#5, tsuki ga kirei desu ne.


“I love the parts of you that i didn't own, and you owned the parts of me that you didn't love.” -Najwa Zebian.


(tw//burnout)


Mari aku deskripsikan sedikit tentang fisik Soonyoung. Tinggi, kulitnya lebih putih dari kulitku, senyum manis dan mata yang sipit. Kalau bertemu, maka punchline andalanku adalah “bukalah matamuuuuu selebar dunia ini”

Maka Soonyoung akan mulai bereaksi dalam 1..2..

“Bacot Anjing”

Yap, perangai Soonyoung.

“Rapat Rapattt!!” Teriaknya. Padahal, sesi kelas baru selesai 3 menit yang lalu.

“Rapat mulu lo, kalah noh anggota DPR.” Ini Hoseok, baru saja merapikan tasnya dan bangkit dari bangku.

“Lo.” Tunjuknya dari depan pintu menujuku yang duduk jauh disudut kelas “Ikut gue rapat atau nyawa lo melayang detik ini juga.”

“Dih, situ siapa ngatur ngatur takdir.”

“Gue General Manager Himpunan anjir, kemana aja lo selama ini?” Iya. Soonyoung adalah kepala Himpunan Mahasiswa di Teknik Geodesi.

“Udah tau, gausah koar-koar lo” Aku melewatinya yang dari tadi berdiri didepan pintu menghalangi jalan. Kemudian dapat aku dengar langkah kakinya ikut dibelakangku.

“Btw, lo laper gak sih?” Kini langkah kami berselaras.

Aku menggeleng.

“Gua laper.”

“Derita lo.”

“Bisa gak, lo jadi seorang teman yang sedikitnya membantu teman lo ini yang lagi kesusahan?”

“Kenapa? Lo mau minjem duit?”

“Ga begitu, bangsat

“Ya terus apa dong? Kalau ngomong yang jelas jangan ngang-ngong ngang-ngong mulu, Soonyoung”

“Gue lagi pengen ayam geprek, lesgo” Tanpa aba aba, ia menggenggam pergelangan tanganku, ingin menariknya namun aku tahan.

“lesga lesgo. Katanya rapat?”

“Ntar aja itu mah, paling juga ngaret”

“Lo gimana sih, gimana anak anak lo yang lain bisa ngikut sama apa kata lo kalau lo aja masih sepele sama urusan kaya gini? Gabisa Soonyoung. Jam 5, lo sebagai ketua himpunan harus sampe di sekretariat hima bahkan sebelum jam 5.”

Soonyoung memutar bola matanya malas.

“Iye iyee, yaudah ntar selesai rapat aja.”

“Lo masih mau nunggu Hoseok apa gue duluan?” Tanyaku.

“Ya bareng lo lah, yok.”

Gedung fakultas tempat diadakannya kelas tadi dan sekretariat hima letaknya agak jauh. Jadi aku dan Soonyoung masih harus berjalan melewati kantin fakultas, parkiran, gedung seminar, koridor gedung lain dan diujung sana didekat lapangan futsal, sekretariat hima Geodesi terletak.

Ruangannya cukup besar untuk menampung paling banyak sekitar 40-an orang, mengingat anggota himpunan mahasiswa Geodesi berjumlah sekitar 30-an. Yap, sangat sedikit dibandingkan anggota himpunan mahasiswa lain di fakultas Teknik.

Soonyoung kemudian mengambil tempat duduk di paling depan, selagi menunggu anggota himpunan lain untuk datang.

“Seok Seok, tutup pintu. Ntar AC nya gak terasa” Ucap Soonyoung sesaat Hoseok datang ke ruangan sekretariat.

“Rapat apalagi hari ini?” Hoseok melempar tasnya ke atas meja dan membanting tubuhnya malas diatas kursi.

“Sabaran kek, ntar 5 menit lagi kita mulai”

Memang kebiasaan orang lokal, rapat kali ini dimulai 20 menit lebih lama dibandingkan apa yang dijanjikan Soonyoung 15 menit yang lalu. Kini ruangan sekretariat sudah terisi kurang lebih 80% dari seluruh anggota himpunan Geodesi.

“Halo selamat sore menuju malam temen temen semua.” Soonyoung membuka rapat. “Makasih banyak buat yang udah nyempetin buat hadir sekarang ini, jadi gue disini mau ngabarin kalau di akhir periode kepengurusan Himpunan, bakal ada rapat pleno akhir periode. Nah, gue berharap banget untuk semua anggota himpunan buat hadir supaya kita semua tau proker apa aja yang udah terlaksana dari setiap departemen dan evaluasi untuk perkembangan proker menuju Himpunan yang lebih baik.”

“Rapat kali ini bakal bahas laporan apa aja yang bakal disiapin, bentuk mentah dan matangnya kaya gimana, sistemnya ntar gimana, tanggalnya juga belom gue tembak soalnya harus ada persetujuan dari kalian semua. Intinya, kita bakal bahas sampe bersih untuk persiapan rapat pleno akhir periode ini”

Kalian percaya itu Soonyoung yang barusan suka melempar kata kata kasar? Tidak kan? Kalau aku percaya, dan bangga. Menurutku, Soonyoung keren, profesional, dan reputasinya terpandang. Bukan hanya anak anak jurusan Geodesi, tapi karena relasinya yang luas, coba tanya anak anak fakultas teknik, terutama yang berkecimpung di dunia organisasi, nama Soonyoung, menggema dimana mana.

Mau tau apa keren nya lagi? Dia adalah teman yang berselaras denganku.

Kadang aku sering berfikir, ada hal keren lagi yang harusnya patut aku banggakan. Aku bekerja di dalam departemen dibawah tanggung jawabnya, intinya, aku harus melewati bertahap-tahap jabatan untuk bertemu dengan si Soonyoung Kepala Manajer Himpunan Mahasiswa Geodesi itu. Tapi diluar masalah himpunan, dia adalah temanku, sahabatku, orang aneh di pukul 11 malam dan mengajakku mencari makan, orang yang secara tiba tiba menelfonku dengan alasan ‘gua gabut anjing’, dia yang tiba tiba mengajakku main kesana dan kesini, dia yang secara lempeng aku mintai tolong ‘jemput gua dong, ujan nih’. Soonyoung, dan aku, kami.

Kalau dipikir pikir, rasanya hidupku seperti alur cerita novel remaja, tapi itu terlalu fiksi dan basi.

Dari sini, dari tempat aku duduk, aku bisa melihat bagaimana sosoknya berbicara kepada para bawahannya, sangat profesional. Kadang aku suka bertanya, Soonyoung itu, punya masalah kejiwaan ya? Kenapa aku merasa bahwa dia memiliki kepribadian ganda? Coba lihat, itu bukan Soonyoung yang mengajakku makan Ayam Geprek tadi kan?

“Woi!” Seulgi, mengejutkanku. “Bengong lo”

“Gi, jantung gue terbang ke langit”

“Hahahah, coba kasih tau gue tadi Soonyoung bilang apa soal pelaporan proker?”

Mampus.

“Kan, mikirin Soonyoung mulu lo”

“Gak gitu, gue laper jadi gak fokus”

“Bohong! lo kalau laper tuh tangannya tremor, itu gue liat baik baik aja”

“Ah udah deh, apa yang harus gue kerjakan nih?” Seulgi, atau biasa aku panggil Egi, adalah kepala Departemen ku di Research and Education, aku berada dibawah naungan tanggung jawabnya sebelum ke Soonyoung yang posisinya ada di paling atas.

“Nih, kasih perincian dana yang turun dari fakultas buat Entrepreneur Festival kemaren, kan lo bendaharanya.”

“Aduh, surat pertanggung jawabannya belum kelar”

“Yaelah, revisi lagi?” Aku mengangguk. “Dananya belum pada keluar semua berarti?” Sambungnya.

“Udah sih, cuman total cairnya belum tau berapa”

“Yaudah samain aja sama dana perkiraan di surat pertanggung jawaban”

“Terus lampiran buktinya gimana? Kan belum ditanda tangani Kepala Prodi.”

“Lo bisa gerak cepet gak?”

“Gi, gua panas panasan bolak balik fotokopian, fakultas, fotokopian, fakultas, tetep aja salah.”

“Besok? Gimana?”

“Ntar deh gue ketemuin Kepala Prodi dulu.”

“Secepatnya loh ya, ini dua minggu lagi rapat pleno akhir periode nya.”

“Hah? Dua minggu?”

“Kan, otaklo kemana aja sih daritadi?”

“Serius?”

“Kalau lo gabisa ngejar dua minggu, nego noh sama kepala himpunan, kali aja bisa.”

“Lo kira gua siapa, Gi” Seulgi terkikik kecil.

“Alah, se—himpunan juga tau.”

“Tau apa?”

“Tau deh apaaann” Seulgi kemudian bangkit dari duduknya dan pergi menuju Soonyoung, membawa beberapa lembar kertas hasil laporan mentah departemen dibawah tanggung jawabnya.

Memangnya apa?

-

Rapat selesai menjelang pukul 7 malam, semua anak anak himpunan satu persatu pamit dan meninggalkan sekretariat hima Geodesi, meninggalkan Soonyoung yang menjadi orang terakhir yang membersihkan ruangan. Mengangkat kursi keatas meja, membuang sampah, mematikan lampu dan mengunci ruangan.

“Gue balik duluan apa lo mau m—”

“Iya gue mau makan, lesgo” Ia menarik tanganku. Selama kembali menuju gedung fakultas sebelumnya, ia terus menggandeng pergelangan tanganku. Melewati koridor gedung, kantin fakultas lagi, dan sampai di parkiran.

“Lo gausah motoran, pake motor gua. Gaasik bawa motor sendiri sendiri.”

“Lah terus ini motor gua gimana?”

“Ntar gue anterin kesini lagi, habis itu baru kita pulang” Soonyoung naik ke motornya. “Lagian fakultas masih terang, ada anak anak jam kelas malam kok, tenang aja lo. Ntar lo sekalian gue anter sampe ke lampu merah persimpangan kedua sebelum rumah lo.”

“Ngapain anjir? Ada juga lo jauh muter sebelum pulang kerumah”

“Gak papa, hobi gua adalah keliling keliling kota bukan pake becak, becak, tolong bawa saya.”

“Hah? Jokes lo setingkat bokap gua anjir. Bingung, ga lucu”

“Yaelah, namanya juga usaha gimana sih. Hargain kek.”

“Jadi ni gimana?”

“Yaudah ayo naik. Nunggu apa lagi? Nunggu naik haji? Itu juga kalau mampu.”

“Pea lo” Aku menoyor kepalanya. “Helm lo pake”

“Ogah”

“Pake, Soonyoung”

“Ntar gua kaga denger lo ngoceh apaan.”

“Bacot, pake ga?”

“Kaga. Udah ayo cepetan sebelum gue mati kelaparan.”

“Kalo kita mati berdua, lo tanggung jawab diakhirat sana.”

“Tanggung jawab apaan, emang gua ngehamilin lo?”

“Plis, kok bisa sih lo jadi Kepala Manajer Himpunan?”

“auk deh, nyogok kali gue”

-

Bermenit aku dan Soonyoung menunggu makanan yang kami pesan, berbincang kecil dan terbahak sampai sampai warung makan yang kami datangi dipenuhi oleh suara aku dan dirinya.

“Lo..” Soonyoung menelan makanannya agak susah payah. “Selesai wisuda langsung kerja apa S2?”

Aku berfikir sejenak. “Sebenernya tuh bingung, kalau gue S2 tapi belum dapet kerja ya sama aja. Tapi gue pengen S2.”

“Dimana?”

Kalau aku boleh jujur, aku mau ke Jerman, Soonyoung. ada banyak mimpi yang aku gantung di sana.

“Ada..” Balasku, belum mau secara terbuka berbicara soal mimpi itu.

“Gue juga pengen S2.”

“Oh ya? Kemana?”

“Jerman..” Pernyataan Soonyoung barusan membuatku berhenti mengunyah barang sebentar, kemudian menyunggingkan senyum kecil dan tertawa.

“Woilah, lo kira Jerman di Kokas kali ya.” Dirinya pun ikut tertawa.

“Gue mau mencapai cita cita seseorang sih.”

Aku terdiam, memangnya.. Aku udah pernah cerita ya, Soonyoung?

Dari sini aku bisa melihat bagaimana sudut bibirnya yang terangkat kecil ketika mengunyah, bagaimana matanya yang sipit tidak bisa berbohong kalau ia sedang berbunga-bunga ketika membahas itu.

Apa yang anggota himpunan tau? Soal aku dan Soonyoung? Teman kan? Soonyoung, kita itu.. Teman kan? Tapi.. Kalau aku berharap sedikit lebih banyak, semesta merestui kita tidak, ya?

“Rapat Pleno akhir periode nanti..” Ia lagi-lagi sedikit susah payah menelan makanannya. “Lo wajib ngomong.”

“Emang gabisa Egi aja yang ngomong semua hasil proker yang terlaksana?”

“Berbuih dah tu mulut” Soonyoung menegak segelas air putih yang tadi sempat aku tuangkan untuknya. “Proker departemen lo banyak banget woi, kasian Egi.”

“Yaudah iya santai, ngomong doang kan?”

“Enggak, entar gue tanya terus lo jawab. Habis itu kita cerdas cermat.”

“Hah?”

“Ahela.. Gajadi lucu dah.”

“Lagian jokes lo gak nyampe di otak gue, Soonyoung. Lo tuh kalau ngejokes ga becus.”

“Iyadah emang gue jadi kepala himpunan doang becusnya.”

“Jan ampe ni meja gue jungkir balikin ya, Soonyoung”

“Jangan dulu, ni ayam geprek gue dikit lagi. Sayang.. Mubazir” Aku memijit pelipisku dan menggeleng, menatap Soonyoung yang masih lahap makan dihadapanku.

5 menit sempat sunyi, aku dan dirinya yang sibuk mengunyah dan fokus mengisi perut yang kelaparan semenjak berjam yang lalu. Sampai Ketika Soonyoung menghela nafas dan menyenderkan punggungnya ke kepala kursi.

“Kenyang banget.”

By the way, kita udah kenal berapa lama sih?” Sahutku secara impulsif dan mengundang kerutan di alis Soonyoung. Dirinya mengawangkan pandangan, berfikir.

“Yang waktu lo mau bunuh diri itu bukan sih? Udah berapa lama ya?”

“Anjir gak bunuh diri, Soonyoung”

“Yaa.. gue kira mau bunuh diri”

Awal jadi mahasiswa baru, aku adalah yang ambisius. Dari mulai ikut Himpunan Mahasiswa, BEM, panitia bagian Pemilu untuk cakupan seluruh Universitas dan juga bagian dari Dewan Mahasiswa atau orang-orang suka menyebutnya dengan DeMa. Soonyoung pun begitu, mungkin lebih? Disertai event diluar kampus yang diikutinya.

Intinya, disetiap acara pasti akan aku lihat batang hidung Soonyoung dimana mana.

Jadi kalau sebenarnya ditanya sudah berapa lama kenal, dari awal masuk ke Geodesi pun aku sudah mengenal dirinya. Kwon Soonyoung.

Namun, ada sebuah hubungan pertemanan yang lebih intens setelah hari dimana Soonyoung menemukanku berdiri dibalik balkon lantai 8 gedung fakultas, pukul 9 menuju 10 di malam hari.

Semua berawal dari faktor kekacauan dan miskomunikasi sering terjadi didalam organisasi maupun event, dan itu adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar adalah bagaimana aku menahan segalanya serta tidak memberikan diri sebuah ruang untuk beristirahat.

Malam itu di Gedung fakultas dimana orang orang terus berargumentasi dan tidak memperbolehkan seluruh anggotanya untuk pulang sampai kekacauan acara yang akan berlangsung besok menemukan titik terangnya, maka aku yang sudah tidak mampu menahan segalanya izin untuk pergi ke toilet.

Padahal aku berjalan menuju lift dan naik ke lantai paling puncak salah satu Gedung paling tinggi di fakultas.

Pencahayaan dilantai 8 saat itu hanya lampu lampu yang berasal dari Gedung lain, maka aku terduduk diatas lututku, menggigit lengan bajuku agar tidak berteriak dan menyakiti diriku sendiri. Memukul dinding, memukul kepalaku, tubuhku. Bahwa aku lelah, aku letih dan aku butuh ketenangan barang sebentar setelah 4 bulan lebih setiap harinya tidak memiliki waktu istirahat yang baik.

Maka aku pecah dalam tangisanku.

Niatku pada malam itu hanya untuk mencari udara dengan berdiri di balik balkon, sesekali masih terisak. Sampai ketika tangan seseorang menarikku hingga membuatku terjatuh ke lantai.

Dirinya tiba tiba menangkup wajahku. “L-l-lo, kesurupan, ya?” Soonyoung, bola matanya bergetar.

Di pipiku, dapat aku rasakan telapak tangannya yang dingin. Aku tertawa, dan semakin membuat air wajah Soonyoung ketakutan.

“Sumpah g-gue gatau harus ngapain. Gue gak hafal ayat kursi. L-lo tungguin gue panggil anak-anak tapi lo jangan loncat, ya?” Lagi lagi aku tertawa, sampai harus memegang perutku.

“Gue gak kesurupan, Soonyoung.” Ekspresinya berubah. Terdiam agak lama dan masih menatap wajahku.

“Serius anjir? Ngaco lo ya?” Kali ini, dia memukul pipinya. “Gue ngomong sama lo apa sama setan yang ada didalem badan lo sih?”

“Sama gue.” Lagi lagi, ia berlutut, mengangkup pipiku dan menginvestigasi seluruh sudut yang ada di wajahku.

“Lo.. gak papa?” Aku yang bodoh. Padahal berdetik yang lalu aku tertawa dengan seluruh tingkah serta raut wajah Soonyoung yang lucu, tapi ketika di tanya hal semacam itu, ada perih di sekujur tubuhku.

Aku tatap wajahnya, kemudian menggeleng dan kembali menangis.

Untuk pertama kalinya semenjak aku tau sosok Kwon Soonyoung, malam itu dia menarikku dalam pelukannya. Membiarkan aku membekap wajah dan membasahi kemeja flannelnya, dan dengan ritme yang pelan terus menepuk pundakku, sesekali mengelusnya.

Di lantai 8 gedung fakultas yang bahkan remang tanpa pencahayaan, hanya ada suaraku yang meraung dan menggema. Soonyoung, juga ikut menjatuhkan kepalanya ke puncak kepalaku.

“Kita semua capek, kok. tapi gak papa, capek lo kali ini, gue hadiahin peluk yang gue sendiri gak tau apa bisa bikin perasaan lo jadi membaik. tapi, semoga membaik.”

Malam itu, aku akhirnya beristirahat, dalam rengkuh hangat pelukan seorang Kwon Soonyoung yang saat itu hanya sepenggal namanya yang menggema di telingaku. Tapi, keadaan jadi lebih membaik, bahkan sampai detik ini.

“Tapi muka lo pas itu asli lucu banget” Aku tertawa, Soonyoung pun disana.

“Gua takut banget asli dah, mana pas malem itu gedung lagi sepi sepinya.”

“Tapi kok lo bisa disana sih?” Aku menegak es teh manisku.

“Gue ngeliat lo beloknya ngelenceng, gue kira lo mau cabut duluan. Rencananya sih mau gue ciduk, eh tau tau malah mau bunuh diri”

“Dibilang bukan mau bunuh diri, gimana sih.”

“Tapi, lo udah gak papa kan?” Pertanyaan Soonyoung membuatku tersenyum, mengangguk.

“Kata psikiater gue, kalau mau nangis ya nangis aja, jangan ditahan”

“Lagian lo sih, nangis pake acara ditahan.”

“Bukan kemauan gue, Soonyoung. Kadang ada masanya gue tuh yang sedih banget tapi gak bisa nangis. Akhirnya kekumpul terus ujung ujungnya jadi—”

Burnout.

Burnout.” Jelasku sekali lagi.

Aku bahkan masih ingat sampai sekarang, setelah kejadian malam itu Soonyoung secara berkala selalu menanyakan kabarku. Dan sesekali, sering mengajakku melakukan ‘little escape’ dan membawaku ke tempat tempat yang bahkan aku sendiri tidak tau bahwa tempat itu ada.

“Makasih ya, Soonyoung.”

“Dih apaan sih anjir merinding gue”

“Makasih karena kalau malam itu gaada lo, kali aja gue beneran mau loncat.”

Mungkin, itu juga salah satu fakta baru yang akhirnya diketahui Soonyoung malam ini. Keadaan dimana pikiranku tidak mampu berfikir lurus malam itu di lantai 8 gedung paling tinggi di fakultas. Rasanya, kalau tidak ada Soonyoung, mungkin angin malam kala itu mampu membuatku terbang, sampai langit ke-7.

-

Bukannya mengantarku kembali ke fakultas untuk mengambil motor dan pulang, Soonyoung mengajakku sedikit berkeliling kota yang sepenuhnya sudah reda dari sibuk hiruk pikuk masyarakat pada jam jam aktif, malam ini, jalanan lebih senggang.

“Lo tau gak..” Soonyoung sedikit berteriak.

“Apa?”

“Persamaan tukang jualan bakso sama tukang jualan sate?”

“Sama sama jualan?”

“Salah”

“Sama sama pedagang?”

“Yee, apa bedanya sama jawaban lo yang sebelumnya?”

“Gatau gue, males mikir”

“Sama sama gak jualan nasi goreng” Dapat aku lihat bahunya bergetar, menandakan bahwa dia tertawa. “Gak lucu ya?” Tanyanya.

“Enggak.” Kata gue.

“Yaudah, kalau gitu gue tanya serius deh”

“Apa?”

“Kalau orang yang lo suka nyatain perasaannya sama lo, lo bakal gimana reaksinya?”

“Seneng?”

“Udah gitu aja?”

“Ya terus apalagi? Maksudnya ya seneng, Soonyoung, kalau ternyata orang yang gue harapin juga mengharapkan gue, gitu..”

“Hmmm.. terus misal nih ya, misal. Kalau orang yang lo suka ngajakin lo makan, terus lo mau, berarti itu tandanya lo suka juga gak?”

“Ya suka juga gak sih?”

“Gatau, kan gue nanyain lo.”

“Suka kali, Soonyoung”

“Oke”

“Hah? Oke?”

“Lo tau gak?” Aku memutar bola mataku sedikit malas karena lagi lagi dia bertanya.

“Apa lagi?”

“Kata kiasan ‘bulan malam ini indah?’”

“Tau”

“Romantis gak menurut lo?”

“Hmm, romantis sih. Soalnya ngungkapinnya secara gak langsung gitu. Bikin orang penasaran, hahaha.” Dari kaca spion motor Soonyoung, dapat aku lihat ujung bibirnya yang sedikit terangkat.

Soonyoung itu lagi jatuh cinta ya?

Aku bahagia, melihat bagaimana senyum tipis diwajahnya terukir. Membentuk ¼ lingkaran, tidak sepenuhnya setengah, tapi tetap indah. Tapi bagaimana bisa ya, seperempat itu menunjukan bahwa dirinya sedang bahagia bahagianya?

Matanya, cara ia tertawa dan sedikit menunduk, gelagatnya. Semesta, kalau cerita magis di novel remaja itu ada di dunia nyata, aku boleh tidak ya, jadi alasan di baliknya?

-

Rapat Pleno akhir periode di laksanakan di meeting room gedung seminar fakultas teknik. Sekiranya ada sekitar 30 mahasiswa dibawah naungan himpunan yang hadir pagi itu.

Acaranya berjalan sebagaimana seharusnya, aku di departemenku dengan baik menjelaskan soal prokerku. Permasalahan yang aku hadapi, mulai dari dana yang susah cair, sampai membuat janji dengan kepala prodi yang super sibuk.

“Mungkin buat pencairan dana itu bisa di follup lebih duluan, apalagi kemarin selesainya beberapa hari sebelum rapat ini kan?” Soonyoung bertanya, duduk tengah sebagai pemandu rapat pagi ini. Aku mengangguk kemudian sebagai jawaban.

“Revisi itu suatu hal yang wajar, tapi menurutku lebih baik pakai acuan dari laporan pertanggung jawaban yang udah di sah kan dari dekan, kepala prodi yang tahun lalu supaya jelas dan gak perlu revisi berulang kali. Udah segitu aja, makasih.” Soonyoung menjauhkan micnya setelah mengevaluasi hasil pelaksanaan proker yang aku pertanggung jawabkan. Lagi lagi, sebagai jawaban aku mengangguk.

Selanjutnya, pemimpin rapat mempersilahkan kepala departemen Public Relation yang berada di tangan Irene, primadona kampus yang namanya selalu di elu-elu kan.

“Iren, bisa langsung aja.” Iren kemudian menjelaskan secara detail apa apa saja proker yang telah terlaksana, dan semua mata, telinga, tertuju padanya.

Sudut pandang mataku menatap Soonyoung, tarikan senyum kecilnya, cahaya matanya, lekukan matanya, gelagatnya,semuanya, seakan akan menunjukan kalau dia... sedang jatuh cinta.

Semakin lama aku menatap sosoknya, menatap orang lain yang juga menatap Irene, perlahan, ada benang kusut yang kini mulai terurai.

“Lo tau gak, temen lo tadi malam aneh banget?” Egi berbisik disebelahku ditengah rapat yang sedang berjalan.

“Siapa?”

“Ya siapa lagi, tuh!” Tunjuknya pada Soonyoung.

“Iren cerita, masa tiba tiba Soonyoung nelfon tengah malem terus bilang ‘Ren, coba deh lihat, bulan malam ini tuh lagi cantik cantiknya’ terus dimatiin. Padahal, pas itu lagi gaada bulan.” Egi tertawa menggeleng.

Benang kusut lainnya,

Egi lagi lagi mendekat, berbisik “Terus, kan Iren mau lanjut S2 di Jerman, terus Soonyoung ngajuin surat rekomendasi ke kepala prodi. Daftar beasiswanya juga ke Jerman. Tapi gue yakin lo pasti tau lah kan yang ini?” Aku mengangguk, terpatah patah.

“I-iya, tau kok gue, Gi.”

“Yang kocaknya tau ga apaan?” Seulgi menutup mulutnya sedikit, terkikik. “Kemaren si Iren iya iya aja diajakin Soonyoung makan di kantin fakultas Ekonomi. Hahaha. Plis ya, seumur umur gue temenan sama Iren, dia gak pernah mau memijakkan kaki di fakultas ekonomi, aneh banget sama Soonyoung malah mau.”

Lagi, lagi dan lagi. Sebuah benang lainnya.

2 jam, akhirnya rapat Pleno akhir periode selesai. Semuanya merapikan barang bawaan dan bersiap untuk kembali.

“Gi, gue mau nanya.” Seulgi mengangguk, bersiap mendengar pertanyaanku.

“Yang waktu itu lo bilang ‘se-himpunan juga tau’ soal gue sama Soonyoung, maksudnya?”

“Oh.. Yaa se-himpunan juga tau kalo lo satu satunya temen Soonyoung yang dia gak bakal tega gak nurutin apa mau lo. Soonyoung kok yang bilang sendiri, karena katanya apa yang lo bilang dan saranin itu tuh realistis, jadi bantu dia banget buat buka pikiran. Emang lo kira apa?”

“Hahaha, ya sama sih. Gue cuma mau memastikan aja.”

“Oalah, gue kira apaan deh. Yaudah, gue balik duluan ya. Lo hati hati baliknya.” Aku mengacungkan jempol, kemudian melihat Seulgi yang berlalu dan keluar dari pintu.

Satu persatu anggota himpunan juga mulai meninggalkan ruangan, sampai tersisa hanya aku dan Soonyoung.

“Gak mau balik? Apa lo yang rapiin nih meeting room?”

“Soonyoung..” Panggilku.

“Hah? Apaan dah.”

“Kalau orang yang lo gak suka ngungkapin perasaannya, lo bakal apa?”

Soonyoung diam sejenak, mencerna pertanyaanku, mengerutkan alisnya.

“Orang yang gue benci, gitu? Tiba tiba confess?”

Aku menggeleng, “Orang yang lo sama sekali gaada perasaan.. I mean, suka?” Soonyoung berhenti melakukan aktivitasnya, berdiam dan menatap lurus kearahku.

“Ya.. Gue bakal bilang makasih.. Terus maaf.”

“Maaf kenapa?”

“Ya maaf karena gue gabisa suka sama dia.. Lo kenapa sih kok tiba tib—”

“Kalau gitu.. minta maaf sama gue, Soonyoung.”

“Hah?”

“Minta maaf.”

“Kenapa gue harus min..” Kalimatnya, dirinya sendiri yang redakan. Mungkin menjadi pertanda bahwa benang kusut dikepalanya terurai dengan sempurna. Aku diam, menatap sosoknya yang terdiam diatas pijakannya sendiri.

Aku lupa, sudah berapa lama aku mengenal Soonyoung, aku kira aku akan paham sepenuhnya dengan makna dibalik gelagatnya, cahaya matanya, naikan kecil sudut bibirnya, air wajahnya, segalanya. Tapi nyatanya, Soonyoung selalu abu, tidak berwarna, tidak hitam, tidak putih.

“Makasih..” Cicitnya kemudian. “.. dan maaf.”

Aku meninggalkan meeting room, melangkahi koridor gedung seminar fakultas dengan sesak didada, tenggorokan yang tercekat, mata yang panas dan perih.

Ini salah, aku harusnya bahagia untuk apapun keputusan Soonyoung sendiri. Tapi mendengar jawaban valid dari mulutnya, tetap saja menghujam jantungku. Bahwa ternyata, bukan aku yang jadi alasan dibalik tarikan kecil sudut bibirnya, bukan aku yang jadi alasan dibalik raut wajah bahagianya, bukan aku dan bukan aku. Aku, dijatuhkan oleh harapan yang aku bangun sendiri.

Cerita magis di dalam novel remaja adalah sepenuhnya fiksi, dan bodohnya, aku mengharapkan bahwa hal basi itu ada di dunia nyata. Dan yang lebih bodohnya lagi, aku berharap ada langkah kaki kecil yang mengejarku di sepanjang lorong ini.

Soonyoung selalu jadi orang yang mampu membuatku menangis dan meraung ketika aku tidak mampu meluapkan emosiku sendiri. Selalu ada kata dan kalimat yang dirinya lemparkan sehingga membuat hatiku perih dan akhirnya bulir bulir air mata itu jatuh.

Seperti hari ini, Soonyoung yang kembali mampu membuat ulu hatiku kembali perih, dan menghasilkan bulir bulir air mata yang membangun sungai kecil di pipiku.

Kalau dulu ada jemarinya yang membantuku mengusapnya, maka hari ini, jemariku yang akan menyelesaikan segalanya. Soal perasaan ini, soal garis pertemanan ini, dan soal hubungan lainnya.

—fin