youngswritting

Hidup gue di keluarga ini sebenernya ga pelik pelik amat. Kita selalu menjalin hubungan kekeluargaan yang kalau boleh gua bilang itu ya harmonis. Bokap gue anak paling kecil, dan bokapnya Jeonghan adalah abangnya bokap gue.

Dari kecil, dari gue masih ingusan dan dekil, Jeonghan, Jisoo dan Chan adalah temen gue. Kita udah bukan lagi sekedar sodara, bahkan gue gabisa nemuin kata yang ada diatas itu. Intinya, ikatan persepupuan ini kencang banget.

Kak Jeonghan 2 tahun diatas gue, Jisoo adiknya Kak Jeonghan sebaya sama gue sedangkan si Chan, dia ini kayanya anak salah bikin deh, soalnya dia 7 tahun lebih muda dibawah gue dan Jisoo. Jadi waktu kita main di sawah pas umur 5 tahun dia gaada. Masih ngawang entah dimana.

Rumah Kak Jeonghan lebih gede dari rumah gue, jadi dulu pas masih kecil gue selalu minta bokap ngantarin ke rumah Kak Jeonghan supaya gue ada teman, karena gue adalah anak tunggal. Kadang kalau udah jam 10 malam, kalau besok gue sekolah dan harus pulang, gue ngerasa ada lobang gede banget di dada gue. Kosong melompong. Gue selalu berharap kalau gue bisa tinggal selamanya aja sama Kak Jeonghan dan Jisoo kala itu.

Kalau lagi main bertiga dulu pas kecil, setiap omongan orang pasti menujunya ke gue. Misalnya gini, kalau gue, Jisoo dan Kak Jeonghan lagi jajan ke kedai terus ditanya, “Ini adenya Jeonghan juga?” Jeonghan akan langsung merangkul gue dan ngangguk mantap ke tukang jualannya. Tapi kemudian akan ada pertanyaan yang muncul seperti ini “Kok beda?”

Jeonghan dan Jisoo itu putih banget kulitnya mulus walaupun main layangan sama gue. Sedangkan gue ini tu kulitnya pas kecil item ditambah gue udah kacamataan dari semenjak SD. Sumpah memang kalau gue liat liat lagi foto masa kecil kita, gue kaya bopung yang lagi main sama anak kota. Jelek banget.

Tapi kalau seandainya Wonwoo yang sekarang ada di saat saat seperti itu, maka gue ga akan takut buat sleding kepala yang nanya sambil teriak “NAMANYA BEDA NYOKAP, YA BEDA LAH” Atau ga “NAMANYA BEDA SEL TELUR, YA BEDALAH!” Cuman karena dulu gue masih umur 5 tahun dan ga paham sama sistem reproduksi, ya gue diem aja.

Tapi sekarang gue udah ganteng. Beneran. Liat aja feed instagram gue kalo lo semua ga percaya. Kalau ada acara kumpul keluarga, yang bakal gue denger dari sodara sodara adalah “Produknya ga pernah gagal ya” Paham ga lo tuh? Paham lah. Jadi intinya, gue, Jeonghan, Jisoo dan Chan ga beda alias semua ganteng. Titik.

Gue, Kak Jeonghan dan Jisoo sekolah di SMP yang sama. Asik banget dah sumpah pokoknya. Gue ga segan kalau harus gabung sama temen temennya kak Jeonghan dan temen temennya kak Jeonghan juga udah tau kalau gue ini sepupunya bahkan udah kaya adek sendiri.

Jujur aja, walaupun gue sebaya sama Jisoo, gue lebih deket sama Kak Jeonghan. Karena dia adalah orang yang selalu terbuka dan senang merangkul, beda dengan Jisoo yang anaknya terlalu diam dan kacau banget kalau harus digabungkan dengan gue yang kaya gini.

Jadi, waktu itu gue cerita ke Kak Jeonghan bahwa gue suka sama temennya. Kak Seungcheol.

Gue selalu dengan semangat yang menggebu gebu bercerita tentang Kak Seungcheol. Gue rela sore sore cabut dari bimbel demi nonton Kak Seungcheol main basket dan setelahnya gue ga pulang kerumah malah ke rumah kak Jeonghan.

Dikamarnya, gue yang belum mandi dan masih pake baju sekolah, rebahan diatas kasurnya menghadap langit langit kamar dengan dia disebelah gue merhatiin dengan seksama. Gue ceritakan perangai Kak Seungcheol tadi saat bermain basket, gue ceritakan betapa kerennya dia saat memasukan bola kedalam ring dan mencetak nilai, gue ceritakan betapa kerennya saat ia berlari dan mengkode teman sesama timnya untuk memberikan bola padanya, gue ceritakan betapa manis senyumnya, gue ceritakan saat keringat jatuh di pelipisnya, gue ceritakan Kak Seungcheol kepada dirinya, seakan akan dunia gue hanya ada Seungcheol, Seungcheol dan Seungcheol.

Kepada kak Jeonghan lagi, gue ceritakan bahwa pada hari Valentine, gue berikan dirinya sebungkus coklat. Gue ceritakan lagi bahwa pada pelepasan siswa kelas 3 saat itu pada masa SMP, gue berikan ia hadiah. Dan kami berfoto bersama, berdua.

Itu jadi foto pertama dan terakhir bagi gue bersama kak Seungcheol, karena ternyata pada awal masuk SMA, gue menemukan fakta bahwa Kak Jeonghan, menjalin hubungan dengan Kak Seungcheol.

Sekali lagi gue terangkan, kak Jeonghan adalah yang paling bersinar, sedangkan gue akan selalu berbeda. Ia mungkin gabisa menghitung dengan jari ada berapa banyak orang yang menyukainya semasa sekolah dulu, sedangkan gue akan selalu mengepalkan tangan tanda bahwa menghitung dengan angka 1 saja akan sulit.

“Dek, Seungcheol itu suka sama Jeonghan, loh? Kamu gatau?” Harusnya waktu itu, saat temannya Kak Jeonghan bilang seperti itu, gue harusnya sadar dan mundur. Diluar status bahwa secara tidak langsung kami ini sedarah, gue gaakan pernah bisa dan mampu untuk melompati Yoon Jeonghan. Karena dia selalu dan akan selalu menjadi yang paling bersinar.


—to the girl who lost things, cry my dear. cry. But do not bleed.


“Di Jakarta.”

“Sejak kapan?”

“2 minggu yang lalu. Mau ketemu?”

“buat apa?”

Mingyu, menghilang 1 tahun yang lalu. Kemudian aku temukan postingannya di salah satu platform media sosial bahwa ia sudah berpijak di Canberra, Ibu kota Australia. Aku temukan ia sedang menjelajah sebuah museum yang tidak jauh dari pinggiran danau Burley Griffin. Tidak heran, dirinya memang selalu menyukai seni.

“Ga kangen?” Katanya malam itu lewat telefon, padahal aku yakin bahwa ini sudah ke 3 kalinya aku mengganti nomor ponselku.

“Enggak.”

“Yaudah, kita ketemu sebagai temen aja. Gabisa?”

Aku terdiam sejenak menatap kakiku yang berpijak tanpa alas di dalam kamarku sendiri. Ponsel yang masih menempel pada telinga kanan dan mata yang menerawang tanpa makna. Aku yakin, detik itu yang Mingyu dengar diseberang sana adalah suara detik jarum jam dindingku.

“halo?”

“Iya?”

“Gamau, ya?”

“Yaudah boleh. Weekend ya, weekdays aku gaada waktu.”

“Mau ketemu dimana?”

“Terserah kamu, aku ngikut.”

“Arborea?”

“Sure.”

“So,see you on Saturday night at 7!”

“See you.”

Telfonnya aku yang tutup kemudian, tidak ingin menghabiskan lebih banyak perbincangan kepada seseorang diseberang sana tadi dan berakhir terjun menuju lelap.

Sometimes, life feels fucked up, right?

-

Jakarta lembab sabtu malam itu. Siang menuju sore langit tak henti hentinya menumpahkan segala isinya ke bumi. Membilas segala apapun disini sampai yang tersisa dimana mana hanyalah genangan. Aku sedikit merapatkan coatku karena udara agaknya kurang bersahabat. Ketika kakiku melangkah masuk, manik mataku menatap seorang lelaki yang membuang pandangannya kemana mana, Mingyu.

—the air was cold, but something about it felt like home—

Sudut bibirnya terangkat tatkala eksistensiku akhirnya tertangkap iris coklat miliknya, senyum yang sama sekali tak kuharap akan terlihat lagi setidaknya pada rentang 10 tahun kedepan. Tapi sialnya, baru 1 tahun, sunggingan itu hadir kembali tanpa aba-aba.

“Udah lama?” Tanyaku.

“Engga, baru aja.”

“Ini,” Kataku menyodorkan sebuah paper bag kehadapannya.

“Apaan nih? Kado selamat datang?” Katanya tertawa memperlihatkan dua gigi taring miliknya sambil menarik paper bag tadi.

“your scarf”

Senyumnya menghilang.

“Katanya hilang? Baru dapet ya?”

-

“Kamu bisa kirim scarf ku, ga? Itu hadiah dari Almarhum Papa.”

“Sorry. Aku cari dulu ya? Kemarin udah aku cuci tapi gatau bibi letak dimana.”

“Boleh cepet ga? Soalnya aku mau pergi.”

“Aku usahain ya, Mingyu.”

Setahun yang lalu. Setelah kejadian itu Mingyu menelfonku agar scarfnya aku kembalikan. Berkata kepadanya bahwa scarf itu terlupa aku letakan dimana adalah sebuah kebohongan. Karena pada faktanya, barang itu tersimpan rapi di laci lemariku.

—you left your scarf here at my home and i’ve still got it in my drawer even now—

“Mingyu, Scarf hadiah dari Papa kamu ketinggalan dirumahku tau.” Kataku lewat telfon dengan manis dan mengundang kekehan dari seberang sana.

“Ya gapapa, kan besok mau main kerumah kamu lagi?”

“Emang ga bosen mainnya kerumah aku terus?”

“Ya jadi gimana? Mau main kerumah aku?”

“Mau, boleh ga? Mau ketemu Mama.”

“Ah kamu kalau main kerumah aku pasti selalu minta liat foto kecil aku terus diledekin.”

“Ih kan bilang lucu bukan ngeledek namanya, Mingyu.”

“Ngeledek itu namanya. Males ah kalau backingannya Mama ku sendiri.”

“Ih dasar aneh. Ajakin lagi.”

“Yaudah besok atau lusa ya?”

“Besok aja, aku lagi pengen cepet cepet ngeledek kamu.”

“Tuhkan!”

Tapi tetap saja, besoknya ada mobil Mingyu yang berhenti didepan pagar rumahku. Setiap bertemu, ada kaca yang habis ia turunkan dan kepalanya yang muncul kemudian tersenyum sesaat melihat kemunculan diriku.

“Malam ini mau jalan jalan dulu sebelum kerumah gak?” Katanya memutar setir dan keluar dari kompleks perumahan.

“Boleh. Kemana aja yang penting sama kamu.” Ia kemudian terbahak tatkala kalimat itu aku lontarkan tiba tiba.

Kemudian, tangan kirinya meraih tangan kananku dan meletakannya di persneling. Kini, ada tanganku dibawah tangan Mingyu pada persneling dan satu tangan kanannya menggenggam setir. Fokusnya sesekali tertuju padaku dengan sunggingan senyum yang membuatku candu, lalu secara bergantian menatap jalanan.

“When she talks, she somehow creeps into my dreams” Suara berat dan serak milik Mingyu menggumamkan lirik lagu yang saat ini sedang terputar dari stereo system mobilnya.

”She’s a doll, a catch, a winner” Gumamnya lagi sambil menatapku.

“Aku bukan boneka, ya..”

Acuh, bibirnya kembali melanjutkan potongan lirik dengan kepalanya yang bergerak ke kanan dan kekiri pelan secara bergantian. “I’m in love and no beginner; Could ever grasp or understand just what she means” Tatapannya masih padaku.

“Baby, baby blue eyes~” Baby Blue Eyes milik A Rocket to the Moon.

“Mataku gak biru, Mingyu..” Ia tersenyum menampakan deretan giginya.

”Stay with me by my side, till the morning through the night~”

“Yaudah iya sampe pagi nih, ya?” Jawabku dan lagi-lagi mengundang tawa dari sana disela nyanyiannya.

Namun malam itu, aku tidak pernah menemukan sebuah jawaban apakah itu adalah sebuah anugerah atau bencana karena kami berdua akhirnya tersesat entah kemana. Tuhan mungkin meng—amin—kan perihal lirik lagu tadi ketika Mingyu ingin aku berada di sampingnya hingga pagi tiba. Benar saja, kami menemukan jalan keluar ketika jam sudah menunjukan pukul 2 pagi.

“Kata Bunda apa?” katanya takut-takut ketika Bundaku sudah menelfon ribuan kali perihal anak gadisnya yang belum menginjak rumah.

“Disuruh pulang, tapi kan aku bilang tersesat?”

“Ditanyain ga sama siapa?”

“Kan sebelum pergi udah pamit mau pergi sama kamu.”

“Oiya.”

Mingyu kemudian memutar stir ketika mobilnya sudah masuk ke kompleks perumahanku. Malam itu, katanya jantungnya sudah pindah ke perut karena takut dimarahi Bunda akibat membawa anak gadisnya tersesat ke jalanan antah berantah.

“Besok aja ya ketemu Mama?” Mingyu menarik parking brake mobilnya. “Bilang sama Bunda aku minta maaf udah culik anaknya terus tersesat terus akhirnya ga pulang-pulang.”

“Enak aja main titip, bilang sendiri lah.”

“Yaudah ayo.”

“Hahaha, ga sopan jam segini.”

“Tuhkan aneh, tadi nyuruh.”

“Yaudah aku pulang ya Mingyu, kamu hati hati. Langsung pulang kerumah! Nanti aku cek, aku telfon Mama.”

“Posesif banget kenapasih?”

“Udah jam 2 mau jam 3 tuh, emang mau keluyuran kemana lagi?”

“Hahaha, iya aku pulang kerumah.”

“Kerumah Mama ya?”

“Ya emang aku punya rumah dimana lagi coba?”

“Rumah selingkuhan, mungkin?”

“Enak aja kamu mulutnya.”

Aku tertawa mendengar responnya. Tatkala tanganku sudah meraih kenop pintu dan pintu setengah terbuka, tangannya menahan tanganku dan sontak membuatku menoleh.

“Sun dulu..” Mingyu menurunkan sudut bibirnya dan membuat ekspresi sedih yang membuatku terbahak.

“Dih, kaya bocah minta sun.”

“Emang bocah?”

“Yaudah sini, kanan atau kiri?”

“Disini” Jarinya menepuk bibirnya berkali kali membuatku lagi-lagi terbahak sambil mengerutkan alis.

“Mahal kalau disitu.” Aku kemudian berlagak seolah akan turun dari mobil tapi kemudian tangannya menarik tanganku lagi.

“Ih yaudah terserah dikanan atau dikiri yang penting sun.”

“Yaudah sini,” Tanganku menangkup wajahnya. Berdetik kemudian aku layangkan ciuman tipis ke kedua pipinya dan mengakhirinya dengan kecupan kilat pada ranum merah jambu bibirnya.

“Bilang apa?”

“Hehe, makasih.”

Aku kemudian turun dan menunggu mobilnya hilang dipersimpangan sebelum akhirnya masuk kerumah disambut ocehan dari Ayah dan Bunda yang ternyata belum tidur dan menungguku pulang. Tapi, bagiku terjebak di jalanan antah berantah bersama Mingyu bukan sebuah bencana melainkan memori manis yang agaknya tidak mungkin aku lupakan.

—We’re singing in the car, getting lost upstate. And I can picture it after all these days—

-

“Kerjaan kamu, gimana?” Mingyu menyeruput hot Tiramissu Coffee nya dengan mata yang menghadap keluar.

“good.”

“Tapi katanya ga sesuai passion kamu?”

Aku membuang nafas pelan.

It is. Dunia kadang emang ga selalu berputar sesuai dengan yang kita mau. It caused chaos sometimes, but it taught me patience in the other hand. Dan bayarannya juga cukup setidaknya untuk membiayai aku yang boros dan suka beli hal-hal aneh. At least buat diriku sendiri.”

“Still the old you..” Ia tersenyum dengan mengangguk kecil beberapa kali setelah mengeluarkan kalimat itu, matanya mengembara keluar melihat suasana Arborea yang malam itu dipadati pengunjung. Aku menatap perangainya, tindakan-tindakan kecilnya yang tidak pernah berubah. Surai hitam legam miliknya, iris coklat nya, gigi taringnya, dan warna ranum bibirnya. Sedikit pun, sama sekali tak berubah. Still the old him, still the old Mingyu i knew.

“You’ve been... gone..” Cicitku pelan, mengundang manik matanya yang tiba tiba membeku, memaku, tertuju kemudian kepadaku.

—I know it’s long gone and that magic’s not here no more, and i might be okay but i’m not fine at all—

“Yes. And it was like a rollercoaster for me, if you ever wondering.”

-

“Mas awas mobill!” Pendengaranku menangkap suara seorang lelaki dan sontak membuatku menoleh.

“Woi?! GATAU ITU LAMPU MERAH? BUTA WARNA LO?!”

Aku terkejut ketika yang kutemui adalah seorang Mingyu yang berdiri diatas zebra cross dengan seorang pengendara mobil yang memakinya. Ia berkali kali menunduk sambil mengucap maaf pada pengendara kemudian berlalu dan kini berdiri dihadapanku.

“Kenapa di terobos, Mingyu?”

“Hehe, kangen ngeliat kamu berdiri disini.” Aku mengernyitkan dahi sambil memijat tulang hidungku kemudian melayangkan pukulan ke dirinya.

“Ngapain kangen kan baru ditinggal juga buat mesen makanan?” Kini di tangan Mingyu ada plastik berisikan beberapa burger McDonalds beserta large cup Cola. Kala itu Drive thru disana membuat antrian panjang yang kalau-kalau kami ikuti akan berakhir menjadi sahur, bukan lagi makan malam.

Aku keluar dari mobil saat Mingyu sibuk memesan makanan disana tadi, aku senderkan tubuhku pada kap mobil sembari menunggu sosok itu kembali. Rambutku yang sesekali ditiup angin dan iris mataku yang menangkap Mingyu menerobos lampu merah dengan alasan tak logis tapi mampu membuat pipiku merona dengan jawaban aneh dari mulutnya.

“Yaudah ayo, katanya mau main kerumah?” Ajak Mingyu membukakan pintu mobil dan menarikku masuk, kemudian meletakkan plastik besar tadi dipangkuanku dan berlalu dengan senyum. Berdetik kemudian ia sudah berada di kursi supir dan menjalankan mobil menuju rumahnya.

—you almost ran the red cause you were looking over at me. Wind in my hair, i was there. I remember it all too well—

”But, you never almost ran the red, Gyu. You ran the red.”

Aku dan Mama duduk di sofa ruang TV beserta album foto lama milik keluarga Mingyu ditangan kami. Mingyu diujung sana melipat kedua tangan dan sesekali memijit tulang hidungnya.

“Kalau ini waktu itu dia sok-sok pakai kacamata Papanya dan minta di foto diatas tempat tidur sambil pose gini..” Mingyu kecil dengan kacamata melebihi wajahnya sendiri dengan pose kedua tangan menopang pipinya dan tubuhnya yang tengkurap.

“Mamahh~” Rengeknya. Aku dapat melihat pipinya yang kali ini sudah berubah jadi merah karena malu.

“Nah kalau ini tuh, kan waktu itu dia sekolahnya di swasta, dia pamer ke Mama kalau dia gabung ke team baseball sekolah. Pulang pulang bawa seragam baru, minta Mama fotoin sampe dibawa tidur, loh..” Aku dan Mama terkekeh sambil sesekali melihat Mingyu yang mengacak rambutnya frustasi karena malu.

“Lucu.” Kataku tersenyum menatap Mama.

“Kamu ih ngeledek, ya?” Balas Mingyu membuang nafasnya kasar.

“Dih siapa yang ngeledek? Kan aku bilang lucu?” Ia kemudian berlalu pergi dengan menghentakan kaki.

—photo album on the counter, your cheeks were turning red. You used to be a little kid with glasses in a twin sized bed. And your mother’s telling stories about you on the tee—ball team—

“Kamu kenapasih mau sama Mingyu? Lihat tuh, kaya anak-anak, pake acara ngambek,” Mama tertawa sambil menatapku. “Sana, disusulin. Dibujuk.” Aku tertawa kemudian bangkit dan menemukan dirinya berdiri dengan segelas Coca-Cola menghadap kulkas sambil menatap tumpukan piring kotor.

“Kenapa dilihatin? Piringnya ga bersih kalau kamu lihatin doang.” Ia menoleh tapi buru buru membuang wajah.

Aku kemudian bersender didepan pintu kulkas dan menatap dirinya yang menunduk.

“Mau~”

“Mau apa?” Katanya mendongak.

“Itu..” Tunjukku pada sebotol besar Coca Cola disampingnya.

“Tuh gelasnya.” Dagunya terangkat seakan menunjuk dimana letak gelasnya untuk kuambil.

“Ih ambilin~” Kataku, padahal jarak rak piring nya lebih dekat denganku dari pada Mingyu sendiri.

Ia membuang nafas, berjalan beberapa langkah dan berakhir menuangkan minuman bersoda tersebut ke gelasku. Ia menyodorkannya malas.

“Kenapa pake acara ngambek?” Tanyaku. Dirinya masih saja membuang pandangan tak ingin menatap. “Ih kaya anak-anak.” Aku tertawa sambil menyesap minumanku.

“Dulu aku seneng banget tau diterima di team baseball sekolah.” Pandangannya masih mengembara kemana-mana menolak melihatku.

“Oh ya? Sampe kapan kamu main baseball?”

“Cuman di SD doang, passionku berubah pas SMP.” Kini ia menunduk dengan tersenyum. Mungkin menetap pada memorinya dikala itu. Manis, batinku. Senyumnya, kerutan di sudut bibirnya.

“Jadi suka apa?”

“Basket.” Kini matanya bertemu mataku. “Dulu cewe-cewe disekolah selalu neriakin namaku kalau lagi sparing atau pas lomba.”

“Oh jadi ini ceritanya kamu lagi pamer?” Kataku menaikan alis.

“Biar kamu tau kalau pacar kamu ini tuh ganteng terus keren.” Ia menjulurkan lidahnya mengejek dan tertawa dengan sombong. Kini ada aku yang bersender pada pintu kulkas miliknya sedangkan Mingyu dihadapanku bersender pada meja dapurnya. Tangan kami masih sama sama menggenggam gelas berisi Cola.

“Ih, sombong.”

“Tapi pas SMA passionku berubah lagi,” Katanya.

“Jadi apa?”

“Fotografi.”

“Dan berakhir kuliah di jurusan Bisnis?” Aku tertawa sambil menggeleng pelan.

“Aku sebenernya pengen kuliah Videografi dan perfilman. Tapi kata Om ku, aku harus duduk di kursi Papa.” Ia tersenyum putus asa, matanya menatap dalam pada isi gelasnya.

“Semenjak Papa meninggal, kursi Direktur utama masih kosong. Perusahaannya masih dijalankan sama Om dan staff-staff pembantu lainnya. Papa bilang sebelum pergi, aku harus duduk disana.” Sambungnya. Kemudian tanganku mengelus pelan pipinya dan disambut senyuman hangat dari mimik wajahnya.

“Aku tau alasan Papa kamu milih kamu buat gantiin dirinya, karena kamu bisa.”

—you tell me about your past, thinking your future was me—

Ia tertawa kecil menampakan deretan gigi nya yang rapih beserta gigi taring panjangnya, hal yang selalu aku suka kalau ia tertawa.

Namun berdetik kemudian, lampu dapur mendadak padam.

“Mati lampu, ya?” Tanyaku.

“Bentar.” Gelas yang bertengger manis ditangan kanannya tadi ingin ia letakkan di meja. Berniat melihat situasi dengan tidak terus terusan menggenggam gelas. Tapi sialnya, sebotol penuh Coca Cola tak bertutup tadi ia senggol secara tidak sengaja dan membuat genangan di lantai. Aku selalu tau, kecerobohan adalah bagian dari sel-sel darahnya.

“Aduh.” Kudengar gumamnya.

“Mama? Mati lampu ya?” Mingyu berteriak memanggil. Kami kemudian terdiam menunggu jawaban dari sana.

“Enggak kok, ini TV hidup.” Sebuah jawaban dan sahutan dari Mama.

“Berarti lampunya putus.” Kata Mingyu. Dapat aku lihat bayangannya mendongak ke langit-langit.

“Terus ini gimana dong? Coca Colanya udah genang gini?” Tanyaku. Dalam gelap aku dapat melihat dirinya yang berkacak pinggang.

“Coba buka pintu kulkasnya? Lampunya mati gak?” Kemudian aku meraih gagang kulkas dan membukanya. Cahaya dari sana langsung menyiram wajah kami.

“Yaudah buka aja, kita bersihin dulu tumpahannya.” Ia berjalan mengambil tissue roll dan merangkak membersihkan genangan tadi secara perlahan diikuti aku disampingnya.

Tak lama aku dengar kekehan darinya.

“Dongo banget bisa tumpah.” Kita berdua tertawa sambil merangkak dibawah membersihkan tumpahan tadi pelan-pelan.

“Kamu sih, bukannya dilihat pake mata.”

“Ya gimana mau diliat orang listriknya putus?”

“Yaudah habis ini kamu ganti.”

“Tapi asik juga bersihin ini pake lampu kulkas bareng kamu.” Katanya. Dengan cahaya remang bersumber dari kulkas yang terbuka disebelah kiriku, aku dapat melihat cengirannya.

“Bikin kerjaan aja.” Jawabku kemudian dan dibalas dengan ringisan karena pipiku dicubit tiba tiba. “Kenapa dicubit?” Protesku.

“Ya siapa suruh gemes kaya bocah?”

“Dih padahal dia yang tadi kaya bocah pake acara ngambek.”

—’Cause there we are again in the middle of the night. We’re dancing round the kitchen in the refrigerator light. Down the stairs, i was there. I remember it all too well—

”We’re not dancing, Gyu. We’re cleaned the chaos that day. And that was better instead of dancing around.”

-

“Yes. And it was like a roller coaster for me, if you ever wondering.” Mingyu menyenderkan punggungnya pada kepala kursi.

“Hmm, all of sudden. Without even saying goodbye.” Kataku menunduk menatap hot americano pesananku, sesekali memainkan jemari.

“Yes. Without saying goodbye.” Ucapnya. Terang terangan memberikan sebuah validasi.

Well, sebenernya tanpa kamu bilang apapun itu juga jadi sebuah jawaban yang aku dapat dan sebuah ucapan tanpa kata, Mingyu,” Aku melipat kedua tanganku dan menerawang kemana mana. “Kita selalu susah. Susah kalau berkomunikasi. Bahkan aku baru sadar ketika kamu pergi dalam diam, itu adalah bentuk komunikasi kamu yang sampe sekarang gak bisa aku pahami.” Jelasku. Kali ini, menunduk menolak dengan sangat keras menatap matanya. “Dari dulu kamu kalau marah sama aku, selalu diam. Kalau ada apa apa selalu diam. Aku selalu bilang kalau ada apa apa ngomong sama aku. Susah banget ya? Atau permintaanku itu berat banget buat kamu realisasikan?”

“Hey? We’re not together anymore...”

Aku terdiam pada rentetan kalimat itu. Dengan berani kemudian menatap dirinya yang selalu sama. Bahkan menyadarkanku dengan tutur kata lembut, seperti barusan.

“Karena kamu, kan?” Kataku lagi, dan Ia membuang nafas kasar, membuang wajahnya.

“Aku berusaha untuk memperbaiki hubungan sm kamu, bukan—“

“Kamu diem, Gyu. Kamu diem karena kamu takut hari itu dan kamu lari.”

“Hey? tolong dong, bisa gak kita—“

“You tore it all up.. I was there.. I remember it all too well..”

—maybe we got lost in translation, maybe i asked for too much. Till you tore it all up, running scared, i was there—

-

“Aku didepan rumah kamu, bukain dulu pintunya.”

”Mau ngapain lagi sih, Gyu?”

“Kamu bilang kalau ada apa apa bilang kan sama kamu? Ini mau aku bilang. Kok malah kamu yang aneh gini sih?”

“Setelah ketauan gini baru mau kamu bilang? Gitu? Kamu paham ga sih sama maksud aku soal kalau ada apa apa itu bilang? Kamu tau yang aneh.”

“Yaudah bukain dulu pintunya, biar aku jelasin sama kamu, sayang.”

“Hah? Apa? Wah, ga beres otak kamu, Mingyu.”

“Yaudah yaudah. Jangan dimatiin dulu. Biar aku jelasin disini kalau kamu emang gamau buka pintu dan dengar penjelasan aku langsung.”

Detik yang lalu, tanganku hampir menekan tombol hang up sampai akhirnya kuurungkan karena permintaan seseorang dibawah sana. Dari jendela kamar, aku bisa melihat sosoknya dengan ponsel menempel di telinga kanan dan rambut yang berulang kali ia acak.

“Iya aku salah. Aku jujur sama kamu, aku udah bareng sama dia sejak 2 bulan yang lalu.”

shit

Aku terdiam dengan cucuran air mata tanpa henti juga hidung yang tersumbat. Berkali kali ku tarik nafasku. Dadaku sesak dan jantung disana tak lagi memompa darah dengan normal. Aku jatuh tersungkur dengan tanganku yang masih menempelkan ponsel di telinga.

“Brengsek kamu, Mingyu. Kurang cukup ya aku dimata kamu?”

“Engga gitu. Aku ga pernah bilang kalau kamu itu—“

“Kenapa kamu ga ngomong sejak 2 bulan yang lalu?”

“Aku..” Suaranya bergetar. Aku bisa mendengarnya dengan jelas.

“Aku kan selalu bilang..” Aku terseguk. “.. ngomong kalau ada apa-apa, kasih tau aku. Kalau kamu memang ga mau bareng aku lagi kasih tau aku, Mingyu, kasih tau..” Deru nafasku tak lagi normal akibat tangis sesak sedari tadi. “Kenapa sih sesusah itu?”

“Aku.. aku takut. Maaf.” Kala dirinya mengucapkan itu,tangisku semakin menjadi. “Aku minta maaf, ya?” Telfonnya kini diputus oleh orang diluar sana yang kini sudah masuk ke mobil kemudian berlalu, hilang begitu saja.

Mingyu tidak melemparkan kata apapun hari itu. Ia hanya berlalu meninggalkanku yang masih tersungkur di lantai dengan cucuran air mata tanpa henti. Ada sakit di tubuhku padahal tidak ada satupun yang menyentuhku. Mingyu yang kukira meletakkan hati sepenuhnya untukku, sore tadi kutemukan ia mencium punggung tangan seorang gadis di kursi penumpang mobilnya yang tidak sengaja kutemui.

Kursi penumpang tempat biasa ia akan memainkan jariku. Kursi penumpang yang setiap hari ada aku dan dia yang menyanyikan potongan lagu kesukaan kami. Kursi penumpang dimana berbulan lalu ada aku dan dia yang tersesat, dan aku duduk disana. Kursi penumpang dimana aku melayangkan ciuman ciuman singkat diwajahnya. Harusnya itu selamanya jadi milikku.

Yang aku lakukan hanya terpaku, berusaha memproses apakah kejadian di depan mataku ini benar adanya. Kemudian ketika ia membuka kaca untuk membuang sesuatu, didapatinya aku menatap lurus kedalam manik matanya. Kemudian, berdetik kemudian, aku sadar; ini benar adanya dan bukan ilusi semata.

—You call me up again just to break me like a promise. So casually cruel in the name of being honest. I’m crumpled up piece of papper lying here—

“Hey? Udah nangisnya, mau sampe kapan?” Jun mengelus pundakku. Teman dekatku semenjak awal perkuliahan.

“Aku ngerasa kayanya waktu sama sekali ga berjalan deh, Jun,” Ucapku sesegukan. “Aku mau jadi aku yang dulu.” Tangisku membuncah.

“Yang bahagia pas masih bareng sama Mingyu? “

“Bukan, aku yang dulu sebelum kenal Mingyu.“ Aku terdiam dengan hidung merah yang tersumbat akibat tangisan tanpa henti. Mataku kini tak dapat melihat dengan sempurna karena sudah sepenuhnya bengkak. “Aku gak pengen waktu berjalan balik pas masih ada Mingyu tapi aku juga gamau waktu berjalan maju karena disana gaada Mingyu.” Lagi, kini tangisku membucah tak karuan.

“Both of you fight that day, right?”

“But it didn’t felt like fight at all, it happened so fast.”

“How it feels?”

“When he left me with no words?”

“No, when he let you go without a fight?”

“It felt like..” Ucapku berfikir “he never loved me after all.”

“Aku tau cepat atau lambat kamu bakal temuin diri kamu sendiri. Just like before..

“Just like before i met Mingyu?” gumamku dengan suara serak.

“Yep. Just like before you met Mingyu.” Aku jatuhkan tubuhku menuju Jun. Dapat aku rasakan tepukan pelan dipunggungku dari tangannya.

—Time won’t fly, it’s like i’m paralyzed by it. I’d like to be my old self again, but i’m still trying to find it—

“Dek, kamu belanja online apa? Kok gede gini datangnya?” Bunda berteriak dan sontak membuatku berfikir sejenak. Pasalnya, sudah sebulan aku tidak pernah belanja di platform online.

“Ayah kali Bun? Aku ga pernah belanja Online udah sebulan ini.”

“Tapi ini namanya namamu kok..” Balas Ayah ketika membaca nama penerima bertuliskan namaku.

“Ha? Masa sih?” Ucapku ragu. Tapi memang benar adanya bahwa namaku tertulis disana.

Aku memboyong kotak tadi menuju kamarku dan mencari cutter untuk membukanya. Kemudian, kutemukan berbagai macam hadiah dan barang yang pernah aku berikan kepada Mingyu. Tak kurang satupun. Sama sekali tak kurang satu pun.

Aku terdiam, berusaha mencerna fakta bahwa akhirnya ini semua menuju kata akhir yang sama sekali tak diucapkan dari mulut Mingyu maupun mulutku. Tanpa sadar, kini ada tetesan tetesan tak diundang yang jatuh membasahi pipiku, lagi. Dan untuk kesekian kalinya, Mingyu jadi penyebabnya. Kutemukan secarik surat terselip diantara tumpukan barang barang disana. Sangat jelas, tulisan Mingyu yang berantakan, dan betapa rindunya aku melihat ia menulis dengan tangan kirinya.

It doesn’t matter if 10 years from now on, you’ll forget me because of my stupid decision. But the time that i had you, it was matter. Our Baby blue eyes even your eyes weren’t blue. Our lost in the road till your mother scolded you. Our hands on my car’s gear. Your ‘sun’ on both of my cheeks and my lips. It was matter. Your excitement about my old story, our talk in front of the refrigerator and ended up to cleaned that Coca Cola. It was matter. Can you please remember that I ran the red cause i found you waiting for me? At least? Mama told you that i’m such a childish, right? so here i am. Mail back all of this things, cause i don’t deserve this anymore.”

With love,

Gyu.

Kemudian pada malam hari, kutemukan namanya muncul pada layar ponselku.

“Kamu bisa kirim scarf ku, gak? Itu hadiah dari Almarhum Papa.” Suaranya. Suara serak dan berat yang tiba-tiba saja aku rindu. Aku masih berharap bisa mendengar suara itu untuk menyanyikan sedikitnya Baby Blue Eyes. Tapi, itu hanya harapan tak bertuan yang tidak mungkin lagi terealisasikan.

“Sorry. Aku cari dulu ya? Kemarin udah aku cuci tapi gatau bibi letak dimana.”

“Boleh cepet gak? Soalnya aku mau pergi.”

“Aku usahain ya, Mingyu.” Bahkan menyebut namanya saja membuat bibirku bergetar.

“Yaudah aku tunggu, ya?” Telfonnya terputus. Lagi, ada genangan yang memaksa jatuh membuat aliran dan memaksaku untuk mendongak agar ia tak jatuh di pipi.

Besoknya, aku kirimkan sebuah pesan kepada Mingyu.

”Mingyu, scarfnya hilang. Sama sekali gaada dirumah. Maaf ya, aku ganti aja apa gimana?”

”Yaudah gak papa.”

Balasan singkat darinya kemudian membuatku bertanya tanya. Mingyu, bukannya dulu ada kita? Kenapa kemudian kita berakhir menjadi dua orang asing padahal dulu ada aku dan kamu yang saling bertukar cerita di tiap malam pada pukul 2 pagi?

Malam berikutnya, aku tertidur dengan Scarf milik Mingyu melilit leherku. Setengah wajahku tertutup olehnya. Tubuhku terlentang dengan tatapan kosong menatap plafon kamar. Remang dan kesepian.

Benda mati ini sialnya menunjukan eksistensi Mingyu walaupun pada kenyataannya ia sudah semu. Tak akan ada lagi Mingyu yang datang mengunjungi rumahku, atau Mingyu yang menjemputku. Tak ada lagi telfon dadakan tengah malam tatkala ia mengadu padaku bahwa ia tidak bisa tidur dan meminta aku menyanyikan nina bobo. Tak ada obrolan manis pada pukul 2 pagi menjelang subuh antara aku dan Mingyu. Yang ada hanya bayangannya yang tak lagi akan jadi nyata.

Aku memejamkan mataku, menghirup dalam dalam aroma yang mungkin masih menempel di Scarf milik sosok itu. Tak pernah aku cuci semenjak ia tinggalkan disini. Aku merasa bahwa ini menunjukan ketulusannya dahulu dan aroma tubuhnya yang memelukku.

—Now you mail back my things and i walk home alone.— —I keep your old scarf from that very first week, ‘cause it reminds me your innocence and it smells like you. I can’t get rid of it, cause i remember it all too well—

-

“Canberra.”

“Canberra.”

Ucap kami berdua serempak.

“Kenapa tau?” Tanyanya.

“I have a fake account and you will never find it out.” Ia tertawa kemudian menunduk memainkan buku buku jarinya. “Kamu.. lari, Mingyu?”

“Menyelam sambil minum air, i would say.” Katanya tersenyum ke arahku.

“Karena kamu takut?” Ia menarik nafas dan membuangnya pelan.

“Om bilang, Papa hampir mau bangun anak perusahaan di Aussie, tapi belum sempet. Akhirnya setelah lulus, aku pergi kesana dan berusaha merealisasikan mimpi Papa yang sempet ketunda.”

“Oh, menyelam sambil minum air..” Kataku mengangguk dan mengulang kalimatnya beberapa menit yang lalu. “But, He will proud of you, Mingyu.”

“Yes, he will.” Ia tersenyum.

“Mama? Apa kabar?”

Suprisingly but also annonying at the same time, dia selalu nanyain kamu.”

“Oh jadi aku annoying?”

“Hahaha engga gitu. Mama sehat. Setelah pisah dari kamu, Mama selalu nanyain.”

Pisah dari kamu.

And you know what? Bersyukurnya aku bisa beliin Mama rumah pensiunan di Canberra. Jadi nanti beliau bisa ikut aku kesana.”

Kita kemudian terdiam lama, dan sesekali tersenyum ketika mata kami berjumpa. Semakin malam, semakin banyak pengunjung yang menginjakan kaki ke Arborea.

“So? mind to tell me about your lover?”

Aku tertawa terbahak sebelum menjawab permintaan Mingyu dan dibalas kerutan di dahinya.

“Never, after you.”

Ia membuang nafas yang pada dasarnya tak bisa ku artikan makna nya apa.

“Aku belum nemuin orang yang klop buatku, tapi aku nemuin diriku sendiri. And that’s enough. Menurutku, itu adalah suatu pencapaian yang luar biasa.” Kataku. “Lagian suasana hectic di kantor ga mendukung buat menjalin hubungan.”

“I don’t know that you are such a workaholic?”

“Indeed.” Kami kemudian terbenam dalam tawa.

Setelah banyak perbincangan hangat antara aku dan Mingyu malam itu, menuju penghujung pertemuan, ia keluarkan sebuah amplop kertas dari dalam kantung jaketnya.

“Undangan..” Gumamnya. Aku diam sejenak. Oh, Tuhan.. Dulu ada aku yang berharap berakhir bersamanya pada sebuah pernikahan. Tapi pada faktanya, aku.. kehilangan.

“With that girl?”

“Hm. The one you found sat next to me in my car years ago, Cicitnya pelan. “Acaranya di Jakarta, aku harap kamu bisa dateng.” Sambungnya.

Aku mengangguk sebagai bentuk balasan “But, can i ask you?”

“Sure.”

“Did you do all the things that we did with her?”

Ia terdiam ketika pertanyaan itu kulemparkan, tanpa sadar mataku memanas menunggu jawaban darinya.

“We did.”

damn

“Even that Baby Blue Eyes?”

“Even that Baby Blue Eyes..”

“Reused.” Jawabku menyeringai menahan sesak dan mengundang kekehan dari mulutnya. Kami lagi lagi terdiam. Dihadapan kami, kopi tadi sudah mulai dingin dan sebuah amplop yang sedari tadi tak kusentuh.

Aku tersenyum kemudian sembari mengambil amplop kertas yang didesign sangat manis tersebut. Ada nama Mingyu dan nama sang gadis yang akhirnya aku tau pada hari ini.

“Tanggal 25 ya? Kayanya aku gabisa, aku penugasan keluar kota.”

“Penugasan atau emang mau lari? Hm?” Ada sedikit indikasi candaan dalam intonasi suaranya.

“Jadi apa aku harus tulisin schedule kerjaan aku disini, Mingyu?” Ia tertawa, kemudian menunduk dalam diam untuk beberapa saat. Cukup lama.

“You look happier.” Katanya tiba tiba membuatku mengernyitkan dahi.

“Keliatannya gitu ya? Bagus deh kalau gitu. Berarti aku sukses nemuin jalan menuju diriku sendiri.” It's a win, for me.

“Aku boleh nanya gak sama kamu?” Mingyu membenarkan posisi duduknya.

“Boleh.”

Ada tarikan nafas yang pelan ia susun sebelum mengeluarkan pertanyaan yang tertuju untukku. Ada gerakan mata yang pelan menemukan mataku. Dirinya kemudian menyahut, “Gaada jaminan buat aku kalau suatu saat nanti akhirnya semesta membalas apa yang udah aku buat ke kamu..”

“Maksudnya?”

“You said you believe in karma, right?”

“Hukum alam?”

“Whatever you said.”

“Terus?”

“Gaada jaminan buat aku kalau suatu saat bisa aja Istriku ngelakuin hal sama kaya yang aku lakuin dulu ke kamu,” Kalimatnya kini tertahan. Kini tangannya saling bertaut dan menatap kedalam irisku. “Kalau ternyata ditengah jalan aku masih punya kesempatan kedua buat bareng sama kamu, boleh aku ambil ga kesempatannya?”

Aku terdiam. Dihadapanku ini ada seseorang yang dulunya sangat kudamba. Dihadapanku ini ada orang yang dulu eksistensinya selalu aku harapkan muncul menjemputku didepan gerbang rumah. Dihadapanku ini ada orang yang dulu selalu aku harapkan untuk menyanyikan Baby Blue Eyes dengan suara berat dan serak miliknya selamanya. Dihadapanku ini ada seseorang yang dulunya sangat kucinta sampai sampai membuatku hampir mati saat kehilangannya. Ia hari ini muncul dengan sebuah desperasi penuh tanda tanya yang aku pun sendiri tidak pernah tau apa maknanya.

Aku tersenyum, menatap dalam manik mata miliknya yang tak pernah berubah dan selalu kurindu. Manik mata milik Mingyu.

“No,“ Jawabku. “I deserve better.”

—Cause there we are again when i loved you so. Back before you lost the real one thing you’ve never known. It was rare, i was there, I remember it all too well—

Nama gue Aaron, 17 menuju 18 tahun. Sesuai nama geng kita, gue young, dumb & broke. Lucu banget sih sebenernya pake acara bikin geng segala, tapi itu awalnya karena pas ospek gue secara tidak sengaja sekelompok sama 3 orang ini, dan anehnya lagi kita juga sekelas waktu pembagian kelas.

Kehidupan SMA gua tidak beda jauh sama kehidupan anak SMA biasanya. Males? Oh sudah pasti. Cabut jam pelajaran? Apalagi. Tapi diantara kita berempat, yang sealiran dengan ke—sembrono—an gue cuman Yeri. Dua lainnya boro boro mah diajakin cabut, diajakin ke kamar mandi aja mikir dua kali.

Aksara misalnya, sebagai wakil ketua osis dan selalu memenangkan olimpiade bareng Lara, sudah pasti dia banyak meninggalkan kelas dan beberapa mata pelajaran hanya untuk persiapan olimpiade atau rapat dadakan osis. Kata Aksa, kehidupan pendidikan dan organisasinya harus balance. Gue mah boro boro, hidup gue sendiri aja ga balance.

Jujur gue sih pengen kaya Aksa, keluar kelas tiba tiba ada rapat, keluar kelas tiba tiba persiapan olimpiade. Tapi sayangnya gue tidak sepintar itu untuk ikut olimpiade dan tidak semampu itu untuk mengemban kepercayaan sebagai wakil osis. Jadi, disinilah gue, kadang ngerokok bareng geng kantin habis itu masuk BK karena ketauan.

FYI,gue ini sangat sangat bodoh dalam Matematika, sumpah gue ga bohong. Kadang sangking mumetnya kepala gue, 6+5 aja gue ga yakin jawabannya 11 dan akhirnya dengan kebodohan ini gue mempergunakan kalkulator. Ya apa coba gunanya kalkulator kalau ga untuk alat bantu menghitung?

Kilas balik menuju gue di kelas 2 SMA. Waktu itu jam pelajaran Matematika di siang hari, siang bolong. Dimana harusnya lo nyeruput es teh manis di kantin, malah berujung membakar kepala dengan soal soal yang disuguhi tanpa ampun. Ditambah guru Matematika gue ini orangnya tidak terstruktur. Maksudnya, dia bukannya menjelaskan perihal materi dulu, tapi dia langsung memberikan kita semua soal yang sumpah demi Tuhan gue ga paham maksud dan isi nya apa. Dan soalnya ini tuh ada yang dari materi masa lampau dan materi masa depan yang sama sekali belum dipelajari. Bu Suri. Iya, namanya aja serem.

Karena gue udah paham banget dengan tingkah Bu Suri ini kalau ngajar, gue memutuskan untuk hengkang dari kelas Matematika siang itu. Untungnya nih, Bu Suri ini kalau masuk ga pernah absen muridnya satu satu dan pelupa banget parah. Gue udah sering ngibulin dia walaupun sebenarnya didalam hati gue yang paling dalam gue takut kualat karena sudah membohohi guru gue sendiri.

“Lo mau cabut, kan?” Tubuh gue tiba tiba merinding karena dari belakang Yeri berbisik.

“Pake toa, Yer”

“Ga kedengeran juga. Gua ikut”

“Ha?”

“Angkat kaki gue Ron sama bu Suri.” Gue menyeringai. Asik, gue punya temen. Setidaknya kalau ketauan cabut, gue bisa berdiri di ruang BK 2 jam misuh misuh bareng Yeri.

“Lo tau konsekuensinya, kan?” gue harus memastikan dulu, bro. Kalau ni anak lari dari risiko dan menyerahkan semuanya pada gue, ya gue juga sesak nafas juga dong.

“Aman. Sekali aja gue pengen membenam diri tanpa mendengar celotehan dia. tau sendiri lu dikelas ini yang bisa mengambil alih semuanya cuman Aksa”

“Yaudah, yuk”

Kita cabut diam diam. Waktu itu bu Suri belum sempat menginjakan kaki dikelas. Jadi gue keluar duluan tanpa suara sedangkan Yeri mengikuti dibelakang sambil bilang kalau dia mau buang air besar jadi ga mau ditemenin. Karena biasanya tu bocah kalau ke kamar mandi harus bareng Lara.

Kemudian, disinilah kita. Di kantin. Didapur nya kantin. Jadi kantin besar sekolah ini ada dapur tersembunyinya yang biasanya gue dan geng kantin gue jajah. Aman tanpa celah. Dan enaknya lagi, ada meja dan kursi buat para penjual kantin istirahat. Kita berdua sempet makan mi rebus disana dan jadi orang bodoh setelah kekenyangan. Karena kita berdua tiba tiba aja bengong tanpa bicara.

“Cabut keluar ayok” Sumpah ini bukan gue, ini usulan Yeri. Jujur gue agak membelalakan mata sangking kagetnya.

“Gila lo?”

“Lo udah biasa kan, tapi? Ayoklah ajakin gue. Nge—Mall kita. Gue sekalian mau beli liptint

Lipstick?

Liptint, Ron. Kalau Lipstick itu yang bentukannya kaya Stick, kalau ini tint

“Au ah manatau gue”

“Yaudah ayo”

“Konsekuensi nya lo—“

“Tau gue tau! Sekali doang, tahun depan udah tamat”

“Sekali doang taunya entar lo ketagihan”

“Banyak bacot lu, ayok lah”

Gue akhirnya ngajak dia keluar dari pekarangan sekolah lewat belakang. Jalurnya memang agak susah karena emang ga pernah dilewatin orang orang dan mungkin ga ada yang tau kalau dari situ bisa langsung keluar dari wilayah sekolah.

Tapi sialnya pas itu satpam lagi keliling dan kita hampir ketauan kalau kita ga cepet cepet nunduk buat sembunyi. Disekitar situ ada meja dan kursi rusak yang berserakan. Gue narik Yeri buat sembunyi dibawah meja untuk beberapa saat. Dari situ, gue bisa ngerasain hangatnya deru nafas Yeri di tekuk gue. Dan anehnya, jantung gue memompa darah dalam keadaan ga normal. Gue menoleh dan akhirnya menemukan lekuk wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajah gue.

“Ron, kayanya udah pergi deh satpamnya” Pernyataan Yeri tadi langsung membuyarkan sebuah lamunan liar untuk beberapa saat.

“Lo liat lorong itu?” Dia mengangguk. “Gue hitung sampe 3 kita lari kesitu”

“Ha? Gimana?”

“3!!”

Gue langsung keluar dari bawah meja dan lari meninggalkan Yeri dibelakang yang kayanya masih kebingungan. Tapi gue bisa lihat dari sudut mata gue kalau dia juga ikutan lari menyelaraskan langkah. Rambut dia yang bergoyang karena terhentak akibat lari nya, alisnya yang mengkerut menandakan fokusnya pada lorong yang gue tunjuk dan senyum di sudut bibirnya. Gue ga pernah tau kalau ternyata Yeri memang semempesona itu.

-

“Tapi, Ron..” Bingkisan di tangan gue terjeda tepat di hadapan Yeri tatkala tangannya juga mengeluarkan sebuah bingkisan yang gue tebak isinya adalah sebuah headphone. “Ini buat Aksa..” gumamnya.

Tanpa perlu ia rentetkan lagi, gue udah paham. Paham bahwasannya gue ditolak dan dia lebih memilih teman gue yang satunya.

“Lo simpen aja, Yeri. Terserah mau lo apain” Gue langsung memindahkan bingkisan tadi ke tangannya dan berlalu pergi.

Sehari sebelum acara pelepasan siswa sebelum UN, gue contact Lara buat nanyain apa kesukaan Yeri dan mengaku kalau gue bakal confess ke Yeri hari itu. Lara bilang, Yeri selalu suka dengan yang namanya Aksesoris dan hal hal berbau make up. Karena gue ga paham soal make up gue memilih membeli paket lengkap aksesoris dan beberapa liptint yang waktu itu pernah gue liat dia beli pas kita cabut setahun yang lalu.

Gue udah sempet bilang kalau gue suka dan dibalas tundukan tak berbahasa dari dia sebelum akhirnya menunjukan bingkisan ditangannya dan ternyata ditujukan buat Aksa. Aksa yang selalu bisa dan Aksa yang akan selalu ada diatas gue dalam segi apapun.

Kemudian, Aaron ini yang sejatinya tak takut bahkan pada panggilan panggilan guru BK ataupun risiko yang ada di depan mata. Kala itu meratapi perasaan Lara nya disudut koridor sekolah. Iya, gue Aaron dan gue menangisi sebuah konsep patah hati

-

“Buat lo, Aksa”

Gue membelalak tatkala tangan itu menyodorkan gue sebuah kotak bingkisan yang isinya adalah barang yang gue impi impikan sejak awal masuk SMA.

“Gue..” Katanya menunduk. “Gue suka sama lo”

Yeri

Untuk yang kesekian kalinya gue membelalakan mata mendengar pernyataan sahabat gue ini. Sahabat yang udah bareng sama gue sejak kita masih ospek. Dan gue merasa sakit hati, karena pada dasarnya, Aksara tidak pernah menaruh rasa pada gadis ini.

“Alasannya?”

“Ha?”

“Alasan suka sama gue?”

“Emang butuh alasan?”

Isn’t it weird if you don’t have a reason?

Dia terdiam menatap sepatunya dan jari yang saling tertaut. Apa perasaan dia sama kaya perasaan gue waktu mau speech pas olimpiade? Mau meledak.

Yeri selalu baik. Di lingkaran pertemanan gue antara Aaron dan juga Lara, dia selalu mengorbankan apapun untuk teman temannya. Tapi mungkin gue akan bilang bahwa gue paham dan tau satu hal.

Yeri setiap pagi selalu menyempatkan diri ke kantin dan membelikan gue roti sobek dan sekotak susu. Susu kesukaan gue. Karena dia tau gue jarang sarapan kalau dirumah.

Ketika gue bilang ‘males fotokopi soal’, Yeri akan selalu berdiri dengan tegak dan pergi ke fotokopi sekolah yang jaraknya lumayan jauh kalau jalan kaki.

Yeri selalu menomor satukan gue, misalnya nanyain apa yang mau gue makan kalau kita hangout bareng.

Yeri selalu tau apa yang gue suka dan selalu menjadi pendengar yang baik ketika gue bercerita.

Tapi sayangnya, gue tidak menaruh rasa apa apa walaupun gue sadar tingkah dia berlandaskan pada suatu alasan.

Aksara ini hanya sibuk akan sekolah dan organisasi. Karena itu emang passion gue, prioritas gue.

“Gue rasa gue ga butuh alasan kenapa suka sama lo, Aksa” Dia akhirnya mendongakan pandangannya dan manik mata kita akhirnya bertemu.

Gue tersenyum dan mengelus kepalanya pelan.

“Yeri. Makasih ya selama ini udah baik sama gue. Selalu nyempatin beliin gue sarapan padahal jam masuk udah mepet.” Elusan pertama.

“Makasih udah selalu jadi pendengar yang baik kalau gue lagi pengen cerita” Elusan kedua.

“Makasih karena selalu menjadikan eksistensi gue nyata tanpa lupa dengan kehadiran gue” Elusan ketiga.

“Tapi, Yeri..” Elusan keempat. “Gue gabisa nerima perasaan lo..”

Mungkin bukan hanya Yeri yang sakit hati sekarang, pun gue. Seperti yang gue bilang, gue sakit karena sekalipun tidak pernah menaruh rasa pada gadis malang ini.

“Tapi gue punya alasan..” Elusan kelima dan terhenti. “Alasan gue gabisa nerima lo, karena agama kita ga bakal bisa nerima kita”

Satu lagi alasan yang gabisa gue tutup secara nyata mau seberapa keras gue dan mungkin Yeri mencoba, gue selalu beribadah 5 waktu setiap hari sedangkan dia pergi untuk beribadah seminggu sekali.

*Kala itu, ada sebuah Lara yang berlandaskan pada perasaan yang sejatinya bisa diruntuhkan dengan kehati hatian. Namun, Kala itu juga, ada sebuah Lara yang berlandaskan pada dinding tinggi tak terbatas yang gue, pun dia tak akan pernah bisa diruntuhkan. *

-

Sekolah kedokteran emang ga pernah gampang. Jujur aja walaupun itu bagian dari mimpi yang gue impi impikan sejak kecil, ngejalaninnya butuh kesabaran ekstra dan ketelitian yang gak kalah ekstra, karena kalau lo salah diagnosa, kelar dah hidup lo.

Hidup pasien lo juga.

Orang orang manggil gue Candra, atau Cand atau kadang juga Dirga, tapi adek gue yang paling bungsu yang selalu dipanggil Dirga sama temen temennya. Gue ga masalah orang orang manggil gue apa yang penting jangan kaya bocah SD yang manggil temen pake nama bokapnya.

Tapi ini bukan cerita soal bagaimana eksistensi gue dimata orang orang. Tapi soal gimana eksistensi dua orang yang sampe sekarang bikin gue bertanya tanya, “Semesta emang sekejam dan sekeji itu, ya?”

Siang tadi gue ngeliat postingan Instagram temen gue, atau gue bakal bilang sahabat gue. Sahabat yang selalu gue percaya dimana pun gue berpijak, sahabat yang selalu ada bareng gue dikala susah ataupun senang. Sahabat yang selalu jadi orang pertama yang mendengar keluh kesah gue, dan sahabat yang selalu jadi orang pertama yang mendengar kabar bahagia gue.

Pun waktu akhirnya perasaan terpendam gue terbalas oleh satu cewe yang selalu mengusik pikiran gue sebelum tidur bahkan saat akhirnya bangun lagi. Wendy.

Dia sekolah keperawatan dan sekolahnya ga jauh dari kampus gue. Gue ga sengaja kenalan sama dia waktu gue dengan senang hati membayar pesanan kopi nya di Coffee shop pinggir jalan. Waktu itu gue ngeliat gerak geriknya yang kayanya kehilangan sesuatu. Dan ternyata bener aja, dia kehilangan dompetnya.

Kejadiannya udah lama, waktu gue masih awal awal jadi mahasiswa baru fakultas kedokteran. Setelah kejadian itu, gue memberanikan diri buat ngajak dia ngobrol tapi ditolak sama dia. Dia cuman bilang makasih dan berlalu pergi gitu aja.

Kita sering papasan secara ga sengaja di jalan deket Coffee Shop sederhana itu. Ketika ngeliat dia, gue berharap bahwa dompetnya selalu ketinggalan atau hilang secara mendadak, biar gue punya alasan untuk ngajak dia ngobrol walau sebentar. Tapi yang gue dapat selalu dia yang udah ready dengan dompet di tangannya.

“Cantik banget anjir, sumpah” Ini gue yang lagi senyum frustasi merepresentasikan sosok Wendy dihadapan sahabat gue. Waktu itu gue belum tau namanya siapa.

“Siapa sih? Sekolah keperawatan yang diseberang itu?”

“Iya, Han. Dari simbol bajunya gue tau” Johan Sadhana. Sahabat gue yang akan jadi Highlight dalam cerita kali ini.

Gue dan Han kenalan waktu ospek. Kita ga sengaja telat datang dan akhirnya disuruh lari mengelilingi parkiran fakultas yang luasnya kaya lapangan bola. Setelah mandi keringat, ternyata gue lupa bawa tumbrl air minum. Dengan tenggorokan yang kering, gue ngelirik Johan yang waktu itu minum air dengan hasrat yang menggebu gebu. Gue ngeliatin dia sambil nyengir dan untungnya dia peka dengan ngasi tumbrl minumnya buat gue habisin.

That’s how our friendship started.

Kemudian segalanya dimulai dari situ, seperti yang gue bilang sebelumnya bahwa segala apapun yang berkaitan dengan hidup gue pasti akan selalu ada Johan didalamnya, entah itu sengaja ataupun tidak.

Johan selalu cerita soal keluarganya. Ayahnya tentara dan Bundanya yang bekerja sebagai Ibu rumah tangga, juga satu adik perempuannya yang selalu dia bangga banggakan di hadapan gue. Perputaran cerita keluarganya akan bertumpu pada adik kecilnya, dari raut wajahnya gue bisa paham seberapa sayangnya Johan sama adiknya.

Kita berdua sama sama anak sulung yang cerita keluarganya berbanding 180 derajat jauhnya, gue yang punya dua adik laki laki yang selalu bikin gue geleng geleng kepala dengan tingkah mereka yang aneh dan gaada habisnya.

Johan gapernah cerita ke gue soal perasaan yang dia punya untuk seseorang, ga pernah sekalipun. Eksistensi dia disamping gue adalah mendengarkan betapa candu nya gue pada seorang cewe bernama Wendy yang padahal waktu itu gue cuman bermodalkan papasan doang sama dia tanpa pernah bertukar pesan maupun ucapan. Bahkan sekedar senyuman.

“Nanti dia udah punya pacar mangkanya nolak elu, Cand?” Kata Johan malam itu, kita lagi di laboratorium buat menghadiri kelas praktik.

“Itu masih spekulasi, Han. Belum sah kalau belum gue tanyain langsung”

“Yaudah tunggu apalagi? Mau nunggu sampe ditikung orang lu?”

“Salahnya gue bingung ngajakin ngomongnya gimana. Orang setiap ngeliat gue dia menghindar”

“Dicegat aja”

“Dikira entar gue mau ngerampok lagi”

“Nih ya gue kasih tau. Kalau lo mengulur waktu kaya gini, yang ada lo keserempet Cand, mending sekarang deh daripada keduluanan orang lain”

Bener. 100 persen bener apa yang dibilang Johan. Gue terlalu mengulur waktu dan gue gatau kalau besok bisa aja gue keduluanan sama orang lain. Akhirnya gue memutuskan untuk ngajak dia ngobrol walau sebentar, besoknya di Coffee Shop pinggiran itu. Tapi gue lupa masa itu, mau seberapa cepat pun gue mendapatkan Wendy, gue lupa kalau jalan hidup bukan di tangan gue melainkan ada di tangan yang diatas.

Sejujurnya gue ga bisa memastikan apakah Wendy akan datang kesana lagi kali ini atau tidak, tapi untuk hal itu gue pikirkan belakangan dan memilih fokus untuk gimana cara ngajak dia bicara.

Bersyukurnya gue bahwa hari itu semesta mempertemukan gue lagi dengan Wendy.

Ketika dalam antrian, gue tepat berada dibelakang dia. Harum parfumnya bisa gue cium padahal jarak gue ga terlalu dekat dengan dia, punggungnya bahkan bisa menggetarkan hati seorang Candra hari itu.

“Biar saya aja yang bayar” Itu plan pertama yang akhirnya terpikirkan.

Gue bisa melihat dia yang terkejut karena memang gue langsung nyosor ke samping buat ngasih debit card ke baristanya sekalian gue menyebutkan pesanan untuk diri sendiri. Dia cuman diam dan gue sedikitnya mengulum senyum menahan malu.

Untuk kesekian kalinya dia hanya bilang makasih dan hampir berlalu, sebelum tangannya gue pegang untuk mencegat.

Iya, agak gak sopan.

“Sorry” Kata gue langsung melepas tangannya karena emang hal itu terjadi diluar kemauan gue sendiri. Impulsivitas.

“Iya gapapa, Mas” Katanya. Apa keliatan setua itu? Batin gue.

“Sibuk ga? Kalau duduk sebentar sama saya, mau?”

Dia diam cukup lama menunduk memandangi sepatunya. Gue deg deg an banget nunggu jawaban, karena kalau dia nolak, besoknya gue harus mikirin plan lainnya untuk ngajak dia duduk bareng gue.

“Boleh”

Disitu rasanya gue kaya menang lotre dan akan jadi miliarder ngalah ngalahin Papa. Disitu rasanya gue pengen mengepalkan tangan gue dan loncat seakan akan gue juaranya. Padahal dia cuman mengiyakan ajakan duduk bareng gue.

Kita akhirnya duduk sebentar di kursi di trotoar yang udah di sediakan. Berisik karena harus mendengar suara motor dan mobil yang berlalu lalang. Jadi kadang sesekali gue atau Wendy harus teriak kalau mau ngomong dan hal itu mengundang tawa kecil diantara kita.

Hari itu, gue langsung memberanikan diri buat minta nomor telfonnya dia.

Sekali lagi, bersyukurnya gue semesta merealisasikan angan gue soal Wendy.

Gue kemudian akan bilang bahwa pemikiran abstrak soal Wendy dan gue ditiap jam 4 subuh akhirnya di restui semesta. Karena akhirnya ada gue dan Wendy, ada kita.

Kebahagiaan yang terjadi kala itu gue kabarin ke Johan dan dia gak kalah senengnya karena cuman dia yang tau apa apa yang terjadi saat gue mati matian mengejar eksistensi Wendy untuk gue miliki. Dia tepuk pundak gue dan bilang “Gitu dong, Bro! Gerak cepat” atau “Gilaa! Congrats ya Cand, besok jajanin gue bakso aja deh”

“Jajan yang mahal aja mah kita, Han” Kemudian kita berlarut dalam tawa.

Selepas itu, gue selalu bawa Wendy kalau ada acara makan malam keluarga atau sekedar kumpul biasa di rumah. Mama, Papa dan adik adik gue membuka tangan dengan lebar akan kehadiran Wendy di keluarga, dan gue sangat bersyukur soal itu.

Kadang ada Mama yang selalu menanyakan bagaimana fashion wanita zaman sekarang kepada Wendy, atau hal hal yang Mama mungkin sudah ketinggalan zaman dan akan berujung bertanya kepada Wendy. Dan sosok itu, sangat luwes terhadap keluarga gue. Lagi lagi gue sangat mensyukuri itu.

Dilain waktu saat wisuda gelar dokter, Wendy juga datang, tapi sendirian. Gue kira dia akan bawa orang tuanya juga yang mungkin akan dikenalkan ke Mama dan Papa, tapi nihil. Hanya batang hidung Wendy yang muncul hari itu.

Bahkan saat wisuda gelar dokter spesialis, lagi lagi Wendy datang sendirian.

“Mama sama Papa ga kamu ajak, Wen?” Tanya gue.

“Mereka sibuk, Cand. Udah aku kasih kabar”

Setelah itu muncul banyak pertanyaan soal kesibukan apa yang orang tuanya miliki sampai sampai dua kali wisuda dokter gue mereka tidak muncul. Bahkan pertanyaan dari Mama dan Papa datang bertubi tubi menuju gue, soal apakah Wendy serius ada disamping gue atau hanya membuang buang waktu. Gue kemudian memberikan sedikit pengertian padahal gue juga abu abu dalam menyikapi soal ini.

Gue dan Johan kemudian di tugaskan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Rumah sakit yang sama pada saat kita koas dulu. Gue bersyukur bahwa pada akhirnya semesta tidak memisahkan gue dan Johan, karena disinilah akhirnya kita, dapat tugas shift malam dan sedang menyeruput kopi instan dalam cup plastik.

“Jadi? Kapan lo mau ngelamar Wendy?” Kata Johan membuka pembicaraan.

“Gimana ya, Han. Gue sama sekali belum diajak dia ketemu orang tuanya” Kata gue menyunggingkan senyum frustasi.

“Tapi lo baik baik ajakan sama dia?”

“Iya baik. Tapi ya itu, dua kali wisuda gue, orang tuanya sama sekali ga dateng, bahkan ga ngucapin selamat” Gue menyeruput kopi yang ada ditangan. “Alasannya selalu sibuk”

“Lo sendiri? Udah 27 Han, masa gaada yang kecantol?” Tanya gue, karena semenjak kuliah dan selalu bersama dengan Johan, sosok itu ga pernah sekali pun cerita ke gue soal asmara.

“Gue mau di jodohin” Gue sedikit tersedak mendengar pengakuan Johan.

“Hah? Serius lo?”

“Bokap gue ga pernah maksa buat nerima, ya maksudnya terserah gue mau cari calon Istri dimana dan siapa.“

“Terus?”

“Jadi bokapnya si cewe ini temennya bokap gue pas dulu masih pelatihan. Katanya waktu ketemu gue beberapa hari yang lalu, dari dulu kalau ngeliat gimana gue ngejaga dan ngerawat adik perempuan gue, dia ngerasa kalau apapun yang ada di genggaman gue pasti akan terawat dengan baik” Johan menyunggingkan senyum. “Padahal selama jadi kakak paling tua, gue banyak kurangnya, Cand”

“Ya prespektif orang dalam melihat pasti bakal beda beda, Han. Kalau emang bokapnya bisa percaya, berarti emang ada sesuatu didalam diri lo yang gabisa orang lihat dan dia dengan yakin percayain putri nya buat lo” Kata gue. “Kalau gue jadi lo, gue gabakal sia siain kesempatan itu”

“Mama, doain Candra ya. Nanti apapun kabarnya pasti Candra kasih tau” Gue mencium punggung tangan Mama diikuti beliau yang mencium kedua pipi gue. Begitupun dengan Papa.

Hari ini gue berniat memantapkan diri untuk mendatangi rumah Wendy untuk berbicara dengan kedua orang tuanya. Awalnya gue udah sempet contact Wendy dan dia juga udah bilang kalau gue lebih baik datang sehabis sholat Ashar. Tapi semenjak Dzuhur tadi, pesan gue belum di balasnya.

Gue berniat untuk meminta izin, nanti ketika akhirnya semua direstui barulah gue memboyong keluarga gue kepada Wendy.

Sesaat mobil gue berhenti di pekarangan rumahnya, gue meihat ada mobil lain terparkir disana. Awalnya gue merasa agak ragu karena barangkali Ayahnya sedang ada tamu, lagi lagi pesan yang gue kirimkan tak kunjung mendapat balasan. Gue tetap meneguhkan niat dan berjalan menuju pintu rumah dan memencet bel dengan mantap. Berkali kali hingga seorang wanita yang sangat gue kenal tertangkap manik mata gue.

Matanya sedikit bergetar melihat eksistensi gue, dan tak lama seorang wanita paruh baya muncul dibalik daun pintu.

“Wen? Siapa?”

“Candra, Bu” Jawabnya.

Ketika daun pintunya sudah sepenuhnya terbuka, manik mata gue dapat melihat dengan jelas sosok Johan disana, bersama kedua orang tuanya dan adik kecilnya yang selalu dengan bangga ia ceritakan ke gue.

Masih didepan pintu, kaki gue mendadak lemas dan tenggorokan gue perih.

“Siapa, Nak? Temen kerjamu, toh?” tanya Ayahya.

Teman kerja.

Gue bisa melihat Johan yang tatapannya berair menatap gue, begitupun balasan tatapan gue yang sejujurnya sakit melihat bahwa sejatinya sahabat gue yang terduduk disana, dihadapan Ayah Wendy.

“Nak Candra, masuk dulu”

-

“Ayah, ini Candra. Pacarnya Wendy” Itu kata Wendy sebagai pembuka pembicaraan dipenghujung sore menuju malam kala itu.

Lelaki gagah itu terdiam membuang nafas sambil menyenderkan punggungnya ke kursi.

“Ayah kan sudah bilang Nak, kalau kamu akan Ayah jodohkan dengan Putranya teman Ayah”

Johan.

“Pak, kita dengarkan dulu maksud Nak Candra ini datang kerumah. Jangan buru buru mengambil keputusan” Ibu Wendy mengusap punggung gue, setidaknya gue mendapatkan ketenangan barang sedikit saat itu.

Gue, Orang tua Wendy dan Wendy sendiri kini ada di ruang kerja milik Ayahnya. Cukup untuk kami berempat sedangkan di luar sana Johan dan keluarganya menunggu. Dari sudut mata gue, gue bisa melihat bagaimana Johan bersikap kepada adik kecilnya yang sejujurnya sudah tidak pantas disebut kecil karena keperawakannya yang sudah gadis. Sikap yang ga pernah gue tuangkan kepada adik adik gue.

“Pak, saya ingin melamar putri Bapak”

-

Diruangan itu bersisa gue dan Ayah Wendy. Bermenit yang lalu, Ayahnya menyuruh Ibu dan Wendy untuk meninggalkan ruang kerja ini. Kini, ada dua pasang mata yang saling bertaut dan mata gue yang penuh takut.

“Nak Candra..” Suaranya berat dan membuat jantung gue berdetak tak karuan.

“Wendy itu putri semata wayang saya. Dia tidak punya kakak dan tidak punya adik. Untuk mendapatkan Wendy saja, saya dan Ibu nya berjuang mati matian.” Itu kata Ayahnya.

“Kalau saya umpamakan, barang berharga yang sedang saya genggam ini, tak akan rela saya berikan Cuma Cuma. Saya bahagia dengan ini dan diapun harus saya bahagiakan karena ini adalah sebuah bentuk cinta orang tua yang tidak terbatas nilainya.”

“Nak Candra. Saya mohon maaf, ya? Kalau pun boleh, tidak rela saya berikan putri saya kepada siapapun. Kalau pun boleh, saya mau hanya saya yang membahagiakan dirinya sampai ia mati. Tapi itu hanya akan menjadikan saya seorang Ayah yang egois. Ia harus tetap menjalani hidup. Mungkin kelihatannya saya egois karena harus menentukan kepada siapa ia harus mengabdikan dirinya, tapi kemudian ini adalah bentuk kasih sayang dan cinta saya kepada putri saya, Nak”

“Johan..” Kata Ayahnya, sesaat kemudian gue melihat sosoknya diluar sana tertunduk dan sesekali menatap kedalam ruangan ini.

“Dari semenjak dulu, saya selalu suka ketika ia dengan sangat luwes menjaga adiknya, memperlakukan adiknya seakan akan ada berlian ditangannya. Semenjak itu, terbesit niat bahwa putri saya akan saya percayakan kepada Johan. Tidak ada ragu sedikit pun dalam diri saya ketika melihat Johan.”

“Nak Candra, saya tau niat kamu datang adalah untuk meminta izin bahwasannya kamu akan menjaga putri saya dan menggantikan posisi saya. Tapi restu saya hanya ada pada Johan, sekali lagi saya mohon maaf sebesar besarnya.“

Sosok gagah itu kemudian memeluk gue. Tubuhnya yang sudah hampir dimakan waktu mengelus pundak gue dengan kasih sayang. Wajah gue sudah sepenuhnya tersembunyi didalam leher lelaki paruh baya itu. Hanya dari bentuk usapan lembut dari telapak tangannya, gue tahu betul betapa Ayahnya sangat menyayangi dan menjaga Wendy dengan penuh kehati hatian.

Setelahnya, gue meminta izin untuk berbicara kepada Wendy, setidaknya untuk terakhir kali.

“Dulu aku selalu datang ke Coffee Shop biar ketemu sama kamu, Candra. Aku gabisa dan ga berani untuk memulai. Dan alasan aku nolak ajakan kamu, karena aku gamau hal ini terjadi tapi akhirnya aku ga bisa menahan diri untuk ga jatuh. Kamu tau ga betapa bahagianya aku pas kamu ajak duduk berdua walaupun Cuma di trotoar?” Ia tersenyum sembari menunduk.

“Alasan nama kamu ga pernah aku sebut adalah karena Ayah udah memantapkan bakal jodohin aku sama anak temannya yang aku gatau kalau itu sahabat kamu sendiri. Semesta emang kejam ya, Candra?” Matanya kini dialiri tetesan bening yang jatuh secara bergantian.

“Aku selalu bicara sama Ibu, supaya setidaknya aku bisa memperjuangkan cintaku sendiri, tapi nihil. Setiap pembicaraan selalu berujung pada Johan. Hari ini pun aku kira dengan datangnya kamu, Ayah akan luluh, tapi sama sekali enggak kan, Candra?” Ia masih tertunduk.

“Perjuangan Ayah dan Ibu dalam membesarkan aku ga mungkin aku balas dengan pemberontakan. Dan aku ga akan sampai hati untuk menjadi anak durhaka untuk mereka..” Ia memutar tubuhnya dan kini berhadapan dengan gue.

“Candra, terimakasih ya sudah singgah di hidup ku yang bahkan aku gapunya kendali penuh atas jalan hidupnya. Terimakasih sudah berjalan beriringan bersamaku dalam mengejar mimpi kita masing masing, terimakasih sudah dikenalkan kepada Mama, Papa dan dua adik kamu yang mereka selalu dengan senang hati nerima kehadiranku. Aku titip salam, ya.” Tangannya menangkup kedua pipi gue yang kali ini sudah dibanjiri air mata.

“Candra..” Suaranya, senyumnya, cahaya matanya. Hal yang selalu gue kira akan selamanya jadi milik gue.

“Terimakasih sudah mencoba berjuang bersama, hari ini kamu boleh istirahat. Perjuangannya selesai sampai disini, ya?”

Malam itu gue bersimpuh di kaki Mama, memberikan kabar bahwasannya putra sulungnya ini harus merelakan suatu hal yang sangat ia cintai untuk hal tersebut mencapai kebahagiaannya sendiri. Usapan lembut yang diberikan Mama di pundak gue dan air mata yang terjatuh akibat ulah yang bukan gue inginkan ini membuat gue bertanya, sosok Ibu ini hanya menginginkan sebuah kebahagiaan dari putra nya, kenapa cukup sulit untuk terealisasi?

Gue terseguk dan kini membenamkan diri di lutut Mama, tangannya tak berhenti mengusap punggung gue yang bergetar hebat.

“Nak, istirahat. Kamu disuruh istirahat. Besok akan ada hal baik yang singgah dihidupmu dan dihidup Mama. Candra tidak pernah mengecewakan Mama, kehadiran Candra selalu jadi anugrah bagi Mama dan Papa. Sudahi sedih mu ya, Nak. Besok masih ada hari untuk mengejar cita cita dan cintamu yang tertunda..”

Kemudian, pada Kala itu bertitik titik Lara menghujami eksistensi gue, tak kenal ampun sampai kini ada perasaan yang sudah mati rasa.


Mama, Papa dan abang abang gue manggil gue Davra sedangkan temen temen gue manggil gue Dirga. Ga masalah, dua nama itu masih pada satu orang yang sama.

Waktu emang selalu cepet berjalan, rasanya kemarin masih ada bocah SMP yang ngejar ngejar gue sampe ngasih bingkisan waktu hari pelepasan siswa, hari ini gue udah mulai nyusun skripsi.

Lara namanya, katanya.

Tubuhnya tinggi untuk disebut anak anak, kulitnya putih bersih dan bibirnya ranum merah jambu. Ketika semua orang di gedung SMA selalu bilang bahwa keperawakannya yang cantik jelita akan cocok dengan gue, bagi gue itu adalah sebuah miskonsepsi yang gabisa gue pahami.

Gue gapernah punya ketertarikan dengan sosoknya, bahkan ketika dia melakukan hal hal sederhana untuk gue.

Gue gatau apa hal yang bisa bikin gue kecantol sama satu hati. Udah banyak cewe yang ngelakuin hal hal unik sampe aneh untuk bisa menarik perhatian gue tapi tetep aja ga ada hasrat untuk jatuh dalam pesona mereka, tidak terkecuali anak bernama Lara ini. Dan ya, gue bukannya terlalu tua buat sosok anak kecil seperti dia?

Arjun bilang gue setengah buta, karena katanya Lara ini punya kepribadian yang tidak semua cewe punya, gue gatau spekulasi dia darimana dan atas nama apa sampai sampai dia bisa mendeskripsikan si Lara ini dengan luwes tanpa jeda, awalnya gue ngira kalau ternyata dia yang menaruh hati buat Lara.

Maksudnya, ya kalau emang lo suka kenapa ga lo kejar aja? Turns out, Lara memang punya keperawakan seperti yang di representasikan oleh Arjun.

Kenapa gue bisa bilang gitu? Karena setelah tamat pun, gue masih terikat dengan sekolah lama ditempat gue dan si Lara pernah mengemban ilmu. Dari official Instagram ataupun Twitter, dia selalu menjuarai beberapa olimpiade, bahkan dia aktif ikut di beberapa bakti sosial, kalaupun gue deskripsikan, dia melebihi Iren karena posisinya Iren ga pernah ikut kegiatan sosial seperti yang di lakukan Lara.

Tapi tetep aja, gue ga bisa jatuh dalam hal apapun yang dilakukan Lara.

Acara pelepasan siswa beberapa tahun yang lalu dia ngasih gue bingkisan yang sampe sekarang gue gatau isinya apa karena langsung gue buang. Gue gasuka. Melihat representasinya aja gue ga suka.

Sampe sekarang kasus itu Iren ga pernah tau, yang tau cuman gue dan Arjun yang ga sengaja melihat kejadian itu. Alasan gue tidak memberitahukan hal itu kepada Iren adalah bukan karena gue takut kalau Iren marah dan akhirnya terjadi perang dingin antara kita. Hanya saja, bagi gue hal itu sama sekali tidak penting dan kalaupun ia tau, ia sama sekali tidak akan peduli. Arjun juga berkali kali bilang ke gue alangkah baiknya walaupun gue gabisa membalas perasaan dia, gue bisa menghargai dia barang sedikit.

Tapi gue gabisa.

Ini perangai gue dan gue gabisa memaksa merubah sesuatu karena apa yang orang lain sarankan walaupun pada dasarnya itu baik buat gue.

“Kenapa sih Dir?” Kata Arjun beberapa tahun yang lalu sewaktu gue nemuin dia setelah selesai UN.

“Ya gue punya cewe Jun, masa gue terima aja tu barang? Mana ada ‘love love’ nya lagi. Geli gue” mendengar penjelasan gue, Arjun menarik nafas panjang dan membuangnya kasar.

“Menghar—“

“Menghargai? Budeg tau kuping gue denger lo ngomong itu mulu. Mending lo kasi tau aja si Lara buat menghargai hubungan gue sama yang lain biar dianya tau diri”

Kasar. Dan gue paham betul soal omongan gue.

Arjun cuman menggaruk pelipisnya sambil menyeruput coffee latte yang dia pesen karena kebetulan waktu itu emang kita lagi nongkrong.

Arjun udah bareng sama gue semenjak kita di bangku SMP, kita sama sama diam waktu pertama kali kenal. Tapi seiring berjalannya waktu, gue tetep diam sedangkan dia gatau malu, apalagi kalau udah bareng gue.

Arjun juga tau gimana perangai gue soal menyikapi perasaan, baik pada Lara yang kemudian berputar 180 derajat dengan Iren.

Iren cuman diem aja tanpa mengeluarkan usaha sedikitpun, tapi gue jatuh hati.

Arjun sekali lagi bilang kalau gue setengah buta. Karena menurutnya, Lara berada di atas Iren walaupun tidak jatuh jauh dibawah. Tapi mata gue sepenuhnya buta terhadap sosok Iren dibandingkan Lara.

Tapi ternyata, apa yang sudah gue lakukan dan gue perjuangankan sepenuhnya buat Iren, harus hancur di hadapan mata gue sendiri.

Gue dan Jeenar udah janji sebelumnya buat skripsian diluar. Agak sore waktu gue nungguin dia di gerbang masuk kampus, katanya dia ada urusan sebentar bareng dosen pembimbing dan minta gue nunggu disana.

Malemnya dia udah contact gue dan bilang kalau ada temennya yang bakal ikut nongkrong sama kita. Selama di perjalanan di waktu sore menuju magrib, gue dengerin cerita Jeenar soal betapa kaya rayanya temen dia ini. Soal dia yang dengan gampang bayar cash pas beli mobil dan juga dia cerita kalau acara tanggal tanggal penting keluarganya mereka menyewa hotel selama 24 jam atau bahkan 3 hari.

Gue kaya, gue akui itu. Bokap gue punya banyak kolega dari berbagai perusahaan besar yang ada di belahan Jakarta, tapi keluarga gue gapernah menghabiskan uang untuk menyewa hotel sepenuhnya bahkan untuk berhari hari.

“Gila temen lo, Ji. Apasih kerja bokapnya?” Kata gue sambil nyetir. Sepulang bang Ardan dari RS, gue minjem mobilnya dia karena gue menggadang gadang acara nyusun skripsi ini pasti sampe malem dan gue males kalau naik motor.

“Pengusaha juga, sama kaya bokap lo. Di Surabaya kayanya korporasi keluarga mereka yang paling besar deh. Ditambah bokapnya jago main investasi dan jago ngitung dan liat penjualan kurs mata uang asing” Sambar Jeenar setelahnya. “Ajakin aja merger sama perusahaan bokap lo, Dir” Saran sobat gue itu.

“Ya gue sih mau, kali aja gue mandi pake dollar habis perusahaannya merger. Tapikan belum pindah tangan ke gue, Ji” Kata gue sambil terkekeh.

“Kalau udah pindah ke tangan lo, jadiin gue direktur ya, gamau tau gue” Kita berdua cuman ketawa.

Setelah sampai, ternyata temennya ini bilang kalau dia mungkin agak telat dan nyuruh kita pesen duluan. Seperti yang udah gue kira, temennya Jeenar yang menawarkan diri untuk membayar apapun yang kita pesen selama nongkrong.

“Dia katanya bawa pacar” Kata Jeenar disela sela fokus kami mengetik diatas laptop.

“Tau gitu gue juga bawa pacar aja kali ya”

“Enak aja lu bedua, terus gue jadi nyamuk begitu? “

“Bercanda kali, Ji. Cewe gua juga sibuk katanya ada janji sama temennya”

Gak lama, temennya Jeenar masuk. Tapi dia masuk sendirian. Jeenar kenalin ke gue kalau namanya Marcel Zaff Yudistira. Chindo asal Surabaya dan sekarang berdomisili di Jakarta Pusat. Waktu Jeenar nanyain cewenya mana, katanya masih dimobil karena masih sibuk telfonan sama nyokapnya.

Kita ngangguk dan kembali fokus pada susunan skripsi yang tidak kunjung kelar ini, tapi begitu pacarnya masuk, kaki gue lemes padahal gue lagi duduk dan tenggorokan gue perih padahal belum minum ataupun makan apa apa.

“Kenalin ini pacar gue, Zorairene”

“Iren?”

Gue kaget, dan dia juga.

Kita berdua saling pandang dalam diam, mata gue perih ngeliat betapa cantiknya dia berdandan padahal selama jalan sama gue dia selalu apa adanya. Outfit yang dia pakai juga lebih dari biasanya kalau kita berdua pergi. Bahkan waktu ketemu Mama sama Papa, dia terlalu biasa.

“Lo kenal, Dir?” Tanya Marcel ke gue.

“Temen SMA aku” Ini Iren yang jawab. Gue masih bisu. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya dihadapan gue ini. Gue menarik nafas dan membenamkan wajah di telapak tangan gue. Gue sadar kalau tingkah gue ini diperhatikan terus terusan oleh Jeenar dan Marcel.

“Marcel, aku ke toilet dulu ya?” Marcel mengangguk mendengar permintaan Iren barusan, dan benar aja seperti feeling gue, ponsel gue bergetar dan nama Iren muncul disana, Iren ngajak gue ngomong diluar.

Manik mata gue menatap lama iris mata Iren, tapi ketika berjumpa ia selalu berusaha menghindarinya.

“Mau jelasin apa yang barusan kejadian, Ren?” Tanya gue.

“Jadi, Dir—“

“Tapi gue ga butuh alasan”

Dia diam, kali ini matanya berani natap mata gue.

“Gue atau Marcel? Simpel aja, gue gasuka memperumit masalah” Kata gue.

“Tapi dengerin alasan gue dulu, Dir”

“Apasih alasan yang mau lo keluarin sedangkan jelas jelas dia nyebut lo pacar? Selingkuh kan?”

Dia diam. Berkali kali ia mengusap wajahnya frustasi. “Marcel atau gue?”

Dia masih diam termenung menatap tanah. Belum sempat dia menjawab, ponsel gue berdering dan muncul nama Bang Ardan disana. Ternyata dia udah berkali kali spam chat ke gue.

“Dek, ada pasien dadakan. Aku minta tolong anterin mobil dong”

“Iya, Bang. Gue OTW ya”

Gue ninggalin Iren yang berdiri diam disana. Tukai gue bergerak ke meja yang gue bareng Jeenar dan Marcel duduki, setelahnya gue pamit pulang karena kebetulan mobil lagi dibutuhin abang gue.

Selama perjalanan gue cuman diem dan sesekali terisak. Ada sakit yang ga bisa gue deskripsikan. Gue berusaha untuk selalu menjadi sosok yang cukup bahkan lebih dari cukup buat Iren, tapi mungkin segala hal yang gue lakuin buat dia ga pernah menyentuh titik cukup.

Setelah mobil gue serahkan kepada bang Ardan, gue membenamkan diri dikamar. Rasanya ada lubang besar yang terngaga di hati gue. Berkali kali ponsel gue berdering memunculkan nama Iren disana, tapi gue abaikan. Sesak dan isak tangis gue ternyata sampai keluar dan di dengar Mama karena gak lama Mama mengirim pesan.

Mungkin gue ga perlu nyiksa diri dengan memendam ini semua. Kaki gue bergerak dan menemukan Mama sedang duduk di depan TV, beliau langsung terusik dan membuka kedua tangannya begitu melihat gue dengan mata sembab. Gue langsung lari kepelukannya dan membenamkan diri gue disana.

“Kenapa, Nak?”

“Mamah, jangan tanyain Iren mulai besok, ya?” Kata gue dengan suara terpendam di ceruk leher Mama dan suara yang bergetar.

“Nak, patah hati itu hal biasa, tapi jangan patahkan eksistensi kamu untuk orang orang disekitarmu, ya? Ada Mamah kalau kamu mau menumpahkan cerita. Besok atau lusa saat kamu sudah merasa baik baik saja” Pundak gue diusap oleh sentuhan yang ga bakal bisa gue dapetin dimana mana.

I love her whole being with every fiber of mine.

Apasih poin dari jatuh cinta tanpa bisa memilliki? Ga ada.

Namanya Kak Dirga. Kelas 3 SMA di sekolah yang sama sepertiku. Kami ada dibawah naungan 1 nama sekolah swasta di Jakarta Pusat. Sedangkan aku? Hanya anak SMP yang tidak tau diri untuk jatuh cinta pada orang yang jarak umurnya jauh dari umurku sekarang.

Atau pantaskah aku sebut jatuh cinta? Bukannya kata itu terlalu tua untuk umurku yang dini ini?

Apapun itu, aku selalu senang melihat dia saat upacara di lapangan sekolah. Wajahnya yang disiram cahaya matahari selalu membuat degup jantungku berdetak tak karuan. Dia jarang senyum, dia diam. Kata Yeri, anak anak SMA selalu suka dengan perangai Kak Dirga, tapi katanya juga, jangan pernah berharap untuk jadi milik Kak Dirga. Karena hanya orang orang beruntung yang bisa membuatnya jatuh hati dan memilih menghadirkan sebuah status.

Kak Iren misalnya.

Aku ini bocah sembrono tebal muka yang dengan percaya diri selalu memberikan hal hal sederhana untuk ku suguhkan pada kak Dirga. Di koridor gedung SMA. Wajahnya akan menunjukan senyum ribuan arti yang pada dasarnya sama sekali tidak bisa kuartikan.

Pagi ini, saat aku berniat untuk kesekian kalinya memberikan sesuatu, kudengar percakapan soal Kak Dirga yang mengajak Kak Iren membangun hubungan serius di depan kelas Kak Iren. Iya, Kak Iren ditembak.

Detik itu aku hanya terdiam sambil berusaha memproses hal yang sedang aku dengar. Aku Lara, mungkin namaku terdengar pantas untuk kasus ini.

Kak Iren berada jauh bertingkat tingkat diatasku. Cantik, putih, tinggi, ambisius dan punya jiwa pemimpin. Dia selalu dipercaya oleh tiap guru untuk dijadikan panitia panitia inti pada setiap acara pensi sekolah. Dan aku harap aku ada di posisinya.

Kak Dirga anggota basket. Iya, Lara yang bukan siapa siapa ini tak tau diri untuk menumbuhkan rasa pada seorang kak Dirga yang mengejar seorang wanita keren 1 sekolah bernama kak Iren. Lara, tidak akan pernah mampu bersaing.

2 minggu yang lalu aku dan Yeri pergi mencari sebuah souvenir untuk dijadikan kenang kenangan dan akan aku berikan langsung pada kak Dirga rencananya. Minggu depan adalah acara pelepasan siswa kelas 3 SMA mengingat seminggu kemudian mereka harus menjalani UN.

Jujur, aku tidak bisa medeskripsikan perasaanku sendiri. Aku sedih, tentu saja. Tapi apakah bocah tidak tau apa apa sepertiku pantas menangisi hal itu? Ditambah hal ini adalah kesalahanku sendiri.

Yeri berkali kali bilang padaku bahwa kak Dirga bukan orang yang gampang untuk dimiliki. Tapi kemudian apakah perasaan yang aku letakan ini adalah sebuah kesalahan? Awalnya aku berfikir bahwa itu bukan kesalahan, perasaan tidak pernah bisa dipaksa dan terkadang ia tumbuh pada orang orang diluar kendali pikiran kita sendiri. Tapi aku akan ucapkan sakit hatiku sekarang sebagai kesalahan yang aku perbuat sendiri dan ini adalah konsekuensi.

-

Pagi itu dirumah, aku duduk dipinggir tempat tidur menatap bingkisan yang akan aku berikan pada kak Dirga nanti disekolah. Aku berkali kali menggosok buku buku tanganku. Risau dan gelisahku menjadi satu. Bimbang dan dilema. Haruskah aku berikan atau aku buang saja bingkisan ini?

Isinya jam tangan. Sederhana memang, tapi yang aku harapkan adalah apabila ia bersedia menggunakannya, maka aku akan merasa bahwa ada aku di tiap waktu ia melihat detiknya. Tapi kemudian semuanya pupus. Tak akan ada hal semacam itu.

Orang orang selalu benar soal jangan pernah berharap pada sesuatu yang tidak pasti adanya, karena disinilah aku. Duduk termenung memikirkan hancurnya skenario bahagia yang dulu aku dambakan. Pada pukul 08.30 aku sudah duduk manis di bangku kelasku dengan bingkisan yang masih saja aku amati dalam diam. Disampingku ada Yeri yang terus terusan bulak balik berfikir tentang cara terbaik agar bisa aku berikan bingkisan ini.

“Gausah dikasih deh” Katanya. Aku kemudian menolehkan pandanganku. “Tapi dikasih aja” Katanya lagi membuatku mengernyitkan dahi.

“Aduh gimana ya, Ra” Yeri kemudian membanting tubuhnya duduk dikursi kosong sebelahku.

“Ada dua konsekuensi.” Ia memutar tubuhnya dan menatapku. “Pertama, Kalo lo ngasih ini dan kak Iren tau, lo habis. Kedua, kalo lo ga ngasih ini, ini hari terakhir lo ketemu sama kak Dirga dan lo gabisa tau kapan lo bakal ketemu sama dia lagi. “

“Jadi?” Tanyaku.

“Karena dua duanya berkonsekuensi, keputusan ada ditangan lo” Yeri diam dan aku juga diam. Aku diam memikirkan yang mana baiknya aku pilih karena dua duanya punya konsekuensi masing masing.

Aku memang tidak kenal baik dengan kak Iren, tapi yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana jadinya seorang bocah belum menginjak remaja sepertiku dengan berani menghadiahi pacarnya sebuah jam tangan. Atau bagaimana pandangan anak SMA digedung sebelah sana yang mengetahui soal hubungan Kak Dirga dan Kak Iren kemudian menemukan seseorang yang dengan senang hati memberikannya bingkisan.

Lara, kamu memang sudah tidak waras.

Tapi kemudian, akhirnya aku memutuskan. “Gue kasih aja, Yeri”

Aku memang masih bocah. Umurku masih 12 tahun dan aku masih duduk di bangku SMP. Tapi, kakakku dan aku selalu di didik agar selalu menghargai kesempatan dan belajar berani mengambil risiko. Kedua kasus yang diberitahu Yeri tadi sama sama memiliki risiko, tapi untuk opsi kedua mungkin aku akan menyesali nya apabila tidak ku ambil kesempatannya.

“Gue anterin lo nanti. Gue dukung lo, Ra. Ini terakhir kali lo ketemu kak Dirga”

-

Jam sudah menunjukan hampir jam 12 siang, sebentar lagi waktu Dzuhur akan tiba dan acara pelepasan akan ditunda untuk sementara. Aku berdiri di gedung tingkat atas gedung SMP, menerawang untuk mencari sosok itu namun nihil dalam pandangan mataku. Disebelahku juga ada Yeri yang ikut mencari keberadaan sosok itu.

“Yer, lo yakin ga sama gue?”

“Yakin lah. Liat lo ikut olimpiade Bahasa Inggris aja gue yakin apalagi cuman ngasih bingkisan doang?”

“Kalau habis ini gue dilabrak?”

“Lawan aja” Katanya. “Pake bahasa Inggris” Kami terbahak sejenak, degup jantungku yang tak karuan tadi pun agaknya mulai tertempo dengan rapi.

“Ra, itu Ra. Dibawah pohon”

Manik mata kami berdua menangkap sosok itu. Sosok lelaki tinggi dengan kacamata bulat bertengger manis di tulang hidungnya dan senyum dingin di bibirnya. Ia bersandar di batang besar pohon itu dengan kedua tangan merogoh saku.

“Ra. Gue percaya sama lo. Urusan dilabrak atau engga itu urusan belakangan. Yang paling penting sekarang adalah lo kasih ini dan ucapin salam perpisahan” Yeri merangkul kedua bahu ku dan kaki kami berjalan pelan menuruni tangga. Namun disini, kakiku sedikit lemas dan bergetar mengingat bahwa aku akan berhadapan dengan ketakutanku.

-

Kini jarak aku, Yeri dan Kak Dirga kira kira terhitung 3 meter. Pandangan sosok itu fokus pada acara di atas panggung masih dengan posisi yang sama dengan yang tadi. Sedangkan aku dan Yeri, kami berdua terhenti sejenak menatap representasi nya disana.

“Gue tunggu disini buat mantau, sekarang lo maju, Ra” Tangan Yeri mendorong tubuhku dan disinilah aku berjalan pelan dengan tukai yang bergetar dan degup jantung yang tak karuan. Disela langkahku, aku berkali kali menelan ludah karena tenggorokanku yang mengering.

Kini berlangkah dihadapanku ada Kak Dirga yang akhirnya sadar akan eksistensiku. Ia memperbaiki posisi berdirinya dan memperbaiki kacamatanya. Aku sadar soal manik matanya yang menatap sesuatu di tanganku.

“Kak Dirga, sebelumnya aku mau minta maaf dulu kalau aku lancang. Tapi karena minggu depan anak SMA udah mulai UN, dan mungkin ini hari terakhir aku ketemu Kakak, ini ada bingkisan dari aku. Dari Lara. Di ingat ya kak”

Jantungku sudah jatuh keperut bahkan sebelum aku berucap, kakiku lemas, tenggorokanku perih dan mataku panas. Sesaat aku melempar senyum dan memindahkan bingkisan itu dari tanganku ke tangannya, aku kemudian beranjak pergi sebelum air itu mengucur keluar dari pelupuk mataku.

“Makasih ya, Lara”