#11, the unsent letter.


“we're soulmates, you and i, but that doesn't mean it works.”


Seungkwan itu adalah manusia paling positif yang pernah aku temui sosoknya. Dia adalah yang paling ambisius dalam berbagai aspek, walaupun tidak jarang, konotasi negatif malah berputar balik ke arahnya.

Tapi aku tidak bohong saat bilang dirinya adalah manusia paling positif. Segala titik cerah yang aku temui sampai saat ini, tidak pernah jauh dan tidak jarang selalu berasal dari mulutnya.

“Kwan! Psst!” Bisikku dari bangku. Dirinya kemudian menoleh, mengangkat alisnya seakan akan menjawab, “Kenapa?”

“Pulang sekolah kita main yuk?” Aku masih berbisik. Sebenarnya takut-takut karna guru pelajaran Kimia masih mengoceh di depan sana.

Ia tertawa, “Ada les.”

Aku memutar malas bola mataku, kemudian melipat tangan di depan dada.

“Bolos aja ayo sehari.”

“Nanti di marahin Mama..” Jelasnya lagi.

“Jangan sampe ketauan mangkanya.”

“Emang mau kemana?”

“YANG DI BELAKANG!” Aku dan Seungkwan langsung terkesiap. Jangan tanya bagaimana jantungku terpompa begitu kencang di dalam sana, dan aku yakin Seungkwan juga.

“Udah selesai ngobrolnya?” Aku hanya menunduk, dapat aku dengar hentakan sepatu yang menujukan bahwa guru perempuanku ini sedang berjalan mendekat.

Mampus.

“Seungkwan?” Dapat aku lihat sekelebat dirinya yang mendongak ketika namanya di panggil.

“Iya, Bu?”

“Pantas gak juara kelas ngobrol di tengah-tengah saya menjelaskan? Ga ada gunanya nilai kamu itu kalau gak punya etika sama sekali..”

Aku mengernyitkan alis, menatap penuh perasaan tidak suka akan argumentasinya barusan.

“Seungkwan etikanya selalu baik kok, Bu. Cuman hari ini Ibu kurang beruntung aja kali.” Wanita itu kemudian menoleh ke arahku, dan Seungkwan dengan bola matanya yang membulat sempurna.

“Bukan, bukan kurang beruntung sama Seungkwan. Sama saya.”

“Kamu mau saya kasih nilai C?!”

“Akreditasi Ibu juga patutnya di pertanyakan sih, Bu. Kok bisa guru Kimia kaya Ibu dapat nilai A sedangkan cara ngajarnya gini?” Mungkin aku akan menyesali perbuatanku hari ini, seluruh pasang mata benar benar tertuju padaku, serta bisikan bisikan yang entah menjurus ke konotasi apa, setuju atas argumentasiku atau tidak.

Tapi jujur saja, cara perempuan ini mengajar salah satu pelajaran bagian dari IPA itu benar benar membuatku ingin muntah.

“Kamu, ikut saya ke kantor.”

Aku mengerlingkan mata ke arah Seungkwan, rahangnya masih terbuka tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Setelah keluar dari kantor? Aku dapat surat skors selama seminggu.

“Goblok!” Seungkwan menoyor kepalaku. Jam sudah menunjukan pukul tiga sore, sudah jam pulang sekolah.

“Emangnya kamu gak gedek kalau denger dia ngajar?” Seungkwan hanya tertawa.

“Habis ini kamu boleh sombong, soalnya anak-anak pada salut sama kamu.” Seungkwan kini mengacak puncak kepalaku.

“Kan, aku bilang juga apa. Memang dia gak becus kalau ngajar.” Dirinya terbahak, kemudian menggenggam erat ranselnya.

“Terus ini kamu mau bilang apa sama orang tua kamu?”

“Yaaa.. di-skors? Emang mau bilang apa lagi? Paling di usir dari rumah.” Candaku.

“Kalau gitu nginep di rumahku.”

“Habis itu aku yang di usir Mama kamu..” Tawa kemudian pecah hingga kami terbahak.

Langkahku dan langkah Seungkwan berselaras keluar dari pekarangan sekolah, menunggu jemputan masing-masing.

Sebenarnya ikut menunggu Seungkwan untuk di jemput sopirnya. Kalau aku? Apa gunanya kendaraan umum?

Seungkwan kini menyenderkan bahunya pada pagar sekolah, mengawang ke langit sana.

“Jadi, gak jadi mau main?” Tanyaku, dan ia menggeleng.

“Kamu tuh apa gak capek ya, Kwan?”

“Capek apa?”

“Ya gini.. Pulang sekolah ikut les. Seeettiaaaaap hari, weekend? Les musik. Terus waktu buat diri kamu sendiri, kapan?” Dari sudut mataku, dapat aku lihat sudut bibirnya yang terangkat.

“Gak ada.”

“Tuh kan.. Ayo kita main. Sehari aja kamu lepas penat, Kwan. Kasih waktu buat diri kamu.” Kini ia menunduk menatap sepatunya.

“Kapan-kapan aja, oke?” Dirinya sama sekali tidak menoleh kearahku, melainkan aku yang memutar tubuh menoleh ke arahnya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Temanku ini, di kekang sampai-sampai tidak punya waktu untuk dirinya sendiri.

“Yaudah, count on me ya kalau kamu mau kemana mana. I meant it.” Aku tepuk bahunya pelan beberapa kali, memunculkan senyum singkat dari sudut bibirnya.

“Okay.”

-

Sore hari pada hari Senin, ku temukan Seungkwan berdiri di depan halaman rumahku dengan sekantong plastik putih di tangannya.

“Udah pulang sekolah ya?”

Ini adalah hari pertamaku di skors.

Seungkwan kemudian berbalik, kini berdiri menghadapku, menyerahkan satu kantong plastik tadi.

“Hari pertama kamu gak ada di sekolah hari ini udah selesai. Nih, terang bulan.” Aku menerimanya, “Masih ada 6 hari lagi.”

Aku menarik senyum simpul, hampir berkaca-kaca.

You missed me?” Candaku, membuatnya menggaruk tekuk.

A little?” Aku terbahak menutup mulutku, menunduk menatap plastik tadi kemudian memelintir pegangannya.

“Aku balik ya kalau gitu..”

“Kwan!”

“Ya?” Belum sempat dirinya melangkah, kini ia berbalik.

“Ayo makan bareng di dalem..” Ajakku. Dirinya menggeleng.

“Les.”

“5 menit aja, kamu makan satu potong. Masa kamu yang bawa tapi kamunya gak makan.” Dirinya terkekeh kecil.

“Kan memang buat kamu?”

“Iya, bareng ayo makannya. 5 menit aja.”

“Yaudah kalau gitu.”

Aku dan dirinya duduk di beranda rumah, tidak jadi masuk ke dalam. Aku membuka isi kantong plastik tadi dan mulai mengunyah, menatap pekarangan rumah sambil sesekali tertawa.

“Kamu tau gak,” Seungkwan bersuara, sesekali menyapu ujung bibirnya dengan jari untuk membersihkan coklat yang menempel. “Aku dapet surat lagi di loker.”

“Oh ya?” Dirinya mengangguk. “Masih anon?” Tanyaku.

“Iya, aku gak tau itu dari siapa.”

“Memangnya dia kirim suratnya berapa kali sih?” Seungkwan memutar bola matanya ke atas, berfikir.

“Kadang seminggu dua kali? Kadang seminggu sekali.” Katanya memastikan.

Secret admirer kamu kali.” Kataku berspekulasi.

Seungkwan malah mengerutkan alisnya, menggeleng. “Dia gak pernah nyinggung soal perasaan di tiap isinya. Yang selalu dia singguh tuh selalu soal, aku itu cukup, gak perlu ini gak perlu itu, gitu.”

Seungkwan kini berhenti mengunyah.

“Ya.. mungkin itu cara secret admirer kamu nyampein perasaannya, Kwan. Mungkin dia pengen kamu tau kalau kamu cukup, gak perlu maksain apa apa, udah.”

“Apa sih motivasi para secret admirer ini? Kenapa mereka gak mau ngasih tau jati dirinya?”

“Malu kali.”

“Kenapa dia harus malu?”

“Ya mereka mungkin takut, Kwan. Kalau kamu tau mereka siapa, kamu nolak mereka. Make sense, right?“ Aku mengambil satu potong terang bulan lainnya.

“Kalau gitu, berarti tandanya mereka gak siap sama segala konsekuensi soal jatuh cinta. Kalau memang gak siap, lebih baik gausah di mulai. Iyakan?” Kini aku berhenti mengunyah, menatap dirinya.

“Setiap surat dengan tulisan yang aku sama sekali gak tanda tulisan siapa itu dan selalu aku dapet di lokerku jadi tanda gak sih? Kalau dia udah memulai, siapapun itu, kalaupun aku belum bisa nerima, itu berarti konsekuensi yang harus dia terima. Make sense, Right?” Sambungnya, kini ia menekuk bibirnya menunduk sambil memainkan jemari.

“Tapi, kalaupun aku tau orangnya, aku bakal berusaha buat nerima dia seberapa kurangpun dia..”

“Kenapa, Kwan?”

“Hm..” Seungkwan mengawangkan pandangannya, jauh kedepan. “Bebanku kadang jadi suka keangkat kalau baca suratnya, walaupun keangkatnya cuman sedikit.” Dari sudut visualku, dapat aku lihat bola matanya yang bergetar dan mulai berembun.

Aku tau, hidup Seungkwan bukan yang sempurna seperti yang terlihat. Bagaimana anak anak sekolah yang selalu mengelu-kan namanya. Yang bilang bahwa hidup Seungkwan adalah yang paling di dambakan.

Rumah mewah, anak tunggal, sopir pribadi, mobil khusus, pintar, juara kelas dan kalau ikut olimpiade, tidak jarang Seungkwan selalu memboyong pulang piala kemenangan.

Namun melihat sosoknya duduk di sampingku sambil menghembuskan nafas berat, membuatku menyimpulkan banyak hal. Selalu ada celah kecacatan disetiap kesempurnaan, dan sebenarnya bukan jadi sebuah masalah atas kecacatan itu sendiri. Bukan tanpa alasan Tuhan menciptakan tiap insan dengan kekurangannya, agar selalu menghargai hidup, agar selalu bersyukur atas bagaimana perputaran dunia menuntun.

Aku menepuk bahunya, kemudian mengelusnya pelan.

“Kwan, kamu tau kan tempat kamu buat cerita ada dimana?” Dirinya menoleh, menyinggung senyum tulus penuh arti.

You, of course. Siapa lagi?” Kami tergelak dalam tawa singkat, dirinya kemudian berdiri.

“Aku harus pergi les.” Katanya, aku mengangguk.

“Semangat! Nanti malem telfon aku.” Godaku membuatnya terbahak sampai-sampai bertepuk tangan.

Stay on your phone, ya.”

Will do!”

Belum sempat ia melangkah keluar dari pekarangan rumahku, ia berbalik. “Besok aku kesini lagi, mau dibawain apa?”

“Ngapain kesini lagi?”

“Sehari gak ketemu kamu rasanya kaya aneh. Jadi sampe skors kamu selesai, aku bakal main kesini terus.” Jelasnya. “Mau dibawain apa, besok?”

“Besok,” Aku gantungkan kalimatku sejenak. “Bawa diri kamu sendiri aja. Sama…”

“Sama apa?”

“Sama waktu kamu. Barang se-jam aja, Kwan. Kita main, ya?” Lagi-lagi senyum kecil menghiasi dimensi wajahnya, dirinya mengangguk.

I’ll try.”

Aku mengangkat bahuku, “I’ll wait, then.”

See you next evening.”

See you, Kwan.”

-

Besoknya di sore hari aku temukan dirinya lagi lagi berdiri mengetuk pintu. Kemeja sekolah yang sudah tidak lagi rapi, bahkan tidak lagi memakai dasi. Ranselnya ia gantung di sebelah bahu.

“Gimana?” Tanyaku sesaat membuka pintu.

Can’t.” Dirinya kemudian kembali menyodorkan jajanan ringan sekantung plastik penuh. “Jajan buat kamu.”

Aku membuang nafas, sedikit kecewa. Karena padahal malam tadi, segala skenario sudah memenuhi kepalaku. Bagaimana aku dan dirinya main di Timezone, makan di restoran, melakukan photobooth dan lain sebagainya.

Can’t say no.”

What?” Aku mendongak, menatap dirinya yang agak lebih tinggi dariku.

Seungkwan mengedarkan pandangannya. “Supir aku lagi pergi ke supermarket sebentar, katanya beli rokok. Kamu ada pintu belakang kan?”

“Hah?”

C’mon! Ayo kita main.”

“Nanti kalau kamu di marahin Mama kamu gimana, Kwan?”

“Paling besoknya juga udah baik lagi. Let’s go?”

Senyumku merekah hebat, pun dengan sosok di depanku ini. Tanpa menyuruhnya membuka sepatu, aku tarik ia masuk ke dalam rumahku untuk keluar dari pintu belakang.

“MAMAH! AKU PERGI MAIN SEBENTAR YA!” Teriakku, berharap Ibuku mendengar.

“Udah sore?” Dapat aku dengar sahutan wanita tersebut menyambangi pendengaranku.

“Satu jam aja!”

Kemudian, sosokku dan sosoknya hilang dari balik daun pintu belakang rumah, serta gebrakan yang agak kuat, mungkin saja membuat orang-orang di rumahku terkejut mendengarnya.

Aku berlari, masih dengan tangan yang mencengkram kuat pergelangan tangan Seungkwan. Dari sini, dapat aku lihat dirinya yang menggenggam ransel, kemudian terbahak sambil sesekali menggerakan kepalanya untuk membenarkan surai yang teracak akibat menabrak angin.

Aku, belum pernah melihat tawa Seungkwan sampai sebahagia ini.

Kemudian di halte bus, kami buru buru naik, namun harus berdiri karna seluruh bangku di penuhi orang-orang yang baru saja pulang dari segala kegiatannya.

Seungkwan mengawangkan pandangannya ke seluruh sudut bus, dengan terhimpit.

“Udah pernah naik metrotrans?” Tanyaku, mendongak dengan berhadapan tepat di depan wajahnya. Ia menggeleng. Tangannya yang satu menggapai penopang, menahan diri dari guncangan-guncangan kecil.

“Seru gak?”

“Panas.” Katanya, dapat aku lihat butir-butir keringat di pelipisnya. Aku tertawa.

“Nanti kalau ada yang kosong, kita duduk.” Seungkwan hanya mengangguk memberikan jawaban.

Beberapa menit, aku dan dirinya berlari ketika mendapat bangku kosong yang bersebrangan, kini aku dan Seungkwan saling duduk berhadapan.

Tidak lama, ia mengeluarkan ponsel, memotret diriku dan secara bergantian aku memotret dirinya.

“Kali pertama Seungkwan naik metrotrans.” Ucapku agak berteriak sambil mengotak-atik ponsel, memberikan note pada gambarnya.

Setelah sampai di satu pusat perbelanjaan, aku dan ia lebih dulu pergi makan sebelum bermain.

Pepperlunch, gerai tempat makan paling terkenal jadi tujuanku dan Seungkwan.

Sesekali ada gelak tawa sampai-sampai membuat beberapa orang menatap penuh keheranan. Kadang, ada suara garpu yang jatuh ke lantai dan lagi-lagi jadi bahan tontonan. Pada intinya, rekah senyum serta tawa di raut wajah Seungkwan, hari ini lebih berwarna dari pada hari-hari sebelumnya.

Setelahnya, aku dan dirinya bermain ke Timezone. Mengisi satu kartu kemudian bermain segala yang ada. Bola basket, capit boneka tapi selalu gagal sampai percobaan ke-lima, dan akhirnya menuju ke Photobooth.

Satu kali putaran dengan empat gambar yang berbeda, kemudian putaran kedua dengan empat gambar berbeda lainnya. Ketika hasilnya keluar, aku dan Seungkwan terkikik geli, mengomentari gaya masing-masing.

Pada hampir pukul 5 sore, aku duduk di rooftop pusat perbelanjaan yang sama dengan dua cone es krim di masing masing tangan.

Langit warnanya tidak lagi biru, hampir menjadi oranye.

Thank you for today.” Sahutnya.

Aku mengibaskan tangan di depan wajah. “Lebay.” Kataku. Seungkwan malah tertawa kecil. “Seneng kan hari ini?”

The best i ever have.”

“Kapan-kapan lagi pokoknya.”

Sure. Seharian penuh kalau bisa.”

Why not?”

Kami menatap lamat langit senja, membiarkan angin menyapu wajah, tersenyum kecil menghargai hari ini, detik ini. Karna mungkin, belum tentu terjadi dua kali. Itu sebabnya, banyak orang yang mengabadikan momen di dalam potret.

Potret!

Aku buru buru mengeluarkan ponsel, membuka kamera kemudian diam-diam memotret Seungkwan dengan latar belakang langit sore.

Dirinya menoleh terkejut ketika suara dari ponselku berbunyi ketika memencet tombolnya.

“Hehe. Seungkwan with Sunset.” Aku tunjukan hasilnya kemudian.

“Bagus.” Katanya.

“Mau lagi?”

Ia menggeleng. “Kalau di foto lagi, kan udah sadar. Gak keliatan kalau lagi menikmati momennya.” Aku terbahak agak kuat.

“Bener juga ya.”

Ketika aku membuka kembali isi galeriku untuk hari ini, ada banyak wajah Seungkwan yang menghiasi. Lagi-lagi membuatku memunculkan senyum.

“SEUNGKWAN!” Aku dan ia menoleh cepat ketika satu suara bentakan terdengar.

Seorang wanita familiar muncul dari daun pintu rooftop, Mama Seungkwan.

Dengan suara hentak dari Heelsnya, ia mendekat ke meja tempat aku dan Seungkwan duduk. Dari raut wajahnya, beliau sedang di bakar api kemarahan.

Hal selanjutnya yang membuatku menganga sampai membulatkan mata, bahkan melempar ponselku sendiri adalah ketika sebuah tamparan mendarat di salah satu pipi Seungkwan.

“Tante..” Kataku menghampiri.

Dan satu tamparan ikut mendarat di pipiku.

“Mah..” Dapat aku dengar lirih suara Seungkwan.

Aku masih memegang pipiku yang panas, melihat sekitar bagaimana orang-orang menjadikan ini sebagai bahan tontonan. Bahkan, ada beberapa kamera yang tertuju kepada kami.

“Kamu tau hari ini jadwal les Kimia kamu, kan?” Dapat aku lihat bagaimana rahang wanita itu mengeras.

“Tante.. di bicarain di tempat lain aja. Ini jadi bahan tontonan orang, tante..” Aku mendekat, berusaha menggapai lengannya, namun di tepis kuat sampai sampai membuatku oleng dari atas pijakanku.

“Kamu dalangnya ya? Yang bikin anak saya bisa-bisanya bolos dari les wajibnya? Kamu pikir yang biayai les Seungkwan itu kamu? Kamu tau biaya les buat Seungkwan yang saya keluarkan berapa?! Hah?!” Api amarah dari manik mata Ibu Seungkwan terlihat jelas.

“Mamah..” Hanya panggilan kecil yang mampu keluar dari mulut Seungkwan.

“Saya gak mau lihat lagi kamu bergaul sama anak saya. Bisa-bisanya anak kaya kamu berani berteman dengan Seung—“

“MAMAH!” Wajah Seungkwan merah, matanya, serta bibirnya yang bergetar.

“Mamah tau gak..” Seungkwan menangis. “Mamah tau ga seberapa capeknya Kwan ngikutin segala omongan Mamah? Seungkwan capek, Mah. Seungkwan capek tiap pulang sekolah harus pergi les. Seungkwan capek setiap akhir pekan bukannya istirahat malah Les musik.” Ia menarik nafasnya.

“Seungkwan capek, capek, capek, Mah. Barang sehari aja apa Kwan gak boleh main? Kwan juga pengen main bukan cuma belajar doang tiap detik.”

Tidak ada jawaban. Berdetik kemudian, Ibunya menarik tangannya pergi dari sana. Meninggalkanku serta beberapa pasang mata yang semenjak tadi belum mengalihkan pandangannya.

Harusnya ini jadi hari bahagia, namun, secepat cahaya hancur di depan mata.

Aku pulang sendiri kemudian. Menahan tangis di sepanjang perjalanan. Menerka, apa yang terjadi dengan Seungkwan di rumahnya sana.

Sesampainya di rumah, aku cepat-cepat kirimkan sosoknya sebuah pesan, memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.

I’m okay! Aku udah ngomong berdua sama Mama.’ Balasnya.

You sure, Kwan?’

Bubble Message lain kemudian muncul.

‘Of course I am. You don’t have to worry.’

‘Good, then.’

Lama aku menunggu balasan lainnya. Sampai-sampai membuat aku menggigit bibir, menerka bahwa memang dirinya baik-baik saja disana.

Tidak lama, notifikasi lain atas namanya muncul kembali.

‘can i call you?’ Aku membuang nafas lega, dirinya memang baik-baik saja.

‘sure, Kwan. You can.’

Ponselku berdering, memunculkan nama Seungkwan disana.

“Halo?”

“Hai..” Aku balas sahutannya dari seberang. “You okay, kan?”

Dengan suara serak, ia tertawa. “Aku gak papa, serius deh.”

“Kok Mamah kamu bisa tau?”

“Kamu tau kan, aplikasi bawaan find my phone? Ternyata phoneku kesangkut disana. Jadi ketauan.” Dapat aku dengar ia yang terkikik.

“Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi di marahin kaya gini. Mana tadi jadi bahan tontonan orang lagi.”

No.. Kita sama-sama ngerencanain ini. Lagian tadi di awal kamu juga udah concerned. Aku yang bandel.”

“Tetep aja, Kwan. Aku gak enak.”

“Gak papa.” Katanya. Dari sini, dapat aku dengar ia yang terus terusan menarik lendir hidungnya.

“Kamu pilek?” Tanyaku.

Dengan suara yang sedikit bindeng, ia menjawab, “Iya..”

“Kamu beneran pilek apa nangis, Kwan? Jujur.” Aku mengernyitkan alis, tidak paham atas situasi yang sedang terjadi.

“Pilek..” Balasnya.

“Jujur.”

“Pilek. Beneran pilek, gimana sih..” Ia terbahak kecil. Aku diam sejenak, berusaha menimbang soal pernyataannya yang mengatakan bahwa apakah benar ia memang baik-baik saja disana.

“Cepet sembuh, kalau gitu.” Cicitku.

“Makasih. Padahal cuma pilek doang.” Dirinya terus menerus terbahak kecil, padahal tidak ada yang lucu dalam percakapan yang terjadi antara aku dan dirinya.

“Oiya..” Seungkwan menyahut kembali. “Hari ini aku dapat surat lagi.” Katanya.

“Masih anon dan tulisan yang sama?” Tanyaku.

“Iya..” Kemudian dapat aku dengar suara lipatan kertas dari sana. “Kamu mau denger gak?”

“Seungkwan..” Dan dari sini, samar aku dengar suara wanita yang menyahut. “Kamu kenapa gak belajar?” Aku dengar dengan seksama.

“Iya, Mah. Habis ini Kwan buka buku..” Kemudian suara decitan pintu tertutup. “Sorry ya, tadi Mamah masuk..” Ia kembali padaku.

“Iya gak papa, Seungkwan.” Beberapa menit, sunyi dan senyap mengudara. Dan sesekali dengan sengat jelas, dapat aku dengar dirinya yang membuang nafas.

“Kwan..” Panggilku.

“Hm?”

“Kalau tiba-tiba yang ngirimin kamu surat itu ngaku, di depan muka kamu langsung, gimana?”

I would love to. I will try to accept her feeling. Karna kaya yang aku bilang kemarin sama kamu, setiap aku baca suratnya aku selalu ngerasa bebanku di angkat. Jadi kalaupun eksistensinya jadi nyata, it will make my life easier, don’t you think so?” Aku mengangguk, menggigit dalam bibirku.

“Yup. It’ll be easier.”

“Kamu gak ngantuk?” Seungkwan kini melempar pertanyaan.

“Hm.. kamu?”

“Dikit..” Katanya, memberikan validasi.

“Yaudah, tidur, yuk?”

“Mataku perih banget.” Jelasnya lagi.

“Gara-gara nangis tadi ya?”

“Haha, iya kayanya.” Aku terdiam, masih mengingat kejadian sore tadi dengan jelas dan tiba-tiba kembali bersedih. “Oiya.. aku mau sampein maaf atas nama Mamah, ya? Maaf tadi Mamah sampe nampar kamu kaya gitu.”

Aku tidak menangis ketika telapak tangan wanita tadi menyentuh pipiku, sama sekali tidak. Namun perkataan Seungkwan barusan, malah membuat ulu hatiku nyeri, tenggorokanku mendadak jadi perih dan embun air mata mulai memupuk.

Aku terseguk, dan membuat Seungkwan terkesiap di ujung sana.

“Loh, kok malah nangis?”

Dapat aku bayangkan dengan jelas, bagaimana perihnya menjadi seorang Seungkwan, yang di tampar oleh Ibu kandungnya sendiri. Dan itu, itu jadi alasan lebih besar atas tangisku, daripada aku yang di tampar oleh Ibunya.

“Sekali lagi maafin aku.” Lirihnya semakin membuatku ngilu. “Aku janji, setelah hari ini gak boleh ada yang nyentuh kamu, termasuk Mamahku sendiri..”

-

Hari ini hari Rabu, hari ketiga masa skorsku. Di sore hari, aku tidak menemukan Seungkwan di beranda rumah seperti janji yang sebelumnya ia janjikan.

‘Maaf ya, aku gak enak badan. Hari ini gak sekolah.’

Bubble Message dari nya muncul di layar ponselku.

‘Mau aku jenguk?’ Lama. Lama aku mendapat balasan dari sosoknya di seberang sana.

‘Gausah, gak papa. Mamah moodnya lagi gak baik juga’

‘Kalau gitu cepet sembuh, ya?’

‘Will do!’

Di malam hari, kembali ada aku dan dirinya yang saling bertukar cerita lewat telfon serta gelak tawa yang menggembara.

Namun, lagi-lagi dari Kamis menuju Sabtu, masih belum kutemukan dirinya berdiri di depan daun pintu rumahku lagi di sore hari selepas pulang sekolah.

Dan aku mencari.

Beberapa pesan singkat aku kirim, namun tidak kunjung mendapatkan balasan.

Aku menghela nafas, berfikir positif mungkin Seungkwan butuh banyak istirahat. Jadi dia tidak sempat menyentuh ponselnya.

‘Seungkwan bakalan baik-baik aja. Kalau sakit dia pasti bakal sembuh. He will be okay, you don’t have to worry.’ Bisikku kepada diriku sendiri.

Lamat aku tatap meja belajarku, dan secarik kertas serta pena yang tidak tersentuh disana. Kemudian aku melangkah, duduk di depan meja dan berfikir lama.

“Tapi, kalaupun aku tau orangnya, aku bakal berusaha buat nerima dia seberapa kurangpun dia.”

Begitu kalimat Seungkwan kembali mengembara di ingatanku. Katanya, Seungkwan akan berusaha untuk menerima.

Menerima seseorang yang selalu mengiriminya secarik surat sederhana. Dan katanya lagi, ada beban yang terangkat.

Kini, aku bulatkan tekadku.

Untuk mengaku.

Bahwa selama hampir tiga tahun belakangan, ada aku yang rela memanjat pagar sekolah dan mendelisik masuk diam-diam ke dalam kelas. Hanya untuk menyelipkan sebuah surat ke dalam lokernya.

Bahkan di masa skorsku ini.

Memberi tau bahwa ia tidak perlu harus terus dan menerus memaksakan diri. Bahwa dia akan selalu baik-baik saja tanpa harus membawa pulang sebuah piala pada satu lomba olimpiade, bahwa tidak masalah kalau dia turun dari angka 1 menjadi 2 atau 3 di juara kelas.

Bahwa tidak menjadi ambisius pun, tidak apa-apa.

Kini tinta hitam itu sudah mencoret di atas kertas putih. Aku, di hari senin nanti, harus memberikan ini secara langsung.

Bahwa aku berani mengambil risiko serta konsekuensinya, bahwa aku memang berani memulai.

Ketika coretan-coretan itu kini selesai, aku lipat kertasnya. Aku masukan ke dalam amplop kertas berwarna vintage, serta beberapa hiasan poststamp di beberapa bagiannya.

Aku membuang nafasku pelan. Hari senin nanti, aku akan mengaku.

-

Hari ini, aku memakai seragam sekolahku lebih rapi. Dasi kupu-kupu di kerah kemejanya aku ikat kuat, dan menepuk beberapa bagian untuk merapikan.

Aku siap.

Siap memulai hari, siap bertemu Seungkwan dan siap untuk mengaku.

Jangan tanya seberapa kencangnya jantungku terpompa di dalam sana.

Sampai di koridor sekolah, ada perasaan meletup-letup di dadaku. Perasaan tidak sabar untuk kembali bertemu dengan Seungkwan setelah beberapa hari harus berpisah. Perasaan campur aduk, senang, takut-takut, sedih, bahagia, segalanya benar-benar tercampur menjadi satu. Sesekali tubuhku bergetar, menggigil dan merinding karna rasa gugup yang menggerogoti.

Dan amplop berisi secarik surat yang telah aku tulis, aku genggam kuat di tangan kananku.

Tidak sabar, kini tukaiku mulai menciptakan langkah lebih banyak, berlari.

Aku harus mengaku, itu aku, aku yang memanipulasi tulisanku sendiri, dan bahwa aku akhirnya berani mengambil segala konsekuensi yang ada soal jatuh cinta.

Seungkwan, aku sekarang sama seperti kamu, berani. Dan aku bangga pada diriku.

Ketika aku sampai di depan daun pintu kelas, berpasang mata kini tertuju padaku.

Pipi panas yang tadi sempat merona, senyum cerah yang tadi sempat terukir, mendadak hilang. Menciptakan bingung.

Salah satu temanku berjalan mendekat, menepuk pundakku, Umji. Kemudian sosoknya bersuara, “Seungkwan pasti bangga punya temen kaya kamu.” Katanya.

Ketika Umji menggeser tubuhnya, dapat aku lihat berikat-ikat rangkaian bunga tergeletak di atas meja Seungkwan.

Fotonya, serta amplop-amplop surat.

“Tadi pagi, kata Ibu wali kelas, Seungkwan udah gak ada.”

-

‘Seungkwan udah gak ada.’

Kalimat itu terus mengiang di kepalaku. Memekakkan.

Pagi tadi, aku berlari terseok, menangis menggigit lengan kemeja sekolahku ke rumah Seungkwan yang berkilo-kilo meter jauhnya.

Hanya untuk menemukan dirinya yang sudah terbujur kaku.

Tidak, itu bukan Seungkwan-ku.

“Hasil autopsi Kwan, dia bunuh diri di kamar mandi kamarnya.”

Ketika aku melangkah mendekat, dapat aku lihat sayatan di pergelangan tangannya.

“Kata pihak polisi, orang tuanya masih di selidiki.”

Segala pernyataan yang aku dengar pagi tadi membuatku muak. Dunia, sedang bercanda, kan?

Aku runtuh di atas lututku, beteriak meraung sampai harus di peluk orang-orang yang ada di sana.

Aku terlambat.

Aku terlambat ya, Kwan? Maaf.

-

Jendela kelas terbuka lebar, angin menyeruak masuk menghantam kain gorden putih transparan serta rambutku, sudah jam pulang sekolah. Sudah sore.

Sekolah sudah sepi, koridor tidak ada suara canda dan tawa lagi, hanya tinggal sosokku yang menyendiri.

Aku berdiri menghadap keluar jendela sana, dan meja kosong Seungkwan di samping kiriku.

Aku tatap lamat, memvisualisasikan dirinya yang sedang menatapku dengan rekah senyum menawannya.

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa liatin aku kaya gitu?”

Ia menggeleng, bersuara, “Warna bola mata kamu jadi terang.”

Sesaat aku mengerjapkan mata atas embun yang menumpuk, semua ternyata hanya ilusiku.

Tangan kananku masih menggenggam surat yang belum sempat aku berikan. Yang belum sempat aku serahkan. Dan aku yang belum sempat mengaku.

Kalau saja, aku mengirim surat lainnya sebelum surat ini, mungkin beban Seungkwan akan terangkat barang sedikit, kan? Mungkin, Seungkwan masih ada disini. Duduk di bangkunya, menatapku dengan senyum tulusnya kemudian saling tertawa.

Berdua di kelas ini.

Dengan tangan yang bergetar hebat, aku sobek amplopnya, aku keluarkan kertasnya dan aku bentang agar mampu aku baca tulisannya.

Dengan seguk hebat dan suara yang parau, aku bersuara, “Seungkwan..” Namanya sebagai larik pertama atas pembuka.

Aku tarik nafasku dalam dalam, menutup mata dan berusaha sekuat tenaga menahan perih di tenggorokan.

“Ini jadi surat penutup untukmu.”

“Besok, maaf kalau kamu enggak dapet surat lagi di dalam loker, karena aku memutuskan untuk berhenti jadi orang 'sok' misterius dan memutuskan untuk menjadi diriku sendiri.”

“Seungkwan, koridor sekolah yang panjang dan selalu jadi tempat kita berlari saling kejar untuk sampai di kantin, akan jadi saksi bahwa perasaanku lebih dari sekedar saling tertawa di atas hubungan pertemanan ini.”

“Kantin tempat kita minum minuman favorit kita, lebih dari sebuah kenangan sederhana, mereka istimewa.”

“Pohon rindang di belakang sekolah yang jadi tempat kita berteduh sambil membaca buku novel romantis yang kita beli di Gramedia, kalah subur di bandingkan bagaimana rasa ini tumbuh di tiap hari manik mataku bertemu milik kamu.”

“Seungkwan, aku udah berani, untuk ambil segala konsekuensi soal jatuh cinta. Tapi sebelum cinta hilang dan bersisa jatuh, gapai tanganku sejenak, boleh ya?”

“Kalau boleh, aku mau agenda-agenda yang biasa kita lakukan tidak lagi berlandaskan sebuah status pertemanan, aku mau lebih. Aku mau kamu lebih untuk mengakui perasaanku daripada seorang teman.”

“Kalau kamu baca surat ini sewaktu di sekolah, jangan lihat mata aku ya. Apalagi kalau kamu mutusin untuk tetep temenan aja, karna aku takut visualisasiku jadi kabur dan akhirnya aku harus nangis di depan kamu.”

“Tapi.. aku berani kan perihal konsekuensi soal jatuh cinta? Yaa.. Bukan berarti aku kuat kalau di tolak sama kamu, Kwan.”

“Jadi, aku harap kamu bisa pertimbangkan waktu yang udah kita jalani dan yang akan kita jalani bukan lagi berlandaskan perasaan antara teman dengan teman yang lainnya, tapi mungkin, lebih dari itu.”

Yours truly, yours for evermore.”

Kalimat dari kalimat selesai aku baca, meninggalkan pilu yang lebih mendalam. Aku meraung menepuk dadaku, meremas kertas di tanganku, terjatuh di atas lutut.

Berdetik kemudian, lagi lagi ilusiku menggambarkan bagaimana sosoknya yang menemuiku di jam pulang sekolah. Menengadahkan tangan di depan wajahku dan barangkali selesai mempertimbangkan satu dari banyak hal, mungkin saling menautkan jemari di sepanjang perjalanan pulang.

—fin.