“Tapi karena yang desain tim kreatif, bagusnya tim kreatif aja gak sih yang presentasiin?” Begitu kemudian gadis yang biasa di panggil Chaca tadi bersuara, membuat para audiens di gedung seminar kampus sedikit terdiam.
Para audiens disana tidaklah banyak, terdirikan dari para kadep dan beberapa staffnya, dan anggota sponsorship yang datang untuk melihat presentasi yang akan dilakukan oleh tim Hit It untuk memperoleh dana dari mereka.
“Ca, katanya lo siap”
“Ya gue siap, Dav. Tapi kan kalau yang desain yang presentasiin langsung lebih bagus dong. Gue denger Lara ya yang desain pptnya? Kerjasama sama sekre juga kan buat turunin proposal? Gue yakin sih lo bisa”
“Lara? Gimana? Kalau gabisa bilang aku aja biar aku yang berdiri” Johan menatap staff kebanggannya yang terdiam membeku di tempat.
“Harusnya bisa dong, kan Johan recruit lo karena kualifikasi lo yang luar biasa, iya gak?” Hening. Ruang seminar hanya dihiasi deru nafas semu para tamu. Tapi kemudian, Lara berdiri, berjalan kedepan dan berdiri disebelah layar proyektor.
Semua mata tertuju padanya, seakan dia adalah pusat dunia. Kakinya ia rapatkan, jarinya ia kaitkan, berusaha setenang mungkin untuk mulai mempresentasikan hasil kerja keras para kadep pun para staff lainnya untuk memperoleh dana dari sponsor kali ini.
Tapi jantungnya berderu tak karuan, bulir bulir keringat mulai bercucuran dan nafasnya yang tersenggal. Membuat orang orang disana mulai bingung melihat keadaannya yang sama sekali tak siap. Kakinya bergetar hebat, tak mampu menopang tubuhnya, begitu kemudian Davra maju kedepan dan menyuruh Lara kembali duduk ke kursi audiens.
“Mohon maaf sebelumnya, tadi saya dengar staff saya memang agak kurang enak badan. Jadi saya lanjutkan saja ya. Sebelumnya perkenalkan saya Jeondavra Widyanatha selaku ketua event Hit It ini..”
“Ra? You okay?” Johan menundukan kepalanya mengintip sedikit wajah Lara yang pucat dan dibasahi oleh keringat.
“Iya kak, gak papa”
“No. You are not. Your hands are shaking. Mau keluar aja?”
“Enggak kak, gak papa. Nanti aja setelah selesai rapatnya”
“Enggak, ayo kita keluar” Begitu kemudian tangan Johan menarik pergelangan tangan Lara untuk meninggalkan ruang seminar.
Mereka duduk berdua diluar, tepat dipinggir pintu belakang gedung seminar. Duduk di lantai sambil meluruskan kaki ke tanah. Dapat Johan lihat wedges nude milik Lara yang sangat cocok menyatu dengan warna kulitnya.
“glossophobia” Jawaban Lara akan pertanyaan Johan bermenit yang lalu.
“Trauma?” Lara kemudian mengangguk. Mengiyakan bahwa ada sebab dan akibat yang ia terima dan akhirnya dirinya sendiri tak mampu mengontrol ketakutannya.
“Aku punya kembaran. Namanya Dara” Johan tersenyum dan mengangguk kecil, mendengar sebuah fakta yang dirinya baru tau hari ini dari Lara setelah sang gadis sudah bekerja sama dengannya 4 bulan belakangan.
“Dara selalu hebat, kalau disekolah waktu presentasi, dia selalu jadi yang paling keren. Apapun pertanyaan yang di kasih guru, atau temen temen, dia selalu mampu jawabnya walaupun Cuman pake logika” Lara tertunduk sambil bercerita.
“Bahkan Dara pernah jadi pembina upacara waktu sekolah” Lara menoleh, melihat Johan yang masih setia mendengarkan.
“Tiba tiba, guruku nyuruh aku buat jadi pembina upacara di upacara selanjutnya. Disitu aku seneng banget tau kak, hahaha” Lara terkekeh kecil. “Tapi ternyata output yang aku terima gak baik.”
“Guru dan teman teman yang lain selalu berfikiran bahwa kembar itu adalah sama, padahal nyatanya aku sama Dara itu udah kaya dua kutub yang beda, bahkan dari segi pemikiran pun cara penyampaian kita. Dara selalu bisa mancing audiens, tapi aku gabisa. Jadi waktu itu, pas aku jadi pembina upacara, output yang aku terima adalah semacam omongan “gak sekeren kembarannya” Cuman gara gara aku menjelaskan materi secara flat” Lara membuang nafasnya, mendongak menatap langit yang hanya terlihat seperempat karena sisanya tertutup atap gedung.
“Semenjak itu, aku selalu dibanding bandingkan sama Dara, bahkan untuk ukuran presentasi di kelas.”
“Tapi setidaknya tadi kamu udah keren bisa berani berdiri dan maju kedepan buat lawan trauma kamu”
“Aku kira aku udah sembuh karena udah lama gak menerima perlakuan semacam itu lagi. Maaf ya kak, hari ini aku ngecewain”
“Kamu ga perlu jadi sempurna, Lara. Aku udah beberapa kali ikut event. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Aku juga udah ketemu sama berbagai macam model para panitia. Intinya, you don’t have to be perfect, it is not your own responsibility, it is ours. Okay?”
“Okay.” Sunggingan senyum hadir dikedua sudut bibir sang pria dan wanita. “Thank you, kak” Keduanya masih menghirup udara selagi menunggu acara didalam selesai. Tangan yang bergetar hebat tadi sampai rasanya mati rasa kini kembali normal dan keringat yang bercucuran tadi sudah sepenuhnya hilang di hembus angin sepoi.
Rasa mengecewakan tadi, pun sudah hilang di hembus frasa bahwa semuanya tak perlu jadi istimewa, tak perlu jadi sempurna.