“Halo?” Yang gue denger suara nangis.
“Maafin gue..” kata dia.
“Mingyu lo mabok lagi ya?”
“Lo jangan pergi”
“Lo sekarang dimana?”
“Jangan pergi”
“ya lo sekarang dimana?“
“Bilang dulu kalo lo gak pergi, baru gue kasih tau” Gue gak yakin kalau dia posisinya ada di rumah, karena yang gue denger adalah suara yang rame banget dan gue yakin, dia emang lagi minum.
“Iya gue gak pergi”
Dan berdetik kemudian, dia matiin telfonnya dan langsung ngirim alamat. Jam 3 pagi, gue nyamperin dia ke tempat yang sekalipun gak pernah gue injak seumur hidup gue.
Disana dia langsung meluk gue kaya gue mau mati besoknya.
“Lo sama gue aja” katanya.
“Iya, kita balik dulu ya” Dia ngangguk dan gue langsung memapah dia masuk ke mobil dan nganter dia pulang balik ke rumahnya.
Dirumahnya, sepi.
“Bokap sama nyokap lo kemana?“ tanya gue. Dia menggeleng, ngangkat bahunya.
“Gue telfon ya?” Gue gatau apakah Mingyu sepenuhnya sadar sama apa yang gue omongin, tapi pas gue mau ngambil HP nya, dia nahan tangan gue sambil geleng.
“Keluar kota.. kayanya” Suaranya udah berat banget. Gue cuma ngangguk aja.
“Lo bisa bersih bersih sendiri kan? Gue mau balik” Sebelumnya, gue dudukin dia di sofa, dan sekarang gue berdiri diatas lutut supaya wajah gue bisa sejajar sama wajahnya.
“..ya?” Dia cuma liatin gue.
“Gue capek..” katanya.
“Yaudah lo langsung tidur aja..” Gue langsung berdiri dan pegang pundaknya supaya bisa gue tidurin di sofa, tapi tiba tiba dia pegang tangan gue dan menggeleng. Berdetik kemudian, dia peluk gue. Dia nangis.
“Lo kenapa?“ Gue masih kaget karena dia yang tiba tiba meluk gue, tapi berusaha tenang karena dia lagi di kondisi yang gak stabil.
“Lo disini aja” katanya. “Di Australia gaada gue” Gue terkikik sedikit.
“Lo bau, Mingyu”
“Mandiin”
“hah?!”
“Iya”
“Gila kali lo”
“Yaudah kalo gitu gue tidur kaya gini”
“Ini lo sadar apa enggak sih?”
“..” Dia diam.
“Gue bersihin pake air hangat aja, ya?” Gue melepaskan pelukannya tadi dan balik berlutut, dia ngangguk.
Gue kemudian nyari handuk dirumahnya, gue masak air panas dan gue campur dengan air dingin. Setelah badannya udah bersih, setidaknya engga lengket gara gara keringat kaya tadi, gue suruh dia ganti baju buat siap siap tidur.
“Sekarang lo ganti baju, ganti celana” kata gue.
Dia langsung bangkit dan melepas tali pinggangnya. Gue shock.
“HEH!” Kata gue menutup mata. “DIKAMAR LO ANJIR YAKALI DIDEPAN MATA GUE!”
Diam, gaada sahutan. Pas gue buka mata, Mingyu udah hilang dari hadapan gue. Gue yang masih shock, otomatis pegangin dada sambil bernafas pelan pelan. Gila tu orang kalau mabok.
Gue kemudian beresin apa yang bisa gue beresin. Mulai dari baskom bekas air hangat tadi dan kemeja Mingyu. Sepatu yang berserakan selepas masuk kerumah tadi gue susun di raknya, dan tas yang ia hamburkan begitu sampai. Segalanya gue pastikan rapi, jadi ketika orang tuanya pulang ga perlu ngeliat rumah yang berantakan.
Gue gak tau kamar Mingyu yang mana, jadi gue cuma nyahut aja karena berniat mau pamit.
“Mingyu, gue balik ya?”
“Engga”
Kali kedua, gue kaget karena dia muncul dibelakang gue.
“Lo tuh..” Kata gue, ngelus dada. “Bisa gak sih bersuara dikit sebelum muncul?”
“Lo disini aja” Kata dia.
“Gila kali lo, mau tidur dimana gue?”
“Sama gue”
Gue tiba tiba keinget apa yang Mingyu pernah bilang dulu “gue kalo mabok, bawaannya pengen ngewe”
Mampus.
“Gak, gue mau pulang”
“Gak gue apa apain” Tangannya nahan tangan gue waktu gue mau bergegas balik.
“Enggak” Berdetik kemudian, gue udah ada dipelukannya. Tangan gue dia tarik kenceng, pelukan dia kuat banget. Gue bisa rasain dia naro pipinya di ubun ubun kepala gue.
“Temenin gue, sampe subuh aja. Bentar lagi juga subuh”
Dari pelukannya gue bisa liat jam dinding, iya memang. Mungkin gak masalah kali ya 1 jam aja gue temenin dia sampe dia tidur, terus habis subuh gue pulang.
“Janji, lo gak bakal gue apa apain” Kata dia, mungkin karena gue sempet diam lama waktu ngeliat jam.
“Yaudah”
Kamar Mingyu gak terlalu besar dan gak terlalu kecil, intinya, kasur queen size itu muat didalam sini dan masih menyisakan ruang buat perlengkapan Mingyu yang lainnya.
Posisi gue miring menatap Mingyu yang menutup matanya telentang. Gue bahkan gatau apakah dia udah sepenuhnya sadar atau masih dibawah pengaruh alkohol.
“Kalau kita ketauan tidur berdua, gimana?” Disini gue juga gak yakin apakah dia memang belum tidur atau ternyata udah berlalu ke dunia mimpi.
“Gue ajak nikah” Matanya masih tertutup tapi menjawab pertanyaan gue barusan.
“kok?”
“gue bilang kita habis ngewe” Matanya kini terbuka. Mingyu kemudian membenarkan posisinya, kini kita berhadapan.
“otak lo ngewe mulu” Dia ketawa. Terus nutup matanya lagi.
“Besok, jangan mabok mabok lagi”
“hmm”
“bikin repot”
“sengaja. Kalo lo pergi siapa yang harus gue repotin”
“jangan gitu, Mingyu. Nanti gue berat hati ninggalin lo dan semuanya disini”
“kalau gitu jangan pergi” Matanya kini sepenuhnya menatap gue.
“Engga bisa.. gue harus”
Dia diam.
“Lo balik kesini kan tapi?”
“Engga tau gue balik lagi apa engga”
“Tau deh gue marah sama lo” Ia memutar tubuhnya dan yang gue tatap sekarang adalah punggungnya.
“Jangan gitu ntar gue berat hati, Mingyu” Gue kini mengelus bahunya, masih menatap punggungnya yang gue yakin dua kali lebih besar dari punggung gue.
Kini dia berbalik lagi, menatap gue.
“Kalau gitu, sehari ini lo disini aja. Temenin gue”
“Ya kan ini udah gue temenin, sampe subuh kan?”
“Engga, sampe kapan kita bangun”
“Iya, habis itu kita berdua di gorok sama bokap nyokap lo”
“Terus gue dicoret dari Kartu Keluarga”
“Hahahha iya, gimana?”
“Yaudah tinggal bikin Kartu Keluarga baru sama lo, gimana?”
Kita cuma ketawa, terus diam dan hening. Gue cuma natap mata dia dan dia yang natap mata gue.
“Disini ya? Sama gue..” Gumamnya, gue cuma geleng. Jadwal keberangkatan gue ke Australia itu Minggu depan, dan gak bisa gue cancel gitu aja. Apalagi nolak kesempatan buat bisa diterima di Rumah Sakit ternama disana.
Mingyu cemberut.
“Kalau gitu sampe lo berangkat, temenin gue”
Gue ngangguk.
“Iya, Mingyu. Iya”
Lengang.
“btw, Gyu..” panggil gue. “Sejak kapan lo sadar?” Dia terkekeh.
“Semenjak sampe sini juga gue udah sadar”
“Kurang ajar!”
“Aduh!” Mingyu meringis, tatkala bantal guling yang menganggur kini mendarat mulus diwajahnya.
-
Sebelum masuk pintu keberangkatan, gue peluk Mingyu sekuat yang gue bisa. Gue juga dianter sama Nyokap dan Bokap gue. Semuanya gue peluk sekuat yang gue bisa, karena gue gak tau pasti, kapan gue harus balik dan ketemu sama mereka semua.
“Gue pamit, jangan bikin repot orang” Kata gue ke Mingyu.
“Iya, lo jaga diri disana. Inget. Lo. Gakboleh. Nemuin. Comfort. Zone. Yang. Lain. Selain. Gue. Inget tuh”
Gue cuma ketawa dan mengangguk. Gak lama, dia nyerahin kotak warna biru dan pita diatasnya.
“Apaan nih? Hadiah?”
Dia cuman ngangkat bahunya terus senyum. Gue kembali meluk dia dan berlalu menuju pintu keberangkatan dengan kotak biru hadiah Mingyu tadi.
Diruang tunggu, gue buka dan nemuin notebook yang udah jelek banget keadaannya. Diatasnya, ada notes.
‘iya lusuh banget emang ni buku kaya buku santet, jangan jijik gitu muka lo.’ -MG
Gue ketawa dan mulai buka buku yang emang udah lusuh banget itu, dan nemuin tulisan dihalaman pertamanya.
‘Juni, 2014.
Gue udah make a move, nanya jawaban Kimia. Tapi di sarkas. She’s so damn fine i swear she’ll never leave my mind’