—Epilogue; Nadit.

Bagian Barat Los Angeles, California, Amerika Serikat. Kota Malibu.

Rambut Mingyu menyeruak bak singa yang baru saja terbangun dari tidurnya, dan oh ya, Mingyu pun sama, baru bangkit dari mimpinya.

Bermodalkan kaos oblong dan celana ponggol, ia berjalan kedapur, membuka kulkas dan menegak sebotol air mineral dingin. Nyawanya masih belum sepenuhnya terkumpul.

Dari sekat kaca bening di rumah barunya, ia dapat melihat bagaimana deburan ombak terus datang dan pergi dari sisi pantai, pemandangan yang selalu Mingyu elu-elu kan semenjak dulu.

Selagi Matahari belum berdiri dipuncak kepala, Mingyu mengganti pakaiannya, hanya menyikat giginya serta mencuci wajahnya asal kemudian mengajak anak anjingnya berolahraga kecil, namanya Mickey.

Diatas pasir pantai, Frisbee berwarna kuning berada ditangan kanan Mingyu, berkali kali ia lempar dan dengan sigap Mikey menangkapnya dan membawanya kembali ke tangan Mingyu. Begitu terus, sampai beberapa anak kecil mulai mengerumuni Mickey.

“Namanya siapa?” Seorang anak lelaki mengelus kepalanya.

“Mickey”

Ew, sounds like a mouse.

You named your mouse with Mickey?

No, it’s Mickey Mouse. You don’t know?

“Oh. Didn't think about that.” Jawab Mingyu, mengusap tekuknya. “What’s your name?” Mingyu menanyai satu dari 3 anak yang ada dihadapannya.

“Jake, he is Niki and she..” Ia menunjuk satu anak kecil perempuan, “She is Wan.”

“Wan?”

“Sebenernya nama aku tuh jelek, jadi aku maunya dipanggil Wan aja”

“Memangnya nama kamu siapa?”

“Seung Wan” Mingyu terpaku. Ia tersenyum getir dengan matanya yang mendadak panas.

It’s like my wife's name, it is such a pretty name you know? Gak jelek sama sekali, kok. ” Mingyu mengelus puncak kepalanya.

Is she pretty?

The prettiest girl I’ve ever seen.

Then, where is she?” Mingyu menyunggingkan senyum, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan 3 orang anak kecil ini.

Dirinya sedikit berfikir sebelum menjawab pertanyaan si gadis kecil. “Hmm.. She’s at home.

Making you a tea?” Si gadis bersuara dengan tertawa kecil.

Yes, making me a tea.

Well, then we should come to your home to drink some cup of tea.” Anak laki laki yang memperkenalkan diri dengan nama Jake tadi berseru.

“Hm.. not today, I guess.

Whyyyy?” Gadis kecil Seung Wan merengek.

Hm.. she is kind a bit sick. So sorry.

Next time when we meet again, we’ll drink your wife’s tea, Mr..?” Yang ditunjuk Niki tadi mengerutkan alisnya, bertanya.

“Kim. It’s Kim”

“Oke, Mr. Kim. We’ll see you next time! Bye.” Setelah dua anak lelaki tadi berlalu, si gadis mendekatkan bibirnya ke telinga Mingyu, berbisik.

Am I pretty like your wife, Mr. Kim?”

Of course you are, Seung Wan”

“Kalau gitu, aku titip salam buat dia ya, nanti kapan kapan, aku harus ketemu dia.”

Yes, of course, lil girl” Mingyu mengelus puncak kepalanya. Ia kemudian melambai, memanggil kedua temannya yang sudah meninggalkan dirinya sampai keujung sana.

-

Berjalan di pinggir pantai pada malam hari tidak terlalu buruk, mungkin itu yang ada di kepala Mingyu ketika sandalnya memijak pasir pantai serta deburan ombak yang samar samar didengarnya, karna lubang telinga yang tersumpal oleh Airpods.

Lord Huron, The Night we Met, mengalun di sana.

Mingyu sama sekali tidak habis pikir dengan agenda nya pada malam ini, mungkin se-simpel, mencari udara segar dimalam hari.

Kedua tangannya ia simpan didalam kantong celana, surainya jadi acak-acakan tertiup angin dan terkadang tubuh besarnya sedikit oleng karena pasir yang di injaknya.

Ia berhenti di satu titik, ketika matanya menangkap siluet dari kejauhan yang tubuhnya sudah hampir setengah dimakan air pantai. Jantungnya berdegup kencang, mengira bahwa dirinya mungkin memiliki indra yang tidak semua orang miliki. Tapi, ketakutan itu langsung tertepis ketika sosok siluet itu melempar sepuntung rokok ke tengah pantai sana, kemudian mundur kembali ke garis pantai dengan baju yang sudah setengah basah.

“Aku kira aku ngeliat hantu” Sosok siluet tadi menoleh ketika Mingyu mendekat di sebelahnya, menggeser sedikit poninya yang hampir menutupi mata. Seorang gadis dengan rambut dikucir, walaupun kucirannya sudah sedikit melorot, dan poni yang menutupi dahinya.

“Ada ya, orang malam malam gini main ke pantai?”

No. Rumahku disekitar sini” Tunjuk Mingyu keujung dari arah ia datang.

I smell money.” Mingyu terkekeh mendengar pernyataan si gadis.

And you, what did you do? You are half soaked

Just..” Si gadis menggantungkan kalimatnya.

Just?

Dunno.. I just don’t know” Ia melipat tangannya didepan dada, menunduk.

Kemudian hening, yang didengar keduanya hanya suara angin pantai serta ombak yang sekali kali menyapu kaki mereka.

My dad passed away this morning.” Si gadis mulai berbicara, membuat Mingyu menoleh. “Maybe it is not a big deal to you to know, because we’ll never meet again.” Perempuan itu mengangkat bahunya tinggi.

Sorry, about your father.

It’s okay.

“Terus kamu ngapain disini? Maksudnya, lagi berduka, kan?”

“Abunya dibuang kesini” Mingyu sedikit terpatung, kemudian paham dan mengangguk kecil. “I miss him. Seumur-umur aku hidup, aku gak pernah ngerasa se-rindu ini sama dia.”

“Aku gak mau bikin kamu tambah sedih, tapi kadang presensi seseorang jauh lebih berharga ketika orang itu udah gak ada. Bahkan sangking rindunya, you don’t want the people you missed to do a things, just as simple as existing right in front of your eyes, and that’s enough. Am I right?

Si Gadis tersenyum. “It seems like you had been through a rollercoaster in your life.” Mingyu mengangkat bahunya, menengadah kemudian, ikut melipat tangannya didepan dada, membuang nafasnya pelan.

I lost my dad when I was in high school..” Mingyu menyunggingkan senyum disudut bibirnya, mengingat kenangan pahit ketika ia masih bersekolah dulu. Dunianya serasa berhenti berputar, saar mengetahui fakta bahwa ketika ia pulang kerumah, yang ia dapati hanya Ibunya seorang diri. Dunianya, mendadak sepi.

Sorry.

And also my wife, two hundred days ago.

Damn..” Cicit sang gadis, Mingyu lagi lagi membuang nafasnya, menoleh kemudian tersenyum. “I think it’s not a big deal to you to know, since we wouldn’t meet again, right?

“Yeah.” Keduanya terbahak kecil, kemudian diam mengawang ke langit yang bahkan enggan untuk setidaknya memberikan sedikit cahaya. “How does it feel, when you lose the one you love twice?”

“rasanya kaya.. ini aku lagi ngapain ya di dunia? Mungkin, karena udah terlalu kebas dan mati rasa.”

“Yup. So numb.” Si gadis mengangguk, kemudian menatap kakinya. Perlahan membuka mulut dan berusaha bersuara, “Tadi.. aku mau tenggelamin diriku, karna udah hopeless dan rindu Ayah, kepengen biarin ombak pantai narik aku ketengah laut sana.. Tapi engga jadi, karna aku tau kamu ngeliat aku.”

Rahang Mingyu jatuh, matanya sedikit membulat, terkejut atas pernyataan si gadis barusan. Sesuatu yang membuatnya kehabisan akal untuk berfikir atas agendanya malam ini. “You do really miss him. Indeed.

So much it hurts. Kaya yang kamu bilang barusan, kaya.. ini aku lagi ngapain ya di dunia?”

But you still here, tho?” Si gadis tersenyum.

Yes. That’s the saddest Irony, but.. You too. You are still here.

“Yup. We are.” Keduanya bertemu dalam tatap, melempar senyum kecil untuk setidaknya sedikit saling menguatkan. “Just as simple as, we are stronger than we think. Aren’t we?”

Yes, stronger than we think.” Perempuan itu mengulang kalimat milik Mingyu barusan, kembali dan terus tersenyum.

It is okay, tetap memijak di bumi untuk sekedar harapan yang enggak pasti di esok hari. So, it is nice to know that I am the one who saved you, secara gak langsung.” Mingyu tertawa pelan.

Thank you for that, truly and I meant it.” Keduanya kini kembali menatap jauh ke lautan sana, menerka nerka di dalam kepala tentang apa yang akan hari esok suguhkan kepada keduanya. “It’s nice to have a little talk with you..?

“Kim. It’s Mingyu Kim”

“Kim.” Ia mengangguk, menjulurkan sebuah jabatan, “Nadit, it’s Nadeeta. Germany, if you ever curious.

Bulan bahkan tertutup oleh awan di atas langit sana, gemerlap bintang pun enggan menunjukan cahaya kecilnya. Mungkin keduanya sedikit iri, atau bingung dan gelisah, karena gemerlap cahaya yang mereka punya malam ini berpindah tempat ke kedua manik mata dua orang asing yang bertemu di pinggir pantai bagian utara kota kecil yang orang orang dengan bangga menyebutnya, “Ini Malibu!”

Agenda berpetualang kali ini masih samar, belum menemukan sebuah titik atau tanda henti. Lagi lagi, soal pulang dan mencari tempat untuk berteduh. Entah itu di dalam iris mata seseorang, entah itu bahu kokoh lainnya, atau pelukan hangat yang jadi hal pertama yang dicari setelah beribu peluh dan pelik.

Jadi, atas kemungkinan kemungkinan lain yang ada di masa depan, biar di penuhi oleh semesta atas kejutan kejutan lainnya.

Mingyu, rumah didalam rumah mungkin jadi terdengar klise. Tapi, semoga tulisan semesta kali ini mengantarmu pada rumah yang dituju.

‘and sometimes, home isn’t 4 walls, it’s 2 eyes and a heartbeat’