youngswritting

rasa

#rasa tanpa asa.


To you who become my wish on every stars, i know we couldn't make it. so, i wrote.


“Bin, Mingyu mabok”

“kenapa nelfon gue?”

“dia manggilin lo terus”

Begitu kemudian Binta memutar malas kedua bola matanya, tapi tetap mengeluarkan mobil dari garasi dan meninggalkan rumah menuju lokasi yang di kirim Seokmin barang 5 menit yang lalu.

“gue malu banget, doi udah muntah muntah disini Bin, engga mau pulang”

Begitu kata Seokmin menjelaskan bahwasannya laki laki bernama Mingyu tadi tak ingin pulang dan sudah menegak entah berapa botol minuman keras.

Binta hanya menatap kosong jalanan kota yang lembab, hujan sudah berapa kali mengguyur kota, meninggalkan genangan dimana mana. Ada banyak sungai kecil yang tercipta di jendela kaca mobil dan embun yang ikut memenuhi.

Mingyu itu bodoh, egois. Selalu. Yang dia pikirkan hanya soal dirinya sendiri dan sekalipun tak mau memikirkan orang lain. Seperti ini misalnya, betapa kesalnya Binta harus mengangkat telfon Seokmin pukul 1 lewat 15 dini hari, padahal dirinya sudah bersiap menuju alam mimpi.

“Mingyu” panggil Binta saat menemukan sang pria teler dan tidur diatas meja, kemudian terkesiap.

“Bin? Sumpah lo harus tau, Christoper Colombus itu sama sekali bukan orang yang nemuin benua Amerika, lo tau siapa?” Mingyu terdiam. “Gue bilang siapa tadi Seok?”

Christoper Robin

“Nah!” Mingyu menjentikan jarinya didepan wajah Binta.

“Itukan tokoh kartun tolol”

“Padahal dia tadi barusan bilang Einstein yang keliling keliling dunia terus nemuin Benua Amerika” Sambung Seokmin.

“Udah ayo pulang, malu diliatin orang, Gu”

“Jangan panggil gue gitu dong.. gue lagi sedih”

“Yaudah iya Mingyu ayo kita pulang”

“Dianterin lo apa Seokmin? gue gak mau masuk angin”

“Dianterin gue”

“Sampe rumah ya? Jangan turunin gue di pinggir jalan? Gue belum siap jadi tukang parkir”

Binta membuang nafas kasar saat selesai memapah Mingyu masuk ke mobil. Berkacak pinggang dan mengacak rambut sebal. Dari luar, bisa dia lihat Mingyu yang sepenuhnya sudah teler akibat kebanyakan mengonsumsi minuman keras.

“Gue minta tolong anterin ya”

“Iya, Seok”

“Maaf banget gue ngerepotin lo Bin, sama makasih”

“yoi aman”

“Wonwoo gak tau?”

“Bisa bisa perang dingin kita kalau doi tau Seok”

“Yaudah hati hati deh ya. Zenly lo matiin dulu”

“Anjir lupa”

“Mampus lo”

“Kayanya udah tidur sih dia” Binta mengotak atik ponselnya.

“Yaudah hati hati ya Bin, maaf dan makasih banget pokoknya”

“Iya Seok, lo juga hati hati”

Binta kemudian meninggalkan tempat dan fokus menyetir. Jalanan masih sama, sepi, hujan masih jatuh dari langit sana dan meninggalkan genangan dimana mana. Seseorang disamping kirinya menyandarkan kepala di jendela mobil, menutup mata, kemudian tiba tiba bersuara.

“Hujan ya, Bin?”

“Iya”

“..”

“Boleh hidupin musik gak?”

“Boleh, mau apa?”

Kodaline, yang biasa” Begitu kemudian Binta mengotak atik Stereo Tape mobilnya.

All I Want Is nothing more, to hear you knocking at my door

“Binta, Wonwoo apa kabar?”

“Baik”

“Wonwoo tau ga kalau Binta nganterin Igu?”

“Engga tau”

“Kenapa Binta gak ngasih tau?”

“Igu kenapa mabok? Binta udah bilang jangan suka nyakitin diri sendiri”

“Binta ngelarang karna diajarin gaboleh mabok”

“ya memang gaboleh”

“Boleh kalo Igu mah”

“Jangan, Gu”

Hening menggembara, tak terdengar apa apa. Kemudian lelaki disampingnya membuang nafas, kemudian bersuara. “Bin, semenjak lo pergi... gue kosong”

But If you loved me, why’d you leave me?

Mingyu masih menempelkan kepalanya di jendela kaca mobil, menatap bulir bulir air yang membentuk sungai sungai kecil.

“Igu, kita kan g—”

“Iya, maaf ya Binta. Igu egois”

Take my body, Take my body

Kemudian lagi lagi hening, yang terdengar hanya rintik hujan yang memukul kap mobil secara terus menerus.

“Binta sayang gak sih sama Igu?”

“Dulu kan sayang, Igu”

“Oh sekarang sayangnya sama Wonwoo?”

“Igu kenapa gak cari cewe lain aja?”

“Kenapa? Biar kalau Igu ngomong gitu, Binta bisa bales ya?”

All I want is, and All I need is to find somebody. I’ll find somebody like you

Kini Mingyu tak lagi menyaksikan bulir air di kaca jendela, melainkan menyaksikan gadis yang menuntunnya pulang menuju rumah dengan menyenderkan kepala pada kepala kursi.

“Igu sakit ngeliat Binta”

“Binta juga” Balas Binta. “Sakit ngeliat Igu kerjaannya nyakitin diri sendiri kaya gini”

“Binta tu gak pernah sayang ya sama Igu? Soalnya keliatannya baik baik aja, apa karna Wonwoo?”

“Gu? Bisa ga gausah bawa bawa Wonwoo?”

“Kenapa? Emang kenapa kalau kita bawa bawa Wonwoo?” Binta menghentikan mobilnya di pinggir trotoar.

“LO MAU NURUNIN GUE YA?!!”

“Igu..” Sang gadis menutup matanya dan mengambil nafas panjang. “Hubungan kita gaada sangkut pautnya sama Kak Wonwoo, kita kaya gini juga bukan gara gara Kak Wonwoo”

“Jadi gara gara Igu?” Binta membuang nafasnya kasar, kemudian kembali menjalankan mobilnya.

“Binta..” Tangannya kini berpindah ke salah satu pipi sang gadis.

“Bintaa” Panggilnya lagi.

“Binta..” Suaranya mengecil. Kemudian hanya diam.

“Igu jangan gini lagi ya”

“kenapa?”

“Ya kan Binta udah bilang dari dulu jangan suka kaya gini”

“Igu bakal gini terus, soalnya kalau ga kaya gini gimana Binta mau dateng ke Igu lagi kaya dulu?”

“Kita udah gak kaya dulu”

Entah untuk yang keberapa kali, hening kembali datang. Mingyu membuang pandangannya, tak mau lamat lamat menatap sang gadis, kini dia memilih menutup mata sambil menghidup udara Air Conditioner di tengah hujan yang mengguyur.

“Igu sering mimpiin Binta belakangan..” Kata Mingyu, masih dengan mata yang tertutup. “Binta tidur di paha Igu, terus Igu main PS. Dari sela tangan Igu megang Stick PS, Igu ngeliat Binta baca buku.”

“Itu bukan mimpi, Gu”

“Oh berarti beneran kejadian ya?” Mingyu mengerjap dan memiringkan kembali posisi tubuhnya.

“Iya, dulu..” Binta hanya fokus menyetir, sambil mendengarkan lantunan musik yang sedari tadi menyala.

“Igu juga mimpi kita akhirnya ke Maldives, terus tiba tiba Tsunami. Bulan madunya gausah di pinggir pantai ah, serem Bin” Mata Binta kini mulai memanas dengan bagaimana Mingyu menceritakan angan angan mereka yang tidak diizinkan semesta tapi kemudian angan itu dibangun kembali dalam mimpi sang pria.

“Terus Igu juga mimpi kita skydiving.”

“Igu takut tinggi”

“Mangkanya itu, Bin. Kita jatoh ke air terus Binta gabisa berenang. Jadi gausah yang aneh aneh deh, mending kita liburan bulan madunya ke Bali aja atau gak ke Paris, kan romantis”

“Iya Gu, tapi ceritanya jangan ke Binta, Binta gabisa ikut Igu”

“Terus Igu ngajak siapa?”

“Mami bilang kan kalau kepengen ke Paris, ajak Mami aja”

“Ya kan pengennya sama Binta juga”

“Binta manabisa ikut”

But if you loved me, Why'd you leave me?

“Binta, Igu kangen. Kangen waktu kita motoran hujan hujanan, kangen waktu kita dengerin lagu ini, kangen waktu Binta marahin Igu terus gara gara make sepatu ga bener, kangen marathon stranger things padahal udah nonton berkali kali, kangen makan sate padang bareng, Igu kangen Binta marahin kaya gini terus”

“Igu, Binta capek” Kemudian ada air mata yang tak mampu ditahan. Sang gadis, kemudian membuang pandangannya keluar jendela.

“Iya.. Maaf” Kan. Sudah dibilang kalau Mingyu itu hanya memikirkan dirinya sendiri.

“Wonwoo juga ngajakin Binta makan sate padang gak?”

“Kak Wonwoo gak suka sate..”

“Yah.. dia gatau kalau Binta setannya sate padang. 1:0 deh, Igu menang”

“Bagus kan, Gu. Jadi Binta ga perlu keingat Igu terus kalau makan sate”

“Wonwoo ngajakin Binta ke Maldives ga?”

Binta menggeleng.

“Ngajakin Skydiving juga gak walaupun tau kalau dirinya sendiri takut tinggi?”

Binta menggeleng, lagi.

“Ngajakin ke Bali?”

Untuk kesekian kalinya, Binta menggeleng.

“Berarti ngajak ke Paris?”

“Enggak, Igu. Kak Wonwoo ga pernah ngajakin Binta kemana mana. Jadi Binta juga gaperlu ingat ingat kenangan bareng Igu yang selalu ngajakin Binta keliling dunia”

“Binta masih sayang Igu?” Binta menarik rem tangan mobilnya. Kini, mobilnya sudah berhenti tepat didepan rumah sang pria. Masih sama seperti terakhir kali Binta kunjungi, lampu terasnya remang, pasti Mingyu belum jadi menggantinya dengan yang lebih terang. Dulu saat Binta mengingatkan, Mingyu hanya menjawab iya, iya, atau “iya, nanti ya.” Tapi tak kunjung dikerjakannya, kebiasaan Mingyu.

“Binta bakal selalu sayang sama Igu, jadi Igu jangan sakitin diri kaya gini lagi ya? Igu bilang, Igu benci kalau Binta harus bolak balik keluar kota naik mobil karna Binta suka muntah, dan Igu bilang pasti rasanya gak enak. Enak ga tadi Igu muntah muntah gara gara minum kaya gini?”

Mingyu menggeleng. “Yaudah jadi jangan” Kata Binta.

“Tapikan Igu janji mau beliin pesawat buat Binta” Matanya Mingyu merah, pun pipinya panas. Entah karena terlalu banyak minum atau perasaannya tidak bisa diajak kompromi malam itu.

Binta beralih menatap sang pria, menangkup kedua pipinya yang merah merona. Menatap indra penglihatan Mingyu yang warna irisnya selalu Binta suka.

“Lagu kesukaan kita, bukan?” Tanya Mingyu mengerjap saat sebuah alunan melodi baru menyambangi pendengarannya.

“Iya” Balas Binta disertai anggukan.

“A great big bang and dinosaurs, Fiery raining meteors, It all ends unfortunately” Keduanya bergumam disertai suara rintik hujan yang terus terusan memukul kap mobil.

“But you're gonna live forever in me, I'll guarantee, just wait and see” Binta melepaskan tangannya yang tadi sempat menangkup kedua pipi sang pria, kemudian duduk manis menghadap ke jalanan.

“Wonwoo pernah janji buat beliin Binta pesawat gak?”

“Enggak Igu, enggak. Kak Wonwoo bukan Igu dan Igu bukan kak Wonwoo. Jadi tolong jangan kaya gini lagi ya?”

“Wonwoo ga pernah mabok ya, Bin?” Tuhaan, Binta sudah lelah. Akhirnya ia hanya menggeleng lagi lagi sebagai bentuk jawaban.

“Terus hal apa yang bisa bikin Binta rela nganterin Igu kaya gini lagi?”

Parts of me were made by you And planets keep their distance too The moon's got a grip on the sea

“Igu, Binta gatau sekarang Igu itu lagi sepenuhnya sadar atau engga, tapi tolong, Gu. Jangan nyusahin perasaan Binta kaya gini, jangan nyusahin kak Wonwoo juga”

“Igu masih ada tempat gak di hati Binta?” Jari telunjuk Mingyu pindah dan menunjuk Jantung sang gadis.

But you're gonna live forever in me I guarantee, it's your destiny

“Gak ada, adanya cuman kak Wonwoo”

“Igu beli aja deh tempatnya, bisa gak? Wonwoo beli berapa memangnya? Atau Wonwoo cuman nyewa?”

“Gak dijual.. buat Igu” Mingyu diam. Menjatuhkan kepalanya ke kepala kursi tapi dalam posisi miring, sehingga wajah Binta dapat dilihatnya sempurna.

1 menit, masih di tatapnya.

2 menit, pun masih.

3 menit, 4 menit, dan berakhir pada menit ke 5 saat kemudian sang pria bersuara.

“Igu mau punya tempat di hati Binta lagi” Kini sang Pria menjatuhkan kepalanya di pundak sang gadis, membenamkan wajah dan menangis. “Igu mau jadi yang punya hati Binta lagi kaya dulu” Cicit Mingyu dengan suara yang terbenam.

“Igu..” Binta kini menjatuhkan kepalanya diatas kepala Mingyu, mengusap punggung sang pria. “Igu, dunia itu luas, dan Igu belum jalan buat mengembara. Ada banyak hati yang bisa Igu singgahi dan gak melulu soal menyakiti diri dan nungguin Binta buat balik, Binta ga ada niat buat balik sama Igu. Maafin Binta ya”

“Gu, gak ada yang salah sama kita. Kita berdua gak ada kurangnya. Sama sama saling melengkapi kan? Sama sama saling pengertian dan rasanya dunia milik kita. Iyagak?” Binta dapat rasakan Mingyu mengangguk kecil dalam benamnya.

“Kita lupa, Gu. Dunia yang punya itu Tuhan. Jadi segala apapun yang terjadi ya kehendak Tuhan. Jadi ini juga udah jadi kehendak Tuhan, tugas kita cuman menjalani hidup dengan baik dan benar”

“Binta..” Sahut Mingyu.

“Hm?”

“Tuhan Igu apa Tuhan Binta?”

Life is full of sweet mistakes And love's an honest one to make Time leaves no fruit on the tree

But you're gonna live forever in me I guarantee, it's just meant to be

Kemudian ada memori yang menyeruak ditengah dinginnya malam. Bagaimana yang Binta ingat adalah Mingyu yang mengatupkan kedua tangannya untuk berdoa saat mereka pertama kali makan siang. Bagaimana Mingyu yang selalu menyembunyikan kalung di lehernya kemudian pada suatu hari nampak dengan jelas bagaimana salib itu ada di dada nya, di jantungnya.

Ada memori yang menyeruak yang mengatakan bahwasannya Binta maupun Mingyu seharusnya tak perlu memulai, tak perlu melangkah bersama, tak perlu saling menanam rasa karena sesungguhnya tidak ada asa untuk mereka, tak perlu saling berangan bahwa masa depan adalah milik mereka, tidak perlu. Karena disana, tak akan pernah ada keduanya.

Maka kini konsekuensi yang di terima hanyalah meredam perasaan yang sejati nya tak ingin dipadamkan. Mencari jawaban yang pertanyaannya akan selalu sama, soal “Apakah kita bisa bersama? Mengukir janji satu untuk selamanya? Sampai akhirnya disatukan kembali di Surga-Nya?” Sayangnya, tak akan pernah ada jawaban untuk kedua insan yang berangan dibawah dua kepercayaan berbeda. Katanya, mereka hanya mengulur waktu menuju perpisahan.

-

(“Bin, sebenarnya Tuhan itu ada berapa sih? Kalau memang cuma satu, kenapa kita manggilnya beda beda?”)

(“Yaudah biar Igu yang ikut Binta”

“Mami gak setuju, Igu”

“Ini kan hidup Igu, Igu ga peduli”

“Igu, Binta selalu diajarin kalau Surga ada di telapak kaki Ibu, kalau Igu ngikut Binta, surga mana yang mau Igu kejar?”)

(“Jadi nanti, kita gabisa ketemu ya habis mati? Kan surga kita beda? Padahal Igu selalu berdoa supaya kita bisa disatuin di Dunia dan Akhirat”)

-

“Ajak Wonwoo”

“Kan Binta gabisa, Gu? Kak Wonwoo juga”

“Nikahnya gak didalam Gereja, Binta. Kan Binta bilang kalau Binta gaboleh masuk Gereja. Jadi Igu buat acaranya Outdoor. Biar Binta bisa ikut dateng”

And when the pastor rises the pews From reasons he can't marry you I'll keep my word and my seat

But you're gonna live forever in me I'll guarantee, just wait and see

She loves him, and he loves her too. But, the story still ends.