Mama, Papa dan abang abang gue manggil gue Davra sedangkan temen temen gue manggil gue Dirga. Ga masalah, dua nama itu masih pada satu orang yang sama.
Waktu emang selalu cepet berjalan, rasanya kemarin masih ada bocah SMP yang ngejar ngejar gue sampe ngasih bingkisan waktu hari pelepasan siswa, hari ini gue udah mulai nyusun skripsi.
Lara namanya, katanya.
Tubuhnya tinggi untuk disebut anak anak, kulitnya putih bersih dan bibirnya ranum merah jambu. Ketika semua orang di gedung SMA selalu bilang bahwa keperawakannya yang cantik jelita akan cocok dengan gue, bagi gue itu adalah sebuah miskonsepsi yang gabisa gue pahami.
Gue gapernah punya ketertarikan dengan sosoknya, bahkan ketika dia melakukan hal hal sederhana untuk gue.
Gue gatau apa hal yang bisa bikin gue kecantol sama satu hati. Udah banyak cewe yang ngelakuin hal hal unik sampe aneh untuk bisa menarik perhatian gue tapi tetep aja ga ada hasrat untuk jatuh dalam pesona mereka, tidak terkecuali anak bernama Lara ini. Dan ya, gue bukannya terlalu tua buat sosok anak kecil seperti dia?
Arjun bilang gue setengah buta, karena katanya Lara ini punya kepribadian yang tidak semua cewe punya, gue gatau spekulasi dia darimana dan atas nama apa sampai sampai dia bisa mendeskripsikan si Lara ini dengan luwes tanpa jeda, awalnya gue ngira kalau ternyata dia yang menaruh hati buat Lara.
Maksudnya, ya kalau emang lo suka kenapa ga lo kejar aja? Turns out, Lara memang punya keperawakan seperti yang di representasikan oleh Arjun.
Kenapa gue bisa bilang gitu? Karena setelah tamat pun, gue masih terikat dengan sekolah lama ditempat gue dan si Lara pernah mengemban ilmu. Dari official Instagram ataupun Twitter, dia selalu menjuarai beberapa olimpiade, bahkan dia aktif ikut di beberapa bakti sosial, kalaupun gue deskripsikan, dia melebihi Iren karena posisinya Iren ga pernah ikut kegiatan sosial seperti yang di lakukan Lara.
Tapi tetep aja, gue ga bisa jatuh dalam hal apapun yang dilakukan Lara.
Acara pelepasan siswa beberapa tahun yang lalu dia ngasih gue bingkisan yang sampe sekarang gue gatau isinya apa karena langsung gue buang. Gue gasuka. Melihat representasinya aja gue ga suka.
Sampe sekarang kasus itu Iren ga pernah tau, yang tau cuman gue dan Arjun yang ga sengaja melihat kejadian itu. Alasan gue tidak memberitahukan hal itu kepada Iren adalah bukan karena gue takut kalau Iren marah dan akhirnya terjadi perang dingin antara kita. Hanya saja, bagi gue hal itu sama sekali tidak penting dan kalaupun ia tau, ia sama sekali tidak akan peduli. Arjun juga berkali kali bilang ke gue alangkah baiknya walaupun gue gabisa membalas perasaan dia, gue bisa menghargai dia barang sedikit.
Tapi gue gabisa.
Ini perangai gue dan gue gabisa memaksa merubah sesuatu karena apa yang orang lain sarankan walaupun pada dasarnya itu baik buat gue.
“Kenapa sih Dir?” Kata Arjun beberapa tahun yang lalu sewaktu gue nemuin dia setelah selesai UN.
“Ya gue punya cewe Jun, masa gue terima aja tu barang? Mana ada ‘love love’ nya lagi. Geli gue” mendengar penjelasan gue, Arjun menarik nafas panjang dan membuangnya kasar.
“Menghar—“
“Menghargai? Budeg tau kuping gue denger lo ngomong itu mulu. Mending lo kasi tau aja si Lara buat menghargai hubungan gue sama yang lain biar dianya tau diri”
Kasar. Dan gue paham betul soal omongan gue.
Arjun cuman menggaruk pelipisnya sambil menyeruput coffee latte yang dia pesen karena kebetulan waktu itu emang kita lagi nongkrong.
Arjun udah bareng sama gue semenjak kita di bangku SMP, kita sama sama diam waktu pertama kali kenal. Tapi seiring berjalannya waktu, gue tetep diam sedangkan dia gatau malu, apalagi kalau udah bareng gue.
Arjun juga tau gimana perangai gue soal menyikapi perasaan, baik pada Lara yang kemudian berputar 180 derajat dengan Iren.
Iren cuman diem aja tanpa mengeluarkan usaha sedikitpun, tapi gue jatuh hati.
Arjun sekali lagi bilang kalau gue setengah buta. Karena menurutnya, Lara berada di atas Iren walaupun tidak jatuh jauh dibawah. Tapi mata gue sepenuhnya buta terhadap sosok Iren dibandingkan Lara.
Tapi ternyata, apa yang sudah gue lakukan dan gue perjuangankan sepenuhnya buat Iren, harus hancur di hadapan mata gue sendiri.
Gue dan Jeenar udah janji sebelumnya buat skripsian diluar. Agak sore waktu gue nungguin dia di gerbang masuk kampus, katanya dia ada urusan sebentar bareng dosen pembimbing dan minta gue nunggu disana.
Malemnya dia udah contact gue dan bilang kalau ada temennya yang bakal ikut nongkrong sama kita. Selama di perjalanan di waktu sore menuju magrib, gue dengerin cerita Jeenar soal betapa kaya rayanya temen dia ini. Soal dia yang dengan gampang bayar cash pas beli mobil dan juga dia cerita kalau acara tanggal tanggal penting keluarganya mereka menyewa hotel selama 24 jam atau bahkan 3 hari.
Gue kaya, gue akui itu. Bokap gue punya banyak kolega dari berbagai perusahaan besar yang ada di belahan Jakarta, tapi keluarga gue gapernah menghabiskan uang untuk menyewa hotel sepenuhnya bahkan untuk berhari hari.
“Gila temen lo, Ji. Apasih kerja bokapnya?” Kata gue sambil nyetir. Sepulang bang Ardan dari RS, gue minjem mobilnya dia karena gue menggadang gadang acara nyusun skripsi ini pasti sampe malem dan gue males kalau naik motor.
“Pengusaha juga, sama kaya bokap lo. Di Surabaya kayanya korporasi keluarga mereka yang paling besar deh. Ditambah bokapnya jago main investasi dan jago ngitung dan liat penjualan kurs mata uang asing” Sambar Jeenar setelahnya. “Ajakin aja merger sama perusahaan bokap lo, Dir” Saran sobat gue itu.
“Ya gue sih mau, kali aja gue mandi pake dollar habis perusahaannya merger. Tapikan belum pindah tangan ke gue, Ji” Kata gue sambil terkekeh.
“Kalau udah pindah ke tangan lo, jadiin gue direktur ya, gamau tau gue” Kita berdua cuman ketawa.
Setelah sampai, ternyata temennya ini bilang kalau dia mungkin agak telat dan nyuruh kita pesen duluan. Seperti yang udah gue kira, temennya Jeenar yang menawarkan diri untuk membayar apapun yang kita pesen selama nongkrong.
“Dia katanya bawa pacar” Kata Jeenar disela sela fokus kami mengetik diatas laptop.
“Tau gitu gue juga bawa pacar aja kali ya”
“Enak aja lu bedua, terus gue jadi nyamuk begitu? “
“Bercanda kali, Ji. Cewe gua juga sibuk katanya ada janji sama temennya”
Gak lama, temennya Jeenar masuk. Tapi dia masuk sendirian. Jeenar kenalin ke gue kalau namanya Marcel Zaff Yudistira. Chindo asal Surabaya dan sekarang berdomisili di Jakarta Pusat. Waktu Jeenar nanyain cewenya mana, katanya masih dimobil karena masih sibuk telfonan sama nyokapnya.
Kita ngangguk dan kembali fokus pada susunan skripsi yang tidak kunjung kelar ini, tapi begitu pacarnya masuk, kaki gue lemes padahal gue lagi duduk dan tenggorokan gue perih padahal belum minum ataupun makan apa apa.
“Kenalin ini pacar gue, Zorairene”
“Iren?”
Gue kaget, dan dia juga.
Kita berdua saling pandang dalam diam, mata gue perih ngeliat betapa cantiknya dia berdandan padahal selama jalan sama gue dia selalu apa adanya. Outfit yang dia pakai juga lebih dari biasanya kalau kita berdua pergi. Bahkan waktu ketemu Mama sama Papa, dia terlalu biasa.
“Lo kenal, Dir?” Tanya Marcel ke gue.
“Temen SMA aku” Ini Iren yang jawab. Gue masih bisu. Berusaha mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya dihadapan gue ini. Gue menarik nafas dan membenamkan wajah di telapak tangan gue. Gue sadar kalau tingkah gue ini diperhatikan terus terusan oleh Jeenar dan Marcel.
“Marcel, aku ke toilet dulu ya?” Marcel mengangguk mendengar permintaan Iren barusan, dan benar aja seperti feeling gue, ponsel gue bergetar dan nama Iren muncul disana, Iren ngajak gue ngomong diluar.
Manik mata gue menatap lama iris mata Iren, tapi ketika berjumpa ia selalu berusaha menghindarinya.
“Mau jelasin apa yang barusan kejadian, Ren?” Tanya gue.
“Jadi, Dir—“
“Tapi gue ga butuh alasan”
Dia diam, kali ini matanya berani natap mata gue.
“Gue atau Marcel? Simpel aja, gue gasuka memperumit masalah” Kata gue.
“Tapi dengerin alasan gue dulu, Dir”
“Apasih alasan yang mau lo keluarin sedangkan jelas jelas dia nyebut lo pacar? Selingkuh kan?”
Dia diam. Berkali kali ia mengusap wajahnya frustasi. “Marcel atau gue?”
Dia masih diam termenung menatap tanah. Belum sempat dia menjawab, ponsel gue berdering dan muncul nama Bang Ardan disana. Ternyata dia udah berkali kali spam chat ke gue.
“Dek, ada pasien dadakan. Aku minta tolong anterin mobil dong”
“Iya, Bang. Gue OTW ya”
Gue ninggalin Iren yang berdiri diam disana. Tukai gue bergerak ke meja yang gue bareng Jeenar dan Marcel duduki, setelahnya gue pamit pulang karena kebetulan mobil lagi dibutuhin abang gue.
Selama perjalanan gue cuman diem dan sesekali terisak. Ada sakit yang ga bisa gue deskripsikan. Gue berusaha untuk selalu menjadi sosok yang cukup bahkan lebih dari cukup buat Iren, tapi mungkin segala hal yang gue lakuin buat dia ga pernah menyentuh titik cukup.
Setelah mobil gue serahkan kepada bang Ardan, gue membenamkan diri dikamar. Rasanya ada lubang besar yang terngaga di hati gue. Berkali kali ponsel gue berdering memunculkan nama Iren disana, tapi gue abaikan. Sesak dan isak tangis gue ternyata sampai keluar dan di dengar Mama karena gak lama Mama mengirim pesan.
Mungkin gue ga perlu nyiksa diri dengan memendam ini semua. Kaki gue bergerak dan menemukan Mama sedang duduk di depan TV, beliau langsung terusik dan membuka kedua tangannya begitu melihat gue dengan mata sembab. Gue langsung lari kepelukannya dan membenamkan diri gue disana.
“Kenapa, Nak?”
“Mamah, jangan tanyain Iren mulai besok, ya?” Kata gue dengan suara terpendam di ceruk leher Mama dan suara yang bergetar.
“Nak, patah hati itu hal biasa, tapi jangan patahkan eksistensi kamu untuk orang orang disekitarmu, ya? Ada Mamah kalau kamu mau menumpahkan cerita. Besok atau lusa saat kamu sudah merasa baik baik saja” Pundak gue diusap oleh sentuhan yang ga bakal bisa gue dapetin dimana mana.
I love her whole being with every fiber of mine.