3, unrequited fate.
“I will look for you, in every lifetime until we finally stay” -butterflies rising
Joshua bilang, pertama kali kita bertemu waktu kita berumur 3 tahun, Joshua bilang pertemuan pertama kita didalam pesawat yang sedang terbang, Joshua bilang setidaknya itu yang Ayahnya bilang, tapi Joshua bilang, katanya dia ingat semua.
“Akutuh selalu ingat, kok” Joshua terkikik.
Diluar gerimis, berhari hari hujan terus turun membasahi bumi.
“Kamu tuh ga inget ya Josh, cuma denger apa kata Papi” Ejekku.
“Yang paling aku inget itu kamu tuh sebelum landing ee' di celana”
“bohong?!”
“Beneran”
“Bohong Joshh!”
“Ga percaya kamu. Sepanjang sebelum landing tu kamu nangis terus teriak ‘Bauu bauuu’ HAHAHAHAAH” Joshua tertawa sampai sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
Aku hanya melipat kedua tanganku, terkikik kecil dan akhirnya jadi senyap, yang terdengar adalah rintik hujan diluar sana, memukul kaca jendela disebelah kananku.
Aku mendongak, menatap langit abu abu. Senggang terus menyelimuti, sampai Ketika Joshua Kembali bersuara.
“kamu..” Aku menoleh, ketika Joshua menggantungkan kalimatnya. “..Apa kabar?”
-
Seragam putih-abuku basah, hujan lebat benar benar mengguyur kota Bogor sore itu sepulang sekolah, dan mau tidak mau aku harus berteduh.
Langit diujung sana lamat lamat mulai gelap, dan aku harus bergegas pulang sebelum gelap benar benar menyelimuti kota. Sampai sampai seseorang muncul dan mengagetkanku.
“Hujan” Katanya.
“Josh!!” Aku memegang dadaku, mengatur nafas. “Emang ada yang bilang lagi terik cerah? Engga kan? Ya jelas jelas emang hujan”
“Dingin, ya?” Aku memutar kedua bola mataku malas.
“mukaku kira kira udah menjawab pertanyaan gak jelas kamu, belum?”
“udah, kusut. Berarti dingin ya?”
“Tau deh, terserah kamu” Kemudian ia keluarkan sesuatu dari ranselnya.
“Nih pake, nanti pilek kaya kemarin. Berisik banget sekelas dengerin kamu srat-srot srat-srot melulu”
“Nih kamu berat beratin tas bawa denim jaket kaya gini? emang bener ya kata anak anak, kamu tu kurang kerjaan”
“Mau dipake ga?”
“Mau” Aku merampas jaket yang disodorkan Joshua.
“Pulang kerumahku aja, yuk? Kalau kerumah kamu kan jauh”
“Ah aku gaenak sama Mami, kemaren udah main kesana juga”
“Kan katanya rumahku rumah kamu juga?”
“Aelah bercanda doang” Aku bersusah payah memasukan tubuhku kedalam jaket denim milik Joshua.
“Ayo pulang kerumahku aja”
“Kapan kapan aja deh”
“Hujan gini”
“Ya paling bentar lagi juga reda, Josh. Mending kamu pulang duluan, entar Mami malah marah marah lagi kamu pulang telat”
“Gausah, aku nungguin sampe hujannya reda aja. Biar pulangnya bareng”
“Aku jadi kamu udah goleran dikasur pake selimut, Josh”
“Aku jadi kamu pulang kerumah Joshua, sih”
“Dih.. pinter banget nyaut emang”
“Jadi pulang gak nih?“
“Udah dibilang nunggu hujan reda, Joshua Hong”
“Jangan panggil nama Papiku juga kali”
“Yaa terserah aku sih”
“Jadi kamu tetep mau beradu argumentasi kaya gini? Mending pulang bareng aku, Yuk?”
“Mau naik apa?”
“Apa gunanya angkot?”
“Coba liat, ada angkot ga?”
“Ada, bentar lagi juga ada. Yang sabar”
“Aku gabisa sabar. Mending kamu pulang”
“Gak”
“Bandel banget pantes Mami kamu tuh kerjaannya marah marah terus, punya anak bandel kaya kamu, jauh jauh sana”
“Ntar kangen”
“DIH JOSHUA?!” Dirinya terkikik. Hujan belum kunjung mereda.
“Eh tapi beneran deh, kalau lama gak ketemu aku kamu kangen ga? Secara kita kan temenan udah dari sejak di dalam kandungan”
“Umur 3 tahun ya, Joshua. Jangan ngada ngada”
“tinggal jawab aja padahal”
“Sebenernya bukan kangen sih, lebih yang ke bingung kalau gaada kamu aku harus ngapain, karena mostly kan apa apa yang aku lakuin pasti ada kamunya”
“Gak bosen?”
“Biasa aja, emang kenapa?”
“Gapapa nanya aja”
“Aneh” Aku merekatkan jaket milik Joshua yang kupakai. “Kamu sendiri, emang ga bosen aku melulu temennya?”
“Gak, ngapain bosen”
“Ya manatau kali aja kamu bosen gitu temenan sama aku”
“Bosen sih..”
“Tuh kan..”
“Bosen temenan, maunya lebih..”
Deg.
Hah? Apa?
“Apa?”
“Hahaha, lebat banget ya hujannya sampe kamu ga denger?”
Aku diam. Menatap manik matanya serta senyum simpul dikedua sudut bibirnya.
“Emang mau lebih tuh namanya apa?” Tanyaku.
“Apa ya? kayanya anak zaman sekarang bilangnya TTM”
“ohh..”
“kok oh?”
“Ya kan tetep temen tapi lebihnya mesra doang, statusnya tetep temen, kan?”
“Ya gak papa kalau kamu maunya gitu”
“Emang kamu maunya gimana?”
“Hmm..” Tiba tiba Joshua menautkan jemarinya ke jemariku, membuatku membulatkan mata. “Kalau kaya gini, pantes disebut teman tapi mesra, ga?”
“eh?”
“Pantes ga? Menurut kamu?”
“eh.. Eng-enggak sih. Berlebihan kalau menurutku.”
“Terus kalau kaya gini pantesnya apa?”
“Apaan sih, Josh?”
“Yeh.. Jawab dulu”
“Hm.. Orang pacaran kali?”
“Nah.. itu”
“Nah itu apanya?”
“Point pembicaraan kita, hahahhaha” Joshua kemudian melepaskan tangannya. “Maaf ya” Kini dirinya mengawangkan pandangan kelangit mendung, masih menatap derai hujan yang terus jatuh dari langit sana. “Maaf tiba tiba genggam tangan kamu kaya gitu”
“cih.. ngapain minta maaf sih.. Alay” Cicitku, karena sejujurnya pun, agenda dadakan tadi membuat sebuah perasaan didalam diriku bergejolak.
“Jadi gimana?”
“Gimana apanya?”
“Yah.. Gak diterima apa gak memang mau nerima?”
“Mau, Josh..” Dapat aku lihat secercah senyum terlukis diwajahnya. “Tapi, kasih aku waktu, boleh?” Kemudian hilang.
Joshua mengangguk, menyimpulkan sebuah senyum lalu menepuk puncak kepalaku beberapa kali dengan telapak tangannya.
“Nanti kalau udah sampe dirumah, kabarin aku, ya?”
-
Joshua itu selalu penuh dengan hal hal magis yang kadang membuatku tersihir secara tidak sadar. Dia baik, kepribadiannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan kepribadianku kadang membuatku merasa aneh, kenapa dia masih betah menyandang status sebagai temanku.
Dan selama bertahun lamanya, bohong kalau aku bilang aku dan Joshua hanya berteman. Bohong kalau aku bilang bahwa perasaan yang aku punya untuk Joshua hanya sebatas perasaan seorang teman ke teman lainnya. Tapi, aku sendiri selalu butuh waktu.
“Kalau aku tanya nih, kamu butuh waktu sampai kapan?” Setelah kejadian tempo hari yang lalu saat Joshua menanyakan soal hubungan lebih disaat hujan sedang mengguyur kota dengan hebatnya.
“Hm.. Belum bisa mastiin, maaf ya?” Di kantin sekolah, dengan dua es teh di hadapan kami berdua.
“Yaudah sih gak papa. Santai aja”
“Emang kamu gak takut? Kalau ada yang berubah dari kita kalau semisal kita putus?”
“Yah, belom mulai udah bahas putus gimana sih?”
“Ya kan aku nanya dulu, Joshua”
“Kan kamu tau sendiri aku anaknya gimana, emang aku pernah keliatan musuhan sama mantanku yang lain?”
“Enggak sih. Tapi coba deh aku tanya..” Joshua yang tadi menyeruput es tehnya kini terkesiap, mendengarkan. “Emang kamu gak awkward nih, semisal bareng sama mantan kamu di satu kondisi? I mean like, kalian dulu pernah saling cinta gitu loh, Josh? Masa gak aneh?”
“Ya kalau dibilang aneh ya aneh. Kemungkinannya tuh cuma ada dua. Awkward karena dulu pernah ada kita dan sekarang udah baik baik aja, atau awkward karena aku atau dia yang sama sama masih ngerasain perasaan yang ada. Paham ga?”
“Belum move on?”
“Ya mungkin lebih dan kurangnya gitu. Segala sesuatunya masih soal dia”
“Terus ntar kalau kasusnya kita berdua?”
“Gini deh, kamu aja tetep biasa aja padahal berhari yang lalu aku baru aja nembak kamu. Kaya gaada kejadian apa apa, kan? Jadi ya aku mikirnya we’ll be alright sih”
“Tapi aku gak mau kehilangan kamu, Josh” Kita terdiam, yang terdengar hanya suara siswa dan siswi yang rebut di kantin. Joshua menekuk bibirnya, sesekali mengeluarkan ekspresi wajah yang maknanya sulit untuk aku artikan.
“Serius, Joshua”
“Aku kelihatan mau kehilangan kamu, gak?”
“Tapi..” Aku menggantungkan kalimat.
“Tapi?”
“Tapi apa ada cara lain buat bareng gak ya, Josh?” Sosok dihadapanku membuang nafasnya, bola matanya sedikit bergetar.
“Kamu percaya sama aku gak?”
Aku menaikan alis, perlahan mengangguk.
“Kalau kita coba dulu, gimana? Urusan cara lain itu, kita cari tau nanti?”
“Josh..”
“Kalau kata aku, apapun bentuk cinta pasti selalu ada aja sakit hatinya. Aku juga gak bisa janji selalu bikin kamu ketawa bahagia, pasti aku tetep bakal bikin kamu nangis gimana pun cara kita menjalani hubungan. Tapi aku cuma minta kamu buat percaya sama aku”
Lagi lagi aku terdiam, manik mata milik Joshua tidak kunjung pergi dari manik mataku.
“Kita.. coba dulu, mau?”
“Iya, kita coba ya, Josh?”
-
“Kamu dimanaaa? udah telat setengah jam loh” Aku menghentakan kakiku dengan ponsel ditelinga kanan.
“Iyaaa sayang sabar ini udah disimpang loh, tuh aku ngeliat kamu. Dadah dadah dulu” Mobil Joshua muncul dari persimpangan dan dirinya yang sedang melambai cepat karena harus memegang stir sekaligus memegang telfonnya di telinga.
Aku dengan malas kemudian membuka pintu mobil, masuk dan menutupnya kasar.
“Waduh, ntar mobilku gaada pintunya sebelah kasian Mami kalau harus aku anter jemput”
“Bodoamat”
“Yah.. masa kamu gak kasian sama Mami juga?”
“Gatau ah Josh aku males ngomong”
“Iya iya maaf ya aku telat? Maaf juga aku gak ngabarin kalau ada kelas tambahan? Maaf juga karna hari ini hari pertama kamu dapet dan aku bikin ulah dan maaf kalau kamu hari ini bakal aku pinjem seharian gak aku bawa pulang” Dirinya terkikik kecil disana, menimbulkan senyum singkat di bibirku.
“Gimana? masih marah?”
“Aku digodain supir angkot tau tadi, Josh”
“Gantengan aku apa supir angkotnya?”
“Ya kamu laaahhh”
“Jangan gitu dong, kan aku juga supir”
“Supir Mami sama Papi doang, digajinya juga gede, kan?”
Dirinya tertawa, sesekali menatapku dan jalanan secara bergantian.
“Hari ini kita mau kemana?” Tanyaku, mengedarkan pandangan pada jalanan kota Bogor.
“Enaknya?”
“Terserah aku ngikut kamu aja”
“Mau makan?”
“Mauuu”
“Makan apa?”
“Terserah” Joshua terdiam, menaikan alisnya kemudian membuang nafas perlahan. “hm.. kinda tricky yaa”
“Kali ini apa aja yang penting kenyang”
“Oke”
Puncak jadi destinasi terakhir, padahal hari ini bukan Weekend, tapi entah kenapa Joshua dan aku memilih untuk kesana, ke salah satu kebun teh di Cisarua. Dan poin lebih lainnya adalah tidak terlalu banyak pengunjung yang memadati lokasi di hari itu. Jadi, rasa rasanya, kebun teh ini adalah milik kami berdua.
“Seger banget, sumpah deh”
“Kamu gak dingin?”
“Sedikit” Kataku membuat gestur dengan merapatkan jari telunjuk dan jempolku.
“Aku ambil jaket ke mobil ya?”
“Gausah”
“Kok gausah? Dingin tadi katanya?”
“Iya, peluk aja” Joshua tertawa, sampai sampai membuang kepalanya kebelakang. “Gaada orang lagian” Ia masih tersenyum dengan alis yang terus dia naik turunkan.
Tidak lama, ia membentangkan kedua tangannya. Aku tersenyum dan buru buru berlari dalam rengkuh hangat pelukannya.
Joshua mengistirahatkan dagunya dipuncak kepalaku. Merekatkan pelukannya sampai sampai hangatnya menjalar keseluruh tubuhku. Pun aku, ikut memeluk tubuhnya yang lebih tinggi dari tubuhku. Mengistirahatkan diri diatas dadanya, mengistirahatkan jiwa pada tumpahan afeksinya.
Kemudian ia bawa perlahan ke kanan dan kekiri, hingga membuatku terkikik geli.
Aku mendongak, ia sedikit menunduk menatap wajahku, tersenyum dengan mata yang tiba tiba menghilang menjadi garis lengkung.
“Bibir kamu kaya jadi biru deh, dingin banget ya?” Aku menggeleng, kembali menjatuhkan kepalaku ke dadanya.
“Serius, dingin banget ya?”
“Jangan kemana mana aku mau gini aja”
“Dih kamu tuh kaya ga pernah dipeluk aja”
“Kan kita udah seminggu LDR, gak pernah ketemu”
“LDR beda rumah ya?” Aku kemudian kembali mendongak, tertawa kecil menatap lekuk dimensi wajahnya.
“Dingin?” Cicitnya.
“Dikit”
“Banyak” Joshua mengedarkan pandangannya ke kanan dan kekiri, kemudian melemparkan kecupan singkat di bibir. “Supaya hangat”
Aku tertawa, membuang kepala kebelakang, kemudian melepas pelukannya.
“naik yuk, dingin” kataku. Dirinya mengangguk, menautkan jemarinya dan jemariku.
“Kalau kaya gini tuh, aku suka inget pas hujan hujan habis pulang sekolah” Aku tatap jari jemariku dan jemari Joshua yang saling bertaut.
“Udah bertahun tahun tapi tetep aja inget” Ucapnya.
“Josh” Panggilku.
“Hm?”
“Kamu punya mimpi yang tinggiiiiiiiii banget ga?” Langkah kami berselaras, mengikuti bukit bukit kecil di pekarangan kebun teh.
Joshua diam, mengawangkan pandangannya ke langit kemudian beralih menatapku, melempar senyum.
“Kamu” Kata yang barusan terlempar membuatku mengukir senyum, namun tidak bertahan lama.
“Kita gimana ya, Josh?”
“Gimana apanya?”
“Selama ini, kita udah punya cara lain belum?”
“Hm.. pelan pelan boleh ya?” Aku menatap wajahnya yang enggan untuk menatapku.
“Kamu tau gak, aku tuh selalu ngebayangin apa?”
“Apa?”
“Nanti kalau misalnya kita nikah, seru kali ya tiap bulan kita grocery shopping, terus habis itu strolling down town” Aku menunduk menatap langkahku.
“Sekarang juga kita bisa ngelakuinnya”
“Beda kali Josh, ngapain grocery shopping orang kita masih tinggal sama orang tua?” Dia mengusap tekuknya, mengangguk.
“Tapi..” Cicitku.
“Tapi?”
“Tapi, sebelum itu.. kita nikmatin aja apa yang ada dulu ya?”
“Hm, will do”
-
Dari skala 1-10 maka aku akan bilang panik yang aku miliki berada di angka 9, karena selama seminggu belakangan, Joshua sama sekali tidak bisa dihubungi.
Entah itu pesan yang aku kirim, maupun panggilan telfon.
“Bunda.. Joshua gak ada kabar udah seminggu”
Bunda yang sedang duduk di ruang tengah kemudian menoleh kearahku yang berjalan dari belakang, membanting tubuh kemudian menidurkan diriku diatas pahanya.
Tangan lembutnya kemudian mulai memainkan rambutku.
“Kamu tau kan, dari awal pun waktu kamu berani memulai, skenario kaya gini pasti kejadian..”
“Iya Bun, aku tau.. Tapi kalau dia emang mau pergi, ya bilang, ngomong” Suaraku bergetar.
“Nak.. Ada beberapa hal yang gak bisa dipaksain, kamu tau? Misalnya ngucapin selama tinggal sama orang yang kita sayang secara langsung. Ngeliat kalian deket banget dari kecil sejujurnya bikin Bunda takut, tapi ya akhirnya ketakutan Bunda tetep kejadian”
“Bunda selalu yakin, diantara kalian gak mungkin cuma ada perasaan sekedar teman, dan akhirnya saling cinta”
“Iya, Bun”
“Sejujurnya Bunda sedih, apalagi waktu tau kalian akhirnya memulai hubungan. Tapi Bunda relain, Bunda biarin kamu ngejar cinta, tapi kamu tetep gak boleh tutup mata dan tutup telinga, Nak” Tangan Bunda masih belum berhenti memainkan rambut dan sesekali mengusap kepalaku. Tanpa sadar, ada bulir bulir air mata yang kini turun.
“Bunda yakin, Joshua sesayang itu sama kamu. Dan mungkin dengan pergi diam diam bakal bikin semuanya lebih gampang, buat kamu, buat dia” Kini aku meraung diatas tangisan dengan menyembunyikan wajahku diatas paha Bunda.
“Bun..” Aku bangkit, dengan derai air mata menatap wajah perempuan yang telah melahirkanku berpuluh tahun yang lalu ini.
“Hm?” Dirinya kemudian menyibak helaian rambutku yang ikut basah terkena air mata dipipi.
“Kalau Tuhan memang satu, Kenapa ada aku dan Joshua yang beda?”
Sejak pertama kali mengenal sosoknya, aku jatuh dalam perangainya. Bagaimana sosok Joshua yang mampu memperlakukanku dengan sangat baik atas dasar perasaan teman, dan sampai saat ini, diatas perasaan dua orang yang saling mencintai.
Tapi Bunda benar soal aku yang tidak boleh menutup mata dan telinga, bahwa ada Bunda dan keluarga yang mendidikku dengan melakukan Ibadah setiap hari sebanyak 5 kali, sedangkan Joshua, pergi beribadah setiap hari minggu. Ada aku yang selalu diajarkan berdoa dengan menengadahkan tangan untuk meminta, sedangkan Joshua yang menautkan jemari jemarinya.
Aku dan Joshua yang berbeda.
Dari awal pun, aku sudah mempersiapkan diri, bahwa bagaimanapun keadaannya, hubungan ini memang harus diakhiri, bahwa dari awal pun, harusnya aku sadar, memang tidak ada cara lain untuk bisa Bersatu.
Maka, sebuah bendera putih aku layangkan ke langit.
-
“Ayo kita ketemu Mami..” Joshua, setelah seminggu lebih menghilang, kini muncul di depan rumahku dengan mobilnya.
“Maksud kamu?”
“Aku ajak kamu ketemu Mami”
“Buat apa?”
“Aku..” Joshua menarik tanganku dan menggenggamnya. “Aku ikut kamu, ya?”
Tenggorokanku perih melihat lelaki dihadapanku ini. Matanya bergetar penuh desperasi serta embun yang memupuk disana.
Aku tarik tanganku dari genggamannya kemudian, menggeleng.
“Kita, selesai aja ya, Josh?”
“Tapi aku sayang sama kamu”
“Kamu lebih sayang aku daripada Tuhanmu?” Dirinya terdiam.
“Kita yang salah, Joshua..” Sahutku. “Kita dari awal harusnya cukup jadi temen yang saling dukung satu sama lain, gak perlu mengharapkan hubungan lebih”
“Dari kamu lahir, disucikan, segala nafas dan rejeki, kamu pikir dari siapa? perihal ikut mengikut bukan hal gampang, Joshua..”
“Tapi aku serius sama kamu” Ia menarik tanganku kembali, dan kembali aku tarik dari genggamannya.
“Aku tau Mami juga gak bakal seneng kalaupun kamu minta izin ke Mami gitu, kan?”
“Maafin aku” Tangisku pecah, pun Joshua disebelahku yang dapat dengan jelas aku lihat air matanya. “Maaf seminggu ini aku hilang ya. Aku lagi berfikir buat ngambil keputusan”
“Ini bukan keputusan, Joshua. Ini ketetapan and there is nothing we can do, ya?”
“Aku sayang banget sama kamu”
“Kita.. selesai ya, Josh? Kita gak perlu saling nyakitin satu sama lain lagi”
“Kita gak pernah nyakitin satu sama lain, we are both in love and that is so beautiful, don’t you think so?”
“I do. Tapi kita udah lama banget nutup mata dan telinga seakan akan kita emang ditakdirkan buat bersama, Joshua. Kita lupa, kita punya keluarga yang gak mungkin kita kecewain, kan?”
Dirinya diam, menunduk.
“Joshua..” Panggilku. “Kita udah lama banget tinggal di fantasi yang kita bikin sendiri, now its time to wake up and face the reality itself” Paraunya suaraku memenuhi.
“Joshua” panggilku lagi “ini realita”
Dirinya menggenggam kuat tanganku lama, kemudian beralih menangkup kedua pipiku yang terus dibasahi air mata.
Kali ini, pertama kali dalam hidupku, dapat aku lihat sayat demi sayatan didalam manik mata sosoknya. Ada beribu sakit yang menghujam jantungku ketika melihat matanya yang mulai berembun, dan akhirnya menjatuhkan bulir demi bulir air mata.
“you know that i really love you, right?” Aku menggangguk. “Dan cinta gak selamanya harus saling memiliki, kan?” Lagi lagi aku mengangguk.
“Kamu harus tau, beribu tahun pun kamu tetep dan akan selalu punya tempat paling istimewa dihatiku, dan aku gak bakal geser tempat itu. Oh My God i wish you are the love of my life!”
Kini ia jatuhkan aku dalam rengkuhnya, saling meraung dalam tangis bahwa akhirnya kami bangkit dan bangun. Bahwa selama ini, ternyata hanya ada mimpi tak bertuan yang terus terusan kami junjung tinggi tinggi. Selalu menolak kebenaran bahwa tidak pernah dan tidak akan pernah ada tempat untuk kami.
“Aku sayang kamu”
“Aku sayang kamu, Joshua”
Ia lepaskan pelukannya dan menatap dalam menuju mataku, “goodbye?” Bisikku.
“goodbye”
“so.. this our very last goodbye ya, Josh? gaada kamu lagi yang besoknya dateng ke rumahku buat jemput?”
Joshua menggeleng. “Maafin aku”
“Josh..” Tenggorokanku lagi lagi jadi perih.
“iya?”
“Promise me, we will find each other in the next life, ya?”
“even if we are a dead stone?”
“i will be a dead stone and you’ll be a butterfly. find me ya, Josh?”
Dirinya lagi lagi menangkup kedua pipiku, mengelusnya dengan jemari. “I know, in another parallel, it works. I’ll find you, dan kita bakal keliling supermarket untuk belanja bulanan sama kaya yang selalu kamu dambain, setelah itu strolling around the city, sampe akhirnya mati dan di tanam di liang yang sama. I am so sorry, and i love you. i do love you and i will always do. wait for me ya, i promise, in another life”
“you’ll find me”
-
“Baik, selalu baik” Joshua mengangguk, kemudian membuang pandangannya keluar jendela.
“Kamu?”
“as it seems”
Lagi lagi senggang, tidak ada yang mampu melempar kata dan akhirnya aku percaya bahwa bagaimanapun, pada akhirnya semua Kembali menjadi asing.
“Dingin, ya?” Katanya, aku terkekeh.
“Kenapa? Mau tawarin aku jaket?“ Dirinya juga ikut tertawa.
“Semenjak putus, aku gak pernah bawa bawa Jaket lagi didalem mobil. Gak tau kalau bakal ketemu kamu lagi disini dan yaa.. unexpected banget after a long time”
“Jadi, kamu sendirian?” Tanyaku, dirinya menyesap kopi dihadapannya kemudian mengangguk.
“Aku belakangan emang suka cari waktu buat sendiri”
“same here”
“why?”
“Yaa itu emang suatu hal yang kita butuh, iya gak sih? to be all alone?”
“Dulu kamu gak pernah mau kalau kemana mana sendiri?”
“Yaa, itu beda lagi. I just can’t find a person i am comfortable with, Josh..”
“you will, soon”
“kalau kamu?” Dirinya diam, menautkan kedua tangannya kemudian tiba tiba membenarkan posisi duduknya.
“i have found one” Hujan diluar bukan hujan deras yang bisa membuat banjir pekarangan sekitar, tapi pendengaranku tiba tiba jadi berisik.
Bahkan di langit sana, sama sekali tidak ada petir, tapi rasanya diluar sedang ada badai yang akhirnya membuat jantungku berdegub lebih kencang dari biasanya akibat ketakutan.
Aku takut, selalu membayangkan skenario ini. Dan akhirnya aku sampai di titik skenarioku menjadi kenyataan.
“oh.. wow. it is nice to hear that, Josh. Well done, wow.. how long we had been broke up, ya?”
“kamu bisa dateng?”
Deg.
“Maksudnya?”
“Aku tau kamu gak bisa masuk ke dalem gereja, that’s why i’ll make it outdoor. Aku ga bawa undangannya, tapi.. February 14, ya? Aku harap kamu dateng”
“Josh..”
“I am so sorry”
“No..” Dengan sekuat tenaga menahan bulir air mata, aku melemparkan jabatan kedepan wajahnya. “Congratulations” Dan disambut lembut oleh sosoknya.
“Janjiku masih berlaku, you don’t have to worry”
“Janji?”
“I’ll meet you in another life, i will and i promise”
Cahaya matanya, ukiran senyum di wajahnya, apa dimensi ini yang dapat aku lihat di kehidupan selanjutnya?
Apa tubuh ini yang akan aku peluk disana? Apa Joshua yang selaku kudamba yang akan datang menemuiku?
Tidak ada jaminan, kan?
Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain menerima dengan lapang dada bahwa akhirnya kekecewaan yang menggerogoti ini harus disudahi.
Merelakan, merelakan dan merelakan.
Joshua adalah yang terindah, walau dulu ada aku dan dirinya yang mengatas namakan cinta dan perasaan diatas segalanya galanya, bahkan kepercayaan. Terus berusaha memperjuangakan hal semu yang jelas jelas tidak bisa diperjuangkan walau perputaran dunia berbalik arah.
-
Feb 14 2022.
‘You receive a new mail!’
To find each other, we have to get lost first.
Joshuahong, Feb 14, 21:13 to me.
Dari angka 3 menuju puluhan angka yang akhirnya aku temui, dan beribu kemungkinan yang dunia suguhi, aku selalu bersyukur perputarannya pernah berhenti di kamu.
Aku selalu bersyukur pernah mendengarkan sebuah lagu dan teringat soal kamu. Sajak yang tidak sengaja aku baca, maka kamu yang tiba tiba akan jadi tokohnya utamanya.
Dari berpuluh memori asam pahit dan manis kehidupan, aku lagi lagi bersyukur ada kamu di dalamnya. Mungkin akan aku perjelas, aku bersyukur kamu lahir dan memijak di bumi. Aku bersyukur kamu ada, dan aku bersyukur pernah dicintai oleh sosok yang luar biasa.
Hari ini aku telah bersumpah diatas nama Tuhan bahwa hidup dan mati, sehat dan sakit, kaya dan miskin, aku akan selalu Bersama dengan dirinya, yang sayangnya bukan kamu sosoknya.
Dan hari ini juga, dengan luar biasanya kamu ada disana.
Hari ini, aku lagi lagi berdoa. Meminta kepada Tuhanku agar disampaikan juga pada Tuhanmu. Bahwa semoga ada pertemuan lain di garis takdir yang lain, bahwa ada permulaan baru di bumi yang lain, bahwa ada namaku dan namamu dalam satu garis kepercayaan yang sama.
Maka sebelum itu, kita harus sama sama kehilangan untuk menemukan.
Agar kita mampu saling melepaskan kerinduan setelah banyaknya tahun tanpa ujung yang terlewati di dimensi yang lalu. Agar supaya kita mampu untuk saling menghargai atas kehilangan yang terjadi, agar supaya kita terus mencintai sampai akhirnya mati dan hidup kembali.
With love, Joshua.
—fin.