Day 231, The Affection.

Aku kira, semenjak kejadian kemarin malam di Apartemen Wonwoo, dia benar benar akan menyerah pada segala batas yang aku bangun untuk diriku sendiri, aku kira ia akan membenah hati, aku kira ia akan menjadi Pak Jeon seorang kepala departemen dan berhenti menjadi Wonwoo. Aku kira akan begitu.

Tapi nyatanya, malam ini tetap ada dia yang datang membawakan dua cup Iced Coffee ke ruangan kerjaku, dan tau bahwa aku sedang lembur.

Ia masih sama seperti pertama kali aku bertemu dengan sosoknya. Lengan kemeja yang ia lipat seperempat bagian, Lanyard dileher, tas di bahu kanan dan jas di lengan kirinya. Bedanya, di kedua tangannya ada dua cup Iced Coffee tadi.

Since you are too busy lately, Caramel Machiatto..” Ia meletakan kopi tadi diatas mejaku.

“Makasih..”

“Hmm, sama sama”

Kita diam, Wonwoo masih berpijak pada kakinya di tempat yang sama.

“Nunggu apa? Kenapa gak balik?” Ia mengusap tekuknya.

“Aku temenin?”

As who?”

Anything you ask

“Pak Jeon, then

“Pak Jeon, it is

Ia duduk, di meja Kak Soonyoung. Dari mataku, ia hanya menoleh keluar jendela dan sesekali menyeruput es kopi di tangannya. Tidak menyibukkan diri, bahkan tidak mengeluarkan ponselnya.

What do you have?” Tanyaku, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Ia menoleh ke arahku “Same as you

“Karena kesukaannya Lara atau kesukaan aku?”

Dunno, I'm just trying to enjoy

Aku mengangguk, masih fokus pada layar laptopku. Namun, dari jarak pandang mataku yang mengedar, aku tau ia sedang melihat kesini.

“Kamu bawa mobil?”

Of course

“Kalau aku aja yang anter kamu balik?” Aku membuang nafas, kali ini beralih menatapnya.

“Kamu keras kepala ya, Wonwoo?”

“Bukan Pak Jeon?”

“..Pak.. Jeon” Ulangku.

“Kalau ga keras kepala, aku gabisa jadi kepala departemen”

“Tapi memposisikan sebagai kepala departemen kamu gak sekeras kepala ini”

“Kali ini lebih ke kepentingan pribadi, bukan kepentingan bersama”

“Kepentingan bersama dong, kepentingan aku dan kepentingan kamu”

I told you, aku ga peduli urusan perasaan kamu sama aku”

“Ya sikap kamu kaya gini yang bikin aku harusnya peduli, Pak. Can we just.. Stop? Like anything between us never happened before? Can you just being Pak Jeon yang bertanggung jawab sebagai kepala departemen dan aku sebagai karyawan biasa? Yang gak perlu ngurusin perasaan orang..”

Wonwoo menyunggingkan senyum “That Mingyu really hurt you, ya?”

He did, and I won’t anybody do the same thing as Mingyu did to me, okay, Pak?”

“Okay..” Ia bangkit. Aku ikut mendongak sedikit. “Aku pikir kamu bener bener bangun dinding yang tinggi just because this man hurt you

“emang ada yang salah kalau aku bikin boundary untuk diriku sendiri?” Ia menggeleng memberikan jawaban.

Aku pikir ia akan pergi meninggalkanku, kemudian semua akan kembali berjalan normal. Ia sebagai Pak Jeon Kepala Departemen dan aku sebagai Karyawan dibawah tanggung jawabnya. Tapi ia malah mendekat menuju mejaku, meletakan cup coffee nya dan berdiri tegak.

“Aku mau ngasih kamu hadiah, boleh? Sebagai Wonwoo, bukan Pak Jeon” Katanya.

Aku diam, masih duduk dan sedikit mendongakan kepala karena ia berdiri tepat dihadapanku. “I-iyaudah.. Boleh”

Tangannya ia jatuhkan diatas kepalaku, mengusap.

2 kali, 4 kali, 6 kali, 8 kali sampai tidak terhitung.

“Hadiah afeksi dari aku..” Cicitnya. “Hey?” Suara beratnya memanggil. Kini wajahnya bersejajar dengan wajahku. “Terimakasih ya, sudah mau bertahan selama ini untuk menghadapi rasa sakitnya sendirian, aku harap..” Ia berhenti sejenak.

“Aku harap ini yang terakhir kalinya kamu nerima rasa sakit kaya gini dari orang yang kamu sayang dan semoga kamu bisa menerima sakitnya dan membuka jalan kamu untuk menemukan diri sendiri” Ia tersenyum, kemudian berjalan berlalu meninggalkan aku dengan tenggorokan yang perih dan embun di pelupuk mata.

Aku ingat malam itu, ketika aku terjatuh diatas lututku, menangis tersedu dan meminta agar matahari tidak perlu bangun esok hari. Aku ingat, yang aku mau hanyalah hari berhenti.

Semenjak hari itu, aku selalu menanggung sakit sendiri. Meringkuk diatas tempat tidur dan membasahi bantal serta guling. Dunia tidak merangkulku, ia berputar dan tersenyum pada orang banyak tapi lupa kepadaku. Setidaknya, begitu bagaimana pemikiran buntu orang yang putus cinta sepertiku.

Tapi aku salah, belum giliranku. Hari ini dunia sedang merangkulku. Dunia mengelus kepalaku, dunia menghadiahiku. Tapi untuk suatu alasan bodoh, aku menolak. Bukan dunia yang salah, kali ini aku. Yang berjalan ditempat, tanpa sadar menyakiti diri sendiri, dan belagak seolah olah sampai detik ini, dunia masih saja memusuhiku.