“Hahahahah, iyaiya bercanda. Ya lebih enak eyes to eye langsung, biar maknanya bisa langsung sampe.”
“Yaudah mangkanya cepet pulang, Chan..” Dapat aku dengar sedikit gemerisik di ujung sana.
“Kamu nungguin?”
“Tapi disuruh nunggu.. Kemarin di Bandara di bisik-bisikin.”
“Kalau gak disuruh?”
“Tetep Chan, aku bakal tetep dan akan selalu nunggu kamu buat pulang.”
-
Di luar hujan cukup deras, bahkan sesekali petir menyambar. Chan bilang, pesawatnya akan take off pukul 7 pagi waktu setempat, dan estimasi landingnya kira kira pukul 2 siang waktu Indonesia. Sejak pagi, jantungku tidak karuan menunggu pesan darinya, menerka-nerka apa yang mungkin akan Chan katakan, perihal obrolan tengah malam tempo hari yang lalu.
Aku sudah bersiap dengan rapi sejak tadi, berangkat ke Bandara untuk bertemu dengannya, Bundanya, dan Ayahnya.
Disini aku, di pintu kedatangan, masih menatap jadwal landing beberapa pesawat.
Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 3 sore, tapi belum ada tanda tanda keberadaan Chan, dan pesawat yang dinaikinya mendarat. Beberapa orang disekitarku juga ikut resah dan khawatir. Aku berusaha berfikir positif, mungkin pesawatnya harus delay disana karena cuaca yang kurang bersahabat, iya kan? Bisa saja kan? Mungkin Chan terlalu repot membawa barang sampai lupa mengabarkan bahwa pesawatnya delay. Bisa saja begitu, kan?
Atau mungkin tidak.
Berdetik barusan, aku menyadari, semua orang menyadari, atas sebuah berita di layar televisi, bahwa Airlines tujuan Indonesia dari Sydney, hilang kontak di selat Lombok.
Kakiku bergetar, jantungku berdegup kencang memompa darah menuju titik tertinggi saraf di kepala.
Tidak, tidak mungkin, Chan tidak ada didalam Airlines itu kan?
Semua orang berteriak, gaduh, sampai sampai petugas Bandara harus turun tangan agar menenangkan kondisi yang semakin tidak kondusif.
Aku tertatih, mengejar salah satu petugas yang juga sibuk terus berlalu lalang, dan bertanya, “Penerbangan dari Sydney ke Indonesia ada berapa hari ini?”
Jantungku berdegup kencang menanti jawaban yang keluar dari mulut orang dengan seragam lengkap di hadapanku ini, sampai ketika ia menjawab, “Satu, cuma satu.”
Di ufuk barat sana, matahari perlahan tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langitnya. Biru, ungu, oranye, warna berbeda lainnya dan segalanya jadi satu. Kakiku berkali kali ditabrak deburan ombak, sampai membuat baju terusan warna khaki yang kupakai sedikit basah. Di tangan kananku, ada perahu kertas kecil, dan sekantung plastik penuh kelopak bunga.
Aku tebar kelopak bunga tadi hingga mengotori air dihadapanku, aku hanyutkan perahu kertas tadi, kini visualisasinya sudah semu di mataku akibat sudah jauh ditarik dari garis pantai.
Di sebuah pantai di pulau Lombok, 3 tahun setelah Chan pergi.
Chan tidak pernah pulang, Chan tidak pernah mengatakan apa yang ingin dia katakan. Kata Mama, Chan sudah terbang sangat tinggi, bersama Bunda, bersama Ayahnya.
Tubuh kakunya tidak pernah ada, tidak pernah dipeluk bumi. Tidak ada coretan namanya di batu nisan manapun, dan tidak ada aku yang bisa mengunjungi pusara miliknya secara pasti. Yang ada hanya bangkai pesawat yang diangkat dari dalam air, tapi satu jasad pun, tidak pernah ditemukan. Maka disinilah aku, di sebuah pantai di pulau Lombok, titik terakhir hilangnya kontak pesawat dimana ada Chan di dalamnya.
3 tahun yang lalu, di Bandara dimana semua orang berteriak meraung memanggil nama keluarganya, aku diatas pijakanku mengirimkan pesan berkali kali kepada Chan, namun tidak pernah sampai. Berhari kemudian, kutemukan nama Chan ada di dalam daftar penumpang, dan aku hancur beribu kali hancur.
Aku meraung di atas lutut Mama, meneriakan namanya, berlagak seolah olah ia akan datang ke muka pintu rumahku, untuk berlari memelukku erat dalam rengkuhannya. Mungkin membisikan satu kalimat yang aku harapkan keluar dari mulutnya, 'Jangan nangis, aku disini, aku pulang.'
Tidak ada, dan tidak pernah ada.
Chan-ku kini pergi, rumah-ku kini tak lagi disini.
“Chan..” Angin menyibak rambutku. “Mamah udah gak sama Papah lagi.. Mamah akhirnya berani ngelepas cintanya walaupun berat, jadi aku juga harus berani ngelepasin kamu walaupun kamu belum sepenuhnya jadi cintaku..” Aku menyunggingkan senyum penuh keputusasaan.
“Angsa di danau yang kita datangin, udah mati.. Dua duanya, Chan.” Selama 3 tahun lamanya, kini air mataku akhirnya mengering, walaupun masih menyisakan pilu di dalam hati. “Dan aku.. Baru balik dari Sydney..” Aku tersenyum, memandang jauh ke arah pantai sana.
“Enggak, Chan. Aku gak kuliah di sana. Maaf aku gabisa nepatin janji kita.. Karena kalaupun aku kuliah disana, kamu tetep harus minta maaf sama aku karena kamu gak ada disini buat nepatin janji, buat ngobrol didepan Sydney Opera House.. Dan kamu, gak ada buat harus minta maaf sama aku.”
“Chan.. Mimpi mimpi yang kita gantung ke langit, kamu pegang baik baik ya. Aku harus lepas semua, aku gabisa ngerealisasiin, karena di semua mimpi yang kita langitkan, selalu ada kamu.”
Bohong, aku masih terluka. Mataku tidak pernah kering, dan embun embun yang tak diharapkan itu kembali memupuk.
“Disana, ada Chan Hee, ya? Titip salam ya, Chan. Bilang sama dia, kalau selama ini, kamu bisa jadi sahabat yang baik, yang hebat, bahkan kamu bisa jadi rumah buat aku untuk sekedar lari dan istirahat.”
“Chan.. Terimakasih udah pernah ada dan memijak di bumi. In another life, meet me. Promise me you’ll meet me and.. I’ll wait. A thousand times will wait..” Suaraku parau, tenggorokanku tercekat, dan kini aku runtuh diatas kakiku. “Aku bakal selalu ada untuk nunggu kamu buat pulang.”
Rumahku tidak runtuh, rumahku ada di langit sana. Chan tidak pernah memintaku untuk jadi tempatnya beristirahat, maka hari ini surga hadiahkan ia sebuah rumah, tempatnya untuk beristirahat, tempat yang seribu kali pantas ia dapatkan. Kini, dirinya yang jatuh membumi namun terbang meninggi hanya meninggalkan memori manis, asam dan pahit di dalam palung paling dangkal dalam hati.
(“Did we made it?”
“No, Chan. Sorry.”
“It’s okay. Life ain’t always works like that, and it will always be okay.”)
.
“Chan, selamat pulang.”
My little dove? why do you cry? I’m sorry I left, but It was for the best, though it never felt right.
—fin.