— —to you who’s full of untamed magic, maybe in the next life. —
membuka kaca jendela mobil sampai habis, membiarkan angin menyeruak masuk, melipat tangan diatas dashboard dengan dagu yg ikut mengistirahatkan diri disana, dan dia disebelahku dengan the 1975, Robbers.
Mingyu.
“kampungan”
“apaan?”
“masuk angin ntar” dirinya sama sekali tak menoleh, fokus pada jalanan sepi malam hari. cih, padahal kaca jendela nya juga terbuka lebar.
kita kemudian berdiam diri, meromantisasikan Ibukota dengan lagu asing. Padahal, pada nyatanya, tidak perlu ada yang di romantisasikan.
“kamu selalu bilang pengen late night drive pake lagu ini” katanya tiba tiba. aku mengangguk.
“udah ya berarti”
“belum”
“kok belum?”
“udah sih, tapi belum lengkap aja”
“apanya?” mataku bertemu matanya, terdiam kemudian berusaha saling berbicara tanpa aksara, berdetik kemudian dia buang pandangannya dan mengangguk dengan bibir yang dimanyunkan.
“yaudah sih” katanya, aku menyunggingkan senyum dan kembali menikmati agenda late night drive dadakan ini.
besok pagi pagi sekali, ku temukan mama ku masuk kedalam kamar tanpa mengetuk pintu.
“bangun, kak. masa anak perempuan bangunnya siang” acuh, kutarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh dan wajahku. dapat aku rasakan kasur yang bergerak kecil menandakan bahwa mama duduk dipinggirnya.
“lusa ada acara keluarga di rumah om Seungcheol, Kwan udah bilang?”
“belum”
“lusa kita kesana ya”
“iya” jawabku.
“gak mau ngenalin siapa siapa?” begitu kemudian aku sibak selimut tadi dan menatap mama.
“ya gapapa kak, cuma mama kadang iri denger cerita tante tantemu yang nyeritain menantunya, atau pacar anak anaknya”
“gausah didengerin mah”
“mamah kenalin mau ga?”
Mamah, sosok yang paling dan akan selalu paling membiarkan langkah dan jalan anaknya sendiri, hari ini didepan mataku menatap penuh desperasi.
“Mah, you okay?” beliau cuma tersenyum.
“kayanya engga deh kak..” Jawab Mama.
“Mah, kan aku udah bilang gausah didengerin kan apa kata tante tante kalau lagi ngumpul?” Lagi lagi beliau cuma tersenyum lalu bangkit meninggalkan kamar. Meninggalkan aku yang terduduk kebingungan di kasurku sendiri.
Umurku 25 tahun, cukup matang ya kalau memperkenalkan seseorang ke keluarga besar? cukup diperkenalkan tanpa harus menceritakan tentang langkah lain dalam menjalani hidup baru.
tapi kenyataan akan terus jadi kenyataan bahwa pada dasarnya sampai detik ini pun fokusku hanya pada pekerjaan. entah karena aku yang terlalu fokus sampai sampai tak sedikitpun terdistrak oleh keadaan atau memang belum waktunya aku menggandeng seseorang untuk diperkenalkan ke dunia?
aku ingat Mingyu yang selalu membual soal “Semesta itu banyak kejutannya, jadi siap siap aja” setiap kita berdua duduk pada sore hari di balkon kantor. menyambut penutupan hari dengan matahari yang sekejap saja langsung hilang digantikan malam.
“kopi” kata Mingyu malam itu. Dia berdiri dengan menumpu tangan kanannya pada sudut meja dan tangan lainnya menyeruput kopi.
“lembur?” tanyanya. Aku mengangguk, kemudian kopi yang dia berikan tadi langsung saja aku seruput sedikit demi sedikit untuk menghilangkan kantuk.
“gimana marketing? kan ada anak magang? kok malah kamu yang lembur?”
“kaya gak ngerti anak magang aja” jawabanku membuatnya terkikik kemudian menarik kursi dan duduk disebelahku. Kantor malam itu tak seramai pada siang hari, beberapa orang memang ada yang memutuskan lembur, tapi sibuk dengan agendanya masing masing.
“yaudah maaf”
“mangkanya lain kali jadi HR itu yang bener kalo mau nerima anak magang”
“yang bener gimana memangnya?”
“kan. keliatan banget masuk ke perusahaan pake orang dalem malah nanya yang bener yang gimana sama anak marketing” aku memijit pelipisku. “kamu aja deh yang aku interview” kataku lagi sambil membolak balikan kertas laporan yang ada dihadapanku kemudian beralih menatapnya.
“sok. Silahkan” Aku mengambil nafas panjang, padahal seharusnya tak perlu ada detak jantung yang detaknya tak karuan didalam sana.
“mau jadi pacar pura puraku ga?”
Kita terdiam. Lama. Aku yakin dirinya disana juga sedang memproses pertanyaan yang aku lemparkan berdetik yang lalu. Karena jujur, kita berdua juga jadi linglung.
“ini langsung banget ke point ya tanpa ada perkenalan dulu?” dirinya terkekeh. Aku hanya tersenyum kemudian melanjutkan agenda lemburku, membolak balikan kertas laporan. Karena memang pertanyaanku hanyalah omong kosong belaka.
“sampe kapan?” Untuk kesekian kalinya kita terdiam. Ruangan yang semula hanya terdengar suara mesin fotokopi, kali ini benar benar hening. Hanya jam dinding yang terus bersuara detik demi detik.
“hahaha emang mau?”
“ya ini buktinya aku tanya sampe kapan” katanya lagi.
“Ya sampe—“
“sampe kita berdua lupa kalo kita lagi pura pura aja gimana?”
-
Sore itu rumah Om Seungcheol sudah ramai, adik Papah satu satunya. Mereka mengadakan syukuran karena Seungkwan, anaknya sekaligus sepupuku satu satunya, akhirnya diterima di Universitas Negeri.
Keluarga dari Papah hanya ada Om Seungcheol dan Seungkwan. Sedangkan dari Istri Om Seungcheol, hm banyak. Aku kadang sampai bingung sudah mengobrol dengan tante yang mana saja, karena adik dan kakaknya Istri om Seungcheol itu.. banyak.
Sehabis Ashar, aku dan Mingyu muncul diambang pintu, membuat semua orang yang duduk santai disana terkesiap dan terdiam menatapku dan Mingyu secara bergantian.
“Siapa?”
“Tante, kenalin saya Mingyu, Pacarnya” Mingyu menarik bahuku dan berakhir dalam rangkulannya.
Aku bisa lihat senyum Mamah yang merekah, matanya tak biasa mengerjap seperti itu, bahkan aku tak melihat garis kerutan dimatanya saat tersenyum. Mingyu memang ditakdirkan untuk menghadirkan hal hal magis ya?
Mingyu dituntun untuk diajak makan, di ajak bercengkrama, diajak bercanda dan seperti biasa, budaya orang Indonesia..
“Jadi kapan?”
Aku dan Mingyu saling pandang, seakan akan berbicara menggunakan bahasa mata.
“Tante, buru buru banget sampe nanya pertanyaannya kesitu” Kataku memecah keheningan yang sejenak tadi tercipta.
“Ya itu tetangga tante seminggu kenalan udah langsung naik pelaminan, gausah lama lama, nanti hambar”
“iya iya tante” balasku sebagai jawaban karena tidak ingin tercebur dalam pembahasan yang lama kelamaan menjadi klise akibat argumentasi tak relevan.
“Nak Mingyu udah sholat Ashar?” Tanya Mamah, kemudian dia menatapku.
“Udah tante” Jawabnya, kini menatap mamah.
“Oalah, itu kalau belum sholat sama Seungkwan aja, dia emang suka telat kalo Sholat” Mingyu hanya mengangguk mengiyakan.
Selepas acara, aku izin pamit pulang duluan. Meninggalkan Mamah dan Papah disana dan memutuskan pergi bersama Mingyu.
“Nyate yuk” katanya.
“Belum kenyang?”
“Pengen nyate aja”
“Kemaren juga udah nyate”
“Beda kalau kemaren mah” Ia menoleh menatapku.
“Nyatenya pura pura?” Ia kemudian menarik tanganku dan digenggamnya. “ini juga pura pura?”
“Nyatenya beneran nyate, kalau yang ini gatau deh, kamu sendiri aja yang mikirin pura pura atau engga” Aku hanya tersenyum, tapi membalas tautan jemari yang ternyata dua kali lebih besar dari jemariku.
Mingyu suka sate madura yang biasa ada di pusat jajanan kota, biasanya sore after office kita berdua singgah kesana dan bercengkrama soal bagaimana masing masing hari kita.
“Aku udah mikirin” Kata Mingyu tiba tiba setelah memarkirkan mobilnya.
“Mikirin apa?”
“ini sampe kapan”
“sampe kapan?” Dia diam melihatku, lagi lagi tersenyum.
“sampe salah satu dari kita nemuin orang yang tepat”
“kamu terobsesi banget ya” Kataku. Ia terkekeh.
“Masa sih? Tapi yaudah terserah kamu aja mau gimana”
“Aku ngikut”
“hm.. No” Mingyu menggeleng dan membuatku mengernyitkan dahi. “Gaada ngikut ngikutan. aku nentuin ya kamu juga nentuin lah. harusnya gitu” sambungnya.
2 menit, didalam mobil, diparkiran yang becek diluar sana karena hujan berdetik lalu baru saja reda, kita berdua seakan akan jadi orang yang paling jatuh cinta sedunia, padahal kita berdua hanya berdalih dibalik kata pura pura.
“sampe kita nemuin orang yang tepat” cicitku. dia tersenyum, kemudian mengelus puncak kepalaku dan berakhir mengelus pipiku dengan buku buku jarinya.
“sampe kita nemuin orang yang tepat”
-
“nonton yuk”
“bosen”
“aku kerumah kamu kalo gitu”
“boleh”
“mau apa?”
“hmm, roti bakar bandung enak kali ya?”
“meluncurr”
“Magrib Mingyu”
“oh iya hehe”
Dia terkekeh diujung sana, kemudian mematikan telfonnya, dan aku buru buru melaksanakan ibadah sholat magrib.
sekitar 15 menit berselang, Mingyu muncul dengan plastik putih berisikan dua bungkus roti bakar bandung yang kemudian ia letakan di meja dapur.
1 bulan, 2 bulan, kegiatan mingguan kami akan ujuk ujuk menonton serial netflix dirumah tanpa harus menghabiskan duit ke bioskop. Entah secara bergantian dirumah Mingyu, kadang dirumahku. Membeli jagung berondong mentah kemudian memasaknya dirumah. Membeli jajanan seperti anak kecil padahal umur kami ini sudah ¼ abad.
“banyak banget dua bungkus?”
“ya emang buat kamu doang? satu bungkus lagi buat mama sama papa”
“sok perhatian”
“Eh nak Mingyu, baru sampe?” sahut Mamah turun dari tangga.
“hehe iya tante”
“Udah sholat magrib belum?” Mingyu menatapku, tersenyum.
“Udah tante” balasnya, kemudian dibalas Mama dengan menepuk bahu Mingyu lembut.
“Insyaallah jadi imam yang baik ya” kata Mamah. Aku yang duduk di ruang keluarga, menatap keduanya di pupil mataku, ikut tersenyum.
“marathon apa kita hari ini??” Mingyu membawa satu bungkus roti bakar tadi dan duduk dibawah meja diatas karpet sedangkan aku merebahkan diri di sofa.
“Stranger Things yuuu” balasku.
“Pas banget, aku belom nonton yang season 3”
“Aku udah episode 5, gimana dong”
“yah ulang dong, barengan nontonnya”
Kita berdua rasanya seperti dua anak SMA kelas 11 yang belum memusingkan soal UN atau akan masuk di Universitas mana nanti atau akan ambil jurusan apa. Kita berdua, seakan sedang menikmati hidup. Tidak memusingkan masa depan padahal ada banyak beban di pundak yang dibawa beriringan.
“late night drive lagi yuk?” bisik Mingyu ditelingaku setelah kitq berdua sama sama selesai menonton.
“ada lagu baru?” balasku berbisik.
“It’s not living—“
“IF ITS NOT WITH YOU! LETS GO!” Aku melompat dari sofa dan buru buru naik keatas untuk mengganti pakaian, dapat aku dengar kikikan Mingyu yang semakin semu seiring aku yang hilang diujung tangga menuju lantai dua.
Pukul 12, kita berhenti di Dermaga, setengah duduk di kap mobil, menonton kapal kapal yang berhenti ditempat sambil minum kopi yang sempat kita beli di McD.
“kita udah berapa lama sih?” Mingyu bersuara.
“Apanya?”
“kenalnya..”
“Dari SMA”
Kita kenal satu sama lain dari SMA, kita pernah gak sengaja kedapatan jadwal jaga UKS dihari yang sama tapi kita ga pernah ngabisin waktu banyak. Dia tau aku, dan aku tau kalau namanya Mingyu. Se-cukup tau itu.
Awal mula yang lain adalah ketika kita ada di tribun GOR kampus, waktu pertandingan basket antar fakultas. Hubungan kita jadi makin intens setelah hari itu.
Mingyu di tribun atas dan aku di tribun bawah.
“dari SMA tapi ga terlalu kenal gitu ya?” Tanyanya membenarkan dan aku jawab dengan anggukan.
“Terus kok malah bisa jadi deket gini sih?” tanyanya lagi.
“gatau tiba tiba aja”
“semenjak dari tribun itu bukan? yang kita bisa bisanya liat liatan?” Aku terkejut kemudian tertawa.
“Inget ya?”
“Inget lah” Ia menunduk menyembunyikan senyumnya.
“Iya semenjak itu tiba tiba aja jadi sering ketemu terus tukaran Instagram di Hotspot Area kampus”
“Plis disitu wifinya lemot padahal, bisa bisanya kita nangkring disitu hahaha” Mingyu tertawa, aku tertawa, berwisata masa lalu.
“habis itu jadi temen.. skripsian bareng, apply magang bareng, eh kerja juga bareng” Mingyu mengawangkan pandangan ke langit, surainya sesekali di tiup angin malam.
“pengennya juga bareng..” sambungnya tiba tiba. “ga perlu pura pura” katanya lagi. Senyumnya yang tadi merekah kini hilang dari dimensi wajahnya.
“udah berapa kali ya?”
“4 kali, Mingyu..”
“Masa? kayanya lebih deh”
4 kali, kata Mingyu, dia mau aku. Dia mau aku untuk jadi tempat dia berkeluh kesah kalau lelah, dia mau aku untuk dia elus kepalanya setiap saat, dia mau aku untuk digenggam jarinya kalau kalau kita jalan di pusat perbelanjaan, dia mau aku untuk menyenderkan kepala di pundaknya, katanya, dia mau aku jadi tempat dia untuk pulang.
“kenapa gak mau? hm?”
“ya kaya gak tau aja”
“kan dicoba dulu bisa” katanya menatapku penuh desperasi. aku menggeleng.
“Kamu tau kan aku bukan orang yang terang terangan nyebur ke sungai kalau gaada arah, maksud dan tujuannya?”
“selalu aja kamu kalo representasiinnya pake nyebur nyebur” balas Mingyu, menatap kopi ditangan kanannya kemudian lagi lagi mengawang keatas langit.
“Tapi, Mingyu..” ia menoleh menatapku. “aku udah kuyup”
ia menyunggingkan senyum “aku juga sering bilang kan kalau semesta tuh ada aja kejutannya. kalau aku yang rulled the world, kamu tuh udah jadi punyaku dari kapan tau”
“ya kan sayangnya bukan kamu yang rulled the world, kaya ga percaya Tuhan aja”
“iyadeh iyaa” Mingyu terkekeh kecil, kemudian membuang papercup nya sembarangan. “udah yuk, nanti dimarahin mamah nganter pulangnya telat”
Sebelum tukainya melangkah ingin masuk ke mobil, aku tarik pergelangan tangannya.
“kenapa?”
“aku boleh peluk gak?”
Mingyu menyunggingkan senyum kemudian membuka kedua tangannya dengan lebar. Ia menyambutku, menyambutku dengan hangat, memelukku kuat.
Bohong kalau aku bilang aku tidak mau Mingyu untuk menjadikan aku tempatnya pulang pun sebaliknya, jauh didalam hatiku yang paling dalam ini, aku mau Mingyu. Seluruhnya, semuanya, secara terang terangan bukan kepura puraan.
“Tim Marketing punya kepala baru, Gyu..” Bisikku ditelinganya. “Namanya Wonwoo..”
“…”
“Udah 2 Minggu”
“..”
“Dia pendiam banget, gak kaya kamu cerewet”
“..”
“Mingyu.. Aku juga perlu waktu buat mastiin kalau dia yang tepat buat aku atau engga sebelum aku bener bener ngelepas kamu”
“..”
“Mingyu.. dia baik”
“Seiman?”
“Seiman..”
Masih dalam pelukan hangatnya, perlahan lahan benang kusutnya kini terurai. Soal dia yang menatapku apabila ditanya sudah melaksanakan sholat atau belum, soal dia yang meminta aku untuk mencoba, tapi diriku bersikeras menolak.
Mingyu selalu jadi orang yang tepat untukku, semua mauku ada di dirinya. Tapi mungkin, setepat tepatnya Mingyu bagiku, kini aku menemukan Wonwoo, yang segala galanya lebih tepat kalau aku lihat dari sudut manapun.
“udah ya?”
“hm.. tp kamu tau kan, Mingyu.. kalau kamu cerita cinta paling hebatku?”
“kamu bakal ketemu sama cerita cinta hebat lainnya”
petualangan hebat cintaku akan selalu bertumpu di dirinya. seperti planet di orbit yang mengelilingi matahari, sinarnya tidak akan pernah meredup, afeksinya akan selalu hidup, pun pada akhirnya cerita hebat ini mau tidak mau harus aku akhiri padahal tidak ada kita yang memulai.
tentang sosoknya yang selalu membuatku bertanya, bagaimana mungkin dia ada di bumi dengan segala kesempurnaan tanpa celahnya? tentang aku, tentang dia, dan tentang dinding pembatas tanpa ujung.