Titik temu,

Mingyu mendongak, menatap satu jendela yang lampunya masih menyala. Kedua tangannya masuk ke saku kantong celana, serta beberapa lapis pakaian yang dipakainya. Saat ini, sedikit gerimis.

Ia menatap nanar, rumah yang ia lupa sudah berapa tahun yang lalu selalu jadi destinasinya, selalu ada mobilnya yang berhenti didepan pagar, dan terkadang ada Dia yang muncul dari daun pintu, tersenyum ceria menyambut Mingyu.

Kemudian, muncul sebuah spekulasi tak wajar. Soal, bagaimana kalau seandainya dulu Mingyu tidak melakukan hal itu. Apa sampai detik ini, rumah ini tetap jadi destinasinya? Apa seorang gadis dengan lampu kamar yang masih menyala itu, tetap menjadi belahan hatinya? Apa mungkin, hanya ada Mingyu dan Dirinya, tanpa ada..

“Mingyu, ya?”

..Wonwoo.

Dengan coat panjang berwarna coklat susu serta sebuah kantong plastik kecil di tangan kirinya.

“Wonwoo?” Mingyu memastikan.

“Iya, Wonwoo” Sosok lelaki itu tersenyum.

“Kenapa gak masuk?” Mingyu mengkerutkan alisnya, laki laki ini tau kan, siapa Mingyu sebenarnya? Tau kan, apa yang terjadi antara Mingyu dan Gadisnya?

“Hah?”

“Kenapa gak masuk?” Ulang Wonwoo.

“em..” Mingyu bingung, harus menjawab apa.

“Mau ketemu Dia, kan?” Wonwoo bertanya memastikan.

“Maaf ya, Wonwoo. Mungkin jadinya lain kali aja” Kini Mingyu berjalan meninggalkan Wonwoo yang masih mematung diatas pijakannya.

“Mingyu..” Panggilnya, sang empunya nama langsung menoleh. “Kalau saya ajak kamu ngobrol, kamu keberatan?”

Untuk apa? Apa urusan lelaki ini denganku? Mungkin, itu isi kepala Mingyu saat ini, penuh pertanyaan.

“Boleh boleh aja” Balasnya.

“Didepan ada warung kecil, kalau duduk disana, mau?”

“Sejak kapan didepan ada warung kecil?” Wonwoo sedikit tertawa.

“Belum lama, kesana aja gak papa, ya?”

“Yaudah, boleh”

Warung kecil yang disebut Wonwoo tidak seperti yang awalnya Mingyu bayangkan. Mungkin kumuh, mungkin sedang becek mengingat langit sedang tidak bersahabat. Tapi, ini mungkin lebih baik dari sekedar disebut warung, walaupun agak menjorok didalam lorong.

“Mau pesen kopi? Atau teh?”

Mingyu menggeleng. “Gue harus manggil lo apa?”

“Terserah, senyamannya aja”

“Kalau gue panggil Wonwoo gak masalah ya?”

“Ya.. gak papa”

Wonwoo memesan satu gelas kopi hitam dan segelas air putih, tetap saja, ia yang mengajak Mingyu untuk duduk dan mengobrol, harus tetap disuguhkan apapun.

“Lo ngajak gue ngobrol atas dasar apa? Kalau mau balas dendam, gue udah kena karma.”

“Saya gak ada terlintas pikiran sedikitpun, Hahaha” Wonwoo tertawa, menerima segelas kopi yang sudah disediakan, serta menyodorkan segelas air putih kepada Mingyu. “Ya ngobrol kecil aja, mau gimana pun, kamu bagian dari masa lalu calon istri saya.”

Ada perih barang sedetik Ketika Wonwoo dengan gamblang menyebut ‘calon istri’. Sedetik, ia teringat pada sosok Seung Wan yang tidak ada lagi di sisinya.

She’s doing good, kan? Lo gak ragu lagi, kan, Won?”

Wonwoo menggeleng mantap, tersenyum kecil. “She’s much better. Dan saya gaada ragu sama sekali, untuk kali ini”

Mingyu menegak air putihnya, mengangguk beberapa kali dan menatap kosong meja dihadapannya.

“Oh iya, saya turut berduka cita yang sedalam dalamnya ya, Mingyu. She’s a strong fighter.” Mingyu mungkin salah menilai Wonwoo, karena dari gelagat kecil bahkan cara dia berbicara, Wonwoo penuh dengan segudang hal hal magis dan wajar membuat Gadisnya yang dulu itu jatuh sejatuhnya.

Thank you

Wonwoo tersenyum, mengangguk.

“Gue boleh jujur ga Won, sama lo?”

Sure, go ahead.

“Tadi, didepan rumah Dia, gue sempet bayangin hal yang gak semestinya gue bayangin”

For example?

“Kalau Dia masih ada di genggaman gue” Mingyu pikir, Wonwoo akan marah, bukan secara harfiah meneriaki dirinya, mungkin mengatakan beberapa kalimat sarkas yang bisa saja menyinggung Mingyu sendiri.

“Kalau gitu, saya boleh balik nanya?” Mingyu mengangguk. “Dulu, kenapa kamu ngelakuin itu?”

“Selingkuh, ya?”

Whatever you said, I won’t mention it

“Kalau dipikir pikir, beberapa argumentasi yang dulu dulu pun udah gak mampu bikin berbagai alasan jadi relevan. Maksudnya, itu semua salah, udah. I was bored, like.. I want something that I couldn’t get from her back then.

She’s not enough, ya?”

She’s enough, always enough. It was me that never felt enough.” Jelas Mingyu. “Sekarang, saking dulu gue pengen sesuatu yang penuh dan cukup buat gue, hari ini gue jadi kosong melompong. Harusnya memang semua di porsi secukupnya.”

Kini, bagai petir yang menyambar diluar jendela, Mingyu terbangun dari tidurnya. Harusnya, Mingyu bangun lebih awal untuk menyadari bahwa ada banyak hal hal berharga yang melewati dirinya.

She looks happier since last day I left her with tears.” Mingyu menyunggingkan senyum.

Is she?”

What did you do?”

Let her be free. Gak memaksa apapun, gak meminta apapun, gak mengatur apapun, anything. Just let her do whatever she wants.

Dulu, Mingyu pun melakukan hal yang sama. Tapi Mingyu bukan Wonwoo, dan Wonwoo bukan Mingyu. Porsi mereka berbeda dan tidak ada yang perlu disalahkan soal itu. Gadisnya yang dulu itu, sudah sepenuhnya menemukan bahagianya.

“Gue boleh gantian nanya, gak?”

“Boleh”

“Kenapa lo ragu sama dia?” Wonwoo menaikan sudut bibirnya sedikit, menyadari kesalahan yang dibuatnya tempo hari.

I was not in the decision I made, Mingyu. And I was suck, Indeed. To be honest.” Wonwoo menyeruput kopinya, kemudian melempar pandangannya menuju luar sana, hujan.

Setelah perbincangan kecil yang terjadi, beberapa canda yang membuat keduanya terlihat akrab padahal baru bertemu beberapa puluh menit yang lalu, kini keduanya bangkit, berniat meninggalkan warung namun terhalang hujan yang turun dengan derasnya.

Masih dibawah atap warung sederhana itu dengan menatap hujan, keduanya menengadah.

“Mingyu, if in any miracle, you can turn back time to the good old days, what will you do?” Wonwoo tidak mengalihkan pandangannya, memilih menatap hujan didepan matanya.

“Mungkin.. make everything right. Kalaupun pada akhirnya takdir semesta nulis gue dan Seung Wan, gue mau pamit dan pisah sama Dia dengan cara yang baik dan wajar.” Jawab Mingyu.

She is.. the diamond itself, isn’t she?” Wonwoo tersenyum, membayangkan gadisnya dirumah yang mungkin sedang menunggu dirinya hadir dibalik pintu, membayangkan senyum manisnya ketika menyambut dirinya, membayangkan bahagia yang sudah berada didepan mata.

She is.

“Saya tau, ada banyak berlian lain didepan sana, Mingyu. Just find it. I’m so sorry, the diamond that maybe you craved for, it’s already mine.

“Gue yang harusnya minta maaf, karna bikin berlian lo lecet dan dengan senang hati you fix it. Such a good man, kalau kata gue” Keduanya tertawa kecil. “Take care of her till the death separate both of you, ya?”

I will, Mingyu. I will always do that.

“Gue jarang dan rasanya aneh kalau bilang makasih, tapi.. makasih, Won. Secara gak langsung gue belajar gimana caranya menghargai keadaan.”

It is not a big deal, but, your welcome?” Wonwoo mengangkat bahunya sedikit, mengangguk kecil.

Setelah hujan sedikit reda, kini keduanya berhenti di tempat pertama saat saling perpapasan tadi, sebuah rumah familiar yang selalu Mingyu tandai di dalam kompleks.

Mingyu lagi lagi mendongak, menatap jendela yang sampai detik ini pun lampunya masih menyala, berarti Dirinya belum tidur.

“Gak masuk?” Tanya Wonwoo.

Mingyu sempat berfikir sejenak, kemudian dengan mantap menggeleng.

“Gue mungkin gak bakal sanggup buat ninggalin Jakarta kalau ngeliat mukanya. Gue cuma mau make sure kalau kesempatan kedua yang kemarin sempet gue obrolin memang gaada. Gue titip salam dan pamit ya, Won.”

Wonwoo mengangguk. “Will do. Safe flight sampe ke LA ya”

She told you about that?” Mingyu terkekeh.

Wonwoo mengangguk. “Dia cerita semua apa apa yang kemarin di obrolin di dermaga”

Keduanya terbahak, Mingyu menekuk senyumnya kemudian bersuara, “Oh, and.. happy wedding. Sorry, couldn’t attend next week.” Sambung Mingyu.

No problem, and thank you, Mingyu.”

Kini Mingyu berjalan menjauh membelakangi rumah yang ternyata masih ditempati oleh gadis tersayangnya dulu. Ada banyak perasaan bercampur aduk didalam hatinya. Namun, akan ia lepas dengan lapang dada, lagi lagi hidup masih soal mengikhlaskan.

Pada akhirnya, semua menemukan pintu rumahnya masing masing. Mungkin, agenda melanglang buana miliknya bukan lagi soal pergi, kali ini, mencari rumah sebagai tempat berteduh, tempat berlindung, tempat beristirahat dan tempat untuk pulang. Mencari tempat untuk memulai hari dan mengakhirinya dengan ringan hati tanpa beban yang menghantui.

Ini Mingyu dengan kekacauan hidupnya, Ini Mingyu dengan ketidakadilan semesta, katanya. Ini Mingyu, dengan masih banyak kemungkinan kemungkinan yang akan ditemuinya didepan sana. Tapi untuk sekarang, yang harus Mingyu lakukan adalah mencari rumah.. dan pulang.