Mahen terus berkeliling cottage, kira kira 25 menit yang lalu ia baru saja kembali dari warung didekat sana untuk menghisap beberapa batang rokok dan kopi instan hanya untuk mengawangkan pikiran dan bertanya perihal permainan semesta. Kini, ia sibuk mencari seseorang yang eksistensinya tidak mampu ia temukan.
Masih didalam pekarangan, ditemukannya sesosok gadis yang tengah membaca buku dan duduk dengan manis di kursi dengan pemandangan yang mengarah ke alam sana.
“Lara? Liat adek gue gak?” Begitu kemudian Mahen mengejutkan Lara yang kemudian bangkit dan terkesiap.
“Oh, i-itu. Sama Dara” ditunjuknya dua orang yang sedang tertawa sambil menyesap minuman bersoda tak jauh dari pekarangan. Manik mata Mahen mampu menangkap agenda kikikan yang suaranya semu sampai ke telinga.
“Kamu tadi pergi bareng kak Davra?” Mahen menoleh.
“enggak, gue duduk sendirian tadi. Kenapa?”
“Oh, gak papa. Nanya aja”
“Yaudah ya, Lara. Gue istirahat dulu. Badan gue pegel”
“Mahen..” Tubuhnya yang sudah sempat berlalu kini terhenti saat namanya dipanggil. “Engga jadi” Ia mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Lara yang tertunduk kemudian menatap dua gadis yang masih asik terkikik diujung sana. Dara dan adiknya Mahen baru saja bertemu berjam yang lalu, tapi kelihatannya seakan akan sudah berteman 10 tahun lamanya. Lara ini, sama seperti manusia kebanyakan, banyak maunya dan terkadang egois.
-
Pak Sanjaya, begitu ia dikenal orang banyak. Tegas, dermawan dan bertanggung jawab. Dara, Lara maupun Dian yang mengajak teman mereka datang kerumah, pasti akan langsung terdiam saat Papahnya berlalu didepan mereka, embel embelnya selalu sama “Bokaplo serem ya” Tapi malam ini, asumsi itu dipatahkan karena pada kenyataannya, gelak tawa selalu hadir disetiap sela percakapan yang timbul.
Pak Arsyad Anadipta dan Rachmad Pradipta, nama yang Pak Sanjaya kenalkan kepada anak anaknya. Katanya Pak Arsyad adalah teman masa SMAnya dan Pak Rachmad adalah Kakak tertua pak Arsyad dan kebetulan menjadi kolega Papah si kembar. Lagi lagi, semesta hanya melakukan tugasnya.
Sepanjang makan malam, selalu terjadi wisata masa lalu dari para orang tua. Menceritakan bagaimana perjuangan membangun perusahaan properti milik pak Sanjaya, bagaimana pak Arsyad mengambil kuliah S2 keluar negeri, bagaimana Pak Rachmad yang membangun usaha bisnisnya dari 0 sampai akhirnya bisa masuk ke pasar global. Bagaimana para Ibu yang bercerita mengurus Davra sebagai anak tunggal, cerita mengurus si kembar, dan cerita lain soal mengurus sepasang anak laki laki dan perempuan hingga akhirnya tak perlu payah payah menyuapkan makanan karena semuanya sudah mampu melakukan hal itu sendiri.
Di meja yang sama, anak anak pun saling tukar cerita. Ryu yang sudah akrab dengan dua Kakak Dian dan adik perempuan Mahen. Aaron yang awalnya tidak kenal siapa itu Mahen dan Davra sudah sibuk membicarakan soal versi game yang keluar di era ini, pun ketidaksukaannya kepada Kafin karena selalu membawa motor ngebut terpatahkan malam itu, karena keduanya tampak seperti saudara kandung yang berdetik waktu selalu saja berkelahi.
Di Cottage, semua dilakukan sendiri. Malam hari, ada Dara yang sibuk membalut diri dalam hoodie kemudian menuju rumah utama, berniat membuat teh hangat untuk dirinya. Tapi kemudian, ditemukannya tumpukan piring kotor tak tersentuh.
Ia selalu punya insting bebersih, mengingat Lara adalah yang pelupa dirumah. Maka biasanya sebelum Mamahnya berteriak mengapa piring kotor masih bertumpuk, biasanya akan ia lakukan seorang diri, begitupun malam ini. Walaupun tidak mungkin ibunya itu akan berteriak seperti yang biasa ia lakukan dirumah karena ini bukan dirumah.
Digulungnya lengan hoodie sampai ke sikut, dan mulailah tangannya bekerja diatas piring kotor.
“Gak dingin?”
“Anjing”
“Mulut lo”
“Lagian lo ngagetin, tolol”
Mahen terkikik geli. “Hampir aja nih piring pecah gara gara lo”
“Lo masih kasar ya?”
“Bukan masih tapi memang”
Lagi lagi ia hanya terkikik kemudian berjalan mendekati wastafel. Bukan membantu, ia hanya berdiri memiringkan tubuh dan melipat tangannya didepan dada menatap Dara yang kelimpungan mencuci piring.
“Lo kenapa gak berubah ya, padahal udah 5 tahun” Dara hanya memutar kedua bola matanya malas, masih fokus pada apa yang ada di hadapannya, piring kotor.
“Tetep cantik”
“Mahen, jangan sampe gue tinggalin ya ni piring perkara lo”
“Lo kenapa menghindar terus sih?”
“Mampus gue tinggalin” Begitu keran air Dara hidupkan untuk membilas tangan, ada tangan lain yang menahannya.
“Iya enggak, sini gue bantuin” Piring yang sudah bersih dengan sabun kini berpindah ke tangan Mahen dan dengan luwes ia bilas dengan air bersih. Ia berdiri sejajar kemudian tersenyum pada gadis yang lebih pendek 15 centi dari dirinya. “Dingin, biar gue yang bilas”
Kemudian hening, hanya ada suara binatang malam dan piring yang saling beradu yang mendelisik pendengaran.
“Udah kenalan sama adek gue ya?” Mahen bersuara.
“Minseo.”
“Iya.”
“Namanya kaya orang korea”
“Nyokap gue pas hamil dia mabok korea. Jadi mau punya anak namanya korea koreaan. Hahaha” Keduanya terbahak di sela mencuci dan membilas.
“Dulu lo belum sempet kenal sama dia, ya?” Dara diam. Fokus pada piring dan menyunggingkan senyum kecil disudut bibirnya.
“Iya, belum” Cicit sang gadis “Lagian dulu harusnya memang gaperlu kenal, Mahen” Dan Mahen, tidak mau bersuara lebih. Karena jawaban sang gadis adalah lebih dari cukup, dan tak akan mampu melawan argumen apapun yang ada di kepala sang pria.
30 menit kira kira, semuanya sudah bersih. Tapi karena udara yang menusuk, masing masing telapak tangan mereka memerah, sejujurnya tak sanggup menahan udara dan air.
“Gue balik” Mahen mengeringkan tangannya dengan kain.
“Mau teh gak? Tadi rencananya gue mau bikin teh” Dara mengeluarkan sebuah kotak penuh berisi kantung teh.
“Dar?”
“Hm? Mau gak?”
“Mau duduk di bawah kanopi bareng gue gak?”