#6, two birds on the dancing floor.
“We rush to make love last forever and end up ending it.” -Kavya Dixit
Wonwoo menghujamiku dengan berpuluh kecupan di puncak kepala, membawaku dalam rengkuhnya, menari ke kanan dan ke kiri dalam ritme pelan, dagunya jatuh diatas puncak kepalaku. Malam ini, ada makan malam kecil kecilan dirumah untuk merayakan ulang tahun pernikahanku dan Wonwoo yang ke 5 tahun.
Lagu milik Daniel Caesar yang berjudul Blessed terus memenuhi ruangan, sesekali Wonwoo ikut menggumamkan liriknya dan masih membawaku dalam rengkuh hangatnya.
“And yes, I'm a mess but I'm blessed to be stuck with you.” Suara rendah dan berat milik Wonwoo benar benar menghanyutkanku. Aku jatuhkan kepalaku di bahunya, memejamkan mata dan menikmati deru suara beratnya.
“Selamat ulang tahun pernikahan yang ke 5 Tahun, Mama Na Eun.”
“Selamat jadi tua satu tahun juga, Papa Na Eun.”
17 Juli, sekaligus merayakan hari ulang tahun Wonwoo.
Ia mengusap pundakku, lagi lagi menghujamiku dengan puluhan ciuman di kepala. Menumpahkan segala afeksinya dan kemudian aku balas dengan kecupan kilat di ranum merah jambu bibirnya.
“Hadiah dari aku, karna udah jadi kepala keluarga sekaligus Papa yang hebat selama ini.”
“I am the luckiest to have you being my half, thank you.”
“Aku juga makasih, kak Wonwoo”
Wonwoo dan aku terpaut jarak umur yang cukup jauh, 6 tahun. Tapi kadang secara tidak sadar Wonwoo bukan hanya menjadi seseorang yang punya segudang pengalaman dalam hidup. Tapi, kadang jadi orang yang selalu berusaha bersama dalam menemukan jawaban dari beribu masalah. Kata Wonwoo, aku boleh jadikan dia pasangan, teman, sahabat dan segala bentuk tameng yang mampu untuk aku andalkan.
Aku ingat dulu, bagaimana Wonwoo jadi orang yang menulis bahagia dibalik lukaku. Selalu berusaha menomor-satu-kan aku mau bagaimanapun keadaan dan kondisinya.
Dan untuk itu, akhirnya aku jatuh dalam peluknya. Berjanji untuk terus ada hari ini, esok, sampai mati nanti.
“Kita jemput Na Eun aja yuk?” Katanya tiba tiba, aku tertawa membuang kepalaku kebelakang.
“Baru aja tadi sore di titipin sama neneknya, mau dijemput?”
“Kangen.”
“Udah malem, Wonwoo, pasti Na Eun juga udah bobok disana.”
“Kak-nya mana, cantik.” ia mencolek ujung hidungku.
“Biasanya aku panggil Wonwoo kamu biasa aja tuh? kok sekarang protes?”
“Inget gak, dulu kamu gengsi banget manggil aku pake sebutan ‘Kak’ ?”
Aku lagi lagi terbahak, karena memang jauh sebelum aku memiliki hubungan lebih dengan lelaki dihadapanku ini, aku adalah seorang gadis yang sangat dan berusaha menciptakan jarak dengan Wonwoo.
Kalau ditanya alasan, mungkin semacam trust issues. Dulu, aku pernah mencintai sampai akhirnya disakiti, berspekulasi bahwa siapapun laki laki di dunia ini, tidak ada jaminan bahwa ia tidak akan bertindak untuk menyakiti.
Namun, segala argumen dan spekulasiku langsung patah ketika Wonwoo selalu menjadikanku prioritasnya, berusaha memastikan bahwa aku baik baik saja dengan sikapnya, bertanya apakah boleh dirinya bersikap seperti ini, seperti itu, bertanya apakah mungkin dirinya akan menyakitiku ketika ia melakukan sesuatu.
Kadang, dulu sewaktu awal dekat, ia selalu penasaran. Menanyakan apa makanan kesukaanku, buku yang aku baca, kemudian kutemukan dirinya membaca buku yang sama, dan saat aku tanya alasannya apa, katanya, “kita harus berbahasa yang sama supaya aku bisa nemuin bahasa kamu, dan jalan yang sama.”
“supaya aku luluh?”
“mungkin lebih ke…” ia menggantungkan kalimatnya kala itu. “supaya kamu nerima aku.”
Alasan klise, tapi ternyata benar adanya. Wonwoo selalu mempunyai bahasan untuk diceritakan tentang buku yang aku baca maupun dirinya, yang secara garis besar mengikutiku. Dan obrolannya, mendadak jadi satu frekuensi.
“Oke, jadi sebenernya Ray ini adalah anak di kejadian kebakaran itu?”
“Yup”
“God, such a plot twist.”
“Wonwoo, kamu belum nemuin banyak plot twist menuju akhir di sepanjang jalan hidup Ray.” Tunjukku pada buku novel berjudul Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere Liye yang di genggamnya.
“Part yang paling kamu suka, yang mana?” Tanyanya.
“Aku Cinta Pertama.”
“Kenapa?”
“It is such a beautiful moment aja, soal cinta pertama.” Aku menatap kosong meja dihadapanku kala itu, di sebuah cafe ditengah rintik tipis hujan diluar sana. Membayangkan soal bagaimana indahnya sebuah agenda perihal cinta pertama, walaupun pada hakikatnya, tidak selalu berakhir indah.
“berarti cinta pertama kamu mengesankan ya? sampe kamu bilang a beautiful moment?”
“Indeed, Wonwoo. Tapi cinta pertama gak selalu berjalan mulus.”
“Ray?”
“Dunno, you better find it out.”
Hari kemudian jadi minggu, minggu kemudian jadi bulan dan bulan akhirnya jadi tahun. Kala itu, Wonwoo tetap setia menjalani hari untuk mengharapkan sebuah pintu yang akan terbuka.
Ada satu pernyataan yang sudah bosan aku dengar, ‘Batu yang keras pun bertahun di tetesi air, maka tetap jadi rapuh.’ Menurutku, itu hanya argumentasi untuk menggambarkan streotipe beberapa kelompok yang menomor-satu-kan sebuah kesabaran diatas segalanya. Namun ternyata, perasaanku berakhir demikian.
Akhirnya, aku jatuh. Pada perangai sosok Wonwoo, bahkan sedikitnya, pada simpul senyum indahnya ketika menemuiku sewaktu pulang dari kantor dulu.
Cinta pertamaku mungkin tidak berjalan indah seperti Ray didalam novel favoritku dan Wonwoo, tapi aku selalu berharap, semoga cinta terakhirku ini, selalu berjalan dengan indah. Dan aku harap lagi, Wonwoo orangnya.
Aku selalu ingat bagaimana dirinya yang terus menarik jemarinya dikarenakan gelisah ketika meminta izin kepada Ayah untuk mengambil hari hariku, lebih tepatnya menyempurnakan setengahnya, menjemput rusuknya dan mengajakku pulang setelah bertahun mengembara tanpa tujuan.
Dan lagi, aku selalu ingat dan akan selalu ingat, bagaimana ia yang menangis tersedu ketika akhirnya aku resmi menjadi pasangan sehidup sematinya, didepan Ayah, bahkan memeluk Ayah kuat, menumpahkan segala rasa terimakasihnya.
Aku, adalah yang paling beruntung ketika mengetahui bahwa setengah rusukku, adalah Wonwoo.
Dan malam ini, ketika aku menapak tilas kembali ke banyak kejadian akan hari hariku bersama Wonwoo sebelum berada di titik ini, aku kembali merasa jadi yang paling beruntung sejagat raya, karena jadi milik Wonwoo.
Namun entah kenapa, tahun ini menyisakan perasaan melankolis di dalam hatiku. Menatap wajahnya, membuatku menyunggingkan senyum kecil penuh getir.
“Kak, aku sayang banget sama kamu gimana ya?” Wonwoo terkekeh, hidungnya mengkerut.
“Aku juga gimana ya? rasanya tuh kaya aku pengen teriak di puncak gunung Everest supaya orang orang tau aku sayang banget sama kamu.”
“emang kamu punya duit mau ke puncak Everest?”
“Yaaa dicari dulu pelan pelan.”
“kalau udah di puncak Everest beneran teriak gak?”
“Iyaa teriak, supaya orang orang seluruh dunia tau kamu tuh punyaku terus aku sayang bangeetttttt sama kamu.” Ia mengecup puncak kepalaku. Aku tertawa.
“Kita kumpulin sama sama ya.”
“Apanya?”
“Duitnya, supaya kita bisa ke Everest.”
“Gausah ah, kamu cari duit buat kamu aja, biar duit untuk kita, urusan aku.” Aku tersenyum, hatiku didalam sana rasanya meledak ledak.
“Di puncak Semeru aja kamu teriaknya, gausah jauh jauh ke Everest.”
“Yah.. kalau gitu ntar orang di negara seberang gatau dong kalau aku sayang sama kamu?“
“Emang penting?”
“Yaiyalah, kan kamu sayangnya aku.”
“Ih kamu kaya anak SMP, alay.” Aku melepaskan diri dari pelukannya.
“Heh enak aja aku dibilang alay.”
“Emang, wlee” Aku kemudian berlari menjauh sambil menjulurkan lidah.
“Sayang, umurku udah 30 tahun loh, gausah diajak lari lari. Males ah aku ngejar kamu.”
“Jompo.”
“APA?” Dirinya tetap mengejarku. Menangkapku, menjatuhkan diri ke sofa, memelukku erat dengan seluruh tenaganya.
“Siapa yang jompo sekarang?“
“Tetep kamu lah, Wonwoo. Kan kamu tuh udah tua.”
Disela tawa kikikan diantara kami berdua, telfon Wonwoo berdering. Ia kemudian melepaskan pelukan dan berjalan mendekati ponselnya yang sebelumnya ia letakkan di meja makan tadi.
“Bentar ya.” katanya meninggalkanku, aku mengangguk.
Wonwoo berjalan keluar kemudian, menjawab telfon sedangkan aku membuka kulkas untuk menegak jus jeruk dingin yang aku simpan disana, menunggu Wonwoo dengan kesibukannya.
Tidak lama berselang, ia kembali.
“Siapa?”
“Namjoon.”
“Oh” kataku mengangguk. “tapi biasanya kalau Namjoon nelfon kamu gak pernah pergi buat ngangkat telfonnya?”
“Sekalian nyari angin.”
“Engap ya pelukan sama aku?”
“Gak gitu. Kok kamu gitu sih ngomongnya?”
“Ya gatau, aneh aja kamu ngangkat telfon sampe keluar rumah.”
“Iyaa, maaf ya. Tadi refleks aja dibawa keluar, terus emang agak penting.”
“Yaudah, aku mau bersih bersih dulu ya.”
“Mau langsung tidur?”
“Iya.”
“Yaudah kalau gitu biar piringnya aku aja yang cuciin. kamu langsung istirahat aja.”
Aku mengangguk, kemudian berlalu menuju kamar, di sela langkahku, aku berhenti sejenak, memutar tubuhku menatap Wonwoo. “Wonwoo makasih, sama maaf.”
“Iya sayang, besok kita jemput Na Eun bareng ya?”
“Iya..” Aku membalikan badan, namun lagi lagi menoleh ke sosoknya.
“Wonwoo.” panggilku.
“Hm?”
“Aku sayang kamu.”
-
Seorang lelaki muncul di ambang pintu dengan menggengam tangan kecil Na Eun, senyum khas si gadis kecil serta mata nya yang mirip sekali dengan Wonwoo membuatku rindu, padahal pagi tadi baru saja aku antar dia ke sekolah sekalian berangkat ke kantor.
“Mama, hari ini yang jemput aku Om Jung!” Jeon Jungkook, adik laki laki Wonwoo yang juga terpaut umur sangat jauh dengan Wonwoo sendiri.
“Kata Abang, Abang ada urusan mendadak Kak, jadi minta tolong dijemputin Na Eun nya.” Katanya. Aneh, biasanya mau seberapa sibuknya Wonwoo, selalu menyempatkan waktu untuk menjemput Na Eun.
“Its okay, Jung. Thank you ya udah jemput Na Eun.”
“Santai, Kak. Kalau gitu aku balik dulu ya?”
“Gak mau makan malem disini aja?” Tawarku.
“Gausah, Kak, Makasih. Mamah juga udah masak makan malam dirumah.”
“Yaudah kamu hati hati, salam sama Mamah ya..”
“Oke kak, Aku balik ya!”
Ia kemudian berlalu dengan mobilnya.
“Mamah, tadi aku dibeliin om Jung Yogurt, rasa stroberi”
“Mana Yogurtnya?”
“Udah habis, hehe.”
“Yah.. Mamah gak kebagian dong?”
“Besok kita beli sama Papah ya, Mama.. Sama pas Fieldtrip hari sabtu aku juga mau dibawain Yogurt yang itu..”
“Iya, nanti kita bilang Papa ya, kita tunggu Papa pulang.”
Namun beranjak tengah malam, Wonwoo belum sampai dirumah.
Mungkin umur pernikahanku masih sebesar biji jagung, tapi aku selalu paham dengan Wonwoo. Tidak pernah sekalipun dirinya tidak memberikan kabar perihal ia yang akan pulang lembur disaat bekerja. Berjam yang lalu aku mengiriminya pesan, namun tidak kunjung dibalas.
Aku juga sempat mengirim pesan kepada Jungkook, bertanya soal keberadaan kakaknya, namun dirinya mengaku bahwa terakhir kali menerima telfon adalah sore tadi, ketika Wonwoo meminta tolong untuk menjeput Na Eun.
Suara pintu kemudian mengusik pendengaranku.
Wonwoo.
“Kamu dari mana aja? Aku Imess terus aku coba telfon nomor HP kamu gak aktif, Wonwoo..” Ia membuka jasnya, membuangnya asal dan mendarat diatas sofa.
“Besok aja ya? Aku capek banget mau mandi dulu.. Okay?” Wonwoo menangkup wajahku, mengecup ujung hidungku kemudian langsung berjalan masuk ke kamar. Dapat aku dengar suara decitan pintu kamar mandi dan suara shower yang dinyalakannya.
Aku tidak langsung tidur, aku masih menunggunya selesai bebersih di sudut kasur, menggenggam jas yang tadi sempat dilemparnya asal.
“Loh, kok belum tidur?” Rambutnya basah, dirinya yang masih memakai handuk kimono kemudian membongkar lemari, mencari piyama yang biasa dikenakannya untuk tidur.
Aku diam, sampai ketika ia selesai dan menghampiriku, berdiri diatas lututnya mengelus lututku.
“Hey? kamu kenapa belum tidur? nungguin?”
“Ini..” aku gantungkan kalimatku sejenak. “Punya siapa?”
Mata Wonwoo membulat sempurna, bergetar. Dapat aku lihat jakunnya yang bergerak naik dan turun, matanya tidak lepas dari benda yang aku pegang, sampai ketika manik matanya beralih menuju manik mataku.
“Kamu.. ketemu dimana?”
“Jas kamu.”
“Punya kamu? Mungkin tadi pagi pas aku berangkat ke kantor gak sengaja masuk ke kantong jas aku.”
“Aku..” Mataku mulai memanas, tenggorokanku tercekat. “Aku gak pernah punya lipstik merek ini karena kamu tau sendiri, kalau aku gak suka semua koleksi warnanya, dan teksturnya kalau di bibir aku. Punya siapa?”
“Kamu yakin? lipstik kamu banyak loh, masa—“
“Coba kamu lihat disana, ada gak aku punya lipstik merek ini?” Tunjukku di satu rak akrilik berisi puluhan lipstik di atas meja riasku. Dirinya diam.
“Sayang—“
“Kamu habis dari mana aja? Jujur sama aku.”
“Aku kerja. Oke, aku minta maaf kalau semisal tadi HP ku gabisa kamu hubungin. Tadi suasana kantor hectic banget jadi ak—“
“Bohong.”
“Kok bohong sih?”
“Bohong, Wonwoo.”
“Kamu tuh..” Dirinya yang tadi sempat berdiri diatas lututnya supaya bisa menatap wajahku yang menunduk kini berdiri. “Bisa gak jangan cari masalah tengah malem gini? Aku capek, aku baru pulang terus kepalaku pusing mikirin kerjaan tapi kamu malah ngajak berantem kaya gini. Tau apa coba kamu soal kerjaanku sampe bilang bilang aku bohong? Kamu ada bukti kalau aku gak di kantor hari ini?”
-When you are young, they assume you know nothing.-
“Kamu gak pernah gak ngasih aku kabar, Wonwoo.”
“Ya terus cuma gara gara aku gak ngasih kabar kamu berspekulasi yang aneh aneh, gitu?”
“Terus lipstik ini apa?!” Aku berusaha menahan suaraku untuk tidak meninggi, karena bagaimana pun, aku tidak mau Na Eun mendengarkan apa yang sedang terjadi.
“Ya mana aku tau?”
“Aku dapet ini di kantong jas kamu loh, Wonwoo.”
“Ya emang kamu gak mikir apa bisa jadi temen sekantorku gak sengaja nyenggol lipstik yang dia punya terus jatuh?”
“oh.. terus langsung masuk ke kantong jas kamu, gitu? it makes no sense.”
“I swear to god i don't know who owned that fucking stupid lipstick.”Dirinya menatapku dan benda yang ada di tanganku secara bergantian.
“Kamu dari mana?”
“Hah? Kantor! Aku bilang aku dari kantor, kantor, kantor!”
“Jangan bohong, Wonwoo.”
“Kapan aku pernah bohong sama kamu?”
“Kamu pikir sekarang kamu lagi ngomong jujur?”
“Emang kamu ada bukti kalau aku lagi gak ngomong jujur?”
“Oke, Wonwoo. You ask me to do this.” Disela seguk tangisanku, aku mengambil ponsel yang aku letakan di seberang kasur, mengotak atiknya kemudian menunjukan layar ponselku kedepan wajahnya. “How can you explain this?” Suaraku bergetar hebat, menunjukan sebuah foto hasil tangkapan layar dari story sebuah platform sosial media.
Wonwoo diam, ia diam seribu bahasa. Matanya kembali bergetar hebat disertai jakunnya yang bergerak naik dan turun.
“Kamu dapet ini dari mana?”
“Aku gatau apa aku yang bodoh karena dibohongin atau kalian berdua yang kurang pinter bohongin aku. But do you know, Wonwoo? Kalau restoran tempat kamu sama Yerin itu makan, selalu update story selama hampir 24 jam penuh?”
“Dan sanggupnya lagi, kamu ajak dia ke restoran tempat favorit aku, kamu dan Na Eun kalau makan, Wonwoo!!” Aku menekan telunjukku ke dadanya.
“A-aku—“
“Wonwoo kamu tau? itu cuma satu dari sekian banyak bukti yang aku punya dan simpan. Selama ini aku diam, aku tahan, karena aku gak mau Na Eun harus pisah sama Papahnya..” Aku menelan salivaku, dapat aku rasakan perih disana dan perlahan menjalar ke seluruh tubuhku.
“Dan aku juga gak mau kehilangan kamu, Wonwoo..” Lirihku, tertunduk membekap tangis.
-But I knew you'd linger like a tattoo kiss, I knew you'd haunt all of my what-ifs. The smell of smoke would hang around this long, 'Cause I knew everything when I was young.-
“Namjoon bahkan bilang bahwa hubungan kalian gak seakrab itu sampe dia harus nelfon kamu di jam jam malam, jadi.. Namjoon mana yang kamu maksud?”
“You met Namjoon?”
“Yes, I met him after i saw that Namjoon profile pic in your phone looks different. Sekarang kamu mau jawab apa?”
“Kamu gak izin sama aku kalau mau ketemu Namjoon.”
“Buat apa? Kamu izin gak sama aku ketemu Yerin? bahkan setiap minggu kan? Enak ya, Won? main dibelakang?”
“Gak gitu perjanjian awal kita nikah.”
“Oh jadi aku harus izin sama kamu kemanapun aku mau sedangkan kamu bisa sesuka hati pergi sama siapapun tanpa aku harus tau? Gitu?!”
“Kamu bisa gak jangan naikin suara kamu kaya gitu?”
“Dari awal, apa yang kamu lakuin, aku tau, apa yang aku lakuin, kamu tau. Sesimpel itu perjanjian awal kita pas nikah, Wonwoo. Jangan berlagak seakan akan kamu korban waktu aku pergi nemuin Namjoon untuk mastiin bahwa kamu emang lagi ngelakuin hal yang gak bener.”
“OKE OKE STOP!”
“KENAPA WON? AKU KURANG APA DIMATA KAMU?!”
“Mamah? Papah?”
Kita kemudian harus berhenti ketika Na Eun muncul di ambang pintu sambil mengucek matanya dengan rambut yang berantakan.
“Aku denger berisik berisik, Mama sama Papa okay?“
Wonwoo berjalan mendekatinya. “Mama sama Papa okay kok, Nak. Kita balik bobok lagi ayo?” Ia menjatuhkan dirinya ke tubuh Wonwoo yang berjongkok agar bisa menyelaraskan diri dengan si kecil Na Eun.
“Papah, Na Eun kangen. Kok Papa pulangnya lama banget sih.”
Aku pecah, aku buang pandanganku kemudian menangis menahan suara, tidak mampu menatap pemandangan disana lebih lama.
“Iya, maafin Papah ya, kan Papah kerja buat Na Eun, jadinya pulangnya agak telat.”
“Berarti Papah kerja sekarang duit untuk Na Eun ada?”
“Ada dong.”
“Kalau gitu besok kita beli Yogurt kaya yang dibeli om Jungkook tadi sore yuk, Pah? Boleh?”
“Boleh sayang, boleh.. Besok kita pergi beli bareng ya sama Mamah juga.”
“Yogurtnya buat Fieldtrip hari sabtu juga, Papah.”
“Iya, nanti kita beli satu dus ya? supaya bisa di stock dirumah juga, okay? Sekarang Na Eun bobok lagi ayo? Papah temenin.”
Dari sudut mataku, dapat aku lihat Na Eun yang mengangguk dan kembali menjatuhkan pipinya di bahu Wonwoo. Wonwoo kemudian menggendongnya, Sebelum sepenuhnya keluar dari kamar ia menatapku dan bergumam, “Stay here.” dan lagi lagi membuatku menangis.
-You drew stars around my scars, But now I'm bleedin'-
Berpuluh malam yang panjang, aku lalui dengan menghabiskan air mata. Ketika pertama kali mengetahui ada perempuan lain hadir ditengah tengah keluarga kecilku yang jauh dari kata sempurna. Tapi malam ketika akhirnya aku tau bahwa Wonwoo menyematkan rambut gadis lain kebelakang telinganya di sebuah restoran favorit ku dan Wonwoo bahkan semenjak belum menikah dulu, duniaku hancur.
Malam ketika aku harus menemani Na Eun pergi tidur, aku menahan tangis dengan tenggorokan yang perih. Menatap lamat gadis kecilku bahwa Papahnya tidak jadi cinta pertama yang bisa dia banggakannya pada dunia.
Menciumi puncak kepalanya lama, bahkan terkadang tidak sengaja menjatuhkan air mata di pipinya.
Maka atas nama Na Eun, aku menahan semua gejolak yang membara didalam sana.
Berkali kali aku ingin menyelesaikan perkara ini, entah secara baik baik ataupun dengan amarah. Namun malam kemarin, mau tidak mau, aku meledak.
Hari ini lagi lagi aku harus menahan tangis, ketika Wonwoo dan Na Eun bercanda saling tertawa seperti tidak terjadi apa apa.
Wonwoo yang mendorong troli dimana ada Na Eun dan belanjaan lain di dalamnya. Sedangkan aku yang harus menggenggam jemari Wonwoo didepan Na Eun untuk menjaga perasaannya. Untuk memberi tau bahwa Mamah dan Papah nya memang baik baik saja.
“Kamu mau makan diluar dulu?” Setelah selesai berbelanja, Wonwoo memutar stirnya keluar dari pekarangan pusat perbelanjaan.
“Aku gak laper, kamu kalau mau makan diluar gak papa aku temenin.”
“Papah aku mau McDonalds.” Na Eun bersuara dari kursi belakang.
“Kamu mau sesuatu?”
“Enggak, ke McDonalds aja.”
“Kalau McDonalds nya kita bawa pulang Na Eun mau gak?” Wonwoo menatap si kecil dari kaca spion tengah.
“Terserah aja, pokoknya Na Eun mau McDonalds.”
“Kamu maunya gimana?“ Kini pandangan Wonwoo beralih kepadaku.
“Terserah.”
“Mamah sakit ya? kok dari tadi diem aja? Mamah juga gak beli kopi kaleng kesukaan Mamah, padahal biasanya kalau ketemu Mamah selalu beli.” Jelas Na Eun dari kursi belakang, sedikit menjorokkan tubuhnya agak mampu menatap wajahku.
“Enggak kok, Mamah cuma lagi gak pengen minum kopi yang itu, Sayang.”
“Mamah..”
“Iya?”
“Mamah lagi sedih ya?”
Nak, Mamah gabisa nangis kalau harus kaya gini.
-
“Bunda..”
“Halo, Nak? Kok tumben kamu telfon? Kemarin kan baru telfon?” Suara Bundaku dari ujung sana lagi lagi membuatku ingin menangis.
“Gak papa.. cuma.. Kangen aja.” Suara Ibuku mendadak hilang di ujung sana, sampai sampai aku harus mengecek ulang layar ponselku untuk memastikan bahwa sambungannya memang tidak terputus.
“Nak?” Memang belum terputus.
“Iya, Bunda?”
“Kamu gak papa kan?” Kali ini aku yang diam, menyunggingkan senyum getir dan lambat laun kini ada perih di tenggorokanku.
“Bunda..” Suaraku bergetar.
“Kamu kenapa? Hei? Kok nangis?”
“Aku mau pulang..”
Jarak tempuh antara Jakarta menuju Bandung kira kira memakan waktu paling lama 3 jam. Aku mengendarai mobil seorang diri, menitipkan Na Eun kepada Ibu Wonwoo kemudian pergi, bahkan tanpa berpamitan dengan Wonwoo.
Di pohon belakang rumah, ada ayunan gantung yang dibangun Ayah sewaktu aku kecil dulu. Aku memainkannya pelan, menyenderkan kepalaku kepada rantainya, mengawangkan pikiran.
“Nak..” Suara Bunda memecah lamunanku. “Mau cerita apa?”
“Bun.. aku pengen deh balik jadi kecil lagi, main di ayunan.” Aku tertawa.
“Hahaha, dulu Bunda inget banget, Ayah bela belain libur kerja supaya masangin Ayunan ini buat kamu.” Bunda memegang rantai nya yang sampai sekarang masih kuat menggantung di batang pohon besar belakang rumah. “Padahal ini awalnya pohonnya mau di tebang, karena kamu merengek minta dibikinin ayunan, gak jadi ditebang.” Bunda menengadah, menatap rimbun pohon.
“Ayah.. sayang banget ya sama aku, Bun..”
“Ya sayang lah, gimana sih kamu.”
“Bun..”
“Hm? Kamu mau cerita apa?”
“Ayah, sayang sama Bunda?”
“Kok kamu nanya gitu?”
“Ayah pernah nemuin perempuan lain selain Bunda gak, Bun?”
“Heehh.. kamu ini ngomong apa?” Aku diam, tidak lagi lanjut bertanya. Karena mungkin pun, pertanyaan yang aku ajukan tidak etis untuk Bunda terima.
Tapi kemudian, ia berlutut didepan lututku, mendongak sedikit menatap wajahku.
“Nak, rumah tangga mu baik baik aja, kan?”
Aku menggeleng. Aku menggeleng kemudian menangis sejadi jadinya.
“Bunda, aku salah apa ya Bun?” Kini aku ikut berlutut diatas tanah penuh rumput, memeluk wanita paruh baya yang telah melahirkanku.
Ia mengusap pundakku, dapat aku rasakan bahunya yang ikut bergetar.
“Bunda, aku mau pulang ke Ayah..” Kini, tangisan Bunda yang meraung. “Wonwoo baik, Bun. Tapi aku gak bisa nerima kesalahan yang Wonwoo buat. Aku gabisa maafin kesalahan dia dan aku gabisa kasih kesempatan lain buat dia. Tapi, aku gak mau Na Eun punya orang tua yang pisah..”
Kini ia pegang bahuku, wajahnya yang sudah mulai keriput, dipenuhi bercak air mata.
“Sejak kapan, nak?”
“Bunda.. Hampir setahun.” Bundaku menutup matanya, menarik nafas.
“Nak.. kalaupun Ayah tau ini, Ayah pasti bangga. Karena anaknya tetap menjaga nama baik keluarga, dan menjaga aib rumah tangganya sampai selama ini..”
“Nak.. Pelan pelan, apapun keputusan kamu, Bunda akan selalu ada.”
-
Secarik kertas aku serahkan ke hadapan Wonwoo.
Ia menggeleng.
“Hak asuh gak akan aku minta penuh di aku, mau kaya gimanapun Na Eun tetap harus tumbuh sama Mamah maupun Papah nya.”
Wonwoo lagi lagi menggeleng.
“Kenapa kamu gak ngomong dulu sama aku?”
“Wonwoo, kamu mau aku ngomong apa? Ngasih kamu pilihan? Emang kamu mau ninggalin Yerin?”
Sosoknya diam, menatap kertas dihadapannya.
“Gak mau kan, Wonwoo? Yaudah, jangan dibikin rumit lagi.” Lagi lagi aku sodorkan kertas surat pengajuan cerai kehadapannya.
“Enggak, aku gak bakal ngelepasin kamu dan kamu juga gak bakal ngelepasin aku.”
“Kalau gitu lepasin Yerin dan balik kesini.”
Rahang Wonwoo mengeras, dapat aku lihat dengan jelas.
“Maaf, Wonwoo. Kalau kamu ngejar dua perempuan, kamu harus kehilangan satu. Entah itu Yerin yang selalu kamu akui sebagai temen kerja kamu.. atau aku, yang bersumpah mati bakal selalu ada buat kamu di saat kamu sakit dan sehat, kaya atau miskin, dan segala kemungkinan baik maupun buruk didepan sana.”
-A friend to all is a friend to none, Chase two girls, lose the one, When you are young, they assume you know nothin'-
Wonwoo lagi lagi menggeleng, menggingit keras rahangnya, serta suara nafasnya yang menderu berat.
“Enggak, aku gak akan ngelepasin kamu” Kertas tadi diambil kasar olehnya, kemudian ia berlalu dan keluar dari rumah, membanting pintu. Suara mesin mobil menderu dan ia berlalu, entah mau kemana.
Aku meringkuk diatas kasurku, menangis membekap wajah dengan bantal. Menerka nerka dimana Wonwoo bermalam, entah pergi kerumah Ibunya, atau pergi menemui gadis yang selama ini disembunyikannya.
Namun, pukul empat pagi, suara telfon berdering nyaring memenuhi kamar, dan kutemukan nama Jungkook di layarnya.
“Kak.. Abang udah gak ada.”
-
Mobil Wonwoo hancur tidak berbentuk, tidak lagi sempurna seperti di Minggu pagi dimana dengan semangat ia mencucinya. Tidak lagi bisa aku maupun Na Eun duduki di kursi penumpangnya.
Kata pihak kepolisian, mobil Wonwoo menabrak beton pembatas jalan pukul 3 pagi, berputar sampai berkali kali hingga ringsek tidak berbentuk. Dan satu jam setelahnya, Wonwoo harus pergi.
Mobil milik Wonwoo hancur, tapi dunia milikku dua kali lebih hancur.
Langit mendung, seakan akan ia pun ikut berduka melambai pada kepergian seseorang hari ini.
Wonwoo akhirnya dipeluk bumi, tidak lagi dapat hadir disini bahkan untuk sekedar menghujamiku dengan beribu kecupan manisnya. Tidak lagi mampu membelikan putri kecilnya Yogurt kesukaannya karena eksistensi nya tak lagi mampu untuk diharapkan.
Wonwoo-ku kini hanya ukiran nisan.
Bermeter jauhnya dari pusara Wonwoo, dapat aku lihat Yerin ikut hadir. Mungkin menunggu untuk semua orang pergi, agar dia dengan leluasa meraung diatas tanah basah sebagai seseorang yang entah dengan status apa.
Jeon Jungkook, berjalan mendekatiku.
“Kak, pertama kali abang kenalin kakak dan bilang jatuh cinta sejatuh jatuhnya sama kakak, abang bilang sama aku kalau sampai mati pun abang gak akan pernah ngelepas kakak..”
“Abang.. berani sumpah sampai mati kalau mau dunia ini pun perputarannya terbalik, abang gak akan ngelepas kakak.. Dan abang pegang sumpahnya sampai abang mati, Kak..”
“Hari terakhir pun waktu abang pulang kerumah, dia tetep gak mau nandatanganin surat cerai, karena aku tau abang gak akan mampu hidup tanpa kakak walaupun kesannya abang jadi keliatan egois. Tapi kak.. cinta abang, gak hanya tertulis diatas dua buku nikah yang kalian tanda tangani atas bukti sahnya kalian sebagai suami dan istri.”
“Jadi.. Aku harap, kakak juga tetap nepatin janji kakak buat mencintai abang terus sampai mati.”
Wonwoo, aku marah. Aku marah sampai rasanya saraf di otakku hampir pecah ketika tau bahwa ada wanita lain tersisip dihatimu. Bahwa ada waktu yang kamu sisihkan bukan hanya untukku dan perempuan kecil berparas sepertimu yang sedang aku peluk ini. aku marah, tapi bukan berarti akhirnya segala perasaan yang kita bangun dan akhirnya tumbuh subur ini begitu saja menghilang di telan waktu.
“Tapi, Jung.. sampai akhir hayatnya pun, aku gak tau hati kecilnya berlabuh untuk siapa.. karena ada dua nama disana..”
Wonwoo-ku pergi, kisahku tak berujung manis seperti banyaknya angan yang aku gantungkan ke langit sana. Menua bersama, menggendong cucu dan menikmati segelas teh hangat di beranda rumah dengan tangan yang saling bertaut walaupun terlanjur keriput.
Wonwoo-ku, siapapun itu, namamu akan selalu hidup sebagai perjalanan serta perjuangan cintaku paling hebat, walaupun diakhir cerita, tersebut nama lain yang menghancurkan segala isinya.
—fin.