angan yang rumpang;


—to the girl who lost things, cry my dear. cry. But do not bleed.


“Di Jakarta.”

“Sejak kapan?”

“2 minggu yang lalu. Mau ketemu?”

“buat apa?”

Mingyu, menghilang 1 tahun yang lalu. Kemudian aku temukan postingannya di salah satu platform media sosial bahwa ia sudah berpijak di Canberra, Ibu kota Australia. Aku temukan ia sedang menjelajah sebuah museum yang tidak jauh dari pinggiran danau Burley Griffin. Tidak heran, dirinya memang selalu menyukai seni.

“Ga kangen?” Katanya malam itu lewat telefon, padahal aku yakin bahwa ini sudah ke 3 kalinya aku mengganti nomor ponselku.

“Enggak.”

“Yaudah, kita ketemu sebagai temen aja. Gabisa?”

Aku terdiam sejenak menatap kakiku yang berpijak tanpa alas di dalam kamarku sendiri. Ponsel yang masih menempel pada telinga kanan dan mata yang menerawang tanpa makna. Aku yakin, detik itu yang Mingyu dengar diseberang sana adalah suara detik jarum jam dindingku.

“halo?”

“Iya?”

“Gamau, ya?”

“Yaudah boleh. Weekend ya, weekdays aku gaada waktu.”

“Mau ketemu dimana?”

“Terserah kamu, aku ngikut.”

“Arborea?”

“Sure.”

“So,see you on Saturday night at 7!”

“See you.”

Telfonnya aku yang tutup kemudian, tidak ingin menghabiskan lebih banyak perbincangan kepada seseorang diseberang sana tadi dan berakhir terjun menuju lelap.

Sometimes, life feels fucked up, right?

-

Jakarta lembab sabtu malam itu. Siang menuju sore langit tak henti hentinya menumpahkan segala isinya ke bumi. Membilas segala apapun disini sampai yang tersisa dimana mana hanyalah genangan. Aku sedikit merapatkan coatku karena udara agaknya kurang bersahabat. Ketika kakiku melangkah masuk, manik mataku menatap seorang lelaki yang membuang pandangannya kemana mana, Mingyu.

—the air was cold, but something about it felt like home—

Sudut bibirnya terangkat tatkala eksistensiku akhirnya tertangkap iris coklat miliknya, senyum yang sama sekali tak kuharap akan terlihat lagi setidaknya pada rentang 10 tahun kedepan. Tapi sialnya, baru 1 tahun, sunggingan itu hadir kembali tanpa aba-aba.

“Udah lama?” Tanyaku.

“Engga, baru aja.”

“Ini,” Kataku menyodorkan sebuah paper bag kehadapannya.

“Apaan nih? Kado selamat datang?” Katanya tertawa memperlihatkan dua gigi taring miliknya sambil menarik paper bag tadi.

“your scarf”

Senyumnya menghilang.

“Katanya hilang? Baru dapet ya?”

-

“Kamu bisa kirim scarf ku, ga? Itu hadiah dari Almarhum Papa.”

“Sorry. Aku cari dulu ya? Kemarin udah aku cuci tapi gatau bibi letak dimana.”

“Boleh cepet ga? Soalnya aku mau pergi.”

“Aku usahain ya, Mingyu.”

Setahun yang lalu. Setelah kejadian itu Mingyu menelfonku agar scarfnya aku kembalikan. Berkata kepadanya bahwa scarf itu terlupa aku letakan dimana adalah sebuah kebohongan. Karena pada faktanya, barang itu tersimpan rapi di laci lemariku.

—you left your scarf here at my home and i’ve still got it in my drawer even now—

“Mingyu, Scarf hadiah dari Papa kamu ketinggalan dirumahku tau.” Kataku lewat telfon dengan manis dan mengundang kekehan dari seberang sana.

“Ya gapapa, kan besok mau main kerumah kamu lagi?”

“Emang ga bosen mainnya kerumah aku terus?”

“Ya jadi gimana? Mau main kerumah aku?”

“Mau, boleh ga? Mau ketemu Mama.”

“Ah kamu kalau main kerumah aku pasti selalu minta liat foto kecil aku terus diledekin.”

“Ih kan bilang lucu bukan ngeledek namanya, Mingyu.”

“Ngeledek itu namanya. Males ah kalau backingannya Mama ku sendiri.”

“Ih dasar aneh. Ajakin lagi.”

“Yaudah besok atau lusa ya?”

“Besok aja, aku lagi pengen cepet cepet ngeledek kamu.”

“Tuhkan!”

Tapi tetap saja, besoknya ada mobil Mingyu yang berhenti didepan pagar rumahku. Setiap bertemu, ada kaca yang habis ia turunkan dan kepalanya yang muncul kemudian tersenyum sesaat melihat kemunculan diriku.

“Malam ini mau jalan jalan dulu sebelum kerumah gak?” Katanya memutar setir dan keluar dari kompleks perumahan.

“Boleh. Kemana aja yang penting sama kamu.” Ia kemudian terbahak tatkala kalimat itu aku lontarkan tiba tiba.

Kemudian, tangan kirinya meraih tangan kananku dan meletakannya di persneling. Kini, ada tanganku dibawah tangan Mingyu pada persneling dan satu tangan kanannya menggenggam setir. Fokusnya sesekali tertuju padaku dengan sunggingan senyum yang membuatku candu, lalu secara bergantian menatap jalanan.

“When she talks, she somehow creeps into my dreams” Suara berat dan serak milik Mingyu menggumamkan lirik lagu yang saat ini sedang terputar dari stereo system mobilnya.

”She’s a doll, a catch, a winner” Gumamnya lagi sambil menatapku.

“Aku bukan boneka, ya..”

Acuh, bibirnya kembali melanjutkan potongan lirik dengan kepalanya yang bergerak ke kanan dan kekiri pelan secara bergantian. “I’m in love and no beginner; Could ever grasp or understand just what she means” Tatapannya masih padaku.

“Baby, baby blue eyes~” Baby Blue Eyes milik A Rocket to the Moon.

“Mataku gak biru, Mingyu..” Ia tersenyum menampakan deretan giginya.

”Stay with me by my side, till the morning through the night~”

“Yaudah iya sampe pagi nih, ya?” Jawabku dan lagi-lagi mengundang tawa dari sana disela nyanyiannya.

Namun malam itu, aku tidak pernah menemukan sebuah jawaban apakah itu adalah sebuah anugerah atau bencana karena kami berdua akhirnya tersesat entah kemana. Tuhan mungkin meng—amin—kan perihal lirik lagu tadi ketika Mingyu ingin aku berada di sampingnya hingga pagi tiba. Benar saja, kami menemukan jalan keluar ketika jam sudah menunjukan pukul 2 pagi.

“Kata Bunda apa?” katanya takut-takut ketika Bundaku sudah menelfon ribuan kali perihal anak gadisnya yang belum menginjak rumah.

“Disuruh pulang, tapi kan aku bilang tersesat?”

“Ditanyain ga sama siapa?”

“Kan sebelum pergi udah pamit mau pergi sama kamu.”

“Oiya.”

Mingyu kemudian memutar stir ketika mobilnya sudah masuk ke kompleks perumahanku. Malam itu, katanya jantungnya sudah pindah ke perut karena takut dimarahi Bunda akibat membawa anak gadisnya tersesat ke jalanan antah berantah.

“Besok aja ya ketemu Mama?” Mingyu menarik parking brake mobilnya. “Bilang sama Bunda aku minta maaf udah culik anaknya terus tersesat terus akhirnya ga pulang-pulang.”

“Enak aja main titip, bilang sendiri lah.”

“Yaudah ayo.”

“Hahaha, ga sopan jam segini.”

“Tuhkan aneh, tadi nyuruh.”

“Yaudah aku pulang ya Mingyu, kamu hati hati. Langsung pulang kerumah! Nanti aku cek, aku telfon Mama.”

“Posesif banget kenapasih?”

“Udah jam 2 mau jam 3 tuh, emang mau keluyuran kemana lagi?”

“Hahaha, iya aku pulang kerumah.”

“Kerumah Mama ya?”

“Ya emang aku punya rumah dimana lagi coba?”

“Rumah selingkuhan, mungkin?”

“Enak aja kamu mulutnya.”

Aku tertawa mendengar responnya. Tatkala tanganku sudah meraih kenop pintu dan pintu setengah terbuka, tangannya menahan tanganku dan sontak membuatku menoleh.

“Sun dulu..” Mingyu menurunkan sudut bibirnya dan membuat ekspresi sedih yang membuatku terbahak.

“Dih, kaya bocah minta sun.”

“Emang bocah?”

“Yaudah sini, kanan atau kiri?”

“Disini” Jarinya menepuk bibirnya berkali kali membuatku lagi-lagi terbahak sambil mengerutkan alis.

“Mahal kalau disitu.” Aku kemudian berlagak seolah akan turun dari mobil tapi kemudian tangannya menarik tanganku lagi.

“Ih yaudah terserah dikanan atau dikiri yang penting sun.”

“Yaudah sini,” Tanganku menangkup wajahnya. Berdetik kemudian aku layangkan ciuman tipis ke kedua pipinya dan mengakhirinya dengan kecupan kilat pada ranum merah jambu bibirnya.

“Bilang apa?”

“Hehe, makasih.”

Aku kemudian turun dan menunggu mobilnya hilang dipersimpangan sebelum akhirnya masuk kerumah disambut ocehan dari Ayah dan Bunda yang ternyata belum tidur dan menungguku pulang. Tapi, bagiku terjebak di jalanan antah berantah bersama Mingyu bukan sebuah bencana melainkan memori manis yang agaknya tidak mungkin aku lupakan.

—We’re singing in the car, getting lost upstate. And I can picture it after all these days—

-

“Kerjaan kamu, gimana?” Mingyu menyeruput hot Tiramissu Coffee nya dengan mata yang menghadap keluar.

“good.”

“Tapi katanya ga sesuai passion kamu?”

Aku membuang nafas pelan.

It is. Dunia kadang emang ga selalu berputar sesuai dengan yang kita mau. It caused chaos sometimes, but it taught me patience in the other hand. Dan bayarannya juga cukup setidaknya untuk membiayai aku yang boros dan suka beli hal-hal aneh. At least buat diriku sendiri.”

“Still the old you..” Ia tersenyum dengan mengangguk kecil beberapa kali setelah mengeluarkan kalimat itu, matanya mengembara keluar melihat suasana Arborea yang malam itu dipadati pengunjung. Aku menatap perangainya, tindakan-tindakan kecilnya yang tidak pernah berubah. Surai hitam legam miliknya, iris coklat nya, gigi taringnya, dan warna ranum bibirnya. Sedikit pun, sama sekali tak berubah. Still the old him, still the old Mingyu i knew.

“You’ve been... gone..” Cicitku pelan, mengundang manik matanya yang tiba tiba membeku, memaku, tertuju kemudian kepadaku.

—I know it’s long gone and that magic’s not here no more, and i might be okay but i’m not fine at all—

“Yes. And it was like a rollercoaster for me, if you ever wondering.”

-

“Mas awas mobill!” Pendengaranku menangkap suara seorang lelaki dan sontak membuatku menoleh.

“Woi?! GATAU ITU LAMPU MERAH? BUTA WARNA LO?!”

Aku terkejut ketika yang kutemui adalah seorang Mingyu yang berdiri diatas zebra cross dengan seorang pengendara mobil yang memakinya. Ia berkali kali menunduk sambil mengucap maaf pada pengendara kemudian berlalu dan kini berdiri dihadapanku.

“Kenapa di terobos, Mingyu?”

“Hehe, kangen ngeliat kamu berdiri disini.” Aku mengernyitkan dahi sambil memijat tulang hidungku kemudian melayangkan pukulan ke dirinya.

“Ngapain kangen kan baru ditinggal juga buat mesen makanan?” Kini di tangan Mingyu ada plastik berisikan beberapa burger McDonalds beserta large cup Cola. Kala itu Drive thru disana membuat antrian panjang yang kalau-kalau kami ikuti akan berakhir menjadi sahur, bukan lagi makan malam.

Aku keluar dari mobil saat Mingyu sibuk memesan makanan disana tadi, aku senderkan tubuhku pada kap mobil sembari menunggu sosok itu kembali. Rambutku yang sesekali ditiup angin dan iris mataku yang menangkap Mingyu menerobos lampu merah dengan alasan tak logis tapi mampu membuat pipiku merona dengan jawaban aneh dari mulutnya.

“Yaudah ayo, katanya mau main kerumah?” Ajak Mingyu membukakan pintu mobil dan menarikku masuk, kemudian meletakkan plastik besar tadi dipangkuanku dan berlalu dengan senyum. Berdetik kemudian ia sudah berada di kursi supir dan menjalankan mobil menuju rumahnya.

—you almost ran the red cause you were looking over at me. Wind in my hair, i was there. I remember it all too well—

”But, you never almost ran the red, Gyu. You ran the red.”

Aku dan Mama duduk di sofa ruang TV beserta album foto lama milik keluarga Mingyu ditangan kami. Mingyu diujung sana melipat kedua tangan dan sesekali memijit tulang hidungnya.

“Kalau ini waktu itu dia sok-sok pakai kacamata Papanya dan minta di foto diatas tempat tidur sambil pose gini..” Mingyu kecil dengan kacamata melebihi wajahnya sendiri dengan pose kedua tangan menopang pipinya dan tubuhnya yang tengkurap.

“Mamahh~” Rengeknya. Aku dapat melihat pipinya yang kali ini sudah berubah jadi merah karena malu.

“Nah kalau ini tuh, kan waktu itu dia sekolahnya di swasta, dia pamer ke Mama kalau dia gabung ke team baseball sekolah. Pulang pulang bawa seragam baru, minta Mama fotoin sampe dibawa tidur, loh..” Aku dan Mama terkekeh sambil sesekali melihat Mingyu yang mengacak rambutnya frustasi karena malu.

“Lucu.” Kataku tersenyum menatap Mama.

“Kamu ih ngeledek, ya?” Balas Mingyu membuang nafasnya kasar.

“Dih siapa yang ngeledek? Kan aku bilang lucu?” Ia kemudian berlalu pergi dengan menghentakan kaki.

—photo album on the counter, your cheeks were turning red. You used to be a little kid with glasses in a twin sized bed. And your mother’s telling stories about you on the tee—ball team—

“Kamu kenapasih mau sama Mingyu? Lihat tuh, kaya anak-anak, pake acara ngambek,” Mama tertawa sambil menatapku. “Sana, disusulin. Dibujuk.” Aku tertawa kemudian bangkit dan menemukan dirinya berdiri dengan segelas Coca-Cola menghadap kulkas sambil menatap tumpukan piring kotor.

“Kenapa dilihatin? Piringnya ga bersih kalau kamu lihatin doang.” Ia menoleh tapi buru buru membuang wajah.

Aku kemudian bersender didepan pintu kulkas dan menatap dirinya yang menunduk.

“Mau~”

“Mau apa?” Katanya mendongak.

“Itu..” Tunjukku pada sebotol besar Coca Cola disampingnya.

“Tuh gelasnya.” Dagunya terangkat seakan menunjuk dimana letak gelasnya untuk kuambil.

“Ih ambilin~” Kataku, padahal jarak rak piring nya lebih dekat denganku dari pada Mingyu sendiri.

Ia membuang nafas, berjalan beberapa langkah dan berakhir menuangkan minuman bersoda tersebut ke gelasku. Ia menyodorkannya malas.

“Kenapa pake acara ngambek?” Tanyaku. Dirinya masih saja membuang pandangan tak ingin menatap. “Ih kaya anak-anak.” Aku tertawa sambil menyesap minumanku.

“Dulu aku seneng banget tau diterima di team baseball sekolah.” Pandangannya masih mengembara kemana-mana menolak melihatku.

“Oh ya? Sampe kapan kamu main baseball?”

“Cuman di SD doang, passionku berubah pas SMP.” Kini ia menunduk dengan tersenyum. Mungkin menetap pada memorinya dikala itu. Manis, batinku. Senyumnya, kerutan di sudut bibirnya.

“Jadi suka apa?”

“Basket.” Kini matanya bertemu mataku. “Dulu cewe-cewe disekolah selalu neriakin namaku kalau lagi sparing atau pas lomba.”

“Oh jadi ini ceritanya kamu lagi pamer?” Kataku menaikan alis.

“Biar kamu tau kalau pacar kamu ini tuh ganteng terus keren.” Ia menjulurkan lidahnya mengejek dan tertawa dengan sombong. Kini ada aku yang bersender pada pintu kulkas miliknya sedangkan Mingyu dihadapanku bersender pada meja dapurnya. Tangan kami masih sama sama menggenggam gelas berisi Cola.

“Ih, sombong.”

“Tapi pas SMA passionku berubah lagi,” Katanya.

“Jadi apa?”

“Fotografi.”

“Dan berakhir kuliah di jurusan Bisnis?” Aku tertawa sambil menggeleng pelan.

“Aku sebenernya pengen kuliah Videografi dan perfilman. Tapi kata Om ku, aku harus duduk di kursi Papa.” Ia tersenyum putus asa, matanya menatap dalam pada isi gelasnya.

“Semenjak Papa meninggal, kursi Direktur utama masih kosong. Perusahaannya masih dijalankan sama Om dan staff-staff pembantu lainnya. Papa bilang sebelum pergi, aku harus duduk disana.” Sambungnya. Kemudian tanganku mengelus pelan pipinya dan disambut senyuman hangat dari mimik wajahnya.

“Aku tau alasan Papa kamu milih kamu buat gantiin dirinya, karena kamu bisa.”

—you tell me about your past, thinking your future was me—

Ia tertawa kecil menampakan deretan gigi nya yang rapih beserta gigi taring panjangnya, hal yang selalu aku suka kalau ia tertawa.

Namun berdetik kemudian, lampu dapur mendadak padam.

“Mati lampu, ya?” Tanyaku.

“Bentar.” Gelas yang bertengger manis ditangan kanannya tadi ingin ia letakkan di meja. Berniat melihat situasi dengan tidak terus terusan menggenggam gelas. Tapi sialnya, sebotol penuh Coca Cola tak bertutup tadi ia senggol secara tidak sengaja dan membuat genangan di lantai. Aku selalu tau, kecerobohan adalah bagian dari sel-sel darahnya.

“Aduh.” Kudengar gumamnya.

“Mama? Mati lampu ya?” Mingyu berteriak memanggil. Kami kemudian terdiam menunggu jawaban dari sana.

“Enggak kok, ini TV hidup.” Sebuah jawaban dan sahutan dari Mama.

“Berarti lampunya putus.” Kata Mingyu. Dapat aku lihat bayangannya mendongak ke langit-langit.

“Terus ini gimana dong? Coca Colanya udah genang gini?” Tanyaku. Dalam gelap aku dapat melihat dirinya yang berkacak pinggang.

“Coba buka pintu kulkasnya? Lampunya mati gak?” Kemudian aku meraih gagang kulkas dan membukanya. Cahaya dari sana langsung menyiram wajah kami.

“Yaudah buka aja, kita bersihin dulu tumpahannya.” Ia berjalan mengambil tissue roll dan merangkak membersihkan genangan tadi secara perlahan diikuti aku disampingnya.

Tak lama aku dengar kekehan darinya.

“Dongo banget bisa tumpah.” Kita berdua tertawa sambil merangkak dibawah membersihkan tumpahan tadi pelan-pelan.

“Kamu sih, bukannya dilihat pake mata.”

“Ya gimana mau diliat orang listriknya putus?”

“Yaudah habis ini kamu ganti.”

“Tapi asik juga bersihin ini pake lampu kulkas bareng kamu.” Katanya. Dengan cahaya remang bersumber dari kulkas yang terbuka disebelah kiriku, aku dapat melihat cengirannya.

“Bikin kerjaan aja.” Jawabku kemudian dan dibalas dengan ringisan karena pipiku dicubit tiba tiba. “Kenapa dicubit?” Protesku.

“Ya siapa suruh gemes kaya bocah?”

“Dih padahal dia yang tadi kaya bocah pake acara ngambek.”

—’Cause there we are again in the middle of the night. We’re dancing round the kitchen in the refrigerator light. Down the stairs, i was there. I remember it all too well—

”We’re not dancing, Gyu. We’re cleaned the chaos that day. And that was better instead of dancing around.”

-

“Yes. And it was like a roller coaster for me, if you ever wondering.” Mingyu menyenderkan punggungnya pada kepala kursi.

“Hmm, all of sudden. Without even saying goodbye.” Kataku menunduk menatap hot americano pesananku, sesekali memainkan jemari.

“Yes. Without saying goodbye.” Ucapnya. Terang terangan memberikan sebuah validasi.

Well, sebenernya tanpa kamu bilang apapun itu juga jadi sebuah jawaban yang aku dapat dan sebuah ucapan tanpa kata, Mingyu,” Aku melipat kedua tanganku dan menerawang kemana mana. “Kita selalu susah. Susah kalau berkomunikasi. Bahkan aku baru sadar ketika kamu pergi dalam diam, itu adalah bentuk komunikasi kamu yang sampe sekarang gak bisa aku pahami.” Jelasku. Kali ini, menunduk menolak dengan sangat keras menatap matanya. “Dari dulu kamu kalau marah sama aku, selalu diam. Kalau ada apa apa selalu diam. Aku selalu bilang kalau ada apa apa ngomong sama aku. Susah banget ya? Atau permintaanku itu berat banget buat kamu realisasikan?”

“Hey? We’re not together anymore...”

Aku terdiam pada rentetan kalimat itu. Dengan berani kemudian menatap dirinya yang selalu sama. Bahkan menyadarkanku dengan tutur kata lembut, seperti barusan.

“Karena kamu, kan?” Kataku lagi, dan Ia membuang nafas kasar, membuang wajahnya.

“Aku berusaha untuk memperbaiki hubungan sm kamu, bukan—“

“Kamu diem, Gyu. Kamu diem karena kamu takut hari itu dan kamu lari.”

“Hey? tolong dong, bisa gak kita—“

“You tore it all up.. I was there.. I remember it all too well..”

—maybe we got lost in translation, maybe i asked for too much. Till you tore it all up, running scared, i was there—

-

“Aku didepan rumah kamu, bukain dulu pintunya.”

”Mau ngapain lagi sih, Gyu?”

“Kamu bilang kalau ada apa apa bilang kan sama kamu? Ini mau aku bilang. Kok malah kamu yang aneh gini sih?”

“Setelah ketauan gini baru mau kamu bilang? Gitu? Kamu paham ga sih sama maksud aku soal kalau ada apa apa itu bilang? Kamu tau yang aneh.”

“Yaudah bukain dulu pintunya, biar aku jelasin sama kamu, sayang.”

“Hah? Apa? Wah, ga beres otak kamu, Mingyu.”

“Yaudah yaudah. Jangan dimatiin dulu. Biar aku jelasin disini kalau kamu emang gamau buka pintu dan dengar penjelasan aku langsung.”

Detik yang lalu, tanganku hampir menekan tombol hang up sampai akhirnya kuurungkan karena permintaan seseorang dibawah sana. Dari jendela kamar, aku bisa melihat sosoknya dengan ponsel menempel di telinga kanan dan rambut yang berulang kali ia acak.

“Iya aku salah. Aku jujur sama kamu, aku udah bareng sama dia sejak 2 bulan yang lalu.”

shit

Aku terdiam dengan cucuran air mata tanpa henti juga hidung yang tersumbat. Berkali kali ku tarik nafasku. Dadaku sesak dan jantung disana tak lagi memompa darah dengan normal. Aku jatuh tersungkur dengan tanganku yang masih menempelkan ponsel di telinga.

“Brengsek kamu, Mingyu. Kurang cukup ya aku dimata kamu?”

“Engga gitu. Aku ga pernah bilang kalau kamu itu—“

“Kenapa kamu ga ngomong sejak 2 bulan yang lalu?”

“Aku..” Suaranya bergetar. Aku bisa mendengarnya dengan jelas.

“Aku kan selalu bilang..” Aku terseguk. “.. ngomong kalau ada apa-apa, kasih tau aku. Kalau kamu memang ga mau bareng aku lagi kasih tau aku, Mingyu, kasih tau..” Deru nafasku tak lagi normal akibat tangis sesak sedari tadi. “Kenapa sih sesusah itu?”

“Aku.. aku takut. Maaf.” Kala dirinya mengucapkan itu,tangisku semakin menjadi. “Aku minta maaf, ya?” Telfonnya kini diputus oleh orang diluar sana yang kini sudah masuk ke mobil kemudian berlalu, hilang begitu saja.

Mingyu tidak melemparkan kata apapun hari itu. Ia hanya berlalu meninggalkanku yang masih tersungkur di lantai dengan cucuran air mata tanpa henti. Ada sakit di tubuhku padahal tidak ada satupun yang menyentuhku. Mingyu yang kukira meletakkan hati sepenuhnya untukku, sore tadi kutemukan ia mencium punggung tangan seorang gadis di kursi penumpang mobilnya yang tidak sengaja kutemui.

Kursi penumpang tempat biasa ia akan memainkan jariku. Kursi penumpang yang setiap hari ada aku dan dia yang menyanyikan potongan lagu kesukaan kami. Kursi penumpang dimana berbulan lalu ada aku dan dia yang tersesat, dan aku duduk disana. Kursi penumpang dimana aku melayangkan ciuman ciuman singkat diwajahnya. Harusnya itu selamanya jadi milikku.

Yang aku lakukan hanya terpaku, berusaha memproses apakah kejadian di depan mataku ini benar adanya. Kemudian ketika ia membuka kaca untuk membuang sesuatu, didapatinya aku menatap lurus kedalam manik matanya. Kemudian, berdetik kemudian, aku sadar; ini benar adanya dan bukan ilusi semata.

—You call me up again just to break me like a promise. So casually cruel in the name of being honest. I’m crumpled up piece of papper lying here—

“Hey? Udah nangisnya, mau sampe kapan?” Jun mengelus pundakku. Teman dekatku semenjak awal perkuliahan.

“Aku ngerasa kayanya waktu sama sekali ga berjalan deh, Jun,” Ucapku sesegukan. “Aku mau jadi aku yang dulu.” Tangisku membuncah.

“Yang bahagia pas masih bareng sama Mingyu? “

“Bukan, aku yang dulu sebelum kenal Mingyu.“ Aku terdiam dengan hidung merah yang tersumbat akibat tangisan tanpa henti. Mataku kini tak dapat melihat dengan sempurna karena sudah sepenuhnya bengkak. “Aku gak pengen waktu berjalan balik pas masih ada Mingyu tapi aku juga gamau waktu berjalan maju karena disana gaada Mingyu.” Lagi, kini tangisku membucah tak karuan.

“Both of you fight that day, right?”

“But it didn’t felt like fight at all, it happened so fast.”

“How it feels?”

“When he left me with no words?”

“No, when he let you go without a fight?”

“It felt like..” Ucapku berfikir “he never loved me after all.”

“Aku tau cepat atau lambat kamu bakal temuin diri kamu sendiri. Just like before..

“Just like before i met Mingyu?” gumamku dengan suara serak.

“Yep. Just like before you met Mingyu.” Aku jatuhkan tubuhku menuju Jun. Dapat aku rasakan tepukan pelan dipunggungku dari tangannya.

—Time won’t fly, it’s like i’m paralyzed by it. I’d like to be my old self again, but i’m still trying to find it—

“Dek, kamu belanja online apa? Kok gede gini datangnya?” Bunda berteriak dan sontak membuatku berfikir sejenak. Pasalnya, sudah sebulan aku tidak pernah belanja di platform online.

“Ayah kali Bun? Aku ga pernah belanja Online udah sebulan ini.”

“Tapi ini namanya namamu kok..” Balas Ayah ketika membaca nama penerima bertuliskan namaku.

“Ha? Masa sih?” Ucapku ragu. Tapi memang benar adanya bahwa namaku tertulis disana.

Aku memboyong kotak tadi menuju kamarku dan mencari cutter untuk membukanya. Kemudian, kutemukan berbagai macam hadiah dan barang yang pernah aku berikan kepada Mingyu. Tak kurang satupun. Sama sekali tak kurang satu pun.

Aku terdiam, berusaha mencerna fakta bahwa akhirnya ini semua menuju kata akhir yang sama sekali tak diucapkan dari mulut Mingyu maupun mulutku. Tanpa sadar, kini ada tetesan tetesan tak diundang yang jatuh membasahi pipiku, lagi. Dan untuk kesekian kalinya, Mingyu jadi penyebabnya. Kutemukan secarik surat terselip diantara tumpukan barang barang disana. Sangat jelas, tulisan Mingyu yang berantakan, dan betapa rindunya aku melihat ia menulis dengan tangan kirinya.

It doesn’t matter if 10 years from now on, you’ll forget me because of my stupid decision. But the time that i had you, it was matter. Our Baby blue eyes even your eyes weren’t blue. Our lost in the road till your mother scolded you. Our hands on my car’s gear. Your ‘sun’ on both of my cheeks and my lips. It was matter. Your excitement about my old story, our talk in front of the refrigerator and ended up to cleaned that Coca Cola. It was matter. Can you please remember that I ran the red cause i found you waiting for me? At least? Mama told you that i’m such a childish, right? so here i am. Mail back all of this things, cause i don’t deserve this anymore.”

With love,

Gyu.

Kemudian pada malam hari, kutemukan namanya muncul pada layar ponselku.

“Kamu bisa kirim scarf ku, gak? Itu hadiah dari Almarhum Papa.” Suaranya. Suara serak dan berat yang tiba-tiba saja aku rindu. Aku masih berharap bisa mendengar suara itu untuk menyanyikan sedikitnya Baby Blue Eyes. Tapi, itu hanya harapan tak bertuan yang tidak mungkin lagi terealisasikan.

“Sorry. Aku cari dulu ya? Kemarin udah aku cuci tapi gatau bibi letak dimana.”

“Boleh cepet gak? Soalnya aku mau pergi.”

“Aku usahain ya, Mingyu.” Bahkan menyebut namanya saja membuat bibirku bergetar.

“Yaudah aku tunggu, ya?” Telfonnya terputus. Lagi, ada genangan yang memaksa jatuh membuat aliran dan memaksaku untuk mendongak agar ia tak jatuh di pipi.

Besoknya, aku kirimkan sebuah pesan kepada Mingyu.

”Mingyu, scarfnya hilang. Sama sekali gaada dirumah. Maaf ya, aku ganti aja apa gimana?”

”Yaudah gak papa.”

Balasan singkat darinya kemudian membuatku bertanya tanya. Mingyu, bukannya dulu ada kita? Kenapa kemudian kita berakhir menjadi dua orang asing padahal dulu ada aku dan kamu yang saling bertukar cerita di tiap malam pada pukul 2 pagi?

Malam berikutnya, aku tertidur dengan Scarf milik Mingyu melilit leherku. Setengah wajahku tertutup olehnya. Tubuhku terlentang dengan tatapan kosong menatap plafon kamar. Remang dan kesepian.

Benda mati ini sialnya menunjukan eksistensi Mingyu walaupun pada kenyataannya ia sudah semu. Tak akan ada lagi Mingyu yang datang mengunjungi rumahku, atau Mingyu yang menjemputku. Tak ada lagi telfon dadakan tengah malam tatkala ia mengadu padaku bahwa ia tidak bisa tidur dan meminta aku menyanyikan nina bobo. Tak ada obrolan manis pada pukul 2 pagi menjelang subuh antara aku dan Mingyu. Yang ada hanya bayangannya yang tak lagi akan jadi nyata.

Aku memejamkan mataku, menghirup dalam dalam aroma yang mungkin masih menempel di Scarf milik sosok itu. Tak pernah aku cuci semenjak ia tinggalkan disini. Aku merasa bahwa ini menunjukan ketulusannya dahulu dan aroma tubuhnya yang memelukku.

—Now you mail back my things and i walk home alone.— —I keep your old scarf from that very first week, ‘cause it reminds me your innocence and it smells like you. I can’t get rid of it, cause i remember it all too well—

-

“Canberra.”

“Canberra.”

Ucap kami berdua serempak.

“Kenapa tau?” Tanyanya.

“I have a fake account and you will never find it out.” Ia tertawa kemudian menunduk memainkan buku buku jarinya. “Kamu.. lari, Mingyu?”

“Menyelam sambil minum air, i would say.” Katanya tersenyum ke arahku.

“Karena kamu takut?” Ia menarik nafas dan membuangnya pelan.

“Om bilang, Papa hampir mau bangun anak perusahaan di Aussie, tapi belum sempet. Akhirnya setelah lulus, aku pergi kesana dan berusaha merealisasikan mimpi Papa yang sempet ketunda.”

“Oh, menyelam sambil minum air..” Kataku mengangguk dan mengulang kalimatnya beberapa menit yang lalu. “But, He will proud of you, Mingyu.”

“Yes, he will.” Ia tersenyum.

“Mama? Apa kabar?”

Suprisingly but also annonying at the same time, dia selalu nanyain kamu.”

“Oh jadi aku annoying?”

“Hahaha engga gitu. Mama sehat. Setelah pisah dari kamu, Mama selalu nanyain.”

Pisah dari kamu.

And you know what? Bersyukurnya aku bisa beliin Mama rumah pensiunan di Canberra. Jadi nanti beliau bisa ikut aku kesana.”

Kita kemudian terdiam lama, dan sesekali tersenyum ketika mata kami berjumpa. Semakin malam, semakin banyak pengunjung yang menginjakan kaki ke Arborea.

“So? mind to tell me about your lover?”

Aku tertawa terbahak sebelum menjawab permintaan Mingyu dan dibalas kerutan di dahinya.

“Never, after you.”

Ia membuang nafas yang pada dasarnya tak bisa ku artikan makna nya apa.

“Aku belum nemuin orang yang klop buatku, tapi aku nemuin diriku sendiri. And that’s enough. Menurutku, itu adalah suatu pencapaian yang luar biasa.” Kataku. “Lagian suasana hectic di kantor ga mendukung buat menjalin hubungan.”

“I don’t know that you are such a workaholic?”

“Indeed.” Kami kemudian terbenam dalam tawa.

Setelah banyak perbincangan hangat antara aku dan Mingyu malam itu, menuju penghujung pertemuan, ia keluarkan sebuah amplop kertas dari dalam kantung jaketnya.

“Undangan..” Gumamnya. Aku diam sejenak. Oh, Tuhan.. Dulu ada aku yang berharap berakhir bersamanya pada sebuah pernikahan. Tapi pada faktanya, aku.. kehilangan.

“With that girl?”

“Hm. The one you found sat next to me in my car years ago, Cicitnya pelan. “Acaranya di Jakarta, aku harap kamu bisa dateng.” Sambungnya.

Aku mengangguk sebagai bentuk balasan “But, can i ask you?”

“Sure.”

“Did you do all the things that we did with her?”

Ia terdiam ketika pertanyaan itu kulemparkan, tanpa sadar mataku memanas menunggu jawaban darinya.

“We did.”

damn

“Even that Baby Blue Eyes?”

“Even that Baby Blue Eyes..”

“Reused.” Jawabku menyeringai menahan sesak dan mengundang kekehan dari mulutnya. Kami lagi lagi terdiam. Dihadapan kami, kopi tadi sudah mulai dingin dan sebuah amplop yang sedari tadi tak kusentuh.

Aku tersenyum kemudian sembari mengambil amplop kertas yang didesign sangat manis tersebut. Ada nama Mingyu dan nama sang gadis yang akhirnya aku tau pada hari ini.

“Tanggal 25 ya? Kayanya aku gabisa, aku penugasan keluar kota.”

“Penugasan atau emang mau lari? Hm?” Ada sedikit indikasi candaan dalam intonasi suaranya.

“Jadi apa aku harus tulisin schedule kerjaan aku disini, Mingyu?” Ia tertawa, kemudian menunduk dalam diam untuk beberapa saat. Cukup lama.

“You look happier.” Katanya tiba tiba membuatku mengernyitkan dahi.

“Keliatannya gitu ya? Bagus deh kalau gitu. Berarti aku sukses nemuin jalan menuju diriku sendiri.” It's a win, for me.

“Aku boleh nanya gak sama kamu?” Mingyu membenarkan posisi duduknya.

“Boleh.”

Ada tarikan nafas yang pelan ia susun sebelum mengeluarkan pertanyaan yang tertuju untukku. Ada gerakan mata yang pelan menemukan mataku. Dirinya kemudian menyahut, “Gaada jaminan buat aku kalau suatu saat nanti akhirnya semesta membalas apa yang udah aku buat ke kamu..”

“Maksudnya?”

“You said you believe in karma, right?”

“Hukum alam?”

“Whatever you said.”

“Terus?”

“Gaada jaminan buat aku kalau suatu saat bisa aja Istriku ngelakuin hal sama kaya yang aku lakuin dulu ke kamu,” Kalimatnya kini tertahan. Kini tangannya saling bertaut dan menatap kedalam irisku. “Kalau ternyata ditengah jalan aku masih punya kesempatan kedua buat bareng sama kamu, boleh aku ambil ga kesempatannya?”

Aku terdiam. Dihadapanku ini ada seseorang yang dulunya sangat kudamba. Dihadapanku ini ada orang yang dulu eksistensinya selalu aku harapkan muncul menjemputku didepan gerbang rumah. Dihadapanku ini ada orang yang dulu selalu aku harapkan untuk menyanyikan Baby Blue Eyes dengan suara berat dan serak miliknya selamanya. Dihadapanku ini ada seseorang yang dulunya sangat kucinta sampai sampai membuatku hampir mati saat kehilangannya. Ia hari ini muncul dengan sebuah desperasi penuh tanda tanya yang aku pun sendiri tidak pernah tau apa maknanya.

Aku tersenyum, menatap dalam manik mata miliknya yang tak pernah berubah dan selalu kurindu. Manik mata milik Mingyu.

“No,“ Jawabku. “I deserve better.”

—Cause there we are again when i loved you so. Back before you lost the real one thing you’ve never known. It was rare, i was there, I remember it all too well—