youngswritting

“Tapi karena yang desain tim kreatif, bagusnya tim kreatif aja gak sih yang presentasiin?” Begitu kemudian gadis yang biasa di panggil Chaca tadi bersuara, membuat para audiens di gedung seminar kampus sedikit terdiam.

Para audiens disana tidaklah banyak, terdirikan dari para kadep dan beberapa staffnya, dan anggota sponsorship yang datang untuk melihat presentasi yang akan dilakukan oleh tim Hit It untuk memperoleh dana dari mereka.

“Ca, katanya lo siap”

“Ya gue siap, Dav. Tapi kan kalau yang desain yang presentasiin langsung lebih bagus dong. Gue denger Lara ya yang desain pptnya? Kerjasama sama sekre juga kan buat turunin proposal? Gue yakin sih lo bisa”

“Lara? Gimana? Kalau gabisa bilang aku aja biar aku yang berdiri” Johan menatap staff kebanggannya yang terdiam membeku di tempat.

“Harusnya bisa dong, kan Johan recruit lo karena kualifikasi lo yang luar biasa, iya gak?” Hening. Ruang seminar hanya dihiasi deru nafas semu para tamu. Tapi kemudian, Lara berdiri, berjalan kedepan dan berdiri disebelah layar proyektor.

Semua mata tertuju padanya, seakan dia adalah pusat dunia. Kakinya ia rapatkan, jarinya ia kaitkan, berusaha setenang mungkin untuk mulai mempresentasikan hasil kerja keras para kadep pun para staff lainnya untuk memperoleh dana dari sponsor kali ini.

Tapi jantungnya berderu tak karuan, bulir bulir keringat mulai bercucuran dan nafasnya yang tersenggal. Membuat orang orang disana mulai bingung melihat keadaannya yang sama sekali tak siap. Kakinya bergetar hebat, tak mampu menopang tubuhnya, begitu kemudian Davra maju kedepan dan menyuruh Lara kembali duduk ke kursi audiens.

“Mohon maaf sebelumnya, tadi saya dengar staff saya memang agak kurang enak badan. Jadi saya lanjutkan saja ya. Sebelumnya perkenalkan saya Jeondavra Widyanatha selaku ketua event Hit It ini..”

“Ra? You okay?” Johan menundukan kepalanya mengintip sedikit wajah Lara yang pucat dan dibasahi oleh keringat.

“Iya kak, gak papa”

“No. You are not. Your hands are shaking. Mau keluar aja?”

“Enggak kak, gak papa. Nanti aja setelah selesai rapatnya”

“Enggak, ayo kita keluar” Begitu kemudian tangan Johan menarik pergelangan tangan Lara untuk meninggalkan ruang seminar.

Mereka duduk berdua diluar, tepat dipinggir pintu belakang gedung seminar. Duduk di lantai sambil meluruskan kaki ke tanah. Dapat Johan lihat wedges nude milik Lara yang sangat cocok menyatu dengan warna kulitnya.

“glossophobia” Jawaban Lara akan pertanyaan Johan bermenit yang lalu.

“Trauma?” Lara kemudian mengangguk. Mengiyakan bahwa ada sebab dan akibat yang ia terima dan akhirnya dirinya sendiri tak mampu mengontrol ketakutannya.

“Aku punya kembaran. Namanya Dara” Johan tersenyum dan mengangguk kecil, mendengar sebuah fakta yang dirinya baru tau hari ini dari Lara setelah sang gadis sudah bekerja sama dengannya 4 bulan belakangan.

“Dara selalu hebat, kalau disekolah waktu presentasi, dia selalu jadi yang paling keren. Apapun pertanyaan yang di kasih guru, atau temen temen, dia selalu mampu jawabnya walaupun Cuman pake logika” Lara tertunduk sambil bercerita.

“Bahkan Dara pernah jadi pembina upacara waktu sekolah” Lara menoleh, melihat Johan yang masih setia mendengarkan.

“Tiba tiba, guruku nyuruh aku buat jadi pembina upacara di upacara selanjutnya. Disitu aku seneng banget tau kak, hahaha” Lara terkekeh kecil. “Tapi ternyata output yang aku terima gak baik.”

“Guru dan teman teman yang lain selalu berfikiran bahwa kembar itu adalah sama, padahal nyatanya aku sama Dara itu udah kaya dua kutub yang beda, bahkan dari segi pemikiran pun cara penyampaian kita. Dara selalu bisa mancing audiens, tapi aku gabisa. Jadi waktu itu, pas aku jadi pembina upacara, output yang aku terima adalah semacam omongan “gak sekeren kembarannya” Cuman gara gara aku menjelaskan materi secara flat” Lara membuang nafasnya, mendongak menatap langit yang hanya terlihat seperempat karena sisanya tertutup atap gedung.

“Semenjak itu, aku selalu dibanding bandingkan sama Dara, bahkan untuk ukuran presentasi di kelas.”

“Tapi setidaknya tadi kamu udah keren bisa berani berdiri dan maju kedepan buat lawan trauma kamu”

“Aku kira aku udah sembuh karena udah lama gak menerima perlakuan semacam itu lagi. Maaf ya kak, hari ini aku ngecewain”

“Kamu ga perlu jadi sempurna, Lara. Aku udah beberapa kali ikut event. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Aku juga udah ketemu sama berbagai macam model para panitia. Intinya, you don’t have to be perfect, it is not your own responsibility, it is ours. Okay?”

“Okay.” Sunggingan senyum hadir dikedua sudut bibir sang pria dan wanita. “Thank you, kak” Keduanya masih menghirup udara selagi menunggu acara didalam selesai. Tangan yang bergetar hebat tadi sampai rasanya mati rasa kini kembali normal dan keringat yang bercucuran tadi sudah sepenuhnya hilang di hembus angin sepoi.

Rasa mengecewakan tadi, pun sudah hilang di hembus frasa bahwa semuanya tak perlu jadi istimewa, tak perlu jadi sempurna.

Kira kira jam 10 pagi, Aksa sampe di Cottage kita. Disini, cuman ada gue, Aksa, Dian dan Ryu, lebih ke bingung mau main kemana. Orang tua juga pada stay di sini, sedangkan yang dewasa gatau kelayapan entah keujung dunia kali, gue juga ga peduli.

Yang gue peduliin adalah rencana gue buat ngaku ke Ryu kalau selama ini gue suka. Entah kenapa, padahal awalnya gue cuman iseng ngechat dia karena penasaran, gak pernah ada niat pengen ngedeketin dia tapi tau tau dia asik banget dan gue ngerasa klop kalau udah ngobrol sama dia. jadi daripada keduluanan orang lain, mending gue gas sekarang.

Dibawa kanopi agak jauh dari rumah kita istirahat, dia duduk bareng Dian, sedangkan gue sama Aksa lagi ngobrol soal rencana atau kalimat apa yang akan gue keluarkan nanti. Jujur, mikirinnya aja bikin gue sesak pipis.

“Kok bisa sih, Ron?”

“Perasaan kenapa ditanya sih”

“Aku gak nyangka tau modelan kaya kamu juga bisa jatuh cinta”

“Kalau kata Candil pas nyanyi “Rocker juga manusia, punya rasa punya hati” gue juga manusia kali, Sa. Yakali ga bisa jatuh cinta” Dari sini, gue bisa ngeliat dia yang lagi ketawa bareng Dian entah ngomongin apa, tapi sumpah demi Tuhan, cantik banget.

Kebayang gak? Kalau gue jadi sama dia? Aliran darah anak gue udah rame banget bos, secara gue sama dia anak blaster. Eh tapi, jauh banget anjir udah gue mikirnya. Mikirin mau ngomong apa juga nanti udah pengen ke toilet gue, boro boro mikirin anak.

“Gue harus bilang apa?” Aksa mengkerutkan alisnya pas gue nanya kaya gitu.

“Ya jujur aja sama perasaan kamu. Bilang kalau kamu suka”

“Ya masa gue langsung bilang “Ryu gue suka” gaasik banget lah”

“Lah terus gimana?”

“Lo kan jago bikin puisi”

“emang harus banget pake puisi ya?”

“Biar berkesan aja gitu?”

“Coba deh, pikirin hal sederhana yang gak pernah orang lakuin?”

“Puisi?”

“Puisi mah semua orang juga bisa, Ron”

“Gue gabisa, gue gak romantis, bantuin gue kek, Sa” Aksa Cuma terkekeh ngeliat desperasi gue ini. Ngeliat Ryu diujung sana, udah bikin jantung gue jatuh ke perut.

“Aku bakal bantuin, Ron. Tapi coba pikirin dulu apa yang ada dikepala kamu buat nanti ngomong ke Ryu. Sesederhana apapun itu”

Kita semua janji balik habis Ashar, walaupun secara harfiah gue gatau habis ashar itu jam berapa soalnya gue bareng Aksa sholatnya hari minggu doang. Jadi, gue memutuskan sebelum jam 4 sore, gue ngomong sama Ryu. Buat lokasi, maaf banget nih gue gabisa jauh jauh, akhirnya di warung kopi dideket cottage yang kata bang Mahen kemaren kopinya enak.

Gue udah nyuruh Dian buat nganter Ryu ke warung, tapi batang hidungnya belum juga muncul.

Gue deg degan banget asli parah, lo tau kan rasanya yang kalau degdegan itu kebelet buang air besar? Nah itu, gue ngerasa kaya pengen buang air nih disini.

Gue duduk nungguin kira kira 15 menit, sampe gue ngeliat Ryu yang kebingungan nyariin gue.

“Ryu!” Kata gue ngangkat tangan supaya dia bisa ngeliat eksistensi gue yang lagi duduk dan nungguin dia.

“Katanya nyariin aku, kenapa?” Kata dia, mulai duduk dihadapan gue. Jujur, gue bingung harus mulai dari mana dan gue ngerasa canggung, jadi gue ngusap tekuk terus terusan sambil ngulur waktu dengan nanyain hal hal random sama dia.

“Ryu, jadi tuh alasan aku nyariin kamu karena aku mau ngaku udah lama suka sama kamu”

“Anjir?! Gue gasalah denger?” Anjing. Kafin.

“Kafin, mana katanya si—loh ada Aaron?” Kak Lara.

“Hen, bener kata lo kopinya enak?” Sumpah gue denger suara Bang Davra.

“Serius bang, kemaren gue kan duduk disini sendirian” Iya, Bang Davra, Bang Mahen, dan Kak Dara nyempil. Ikut bengong karena bang Kafin dan Kak Lara ngeliatin kita. Ditambah si tolol Kafin denger apa yang gue bilang. Anjing malu banget.

“Ni kenapa berhenti sambil bengong gini sih?” Gue bisa denger suara Kak Dara yang kebingungan.

“Udah jadi belum, Ron?” Kak Lara tolong ya gue malu banget jangan ditanya kaya begitu. Posisinya adalah gue yang ngeliatin Ryu yang nunduk membenamkan wajahnya, ditambah ini 5 orang pada ngeliatin kita.

“Ron? Gak dilanjutin?” Si Kafin malah nanya lagi demi Tuhan pengen gue sleding.

“Kagak, udah bubar semua” Gue narik tangan Ryu buat pergi dari sana. Kalau Ryu malu, gue lebih malu. Gue pengen benem wajah gue ke tanah sumpah gak bohong.

Semesta, enak banget ya datangin itu rombongan di waktu yang gak tepat kaya gini.

“Nih” Tangan Kak Davra menyulurkan sebuah kantong plastik berisi wedang jahe yang aku sendiri gak tau dia beli dimana karena kondisinya udah tengah malem kaya gini. “Kok bisa liburan malah masuk angin, perlu koyo gak?” ia tertawa. Tapi, plester panas itu betul betul keluar dari kantong jaketnya.

Dua benda itu aku terima sambil menggumamkan ucapan terimakasih dan tersenyum. Sejujurnya kepalaku agak sedikit pusing karena masuk angin. Kak Davra masih berdiri di tempat, dan aku yang menerawang menatap bangku dibawah kanopi yang sekarang sudah kosong meninggalkan dua gelas kotor.

“Lo emang gampang sakit ya?” Lamunanku seketika buyar. Kutatap sosok itu yang sekarang membenarkan posisi kacamata yang bertengger di tulang hidungnya.

“kadang kadang sih kak” Jawabku.

Di cottage ini, ada beberapa rumah yang ada dalam satu pekarangan. Dan didepan sana adalah rumah utama dimana orang tua beristirahat. Lebih besar dan lebih bagus. Disini, didepan rumah dimana aku dan Kak Davra berdiri adalah tempat aku beristirahat bersama Dara, satu teman sekolah Dian, dan adik perempuan Mahen. Sedangkan tepat dihadapanku, rumah dimana kak Davra dan para lelaki lainnya tempati. Cuma berjarak 10 langkah.

“Kalau gitu nanti gue kasih tau Johan supaya lo gak kerja berat ya”

Seketika aku terbahak menutup mulutku dengan telapak tangan.

“Kok ketawa?”

“Cuman nulis ide gak bakal bikin sampe tumbang kali kak” Jawabku dan dibalas kekehan kecil dari Kak Davra disertai dia yang mengelus tekuknya.

“Ya mikirin ide terus terusan juga bisa bikin tumbang kali, Ra” kemudian kita terdiam. Tanganku masih menggenggam kantung plastik tadi, kemudian tiba tiba kak Davra melepas jaketnya.

“Dara bilang tadi lo bawa jaket tipis, nih” Ia lagi lagi menyodorkan jaket miliknya. “Di sini kalau subuh dinginnya luar biasa, pas tidur dipake aja kalau mau. Yaudah gue balik ya”

Begitu lagi lagi tanganku dengan spontan menerima, kemudian dia berlalu. Gak ngucapin apa apa, pergi gitu aja. Bahkan lagi lagi, aku gak sempat ngomong makasih.

Mahen terus berkeliling cottage, kira kira 25 menit yang lalu ia baru saja kembali dari warung didekat sana untuk menghisap beberapa batang rokok dan kopi instan hanya untuk mengawangkan pikiran dan bertanya perihal permainan semesta. Kini, ia sibuk mencari seseorang yang eksistensinya tidak mampu ia temukan.

Masih didalam pekarangan, ditemukannya sesosok gadis yang tengah membaca buku dan duduk dengan manis di kursi dengan pemandangan yang mengarah ke alam sana.

“Lara? Liat adek gue gak?” Begitu kemudian Mahen mengejutkan Lara yang kemudian bangkit dan terkesiap.

“Oh, i-itu. Sama Dara” ditunjuknya dua orang yang sedang tertawa sambil menyesap minuman bersoda tak jauh dari pekarangan. Manik mata Mahen mampu menangkap agenda kikikan yang suaranya semu sampai ke telinga.

“Kamu tadi pergi bareng kak Davra?” Mahen menoleh.

“enggak, gue duduk sendirian tadi. Kenapa?”

“Oh, gak papa. Nanya aja”

“Yaudah ya, Lara. Gue istirahat dulu. Badan gue pegel”

“Mahen..” Tubuhnya yang sudah sempat berlalu kini terhenti saat namanya dipanggil. “Engga jadi” Ia mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Lara yang tertunduk kemudian menatap dua gadis yang masih asik terkikik diujung sana. Dara dan adiknya Mahen baru saja bertemu berjam yang lalu, tapi kelihatannya seakan akan sudah berteman 10 tahun lamanya. Lara ini, sama seperti manusia kebanyakan, banyak maunya dan terkadang egois.

-

Pak Sanjaya, begitu ia dikenal orang banyak. Tegas, dermawan dan bertanggung jawab. Dara, Lara maupun Dian yang mengajak teman mereka datang kerumah, pasti akan langsung terdiam saat Papahnya berlalu didepan mereka, embel embelnya selalu sama “Bokaplo serem ya” Tapi malam ini, asumsi itu dipatahkan karena pada kenyataannya, gelak tawa selalu hadir disetiap sela percakapan yang timbul.

Pak Arsyad Anadipta dan Rachmad Pradipta, nama yang Pak Sanjaya kenalkan kepada anak anaknya. Katanya Pak Arsyad adalah teman masa SMAnya dan Pak Rachmad adalah Kakak tertua pak Arsyad dan kebetulan menjadi kolega Papah si kembar. Lagi lagi, semesta hanya melakukan tugasnya.

Sepanjang makan malam, selalu terjadi wisata masa lalu dari para orang tua. Menceritakan bagaimana perjuangan membangun perusahaan properti milik pak Sanjaya, bagaimana pak Arsyad mengambil kuliah S2 keluar negeri, bagaimana Pak Rachmad yang membangun usaha bisnisnya dari 0 sampai akhirnya bisa masuk ke pasar global. Bagaimana para Ibu yang bercerita mengurus Davra sebagai anak tunggal, cerita mengurus si kembar, dan cerita lain soal mengurus sepasang anak laki laki dan perempuan hingga akhirnya tak perlu payah payah menyuapkan makanan karena semuanya sudah mampu melakukan hal itu sendiri.

Di meja yang sama, anak anak pun saling tukar cerita. Ryu yang sudah akrab dengan dua Kakak Dian dan adik perempuan Mahen. Aaron yang awalnya tidak kenal siapa itu Mahen dan Davra sudah sibuk membicarakan soal versi game yang keluar di era ini, pun ketidaksukaannya kepada Kafin karena selalu membawa motor ngebut terpatahkan malam itu, karena keduanya tampak seperti saudara kandung yang berdetik waktu selalu saja berkelahi.

Di Cottage, semua dilakukan sendiri. Malam hari, ada Dara yang sibuk membalut diri dalam hoodie kemudian menuju rumah utama, berniat membuat teh hangat untuk dirinya. Tapi kemudian, ditemukannya tumpukan piring kotor tak tersentuh.

Ia selalu punya insting bebersih, mengingat Lara adalah yang pelupa dirumah. Maka biasanya sebelum Mamahnya berteriak mengapa piring kotor masih bertumpuk, biasanya akan ia lakukan seorang diri, begitupun malam ini. Walaupun tidak mungkin ibunya itu akan berteriak seperti yang biasa ia lakukan dirumah karena ini bukan dirumah.

Digulungnya lengan hoodie sampai ke sikut, dan mulailah tangannya bekerja diatas piring kotor.

“Gak dingin?”

“Anjing”

“Mulut lo”

“Lagian lo ngagetin, tolol”

Mahen terkikik geli. “Hampir aja nih piring pecah gara gara lo”

“Lo masih kasar ya?”

“Bukan masih tapi memang”

Lagi lagi ia hanya terkikik kemudian berjalan mendekati wastafel. Bukan membantu, ia hanya berdiri memiringkan tubuh dan melipat tangannya didepan dada menatap Dara yang kelimpungan mencuci piring.

“Lo kenapa gak berubah ya, padahal udah 5 tahun” Dara hanya memutar kedua bola matanya malas, masih fokus pada apa yang ada di hadapannya, piring kotor.

“Tetep cantik”

“Mahen, jangan sampe gue tinggalin ya ni piring perkara lo”

“Lo kenapa menghindar terus sih?”

“Mampus gue tinggalin” Begitu keran air Dara hidupkan untuk membilas tangan, ada tangan lain yang menahannya.

“Iya enggak, sini gue bantuin” Piring yang sudah bersih dengan sabun kini berpindah ke tangan Mahen dan dengan luwes ia bilas dengan air bersih. Ia berdiri sejajar kemudian tersenyum pada gadis yang lebih pendek 15 centi dari dirinya. “Dingin, biar gue yang bilas”

Kemudian hening, hanya ada suara binatang malam dan piring yang saling beradu yang mendelisik pendengaran.

“Udah kenalan sama adek gue ya?” Mahen bersuara.

“Minseo.”

“Iya.”

“Namanya kaya orang korea”

“Nyokap gue pas hamil dia mabok korea. Jadi mau punya anak namanya korea koreaan. Hahaha” Keduanya terbahak di sela mencuci dan membilas.

“Dulu lo belum sempet kenal sama dia, ya?” Dara diam. Fokus pada piring dan menyunggingkan senyum kecil disudut bibirnya.

“Iya, belum” Cicit sang gadis “Lagian dulu harusnya memang gaperlu kenal, Mahen” Dan Mahen, tidak mau bersuara lebih. Karena jawaban sang gadis adalah lebih dari cukup, dan tak akan mampu melawan argumen apapun yang ada di kepala sang pria.

30 menit kira kira, semuanya sudah bersih. Tapi karena udara yang menusuk, masing masing telapak tangan mereka memerah, sejujurnya tak sanggup menahan udara dan air.

“Gue balik” Mahen mengeringkan tangannya dengan kain.

“Mau teh gak? Tadi rencananya gue mau bikin teh” Dara mengeluarkan sebuah kotak penuh berisi kantung teh.

“Dar?”

“Hm? Mau gak?”

“Mau duduk di bawah kanopi bareng gue gak?”

Kamarnya hanya berukuran 3 x 5 meter, tapi disana penuh dan engap. Pasalnya semenjak 30 menit yang lalu, ada 4 orang yang datang tiba tiba tanpa aba aba. Kini, tertotal ada 6 orang yang hanya duduk saling diam dan melempar tatap, terutama si 2 persepupuan.

“Oh, jadi kalian kembar?” Yang ditanya diam saling melempar tatapannya, kemudian salah satunya mengangguk, Lara.

“Yang gue lihat di ACE kemarin si Lara?”

“Yang gue lihat di alfa berarti Dara?”

Dara, memutar bola matanya malas kemudian membuang nafas “Iya”

“Terus nih lo berdua sodaraan gitu?” Ini giliran Dara yang bertanya.

“Dara, kak Davra lebih tua dari kita” Bisik Lara. Yang dibisiki acuh.

“Iya, kan gue Anadipta, yang itu Pradipta”

“Lo tau Ji kalau mereka kembar?” Davra menyikut lengan Jivan.

“Ya tau lah, orang si Kafin ama si Dara ga pernah lepas yakali gue gatau kalau si Dara punya kembaran”

Lagi lagi semuanya diam.

“Udah deh ya, semesta emang hobinya bercanda, jadi gausah yang kaget ampe bola mata lo semua mau keluar. Kaya gapernah liat anak kembar aja, iyega?” Kafin mengangkat dagunya dan meminta validasi dari Dara, tapi yang dimintai lagi lagi membuang nafas dan beralih mengambil ponselnya.

“Yang kemarin, makasih” Lara tersenyum menuju pada Mahen, mengingat berhari yang lalu sang pria sudah menolongnya mengambil vas bunga yang sekarang sudah terduduk rapi di kamarnya.

“Iya, sama sama”

“Udah, ini si Dara cuman diare doang terus gue juga cuman mau nganter obat, sekarang cus kita lesgo pulang” Kafin bangkit dari duduknya, yang lain mengangguk mengiyakan kemudian pamit dan keluar dari kamar, kecuali satu orang.

“Lo nunggu gue usir apa gimana?”

“Cepet sembuh”

“Yaelah, Hen. Diare doang”

“Ya Diare kan juga sakit namanya”

“Iya. Udah sana, ntar lo ditinggal si Kafin mau pulang naik apa?”

“Didepan ada mobil dua motor satu”

“Diare gue, ntar bablas ditengah jalan”

“Yaudah, gue balik. Lara, balik ya. Salam kenal” Mahen melambai pada Lara dan dibalas lambaian kecil.

“Gue balik, Dar”

“Iya”

Mahen menghilang dibalik daun pintu, menyisakan si kembar yang masih terduduk dipinggir kasur.

“Temen kamu?” Dara menyunggingkan senyum.

“Iya, Ra. Aku gak nyangka aja ketemu nya bisa ketuker kaya gitu, hahaha” Dara terbahak, diikuti kekehan kecil dari Lara.

“Deket banget ya, sampe bisa seakrab itu?” Dara tersenyum mengangguk pelan sambil menatap kosong lantai kamarnya.

“Lumayan” Lara mengangguk. Memainkan buku buku jari nya sambil tertunduk.

“I wish that it was me”

Waktu Dara ngirim pesan, di LA masih jam 10 pagi. Dan gue yakin disana udah tengah malem. Suprised? Big Yes. Karena kita udah ga pernah contact an kira kira 2 tahun yang lalu semenjak gue pergi ke LA buat kuliah. Yep, semenjak kita putus.

Gue kenal dia karena kita ada di sekolah yang sama waktu SMA. And for me, she was the best girl in town that i’ve ever met.

Gue gatau apakah frasa itu gue buat karena emang pada dasarnya gue sedang jatuh cinta atau emang pada dasarnya kepribadian dia selalu gue suka. Tapi, setelah sama dia, gue gapernah ngerasain euforia yang dulu selalu gue rasain kalau bareng dia. Iya, gue tau, karena orang lain itu bukan Dara.

Semenjak putus, gue udah pacaran 3 kali. Dan tiga tiganya kandas dalam hitungan bulan. Bener apa yang dibilang Dara soal ‘don’t try that hard, cause you’ll never' Tanpa dia kasih tau pun gue tau bahwa gue ga akan pernah ketemu sama sosok kaya dia, karena dia Cuma satu.

Wisata masa lalu sedikit, yang duluan gerak adalah Dara. Waktu itu dia sok sok an jadi secret admirer dan nitipin orang buat ngasih gue air mineral sehabis lomba futsal. Besoknya, dia nitipin lagi tapi sama temen gue. Sampe akhirnya gue tau, dan mulai follow akun Instagram dia.

Kita mulai tukar pesan di direct message dan pindah ke imess. Hahaha, we’re such a juvenile indeed.

Pertama kali jadian di eskalator Mall, kencan pertama makan durian, jam istirahat duduk ditangga belakang gedung sekolah, main ke puncak, photobooth, bohong soal rapat osis padahal kita cabut, pagi hari yang tiba tiba ada bungkus nasi uduk di meja gue, roti sobek dan milo kotak, gue yang selalu denger teriakan dia yang paling keras di tribun kalau gue lagi tanding futsal, dia yang loncat dari tribun was was waktu gue jatuh karena terlalu ambisius buat cetak gol yang akan gue hadiahin buat dia, segala galanya di Jakarta, adalah Dara.

Dulu, gue dan dia berbicara seakan akan kita udah di spoiler soal masa depan. Seakan akan disana nanti ada gue dan dia yang akan hidup bersama selamanya. Kita berdua lupa, kalau akhir bahagia Cuma ada di cerita dongeng anak anak. Setelah dewasa, gue menertawakan angan angan itu dan gue yakin, Dara disana juga.

Putusnya kita adalah kesalahan gue, pun Dara. Kesalahpahaman, dan gak adanya lagi kepercayaan satu sama lain.

Tahun pertama gue kuliah di LA, dan dia di Jakarta. Kita harus LDR beda negara dan beda waktu. Gue harusnya menghargai hubungan LDR ini, pun dia. Tapi waktu itu, gue lihat di postingan story Kafin kalau dia foto bareng cowo, dan dulu dia cerita kalau cowo itu pernah suka sama Dara. Gue udah panas dan was was karena chat gue ga dibales dan telfon gue juga gak diangkat.

Gue bukan tipikal orang yang akan marah sampai meledak ledak, pun malam itu, gue gak meledak tapi gue marah. Sikap gue, kata kata yang gue keluarkan seakan akan menyudutkan dia dan berlagak bahwa gue adalah yang paling tersakiti.

Malam itu, karena kesalahpahaman gue, kita berantem sampe gue mencetuskan kata kata yang gue ataupun dia gak mau dengar. Putus.

Waktu itu gue cuman mikir, maybe i need time and she was either. But turns out, Dara had crush on him. Ada hari dimana gue berusaha buat contact dia lagi, tapi gak mau karena gue ngerasa udah dihianatin dan tiba tiba merasa benci. But i couldn’t.

Waktu dia ulang tahun, gue contact dia dan dia bilang maaf. she said maybe, that guy will heals the wound i made. But she was never done with me. So she was not. Jadi kesimpulannya adalah, kita berdua sok sok mencari tempat lain untuk menyembuhkan diri, padahal pada kenyataan kita lari. Kita sama sama belum selesai, sama sama belum berdamai, segala galanya soal Dara masih tentang gue, dan segala galanya tentang gue adalah masih soal Dara.

Tapi gue rasa, sekarang semuanya perlahan selesai.

Kita berusaha balik, i wanted to, so bad. But i can’t. Deep down, udah gaada rasa percaya buat Dara tapi gue gabisa bohong kalau gue mau dia tetep selamanya jadi milik gue. And then, we let the universe to do the rest. Kita udah pasrah sama kenyataan dan keadaan, though that we still craving for each other.

Dan kemarin, dia bilang dia mau nutup semuanya secara properly. Ternyata apa yang udah gue pasrahkan sama semesta jawabannya adalah ini. But then, bahagia dia akan tetap jadi prioritas gue walaupun mungkin disana udah sepenuhnya gaada gue.

Dara sembuh, dengan gak mencari orang lain sebagai obatnya. Dia sembuh dengan dirinya sendiri, dari banyak kenalan gue, gue ngeliat dia udah lebih banyak berbaur dengan orang baru, mencoba hal hal baru yang dulu sempet dia pernah cerita ke gue, dan she is so fine. She gained more confident, bahkan berani buat tampil beda. I am happy for her, truly.

Ciao Adios, my favorite human being. I still let the universe to do the rest of us.

Waktu Dara ngirim pesan, di LA masih jam 10 pagi. Dan gue yakin disana udah tengah malem. Suprised? Big Yes. Karena kita udah ga pernah contact an kira kira 2 tahun yang lalu semenjak gue pergi ke LA buat kuliah. Yep, semenjak kita putus.

Gue kenal dia karena kita ada di sekolah yang sama waktu SMA. And for me, she was the best girl in town that i’ve ever met.

Gue gatau apakah frasa itu gue buat karena emang pada dasarnya gue sedang jatuh cinta atau emang pada dasarnya kepribadian dia selalu gue suka. Tapi, setelah sama dia, gue gapernah ngerasain euforia yang dulu selalu gue rasain kalau bareng dia. Iya, gue tau, karena orang lain itu bukan Dara.

Semenjak putus, gue udah pacaran 3 kali. Dan tiga tiganya kandas dalam hitungan bulan. Bener apa yang dibilang Dara soal ‘don’t try that hard, cause you’ll never' Tanpa dia kasih tau pun gue tau bahwa gue ga akan pernah ketemu sama sosok kaya dia, karena dia Cuma satu.

Wisata masa lalu sedikit, yang duluan gerak adalah Dara. Waktu itu dia sok sok an jadi secret admirer dan nitipin orang buat ngasih gue air mineral sehabis lomba futsal. Besoknya, dia nitipin lagi tapi sama temen gue. Sampe akhirnya gue tau, dan mulai follow akun Instagram dia.

Kita mulai tukar pesan di direct message dan pindah ke imess. Hahaha, we’re such a juvenile indeed.

Pertama kali jadian di eskalator Mall, kencan pertama makan durian, jam istirahat duduk ditangga belakang gedung sekolah, main ke puncak, photobooth, bohong soal rapat osis padahal kita cabut, pagi hari yang tiba tiba ada bungkus nasi uduk di meja gue, roti sobek dan milo kotak, gue yang selalu denger teriakan dia yang paling keras di tribun kalau gue lagi tanding futsal, dia yang loncat dari tribun was was waktu gue jatuh karena terlalu ambisius buat cetak gol yang akan gue hadiahin buat dia, segala galanya di Jakarta, adalah Dara.

Dulu, gue dan dia berbicara seakan akan kita udah di spoiler soal masa depan. Seakan akan disana nanti ada gue dan dia yang akan hidup bersama selamanya. Kita berdua lupa, kalau akhir bahagia Cuma ada di cerita dongeng anak anak. Setelah dewasa, gue menertawakan angan angan itu dan gue yakin, Dara disana juga.

Putusnya kita adalah kesalahan gue, pun Dara. Kesalahpahaman, dan gak adanya lagi kepercayaan satu sama lain.

Tahun pertama gue kuliah di LA, dan dia di Jakarta. Kita harus LDR beda negara dan beda waktu. Gue harusnya menghargai hubungan LDR ini, pun dia. Tapi waktu itu, gue lihat di postingan story Kafin kalau dia foto bareng cowo, dan dulu dia cerita kalau cowo itu pernah suka sama Dara. Gue udah panas dan was was karena chat gue ga dibales dan telfon gue juga gak diangkat.

Gue bukan tipikal orang yang akan marah sampai meledak ledak, pun malam itu, gue gak meledak tapi gue marah. Sikap gue, kata kata yang gue keluarkan seakan akan menyudutkan dia dan berlagak bahwa gue adalah yang paling tersakiti.

Malam itu, karena kesalahpahaman gue, kita berantem sampe gue mencetuskan kata kata yang gue ataupun dia gak mau dengar. Putus.

Waktu itu gue cuman mikir, maybe i need time and she was either. But turns out, Dara had crush on him. Ada hari dimana gue berusaha buat contact dia lagi, tapi gak mau karena gue ngerasa udah dihianatin dan tiba tiba merasa benci. But i couldn’t.

Waktu dia ulang tahun, gue contact dia dan dia bilang maaf. she said maybe, that guy will heals the wound i made. But she was never done with me. So she was not. Jadi kesimpulannya adalah, kita berdua sok sok mencari tempat lain untuk menyembuhkan diri, padahal pada kenyataan kita lari. Kita sama sama belum selesai, sama sama belum berdamai, segala galanya soal Dara masih tentang gue, dan segala galanya tentang gue adalah masih soal Dara.

Tapi gue rasa, sekarang semuanya perlahan selesai.

Kita berusaha balik, i wanted to, so bad. But i can’t. Deep down, udah gaada rasa percaya buat Dara tapi gue gabisa bohong kalau gue mau dia tetep selamanya jadi milik gue. And then, we let the universe to do the rest. Kita udah pasrah sama kenyataan dan keadaan, though that we still craving for each other.

Dan kemarin, dia bilang dia mau nutup semuanya secara properly. Ternyata apa yang udah gue pasrahkan sama semesta jawabannya adalah ini. But then, bahagia dia akan tetap jadi prioritas gue walaupun mungkin disana udah sepenuhnya gaada gue.

Dara sembuh, dengan gak mencari orang lain sebagai obatnya. Dia sembuh dengan dirinya sendiri, dari banyak kenalan gue, gue ngeliat dia udah lebih banyak berbaur dengan orang baru, mencoba hal hal baru yang dulu sempet dia pernah cerita ke gue, dan she is so fine. She gained more confident, bahkan berani buat tampil beda. I am happy for her, truly.

Ciao Adios, my favorite human being. I still let the universe to do the rest of us.

Aku selalu suka sama scented candle. Berawal dari iseng main ke ACE Hardware dan ketemu sama salah satu scented candle milik Company yang ocean blue mist. Sampai sekarang, aku selalu suka yang itu. Kalau lagi baca, nulis, atau lagi dengerin musik, aku selalu nyalain lilinnya. Vibesnya jadi lebih beda, apalagi kalau hujan tiba tiba datang.

Kemarin malam, karena scented candle punyaku udah setengah banget, aku mutusin buat pergi ke ACE demi menuhi BM (Banyak Mau) ku dalam dunia perlilinan ini. Sekalian rencananya hunting scented candle yang lain atau cuci mata beli barang barang yang lain. Dan ya, soal hal hal yang bernilai estetika di mataku, pasti langsung aku ambil sampai kadang bikin kalap dan mau gak mau pake duit sendiri karena duit yang dikasih Papah ternyata gak cukup.

Sampai disana, kaya biasa aku bakal ngambil keranjang dan mulai jalan menelusuri rak rak raksasa dan barang barang unik yang ada disana. Mulai dari nyari tempat pulpen akrilik yang di titip Dian, sampai berhenti di cat katalog karena susunan warnanya cantik banget. Yakin banget nanti aku bakal ganti warna kamar karena jujur aku jatuh cinta banget sama warna warna nya.

Setelah dapat apa yang Dian titip dan apa yang aku cari, aku langsung beranjak ke kasir buat bayar. Tapi pandanganku terpaku sama salah satu vas bunga yang cantik banget sumpah gak bohong. Aku gatau apa bunga nya sekalian dijual, tapi desain kasual vas nya bikin aku jatuh hati.

Vasnya ini tuh diletakin di bagian rak paling atas, mau gak mau harus bikin aku jinjit buat ngambil, tapi sayangnya walaupun aku udah jinjit tetep aja gabisa kegapai barangnya. Aku juga sempet ngeletak keranjang barang yang ada ditanganku ke lantai supaya aku bisa leluasa ngambil vasnya, tapi tetep aja gabisa.

Sampai ada tangan yang bantuin aku buat ngambil.

“Lain kali minta tolong aja mba, gapapa” Katanya. Aku terpaku padahal cuman ngeliat tekuknya. Dia langsung ngasih Vas yang aku berusaha ambil tadi, disitu, aku bahkan ga berkedip sama sekali.

Dia langsung noleh kemudian, terus terkejut.

“Loh, D—“

“Woi! Ketemu nih. Sini” Dia langsung noleh ke ujung lorong karena ada yang manggil, dan pergi ninggalin aku yang masih mematung sambil megangin vas yang tadi.

Kupu kupu dan udara yang tiba tiba jadi panas. Aku bahkan bisa ngerasain perutku yang tiba tiba mules karena degdegan. Dirinya tadi sudah berlalu entah kemana, tapi aku, masih setia mematung menatap vas yang ada di tangan, kemudian tersenyum. Bahkan aku lupa bilang makasih karena udah bantuin ngambilin. Dia, tinggi banget.

-

Dara tertawa mendengar ceritaku. Ia terbahak sampai menggulingkan tubuhnya berkali kali diatas kasur.

“Asli, kaya sinetron” Katanya, mengunyah makanan ringan dan sesekali menyeruput jus jeruk yang sempat aku bawakan dari bawah.

“Iyaya” Kataku terkikik kecil sambil merebahkan diri di kasur miliknya. “Sangking bengongnya aku sampe lupa bilang makasih, jadinya gak enak.”

“Yah, padahal kalau tau namanya barang setitik aja, kita bisa berlagak jadi FBI” Kata Dara. Kini posisinya duduk menyandarkan bahu pada kepala kasur.

“Serem banget perempuan ya kalau udah penasaran” Kataku tertawa.

“Ganteng banget apa, Ra?” Dara bertanya. Aku tersenyum. Kemudian mengawangkan pikiranku mengingat kejadian yang berjam lalu terjadi. Bahkan aku sendiri bingung untuk menjawab pertanyaan saudara kembarku, raut wajahnya perlahan mulai jadi semu karena kejadiannya terjadi cepet banget.

Setelah aku bercerita soal perasaan aneh dari seseorang yang entah siapa itu, senyap sunyi datang. Yang terdengar hanya suara jangkrik diluar sana. Kami merebahkan diri diatas kasur, menatap langit langit kamar.

Kalau diingat ingat, dulu Dara bersikukuh supaya kamarnya diatas sendirian. Padahal ruang ini akan dijadikan gudang dan semua anak anak Papah kamarnya ada dibawah. Dara bilang, kalau kamarnya dibawah, dia gak bisa dengarin lagu dengan volume yang dia mau kalau malam hari, karena pasti bakal gangguin Mamah sama Papah karena kamar aslinya pas disebelah kamar Mamah sama Papah.

Kita masih diam, sampe ada notifikasi yang masuk ke handphone ku yang bikin aku mengkerutkan alis, kemudian bangkit dari rebah ku.

“Kenapa?” Tanya Dara melihatku yang kebingungan menatap layar ponsel. Gak lama, berselang menit kemudian, aku bisa dengar notifikasi yang masuk di ponsel Dara.

“Ra?”

“Dar?”

“Semesta lagi bercanda ya sama kita?”

Gue selalu lebih suka curhat sama kakak gue yang pertama. Dua duanya pertama sih, tapi klaim kakak pada si kembar itu bertahta di kak Dara. Bukan tanpa alasan, tapi memang dari dulu gue lebih banyak menghabiskan waktu dengan kak Dara dibanding kak Lara.

Alasannya karena orang tua gue dulu harus bolak balik ke rumah sakit buat nganterin kak Lara, dan berakhir gue yang berdua aja dirumah sama Kak Dara. Gak jarang kadang kita ditinggal sampai 3 hari berturut turut.

Dulu, waktu masih SD, setiap pagi dia selalu nyiapin sereal Koko Crunch buat gue. Karena dia gabisa masak sarapan kaya yang biasa Mama buat. Dan berakhir Koko Crunch jadi sereal favorit gue yang kadang isinya masih ada setengah udah gue beli lagi yang baru, atau nitip minta dibeliin.

Sedangkan dirinya yang waktu itu masih SMP, setiap gue tanya udah makan apa belum, dia selalu jawab udah, tapi gak pernah kelihatan dimata gue makannya kapan.

Suatu hari, gue lupa gara gara apa, gue akhirnya tau kalau selama Mama gaada dirumah buat ngurus kak Lara sakit, dia makan bubur ayam semangkok berdua sama bang Kafin. Iya, mereka udah temenan dari jaman orok. Gatau kenapa betah amat sampe sekarang.

Dulu pas tau itu, gue nanya kenapa makannya semangkok berdua, kata kak Dara supaya hemat uang jajan. Hidup kakak gue yang satu itu udah keras coy.

Alasan lain adalah kenapa gue lebih milih cerita dengan Kak Dara karena dia lebih berpengalaman soal jalan hidup dibanding Kak Lara, ya kaya yang gue bilang tadi. Udah belajar ngitung menghemat uang jajan dari masih bocah. Kita sering tukar cerita, walaupun kadang gue gak sepenuhnya ngerti soal permasalahan orang dewasa, tapi kak Dara selalu berusaha bersikap realistis.

Gue gak bilang kalau kak Lara anaknya gak realistis, cuman dia kalau memberikan masukan dan saran bikin gue malah menimbulkan lebih banyak tanya dikepala. Kadang sampe bikin gue membatin, kok bisa kakak gue yang dari atas ampe bawah itu sama, pemikirannya sangat jauh berbeda?

-

Sore itu bang Kafin lagi main kerumah, pas waktu Ryu ngajak gue belajar Biologi. Karena gue pasti ga di bolehin Papa buat pake motor, alhasil gue kongkalikong—an bareng bang Kafin agar supaya dia meminjamkan motornya ke gue, karena gue mau jemput Ryu.

“Jaminannya apa dulu nih?” Gue buru buru banget sambil ngeliatin layar hp membalas Chat Ryu.

“Jaminannya nanti kita omongin bang, plis ini udah urgent banget” Kata gue. Dia naikin bibir bawahnya sambil ngusap dagu pake tangan kanan, kunci motornya ada di tangan kirinya.

“Ah lama lo bang” Gue langsung merampas kunci tadi dan berlalu pergi. Kenapa sih dia jadi manusia tu bertele tele banget, heran kok kakak gue betah berteman sama dia sampe sekarang.

Sialnya, begitu Ryu sampe rumah, bang Kafin langsung siul siul kaya tukang bangunan lagi godain cewe yang lewat. Siang menjelang sore hari itu, bang Kafin gak berhenti godain Ryu semenjak sampai dirumah, jujur gue kesel banget.

“Dar, ade lo udah bawa cewe aja nih kerumah, sihiyy” Ryu cuman tersenyum kikuk, gue pelototin dia sambil balikin kunci motornya.

“Mulutlo” Ini kakak gue yang nyumpel mulut bang Kafin pake roti sobek, mampus lu. Lagian ngomong kok kaya gaada aturannya.

Kita langsung duduk di ruang tamu, sedangkan kakak gue sama bang Kafin di ruang TV. Lagi maraton serial Friends, tua juga jiwa tu dua orang.

Gue udah ngasih tau Ryu soal kelas Dance dan, sumpah ekspresi senengnya dia bikin gue degdegan parah. Ini gue jatuh cinta gak sih? Anjay, gue kayanya masih terlalu bocah untuk memahami konsep semacam itu.

“Psstt psstt, belajar loh ya” Gue memutar bola mata melihat bang Kafin yang ngintip ngintip dari ruang TV.

“Lo jangan gangguin adek gue terus, Fin” Gue bisa denger bang Kafin yang merintih kesakitan. Kali ini gue gatau apanya lagi yang biru dan memar akibat ulah kakak gue sendiri.

“Maaf ya, Ryu. Emang gitu bopung kalau diajak main kerumah”

“Eh woi, gue denger ya, Diandika Catra anak pak Sanjaya” Ryu terkekeh disamping gue, jujur gue benci banget dan malu, memang si Kafin ini. Gak lama, dia nyamperin kita di ruang tamu.

“Adek namanya siapa?” Kata bang Kafin sok asik.

“Pedofil lo, sana jauh” Kata gue.

“Pacarnya Dian ya? Kok mau sih ama modelan kaya begini? Cupu dia tu” Gue ngerobek lembar buku dan gue remuk lalu gue lempar ke mukanya.

“Busett bocah, nanyain nama doang”

“Ryu, kak” Jawab Ryu takut takut. Kemudian, kakak gue dateng bawain minum buat gue dan Ryu dan sedikit jajanan ringan.

“Gue gaada?” Tanya bang Kafin sambil nyemilin kuaci.

“Ambil sendiri” Nah, itu dia kakak gue.

“Pacarnya kak Dara ya?” Ryu berbisik di telinga gue, tapi bisikan Ryu ternyata gak sepenuhnya berbisik, karena setelahnya bang Kafin dan kak Dara terbahak.

“Bukan dek, dia babu dirumah ini” Jawab Kak Dara dan mendapat tempeleng dari bang Kafin. Ni dua orang kenapa jadinya ganggu belajar gue ya.

“Tutup buku dibilangin biar dapet pacar, bebal sih lo. Kan orang orang jadinya ngira kita pacaran” Gue udah gak fokus belajar, ngambil kuaci yang ada di tangan bang Kafin.

“Kak, aku ga pernah setuju sama omongan bang Kafin, tapi kali ini aku setuju” Bang Kafin kemudian ngajakin gue toss. Gue gapaham sih alur kisah kakak gue dengan mantannya yang dulu, apakah kakak gue udah sepenuhnya selesai sama akhir hubungannya atau belum, soalnya setelah dia putus, dia gapernah pacaran lagi. Itu sedikit hal yang gue tau. Dan menurut gue, apa kata bang Kafin ada benernya.

“Kalau kata kakaknya Ryu..” Kita bertiga kemudian menoleh mendengar Ryu yang tiba tiba ikut bersuara. “Kalau kita gak segera nyelesain masa lalu, itu artinya kita jalan ditempat kak..”

Kita diam cukup lama. Memproses.

“Ryu gak tau yang tutup buku itu beneran atau bercandaan aja, tapi jangan takut buat ngelepas kak. Karena pasti ada yang baik didepan sana nungguin kita.” Matanya Ryu seakan berbinar ngomong hal sederhana kaya gitu. Cantik banget. Kemudian gue liatin kakak gue yang diem sambil senyum liatin Ryu. Terus pelan pelan dia ngangguk dan angkat jempolnya kearah Ryu.

“Bilang makasih ke Kakaknya Ryu, ya..”

Dari skala 1-10, gue bakal pilih angka 9. Karena kepala gue rasanya udah mau pecah ngurusin event ini. Udah sebulan belakangan kerjaan gue kalau habis kelas selalu rapat, rapat dan rapat. Bahkan kadang ga tidur karena harus ngerjain tugas dari dosen yang deadlinenya bikin gue sesak nafas.

Jadi kemarin malam, karena bener bener gue gabisa ngadain rapat siang hari, gue memutuskan untuk ngadain rapat malam hari. Jujur kasian memang sama staff staff gue yang lain, terutama staff yang cewe.

Malam itu, sama kepala departemen yang lain, kita bahas soal closing ceremony acara ini di akhir tahun nanti. Memang sih, masih lama karena ini juga masih pertengahan Oktober, tapi untuk closing kali ini, memang ada yang harus kita bahas.

Main guess starnya udah yakin banget ini the Overtunes?”

“Sebenernya ada banyak pertimbangan kak, awalnya kita sempet saranin Kahitna, Tulus atau Nadin Amizah. Jadi konsepnya gak banting gitu” Namanya Lara, staff yang di recruit Johan dan sumpah demi Tuhan gue selalu suka sama ide ide nya.

“Gimana, Ji?” Tanya gue mengingat dia adalah kepala departemen Acara.

“Kita coba pake sosial media nya Hit It aja. Minta masyarakat yang ikut pilih. Balik lagi ini kan juga bergantung sama selera masyarakat. Emang belakangan yang lagi viral genre nya yang modelan Nadin Amizah ya?”

“Haha, belakangan emang lagi banyak yang ngomongin Nadin kak” Balas Lara. Dia gak sendirian, ada dua temen nya lagi yang juga jadi staff bawahannya Johan.

“Coba vote aja Ji di Instagram”

“Instagram yang pegang Jun kan?”

“Iyaa” Jun mengangkat jempolnya.

“Yaudah besok aja kali ya, lo bikin vote yang kaya barusan kita bahas ini”

“Siap”

“Yaudah rapatnya sampe sini dulu aja, sorry banget ya udah ngerepotin kalian yang hadir. Nanti rapat selanjutnya bakal gue jarkom ke kadep kalian.”

Habis itu kita bubar.

Gue berangkat kuliah siang tadi bareng sama sepupu gue, Mahen. Karena sumpah rasanya gue males banget mau bawa motor ke kampus. Tapi pas gue coba telfon Mahen buat jemput gue, nomornya gak aktif.

Gue udah mulai kesel, soalnya ni badan gue rasanya udah mau remuk aja. Pengen langsung banting badan ke kasur terus tidur. Soalnya besok gue ada kelas pagi, jadi gue mau mempergunakan sisa waktu yang gue punya buat tidur.

“Kak? Ga pulang?” Gue langsung noleh dan nemuin Lara disana. Dia selalu pakai outfit yang kasual. Kadang pakai kemeja dan rok span, terus warnanya selalu kalem. Malam ini juga, dia pakai kemeja warna nude, kulot putih dan rambut yang dia jepit setengah.

“Iya, nunggu dijemput tapi yang jemput ditelfon malah nomernya ga aktif”

“Mau bareng aku aja gak? Aku bawa mobil”

“Ah, nanti kamu muternya jauh kalau mau pulang”

“Gak papa Kak, hitung hitung bales budi” Ia terkekeh sambil nutup mulutnya malu malu, gue cuman senyum. “Gak papa kak” sambungnya.

Dan akhirnya, gue ditumpangi Lara buat pulang kerumah.

Aneh banget sejujurnya karena gue duduk di kursi penumpang sedangkan dia yang bawa mobil. Tapi disatu sisi juga gue ngerasa bersyukur soalnya tangan gue udah pegel, kaki apalagi. Rasanya badan gue udah kaya mau copot dari sendi sendinya.

Gak lama, Lara nelfon seseorang.

“Kak bentar ya” Kata dia. Tangannya yang satu nempelin telfon, satu lagi megang stir.

“Dimana? Mau dijemput?” Kata dia. “Oh yaudah, iya ini aku udah mau jalan pulang. Enggak, gaada. Iya, Yaudah kalau gitu.” Telfonnya dia tutup kemudian.

“Siapa?” Tanya gue. Dia menoleh terus senyum “Kakak” Jawabnya. Sampai situ gue cuman mangut mangut aja paham bahwa dia punya kakak dan gak berusaha ngulik lebih dalam karena ga pantes aja menurut gue. Soalnya gue sama dia juga bukan siapa siapa.

Sampe didepan rumah, gue liat nyokap lagi duduk di beranda sambil minum teh sendirian. “Lara, makasih ya. Mau singgah?”

Dia geleng kepala dan bilang “Udah malem kak, kapan kapan aja ya” Iyasih memang, lagian gue cuman basa basi aja walaupun memang basi. Gue bisa liat nyokap yang tiba tiba berdiri dan ngintip ngintip kedalam mobil.

“Yaudah gue duluan ya. Hati hati lo baliknya”

“Iya kak” Gue turun dan langsung salim nyokap. Karena jendela mobil Lara kebuka sedikit, dia senyum dari dalam mobil sambil nyaut. “Malem, tante. Saya pamit pulang duluan ya. Kak, aku duluan”

Nyokap dadah dadah kecil dan tersenyum, kemudian mobilnya berlalu.

“Pacar kamu?”

“Engga Ma, temen”

“Cantik ya, tapi”

Iya ya, Ma. Cantik.