di kota, pada kata, dan kita.


For my weird and wonderful phase of time, Mingyu. Happiest Birthday, Love.


“Terserah.” Telfonnya terputus kemudian. Aku mengerutkan alis, berdecak sebal serta terus menerus menggerutu mengutuk satu nama, Mingyu.

Kemudian apa? Ponselku aku matikan. Mati total agar supaya sosoknya tidak harus dan terus menerus memunculkan nama disaat nada panggilnya berdering masuk.

Aku membenamkan tubuhku di dalam selimut tebal hangat yang selalu memelukku di tiap pagi, siang, sore atau malam pada saat saat tertentu. Membiarkan nafasku sendiri menampar pori wajahku, kemudian diam dan berfikir.

Sialan! Bisa-bisanya dia lupa soal janji di tiap bulan yang selalu aku dan ia lakukan. Bisa-bisanya tanpa berdosa ia mengucap, “Oh iyaya? Kita ada janji?”

Bisa-bisanya dia membuatku ingin berteriak mengutuk namanya di jam dua dini hari ini. Sial. Sial. Sial!

Aku yang membenamkan diriku dalam selimut tadi kini membukanya lebar agar dapat aku hirup oksigen dan menatap plafon kamarku dengan cahaya remang lampu tidur di kamar.

Sekarang, aku acak rambutku dengan lebih sebal serta memukul kasurku sendiri berkali-kali.

Ini jadi dua kali menyebalkan. Kenapa? Karna aku tiba-tiba ingin mendengarkan suaranya menyanyikan bait lagu yang tanpa sengaja suka ia rangkai sendiri.

Suara beratnya serta nada mengantuknya ketika bernyanyi. Demi seluruh alam semesta, momen itu adalah momen paling indah dari sosok Kim Mingyu.

Dan aku ingin mendengarkannya.

Kira-kira, dia disana khawatir tidak ya, tiba tiba panggilannya tadi aku matikan? Terus tiba-tiba tidak bisa di hubungi? Dia khawatir tidak, ya?

Apa dia mencoba menelfon orang lain? Hanya untuk menjelaskan satu dari banyak alibi-alibinya?

Biasanya dia akan langsung menelfon nomor Chan, adikku. Tapi sudah hampir 30 menit, Chan tidak masuk ke kamarku.

Dia masih sayang aku tidak, sih?

Kini aku benamkan wajahku pada bantal. Memukulnya berkali-kali dan kali ini mengutuk diri sendiri.

Ah, bodohnya diriku kalau saja si Mingyu itu tidak lagi menyayangiku dan aku disini malah merindukan suaranya. Atau suara dengkurannya ketika secara tidak sengaja saat panggilannya masih berjalan dan dirinya malah ketiduran. Atau, segala-galanya yang selama ini aku anggap karna dirinya menyayangiku hanya tipuan belaka? Hubungan ini kan aku dan Mingyu yang jalani? Apa mungkin ini semua terjadi? Tapi bisa saja kan dia sama sekali tidak menyayangiku? Kenapa dia bisa lupa soal agenda agenda sederhana semacam tadi?

Kim Mingyu sialan!

-

Langit tidak lagi gelap dan bulan sudah meninggalkan tugasnya. Sudah pagi.

Aku terduduk diam, masih mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang bertebaran entah kemana. Berusaha mencari jawaban dimana aku berada setelah perjalanan mimpi yang panjang disepanjang malam.

Rumah.

Dan ponsel.

Aku ambil ponselku yang sempat aku matikan tadi malam karena menghindari sosok seorang Kim Mingyu. Sembari menunggu ponselku menyala total, aku menerka-nerka.

Apakah akan aku dapatkan ratusan panggilan tidak terjawab? Apa akan aku dapatkan ribuan pesan darinya yang sama sekali tidak ku balas? Apa mungkin pagi ini Chan akan naik ke atas dan mengetuk pintu kamarku kemudian bilang, “Kak, tadi malam bang Mingyu nelfonin terus. Maaf ya, soalnya aku udah tidur.” Atau, “Kak, Bang Mingyu tadi malem nelfon sama kirim Imess, di Imess katanya suruh angkat telfon dia.”

Nihil.

Tidak ada ratusan telfon masuk dari Mingyu. Apalagi ribuan pesan yang sudah aku bayangkan.

Dan, Chan. Yang sosoknya sama sekali tidak aku temui di ambang pintuku.

Dan aku jadi yang paling bodoh disini. Karna tiba tiba menangis menatap kosongnya notifikasi di ponselku sendiri.

Selama 20 menit tadi menangis bodoh dengan ponsel yang sudah aku lempar entah kemana (lagi), aku turun kemudian.

Belum menyikat gigi apalagi mandi, masih dengan kaos oblong kebesaran milik Chan yang secara suka hati aku ambil dari lemarinya dan aku pakai. Serta celana jersey basket yang juga milik adik bungsuku itu. Lemariku, krisis baju tidur.

Masih di tengah tangga menuju lantai bawah, aku diam dan terkesiap. Jantungku disana memompa darah sampai titik paling ujung saraf pusat sampai-sampai rasanya ingin membuatku pecah.

Entah dalam tangis maupun amarah.

Ada Mingyu pagi ini di meja makan rumahku serta piring kotor di hadapannya.

Sedang apa si Sialan itu di rumahku pagi pagi begini?

Tanpa dosa yang menyelimuti atas kejadian tadi malam, ia malah tersenyum hangat menatapku dengan keadaan yang memprihatinkan karna baru saja bangkit dari singgasana tidurku.

Sekali lagi. Kim Mingyu sialan!

Lalu? Aku turun dan mengacuhkannya kemudian mengambil sarapan sendiri?

Tidak.

Aku naik kembali dan membanting pintu kamarku kuat. Lompat ke atas kasur dan lagi-lagi membenamkan wajah di atas bantal. Berteriak.

Beberapa menit kemudian, aku dengar suara langkah kaki serta suara ketukan pintu yang mengikuti dari luar sana, dan sahutan kecil, “Sarapan dulu.”

Sekarang itu yang sudah gila aku apa dirinya sih? Apa sama sekali tidak ada kata maaf yang mampu terluncur dari bibirnya? Kenapa malah aku yang terlihat seperti orang bodoh?

Lagi-lagi suara ketukan, dan sahutan, “Ayo turun sarapan, tadi aku beliin nasi uduk simpangan biasa kesukaan kamu.”

Bodoamat. Makan saja sana sendiri.

“Pake ayam goreng kalasan.”

Sial!

Kutemukan tubuhnya yang tinggi berdiri di ambang pintuku. Aku putar malas kedua bola mataku dan berlalu meninggalkan sosoknya, turun menuju meja makan dan mengambil satu bungkusan nasi uduk dan ayam goreng kalasan yang di belinya, katanya.

Mingyu ikut turun. Setelah aku duduk dengan rapi di meja makan dengan bungkusan nasi uduk tadi, sosoknya ikut duduk di sampingku.

“Kalian sedang berkelahi, toh?” Ibu melipat bungkusan nasi uduk miliknya yang sudah habis tidak bersisa, kemudian bangkit dan membuangnya di tong sampah dapur.

Mingyu diam. Aku diam dan hanya memilih mengunyah makananku dibanding menyahuti pertanyaan Ibu, apalagi menatap sosoknya.

Namun, dari gerak cepat sudut mataku, laki-laki ini malah tersenyum kecil.

Mingyu yang ternyata gila, bukan aku.

“Nak Mingyu pagi-pagi sudah bawakan kita sarapan. Kamu kok baru bangun.” Di tengah kunyahan demi kunyahan, aku lagi-lagi memutar bola mataku, hanya diam dan malas menimpali.

Mingyu tertawa kecil, dapat aku dengar dengan jelas. Kemudian ia berdeham dan menyahut, “Hari ini anaknya dipinjem dulu ya, Bu. Mau Mingyu ajak main-”

“-Main aja sana sendiri.” Aku menyambar cepat, tidak sama sekali menoleh pada sosoknya yang duduk tepat disebelahku. Lebih memilih mengunyah makanan di hadapanku ini.

“Lho, to, Bu.. Beneran berantem rupanya.” Kali ini Ayah yang sedari tadi menatapku menyantap sarapan yang ikut menyahut.

“Anak muda ya, Yah.. ya.” Ibu menarik kembali kursi meja makan dan duduk. “Kamu tuh, Mingyu-nya udah datang pagi-pagi kok malah di-diemin. Ajak ngobrol kalau sedang berantem. Di depan boleh, di halaman belakang boleh, di ruang tamu boleh, di sini juga boleh, biar Ibu sama Ayah naik ke atas.”

“Yang salah dong, Bu, yang ajak ngobrol. Aku gak merasa salah.” Aku lipat bungkusan bekas nasi uduk yang sudah aku santap habis, bangkit dari kursi dan membuangnya ke tong sampah dapur, persis seperti yang Ibu lakukan bermenit yang lalu.

“Mingyu ajak main boleh ya, Bu?” Dapat aku dengar bisikan Mingyu dari sana.

“Main sendiri, Mingyu. Aku males.”

“Padahal aku pengen ajakin kamu ke museum terus nonton. Habis nonton kita jajan, terus—“

“Sendirian aja.”

Tukaiku bergerak berlalu melewati sosoknya sebelum melangkah menaiki anak tangga menuju kamarku. Namun terhenti sejenak, ketika ia bersuara, “Kamu beneran marah?”

“Gak tau, pikir aja sendiri.” Kini, aku benar-benar melangkah pergi naik menuju lantai atas dan meninggalkan sosoknya bersama Ayah dan Ibu disana.

-

Selama 20 menit, aku pikir Mingyu sudah meninggalkan rumahku. Jadi, ketika suara ketukan pintu menderu, aku melangkahkan kaki dan dengan santai membukanya dengan lebar.

Kutemui sosoknya disana. Di depan manik mataku.

“Main?”

Tanpa menjawab, ketika hampir aku tutup, jemarinya menahan daun pintu, “Maaf.”

Itu. Kalau kalimat itu sudah keluar entah dari mulut siapapun, maka aku tidak mampu melakukan apapun selain mendengar, menatap.

“Kamu sebel ya sama aku?” Bukan, ini pertanyaan yang aku sendiri lontarkan untuk dirinya.

Mingyu mengerutkan alisnya, patah-patah kemudian menggeleng. “Eng-enggak, tuh?”

“Jadi sehabis aku bilang ‘terserah’ kamu sama sekali gak telfon, gak kirim Imess atau apapun? Gitu?”

“Aku mau kasih kamu ruang sendiri, jadi—“

“Aku gak butuh ruang, Mingyu. Aku gak butuh ruang buat sendiri. Aku mau ruang antara kamu sama aku, itu aja. Aku mau kamu ngerti, kalau hal-hal kecil yang selalu kamu lupain itu bikin aku sebel, kesel, marah.” Aku menahan nafas, menahan perih di tenggorokan dan mengatur kapasitas paru-paruku sendiri, agar tidak pecah dalam tangis.

“Kamu.. bisa ngerti gak, sih?” Sambungku.

Cercah cahaya manik mata Mingyu tidak lari semenjak detik pertama argumentasi keluar dari mulutku. Ia dengarkan dengan baik. Tidak menyela walaupun aku suka menyela, tidak ikut marah walau aku suka marah kalau menjelaskan satu dari banyak hal.

“Iya.. Maaf.”

Benar. Kelemahanku adalah kata magis semacam itu. Karna kemudian, aku akan merasa bahwa aku adalah pelaku utama pada permasalahan ini. Bukannya aku ini sekarang adalah korban?

Aku buang nafasku, kemudian perlahan berusaha kembali menutup pintu. Tapi, lagi-lagi di tahan oleh jari jemari Mingyu.

“Ayo kita main sebentar. Ini hari Minggu. Mumpung masih jam segini, biar bisa lama mainnya. Besok aku udah harus balik kerja.”

“Aku gak mood, Mingyu.”

“Minggu depan aku gak bisa ketemu kamu, jadinya aku dateng pagi ini.”

Sial. Padahal Minggu depan soal janji yang dirinya lupakan bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Enam April.

“Kamu kemana memangnya?” Cicitku.

“Kerjaan akhir bulan Maret harus aku selesaiin sampe awal April ini. Jadi aku bakalan lembur terus.” Jelasnya. Manik matanya sedari tadi tidak mampu pergi menjauh dari milikku. “Kemarin aja aku tidur di asrama kantor.”

“Mangkanya kamu gak telfonin aku?”

“Itu.. satu dari sekian banyak alasan yang sejujurnya bikin aku frustasi. Tapi bukan kamu yang bikin aku frustasi. Beneran..” Matanya membulat berusaha meyakinkan. Lucu, batinku.

“Bisa gak, kita main sebentar? Ya?”

Melihat bagaimana caranya meminta dan memohon, lagi-lagi jadi kelemahanku. Aku kalah telak, benar-benar kalah telak.

-

Ada satu Cafe sederhana yang titiknya jauh dari hiruk pikuk kebisingan kota. Tempat aku lari untuk mengasingkan diri dan menenangkan pikiran barang sejenak. Sendiri, maupun bersama satu sosok orang yang kini berjalan mengikutiku dari belakang ketika memasuki pintu Cafe.

“Kamu duduk aja cari tempat, biar aku yang pesenin.” Kataku, merogoh tas selempang untuk mengambil dompet. “Kamu mau makan?”

Mingyu menggeleng, kemudian mendongak menatap tulisan daftar menu besar di atas kepala satu orang kasir lelaki disana.

“Aku mau..” Ia berfikir sembari menggigit dalam bibirnya. “..Hot Cappuccino aja.”

Aku mengangguk, kemudian berbalik sampai dirinya menarik bahuku pelan untuk kembali berhadapan dengannya. “Kamu apa?” Tanya Mingyu.

“Aku? Biasa. Iced Caramel Macchiato.”

Dirinya mendengus, menyolek ujung hidungku, “Jangan kebanyakan minum es, nanti pilek.”

“Biarin aja.”

“Nanti aku repot bulak-balik kantor buat jengukin kamu.”

“Gak ada yang nyuruh kamu bulak-balik kantor buat jengukin aku kalau aku sakit.” Aku berbalik dan melangkah mendekati kasir. “Udah sana cari tempat duduk.”

Mingyu mengacak puncak kepalaku, kemudian melangkah berjalan menjauh, berlalu. Aku mendongak, memastikan dirinya sudah benar-benar pergi dari sisiku dan mencari sudut bangku untuk menghabiskan sisa sisa cerita atau lain dari banyaknya hal.

“Mas..” Bisikku. “Hot Cappuccinonya satu sama Iced Caramel Macchiatonya satu.”

“Kenapa bisik-bisik, Kak?”

“Hehe. Saya minta tolong dong mas. Di simpang sana tuh ada toko kue. Ada satu kue coklat kesukaan saya. Saya boleh minta tolong mas buat beliin gak?”

Raut wajah seorang di hadapanku ini mengkerut bingung.

Aku mendekatkan wajah, berbisik lebih pelan, “Pacar saya yang tadi.. ulang tahun.”

Dirinya mengangguk. “Boleh ya, Mas. Nanti duitnya saya lebihin.”

Setelah mencatat pesananku, ia acungkan ibu jarinya, memberikan tanda bawa ia paham akan maksud dan tujuanku, serta satu permintaan sederhanaku yang lain.

Dengan jantung yang berdegup, aku melangkah dengan mata yang mengembara mencari sosok Mingyu. Di ujung sana, dibawah bingkai-bingkai hiasan cafe, ia topang dagunya dengan jemari yang saling bertaut, menoleh keluar jendela.

Aku sunggingkan senyum kecil di kedua sudut bibirku. Menatap eksistensinya sesederhana ini saja membuatku merasakan kelimpahan bahagia yang membucah di dada. Melihat keindahan lekuk dimensi wajahnya dari samping seperti ini, membuatku jatuh dalam sungai panjang yang melapang bagai laut, tenggelam tanpa menyentuh dasar.

Aku melangkah mendekat, dirinya terdistrak atas agenda menatap kosong hal di hadapannya tadi ketika diriku mulai duduk. Dengan senyum serta gigi taring panjangnya yang muncul, dirinya bersuara, “Udah?”

Anggukan kemudian jadi jawaban yang di terimanya.

“Aku serius tau, soal kamu yang jangan makan es terus.”

“Makan apa minum?”

“Minum.” Dirinya menarik jari telunjukku, kemudian mengeluskan pelan, sesekali ia ketuk dengan jari telunjuknya beberapa kali.

“Aku bukan anak SD. Jangan di larang-larang terus.”

“Bukan masalah kamu anak SD atau anak Kuliah, kamu kalau makan es suka gak kira-kira.”

“Hari ini aku makan es baru pesenan aku yang tadi loh, Mingyu.”

“Kalau gitu pulang nanti jangan es lagi.”

“Kalau aku lagi pengen es?”

“Jangan.”

“Mau es.”

“No.”

“Es!”

“Gak.”

“Es!!”

“No no no.”

“Ya namanya orang pengen makan es, masa di larang.”

“No.”

“Mau es, es, es, es, es.”

“Gak boleh, gak, gak, gak, gak, enggak.”

“Mau kamu juga gak boleh?”

“Itumah lain lagi.”

“Oh gak boleh.”

“Siapa bilang gak boleh?”

“Tadi, katanya gak boleh.”

“Itu es.”

“Berarti boleh?”

“Boleh.” Aku menekuk senyum. Berusaha menyembunyikannya sekuat tenaga, bahkan membuang pandanganku keluar jendela.

“Gausah di tahan gitu kali, senyum aja.” Ia sandarkan pundaknya pada bahu kursi, serta tangan yang ia lipat di depan dada. Dan yang paling menyebalkan adalah, satu alisnya yang menungkik tajam, dirinya sedang berlagak.

“Dih, siapa yang senyum?”

Kini ia dekatkan tubuhnya, masih dengan satu tangannya yang terlipat, dan satu tangan lainnya menunjuk sudur bibirku. “Tuh, senyum.”

Aku pukul pelan tangannya yang menunjuk tadi, agar menjauh dari sudut bibirku. Gelak tawa tercipta dari sana.

“Hari ini, kita baca buku lagi?” Aku bertanya, namun mendapat gelengan dari sosoknya.

Biasanya, di cafe ini atau cafe lainnya yang aku dan dirinya kunjungi, kami selalu menyempatkan diri untuk membaca. Entah itu sekedar buku fiksi yang kami bawa dari rumah, atau buku dengan genre lainnya yang kami beli di toko buku. Namun hari ini, dirinya menggeleng. Entah menolak, atau tidak lagi menemukan sebuah esensi di balik agenda sederhana tersebut.

“Hari ini aku mau fokusnya kamu, kamu fokusnya aku.” Katanya dengan manik mata yang menjurus jatuh di milikku.

“Kenapa?”

“Minggu depan aku udah mulai sibuk kan?, gak tau kapan bisa ajak kamu main kaya gini lagi.”

Aku tersenyum kecil, bersuara, “Kan kalau malem bisa, bawain martabak manis kaya biasa.”

“Itu kan kalau kamu ngambek, obatnya ya martabak manis.”

“Siapa bilang?”

“Ya buktinya kalau aku gak bawa martabak manis kamu gak mau keluar.”

“Mana ada gitu, Mingyu.”

“Ada. Yang paham kamu siapa?”

“Aku lah. Kan aku diriku sendiri. Aneh banget pertanyaannya.”

“Aku juga paham kamu, kan kamu punyaku.”

Aku memicingkan mataku menatap dirinya, ini yang keberapa kali sih aku menekuk senyum menahan tawa? Menyebalkan.

Aku selalu ingat, si Mingyu ini adalah orang nomor satu yang selalu pandai membuatku jadi orang paling marah sedunia. Tapi, dengan mahir, dengan hal sesederhana martabak manis di malam hari yang dibawanya, dengan obrolan singkat di beranda rumah, serta pertanyaannya ketika satu potongan makanan manis itu aku gigit, “enak?” dan tatapan letih dari manik mata dengan kemeja putih kusut yang memeluk tubuhnya.

Ia harusnya mengistirahatkan diri, tapi ia memilih pergi jauh ke sudut kota hanya untuk membeli makanan manis tersebut, karena disana, letak pedagang yang menjual martabak manis paling enak di kotaku ini.

Dan selalu, dirinya mampu membawaku kembali jadi orang nomor satu yang paling mencintainya. Jadi orang yang ingin mengabiskan malam-malam penuh penat dengan sosoknya, mengisahkan banyak hal perihal hari-hari penuh canda tawa semesta.

Mingyu benar, ia adalah yang paling paham ketika aku sama sekali tidak mampu memahami diriku sendiri. Dan untuk itu, dengan garis besar tanpa ujung, aku seribu kali mensyukuri ini. Mensyukuri bahwa dirinya ada di bumi yang terkadang tidak bersahabat ini, mensyukuri ia yang duduk mendengarkan celotehan tanpa ujungku, mensyukuri argumentasi penuh amarah serta percikan api emosi dengan ego yang memakan jiwa, mensyukuri ia yang bersyukur atas hidup dan diriku di sisinya.

Segalanya soalnya, penuh dengan kata syukur.

Lamat aku dengar satu alunan lagu yang familiar di telingaku. Mingyu mengkerutkan alis, bersuara, “Ini.. bukannya lagu—“

“Selamat ulang tahun, Kak Mingyu.” Mingyu terkesiap di tempat duduknya. Satu kue coklat pesananku tadi yang dibawa oleh pelayan cafe di letakan di atas meja dan dua pesanan yang sempat aku pesan tadi. Serta alunan lagu milik Ed Sheeran, Best Part of Me, kesukaanku dan Mingyu.

Ketika dua pelayan tadi pergi meninggalkan aku dan Mingyu, serta kue dan lilin dengan angka 25 yang sudah setengah meleleh menutupi kue coklatnya, aku tersenyum hangat menatap manik matanya dan raut wajahnya yang penuh dengan pertanyaan.

“Selamat ulang tahun, Kak.” Cicitku pelan.

Mingyu meraih ponselnya, menatap layar, kemudian bersuara, “Bukan tanggal enam.”

“Kamu bilang minggu depan gak bisa ketemu aku. Jadi, happy early-early birthday, sweet creature. I love you.” Aku colek krim coklatnya, kemudian aku tempel di ujung hidungnya, aku tergelak.

“Tiup dulu lilinnya.” Setelah membersihkan ujung hidung, dengan rekah senyum yang menghiasi seluruh sudut wajahnya, dengan cepat ia tiup kepulan api di dua lilin bentuk angka tersebut.

“Makasih..” Lagi-lagi, ia acak kepalaku. Ia cabut dua lilin tadi dan ia potong kuenya dengan pisau plastik yang sudah disediakan.

“Kenapa ulang tahun lagunya Best Part of Me, sih?” Masih sibuk memotong kue, Mingyu menyahut.

Aku tertawa kecil, “Biar beda aja.”

Mingyu ikut tertawa, “Iya, kamu memang yang paling beda.”

Suapan kue coklat pertama, mendarat di lidahku.

Enak?” Aku selalu suka soal bagaimana dirinya yang selalu menanyakan hal itu ketika setiap makanan masuk ke dalam mulutku. Terlebih, ketika kecil senyuman yang tercipta di ranum merah jambu bibirnya.

Aku mengangguk. “Ini selalu enak buatku.” Kini aku ambil pisau plastik tadi, bergantian memberikan satu potongan kue coklat lain untuk masuk ke dalam mulutnya. “Buat kamu, enak gak?”

“Pilihan kamu selalu enak, kok.”

“Halah.”

“Loh, kan iya?” Mulutnya mengunyah kecil, masih dengan rekah senyum yang tak kunjung hilang dari raut wajahnya.

Aku dan sosoknya saling tatap, lagu milik Ed Sheeran tadi masih mengalun memenuhi seluruh sudut cafe. Samar, dapat aku dengar Mingyu ikut menggumamkan sedikit dari bait-bait liriknya,

“Baby, the best part of me is you. Lately, everything's making sense too. Oh, baby, I'm so in love with you.”

Mingyu jatuhkan jari telunjuknya di puncak hidungku dengan cepat, membuatku sedikit berkedip kemudian tertawa. Dirinya disana melipat kedua tangan di atas meja, tidak sedikitpun menghilangkan intensitas senyum di bibirnya.

Dan demi Tuhan, ia adalah yang paling indah.

-

Mingyu parkirkan mobilnya di parkiran satu taman kota. Sedangkan aku dan dirinya berjalan menyisiri pinggiran kota di atas trotoar, menoleh kemana-mana, melihat bagaimana orang-orang menjalani harinya.

Disana, lamat Mingyu gerakan tangannya agar mampu meraih jemariku untuk saling ditautkan.

Aku mendongak, menatap dirinya yang lebih tinggi dariku dan ia menunduk, tersenyum. Langkahku dan langkahnya masih berselaras, sesekali, jemari yang masih bertaut ini ia ayunkan pelan ke depan dan kebelakang.

Hampir sore, sudah banyak agenda yang terealisasikan hari ini, semua hampir selesai dan aku berharap waktu agaknya menjadi sedikit melambat.

“Buat tadi malam, aku minta maaf ya..” Mingyu bergumam. Tatapku yang terpaku pada langkah, kini mendongak ke arah wajahnya di sebelah kananku.

“It’s okay. It’s already over.”

“Maaf kalau belum bisa jadi manusia yang bisa paham kamu sepenuhnya.”

Langkah aku hentikan, begitupun dengan dirinya. “Mingyu..” Cicitku.

“Hm?”

“Aku aja gak sepenuhnya bisa paham sama diriku sendiri, gimana ceritanya ada orang lain yang nyoba pahamin diriku?”

“I’ll try, why not?”

Aku mengelus pundaknya pelan, “Apapun hubungan kita, mencoba memahami orang lain di atas kata sempurna bukan ranah kamu, ya?” Jelasku. “so.. don’t try too hard.”

“Apapun hubungan kita, kalau itu kamu, aku mau..”

Aku tersenyum kecil, menemukan manik coklat iris matanya. “Kenapa?”

“Kamu cuma satu, aku gak bakalan bisa ketemu kamu dimanapun, di diri siapapun. Jadi, aku mau kamu disini. Maaf kalau aku belum bisa bikin kamu nyaman sama aku.”

Senyumku masih disana, bahkan lebih rekah dari sebelumnya. “Jangan kemana mana.” Sambung Mingyu.

“I won’t.” Balasku. “I can’t, actually.”

Dirinya terbahak.

“Tapi, Mingyu..”

“Hm?”

“Jangan bersikeras. Kita semua bukan kesempurnaan.“

“Aku bakalan bersikeras, sayang. Jadiin kita yang paling sempurna diatas ketidaksempurnaan yang mungkin suatu hari bisa kita bangga-in. Setidaknya, buat aku sama kamu. Itu aja.”

Di dalam palung manik matanya, bisa aku rasakan tumpahan afeksi tak kasat mata, namun penuh dengan rasa.

Ini manusia yang paling aku cinta sampai rasanya darahku menyentuh titik derajat didih, yang membuatku ingin meledak kapan saja. Ini manusia yang disetiap detik menatap lekuk wajahnya, selalu aku selipkan doa agar bahagia selalu dihadiahkan pada dirinya. Karna dari berjuta banyaknya orang yang memijak bumi, dia adalah yang pantas.

Kalau saja aku dan Mingyu bukan berada di tempat umum, aku mungkin sudah loncat dan jatuh dalam rengkuh peluknya. Kalau saja ini bukan tempat umum, tidak akan aku lepas dekapnya barang sedetik menuju waktu berpisah untuk menyambut hari lainnya.

I meant it, buat jangan kemana-mana.”

I won’t. i told you i can’t.

God..” Gumam Mingyu. “I really love you so damn bad it hurts.”

I do too.”

Ia diam, masih dengan jemari yang saling bertaut, ia belum mengalihkan pandangannya kemana-mana.

“Aku harap aku bisa jadi penulis yang nulis jalan takdir hidup, tempat pulang.” Katanya. “I would write your name a million times, underlined.”

Aku terbahak.

We are so drawn and high to the love we owned itself. Seakan-akan, dunia berhenti berputar di titik ini dan kebahagiaan seperti ini yang akan terus aku rasakan tanpa pernah menemukan ujung dan akhir.

Mingyu di setiap katanya, bayangan Mingyu di setiap sudut kota dan kita yang jatuh dengan sebuah perasaan tidak karuan seperti seorang anak remaja.

Kita, adalah yang paling mabuk.

-

Malam hari, sesaat kami sampai dari agenda penuh magis di tiap sudut kota siang menuju sore tadi, ia melambai kecil sambil menyandarkan tubuhnya pada mobil. Sudut simpul senyumnya sama sekali tidak menghilang.

“Dah..” Cicitnya, masih melambai.

“Dah.. Kak..” Ia terkikik geli.

“Kakak balik?” Kami kemudian pecah dalam tawa, terbahak hebat.

“Hati-hati, Kak.” Candaku lagi.

Dirinya yang lebih tua, dirinya yang penuh dengan jawaban kedewasaan di tiap kalimatnya. Dan aku, bagaikan seorang anak kecil yang mengintip di balik daun pintu, menunggu ia menatap eksistensiku kemudian membuka lebar kedua tangannya untuk merengkuhku.

“Hari ini.. Makasih udah mau main sama aku.” Katanya.

“Kita kaya baru kenal kemarin aja..”

I don’t know. It kinda felt different.”

Different gimana?”

Loveliest than before, warmest than the warm, and..”

And?”

“..those butterflies. they flew much more today. don’t know why.” Aku menyunggingkan senyum.

“Kak..” Sahutku.

“Hm?”

'I Love you' sounds cliché, don’t you think so?“ Mingyu mengawang, memanyunkan bibirnya serta alis yang menungkik tajam, berfikir.

Well i’d say.. maybe? Hm, sometimes it feels a lil bit cringy, but if it comes from you.. i do really like it.”

“Kak.. i’ll find a sentence that shows better than ‘i love you’ itself. Until that day, i love you.

Jarak yang tercipta tidak mampu membuat rekah senyum serta kikikan kecil dari sosoknya jadi semu. Semuanya jelas di mataku.

Can you find.. a sentence that shows much more than ‘i love you’?”

Aku mengangkat bahuku tinggi. “Dunno..” Jawabku. “..But I’ll try.”

Mingyu membenarkan posisinya, kali ini berdiri tegak, tidak lagi mengistirahatkan tubuhnya pada mobil.

“Masuk, udah malem. Dingin.” Ucapnya lembut. “I’ll call you as soon as possible, pas aku sampe rumah, oke?”

“Oke.” Aku mengangguk menekuk senyum. “Makasih, buat hari ini. Hati-hati.” Di tengah lambaian kecil dan langkahku menuju pintu, dirinya di ujung sana ikut kembali melambai. Dapat aku lihat ia yang mulai masuk ke dalam mobil, dan hilang di depan muka rumahku, pulang.

Tukaiku melangkah naik menuju lantai atas, kamarku. Aku buang asal slingbag yang aku bawa, membuka outer yang aku pakai, lalu membuang tubuh ke atas kasur sambil menatap langit kamar.

Kemudian berandai-andai.

Kalau. Kalau ternyata semesta jadi yang paling keji, bagaimana kalau tiba-tiba ia merenggut yang kusayang kapanpun saja? Bagaimana kalau detik ini? Bagaimana kalau, ternyata bahagiaku ini tidak mampu menyentuh angka 24 pada satuan jam?

Bagaimana kalau—

Ting!

Denting suara dari ponselku membuyarkan agenda tadi. Buru-buru aku ambil alat elektronik tersebut di dalam slingbag yang sempat aku lempar asal ketika memijak kaki di dalam kamar, dan membuang nafas lega.

‘Arrived home.’

Secercah senyum terlukis di kedua sudut bibirku yang terkatup. Buru-buru aku ketikan sebuah pesan lain untuk membalas pesan yang sudah Mingyu kirimkan.

‘Istirahat. Kamu udah capek seharian ini.’

‘will do.’ Balasnya di beberapa menit kemudian.

‘can i call you?’ Aku terkekeh membaca satu pesan lain yang muncul, lalu dengan cepat aku mengetik untuk balasan lainnya.

‘sure.’

Namanya muncul di layar ponselku, buru-buru aku angkat dan dapat aku dengar gemerisik di ujung sana. Mingyu mungkin memang sudah merebahkan diri di atas kasurnya.

Topik sederhana kemudian jadi obrolan singkat di penghujung hari ini. Dengan memeluk selimutku sendiri, menatap langit kamar dengan suara serak mengantuk milik Mingyu. Ia kadang suka tiba tiba bernyanyi, menulis lirik yang entah apa dengan asal di luar kepala, kadang esok hari sudah terlupa.

Lalu di beberapa menit kemudian akan aku dengar alunan yang semakin melambat, tiba-tiba jadi sunyi dan meninggalkan suara dengkuran kecil.

Dirinya, sudah sampai di dunia mimpi.

Sehabis itu, maka aku akan bersiap untuk ikut mengejarnya bertemu di dunia magis dalam alam bawah sadar. Mungkin saling menautkan jemari seperti tadi? tapi di lapangan hijau yang luas dan penuh ilalang. Atau mungkin, bermain ayunan di satu pohon besar dan sosoknya yang menolak punggungku dengan tawa lebar dan gigi taringnya? Mungkin saja. Pada intinya, hanya aku dan dia saja eksistensi nyatanya pada satu dunia semu tanpa kejelasan. Karna mungkin, esok hari ketika aku membuka mata, semuanya hilang dari ingatan.

Aku menyayangi sosok ini. Tanpa jeda, tidak terhingga.

“Selamat malam. Semoga hujan dalam mimpi cuma lagu. Semoga ada aku. Aku sayang kamu, Kak.”

Dengkuran lain menghiasi pendengaran, malah menjadi lagu pengantar tidurku.

-

Enam April.

“Good morning! Kenapa nelfon?” Dapat aku dengar dirinya yang agak sibuk di seberang sana. “Aku telat ke kantor.”

“Tapi masih sempet angkat telfonku?” Ada suara pintu yang berdecit terbuka, grasak-grusuk dan nafas yang tersenggal.

“will never missed it.” Aku tertawa kecil. “Gak kuliah?” Kali ini dirinya yang melempar tanya.

“Habis siang.”

“Oke.”

“Aku cuma mau ngucapin selamat ulang tahun.” Suara grasak-grusuk tadi kemudian hilang.

“Wait.” Ada suara decitan pintu lainnya dan langkah kaki yang bisa aku dengar. “God. Aku bahkan gak tau kalau hari ini tanggal enam.”

“Well, now you know.” Ia terbahak kecil di ujung sana.

“Makasih.” Sahutnya, kini keadaan dapat aku rasakan jadi lebih tenang dibandingkan bermenit yang lalu.

“Semoga hari ini semesta baik sama kamu.” Kataku.

“Semoga hari ini semesta kasih aku waktu lebih, biar bisa ketemu kamu.”

“I hope so.. because I kinda miss you.”

“me too.”

“Sekali lagi.. Selamat ulang tahun, Kak. Aku sayang kamu. Aku gak bisa ngomong langsung, yang paling penting.. makasih udah ada di bumi. Gausah pindah ke Mars, di Mars gak ada aku. Gak ada oksigen, kalaupun di jual pasti mahal.”

Mingyu terbahak hebat.

“Aku kerja keras supaya bisa beli oksigen dan kita pindah ke Mars. Biar cuma ada kamu sama aku doang.”

“Aneh, kemarin katanya tiap satu tahun sekali bakal ada 100 orang yang pindah ke Mars. Ini kok tiba-tiba malah jadi aku sama kamu doang.”

“Nanti orang lain aku blacklist. Pokoknya cuma ada aku sama kamu.”

“Gimana kalau orang-orang aja yang pindah ke Mars? Kita di Bumi aja, berdua.”

Mingyu lagi lagi terbahak.

“Terserah, yang penting aku sama kamu, kamu sama aku.”

Akupun ikut tertawa. “Aku sama kamu, kamu sama aku.” Ulangku.

“Aku berangkat kerja, ya?” Sahutnya dengan lembut dari sana.

“Iya. Hati-hati di jalan.”

“Lagu Tulus?”

“Nooooo. Beneran hati-hati di jalan sampe ke kantor.”

Dirinya berdeham dan tertawa kecil, “Will do.”

Telfonnya akhirnya terputus.

Aku bukanlah yang paling mahir dalam berkata-kata. Namun, aku terlalu jatuh dalam perangainya, jadi, aku ingin hadiahkan sedikit afeksi lewat tulisan dan ungkapan yang rencananya akan aku kirimkan lewat email pagi ini.

Aku ambil laptopku yang aku letak di dalam totebag yang biasa aku bawa ke kampus, membukanya dan sadar akan satu notifikasi dari sudut layarnya.

‘you’ve receive an email from @mingyukim97@gmail.com.'

'tap to open.’

31 Maret, seminggu sebelum dirinya berulang tahun, dan hari dimana aku dan sosoknya dikikis api emosi. Memang, semenjak hari itu, tidak pernah barang sebentar aku buka alat elektronik ini. Sebuah lampiran penuh dengan tulisan aku temukan.

-

Sleep well.

Mingyukim, March 31, 03.32. to me.

Pertama-tama, maaf.

Aku tau sehabis kamu matiin telfon kita tadi, kamu juga ikut matiin ponsel kamu. I know you too well, sayang.

Yang kedua, maaf. Lagi.

Karna sehabis itu aku gak berusaha buat reach kamu with any of ways. Telfon, Imess, atau lewat adik kamu, Chan. But well yea, i reach you with this email, padahal gak tau kapan kamu bakal buka laptop. Again, I know you too well.

Yang ketiga, another word of ‘maaf’.

Maaf aku kasih kamu ruang sendiri padahal kamu gak suka hal itu, dan maaf, karna aku juga butuh ruang disini. Jadi mungkin, sewaktu kamu baca ini, kita jadi saling paham satu sama lain. Walaupun aku gak mau ranah memahami itu jadi urusan kamu buat aku. Aku mau, itu cukup jadi urusanku. Tapi, aku juga manusia, kan? Yang se-capek capeknya juga kadang mau di pahami. Jadi untuk itu, aku minta maaf, walaupun aku adalah yang paling susah bilang maaf secara lisan, jadi, maaf lagi karna aku harus minta maaf lewat tulisan.

Kali ini, yang ke-empat, bukan kata maaf lagi, tapi terimakasih.

Makasih untuk selalu jadi alasan aku buat memahami makna cinta yang gak melulu soal rasa, gak melulu soal bahagia dan kupu-kupu di dalam perut yang biasa di rasain anak remaja. I know it isn't that easy but, let us hanging for a lil while. I'll take you home soon. I promise i will take you home.

Sleep well, i’ll go to sleep after this and i’ll meet you where everything will always be alright. You know where exactly it is.

i do love you so much from the moon to saturn and will spin it all over again.

—yours forever, kmg.

Ini aku, dengan segala perasaan yang bercampur aduk di dalam diri. Ini aku, yang tidak sempurna dan yang ingin disempurnakan. Lagi, ini aku, yang paling egois yang mendambakan perasaan jatuh. Aku, sepenuhnya manusia.

-

Enam April, selamat lahir.

me, April 6, 09.12 to Mingyukim.

Kak, kita bertemu kembali di tanggal enam bulan ke-empat tahun ini, ternyata, masih ada kita yang berselaras. Untuk itu, aku ucapkan selamat untuk kamu.

Sedikit menapak tilas, aku ingat, bagaimana kita dahulu yang selalu berebut untuk saling mencoba makanan yang kita pesan untuk satu sama lain, kemudian berlagak seolah memberikan komentar atas selera masing-masing. Tidak jarang, kita malah berkelahi saling adu argumentasi.

Atau kejadian lain semacam ucapan telat yang selalu aku tunggu di tiap malamnya dan membuatmu berlari ke rumahku hanya untuk meminta maaf.

“Maafin kakak, kakak lupa.” Begitu katamu, dan kita malahan berakhir duduk di beranda rumah dengan satu bungkus martabak manis dan kemeja putihmu yang sudah sepenuhnya kusut. Harusnya kamu pulang untuk mengistirahatkan diri, tapi malah memilih duduk dengan memasang senyum paling cerah serta menatapku dengan sebuah pertanyaan ketika satu gigitan itu masuk ke dalam mulutku, “enak?” selalu, kamu selalu begitu.

Kamu, tau dan paham bagaimana mengembalikan suasana burukku menjadi lebih baik. Walaupun, tidak jarang kamu itu adalah sebab dan akibatnya.

Ingat obrolan aneh yang selalu kita perbincangkan kalau makan di rumahku? “Kamu lebih pilih tinggal di bumi sendiri, atau ikut Kakak ke Mars?”

Aku hanya akan meninggalkan jawaban dengan sebuah gelengan dan wajah aneh. “Bumi.” Jawabku.

“Tapi Setiap tahun tuh, ada seratus orang yang bakal berangkat ke Mars, jadi mending kamu langsung ikut Kakak aja ke Mars, gimana?” Dan lagi, kemudian kita akan kembali berkelahi.

Hari-hari tidak hanya jadi sekedar hari kalau nama kamu ada di dalamnya, Kak. Itu semua, jadi lebih bermakna dari sekedar menjalani hari selama 24 jam lamanya.

Mendengar kamu mendengkur lewat sambungan telfon, menyanyikan satu sampai dua bait lagu kesukaan kita, membaca buku sederhana di pinggir kota, atau main ke sebuah museum untuk merehatkan diri. Juga beberapa foto, hasil jepretanmu yang selalu aku kagumi.

Kak, kita bukan rumah yang hangat, kita bukan rumah dengan ornamen indah di dindingnya yang mampu mencipta kagum, memang. Tapi aku tetap ingin pulang.

Aku tetap ingin menemukanmu tanpa sebuah setapak dan kompas yang rusak. Aku ingin rengkuh pelukmu walaupun aku tersesat. Aku hanya ingin sentuhan dingin puncak jemarimu yang jatuh di atas kulitku dan yang aku ingin hanya rumahmu dengan dindingnya yang bahkan mungkin sudah retak.

Aku hanya ingin pulang menuju figurmu, menuju sihirmu, menuju larik sajakmu, menuju kamu.

Kak, sekali lagi selamat ulang tahun. Selamat bertemu kembali di tanggal yang sama untuk dua puluh lima kalinya. Semoga bahagia selalu menyertai, entah untuk di angka pada tahun ini, atau seratus tahun yang akan datang.

Terimakasih sudah bernafas di bumi yang fana ini.

Mungkin sesederhana kalimat itu yang mampu aku sampaikan. Hanya untuk sebuah kisah sederhana atas gigitan martabak manis dan argumentasi tanpa makna makanan yang kita pesan di satu restoran di pinggir kota, lagi-lagi terimakasih.

Untuk satu bait lagu pengantar tidur yang kamu buat sendiri, untuk langkah demi langkah serta tautan jemari di trotoar kota, untuk satu foto yang kamu ambil dengan sepenuh hati. Semuanya, kamu, dan terimakasih banyak.

—yours truly, for evermore.

Ada sedikit tetes air mata yang menghujani pipiku, tidak deras namun cukup membuat batinku bergetar. Rasanya aku ingin berteriak kepada dunia, memberi tau bahwa sosok ini adalah yang paling aku sayang dan mampu membuatku jatuh tanpa menemukan titik henti.

Dan sepanjang hari, aku menanti.

Menanti kabar dari sosoknya sampai jam di dinding mulai menunjukan jam pada malam hari.

Tidak kuasa menahan kantuk, aku kirimkan pesan singkat untuk Mingyu, memberi tau kalau aku akan tidur duluan agar dirinya tidak perlu bertanya-tanya kemana sosokku pergi.

‘Aku ngantuk, tidur duluan ya?’

10 menit, ketika aku hampir terbang menuju mimpi, denting notifikasi mengejutkanku dan membuatku sepenuhnya jadi sadar kembali.

‘aku dibawah. udah tidur banget ya?’

Secepat kilat aku raih kenop pintu kamarku dan berlari menuruni tangga, membuka pintu depan dan menemukan sosoknya masih mengenakan pakaian kantornya.

Kemeja putihnya kusut.

“Udah tidur ya?” Dirinya berjalan mendekat. Aku menggeleng, mengucek sedikit mataku.

Berdetik selanjutnya, ia tarik aku ke dalam rengkuh peluknya. Membuatku mengerutkan alis dan sedikit panik, karena tubuh besarnya yang memelukku sedikit bergetar.

“Mingyu? Kamu kenapa?” Suaraku hampir tidak terdengar, di bekap kuat oleh dirinya.

“How can i deserve someone like you, ya?” Lirihnya, suaranya tercekat.

“Mingyu..”

“Aku baca email kamu, di sepanjang jalan mau kesini, tenggorokan ku perih.” Katanya, belum melepaskan pelukan tadi. “Semesta selalu baik, gak cuma buat hari ini, tapi from the first day i met you. Kok bisa ya aku di ketemuin sama kamu. You just.. perfectly fine.”

Aku tertawa. Kini aku ikut memeluknya. Mengeratkan lengan pada punggungnya dan menepuknya pelan serta usapan-usapan kecil yang juga aku hadiahkan.

“Kak..” Panggilku.

“Hm?”

Malam yang dingin, dengan piyama yang memeluk tubuhku serta sunyi yang mengudara, gumam miliknya serasa yang paling memekakan di indra pendengaranku.

“Kalau ‘i love you’ itu sepenuhnya segala konsekuensi. I’ll take it. Konstan, konsisten.. dan kontinu.”

Kini Mingyu lepaskan dekapannya, sedikit agak menunduk menatap manik mataku.

“Did you find it already?”

Aku menekuk bibir, mengangkat bahuku cepat kemudian menggeleng pelan, “Can’t find the sentence that shows much more. But.. i love you.” cicitku dengan tawa malu.

“For me, you are all those sentences.”

Dengan alis yang mengkerut aku melempar tanya, “Maksudnya?”

Kedua sudut ranum merah jambu bibirnya kemudian menungkik tajam, matanya yang lelah serta bercak air sisa sendu tadi di kedua sudut matanya kini melambung berbentuk setengah lingkaran, ia kemudian bersuara pelan, “Every sentence that shows emotion, you. Every sentence that shows an adjective, you. Every sentence with a million meaning behind it, will always be you. Favorite sentence? Word? You. Without hesitation, You.”

You. Kamu. Anda. Dirinya. Sosoknya. Entah dari sudut pandang pertama, kedua atau ketiga, atau banyaknya sudut pandang lain dalam bercerita, Mingyu adalah satu dan porosnya. Dirinya memang pencuri atensi di segala kondisi. Ia adalah tokoh favorit di tiap-tiap penulis menggambarkan karakteristik satu tokoh utama pria di tulisannya, ia adalah kalimat serta jutaan kata, ia adalah alunan serta tangga nada, dan ia adalah bentuk cinta tanpa melulu soal rasa.

Di kota, pada tiap bayang dirinya yang tidak mampu terlepas. Pada kata ketika lemparan-lemparannya yang menyatu jadi kalimat sihir penuh adiksi. Dan kita, yang diperbudak oleh rasa, yang rela di sihir terus menerus tanpa jeda.

—fin.