Sekolah kedokteran emang ga pernah gampang. Jujur aja walaupun itu bagian dari mimpi yang gue impi impikan sejak kecil, ngejalaninnya butuh kesabaran ekstra dan ketelitian yang gak kalah ekstra, karena kalau lo salah diagnosa, kelar dah hidup lo.

Hidup pasien lo juga.

Orang orang manggil gue Candra, atau Cand atau kadang juga Dirga, tapi adek gue yang paling bungsu yang selalu dipanggil Dirga sama temen temennya. Gue ga masalah orang orang manggil gue apa yang penting jangan kaya bocah SD yang manggil temen pake nama bokapnya.

Tapi ini bukan cerita soal bagaimana eksistensi gue dimata orang orang. Tapi soal gimana eksistensi dua orang yang sampe sekarang bikin gue bertanya tanya, “Semesta emang sekejam dan sekeji itu, ya?”

Siang tadi gue ngeliat postingan Instagram temen gue, atau gue bakal bilang sahabat gue. Sahabat yang selalu gue percaya dimana pun gue berpijak, sahabat yang selalu ada bareng gue dikala susah ataupun senang. Sahabat yang selalu jadi orang pertama yang mendengar keluh kesah gue, dan sahabat yang selalu jadi orang pertama yang mendengar kabar bahagia gue.

Pun waktu akhirnya perasaan terpendam gue terbalas oleh satu cewe yang selalu mengusik pikiran gue sebelum tidur bahkan saat akhirnya bangun lagi. Wendy.

Dia sekolah keperawatan dan sekolahnya ga jauh dari kampus gue. Gue ga sengaja kenalan sama dia waktu gue dengan senang hati membayar pesanan kopi nya di Coffee shop pinggir jalan. Waktu itu gue ngeliat gerak geriknya yang kayanya kehilangan sesuatu. Dan ternyata bener aja, dia kehilangan dompetnya.

Kejadiannya udah lama, waktu gue masih awal awal jadi mahasiswa baru fakultas kedokteran. Setelah kejadian itu, gue memberanikan diri buat ngajak dia ngobrol tapi ditolak sama dia. Dia cuman bilang makasih dan berlalu pergi gitu aja.

Kita sering papasan secara ga sengaja di jalan deket Coffee Shop sederhana itu. Ketika ngeliat dia, gue berharap bahwa dompetnya selalu ketinggalan atau hilang secara mendadak, biar gue punya alasan untuk ngajak dia ngobrol walau sebentar. Tapi yang gue dapat selalu dia yang udah ready dengan dompet di tangannya.

“Cantik banget anjir, sumpah” Ini gue yang lagi senyum frustasi merepresentasikan sosok Wendy dihadapan sahabat gue. Waktu itu gue belum tau namanya siapa.

“Siapa sih? Sekolah keperawatan yang diseberang itu?”

“Iya, Han. Dari simbol bajunya gue tau” Johan Sadhana. Sahabat gue yang akan jadi Highlight dalam cerita kali ini.

Gue dan Han kenalan waktu ospek. Kita ga sengaja telat datang dan akhirnya disuruh lari mengelilingi parkiran fakultas yang luasnya kaya lapangan bola. Setelah mandi keringat, ternyata gue lupa bawa tumbrl air minum. Dengan tenggorokan yang kering, gue ngelirik Johan yang waktu itu minum air dengan hasrat yang menggebu gebu. Gue ngeliatin dia sambil nyengir dan untungnya dia peka dengan ngasi tumbrl minumnya buat gue habisin.

That’s how our friendship started.

Kemudian segalanya dimulai dari situ, seperti yang gue bilang sebelumnya bahwa segala apapun yang berkaitan dengan hidup gue pasti akan selalu ada Johan didalamnya, entah itu sengaja ataupun tidak.

Johan selalu cerita soal keluarganya. Ayahnya tentara dan Bundanya yang bekerja sebagai Ibu rumah tangga, juga satu adik perempuannya yang selalu dia bangga banggakan di hadapan gue. Perputaran cerita keluarganya akan bertumpu pada adik kecilnya, dari raut wajahnya gue bisa paham seberapa sayangnya Johan sama adiknya.

Kita berdua sama sama anak sulung yang cerita keluarganya berbanding 180 derajat jauhnya, gue yang punya dua adik laki laki yang selalu bikin gue geleng geleng kepala dengan tingkah mereka yang aneh dan gaada habisnya.

Johan gapernah cerita ke gue soal perasaan yang dia punya untuk seseorang, ga pernah sekalipun. Eksistensi dia disamping gue adalah mendengarkan betapa candu nya gue pada seorang cewe bernama Wendy yang padahal waktu itu gue cuman bermodalkan papasan doang sama dia tanpa pernah bertukar pesan maupun ucapan. Bahkan sekedar senyuman.

“Nanti dia udah punya pacar mangkanya nolak elu, Cand?” Kata Johan malam itu, kita lagi di laboratorium buat menghadiri kelas praktik.

“Itu masih spekulasi, Han. Belum sah kalau belum gue tanyain langsung”

“Yaudah tunggu apalagi? Mau nunggu sampe ditikung orang lu?”

“Salahnya gue bingung ngajakin ngomongnya gimana. Orang setiap ngeliat gue dia menghindar”

“Dicegat aja”

“Dikira entar gue mau ngerampok lagi”

“Nih ya gue kasih tau. Kalau lo mengulur waktu kaya gini, yang ada lo keserempet Cand, mending sekarang deh daripada keduluanan orang lain”

Bener. 100 persen bener apa yang dibilang Johan. Gue terlalu mengulur waktu dan gue gatau kalau besok bisa aja gue keduluanan sama orang lain. Akhirnya gue memutuskan untuk ngajak dia ngobrol walau sebentar, besoknya di Coffee Shop pinggiran itu. Tapi gue lupa masa itu, mau seberapa cepat pun gue mendapatkan Wendy, gue lupa kalau jalan hidup bukan di tangan gue melainkan ada di tangan yang diatas.

Sejujurnya gue ga bisa memastikan apakah Wendy akan datang kesana lagi kali ini atau tidak, tapi untuk hal itu gue pikirkan belakangan dan memilih fokus untuk gimana cara ngajak dia bicara.

Bersyukurnya gue bahwa hari itu semesta mempertemukan gue lagi dengan Wendy.

Ketika dalam antrian, gue tepat berada dibelakang dia. Harum parfumnya bisa gue cium padahal jarak gue ga terlalu dekat dengan dia, punggungnya bahkan bisa menggetarkan hati seorang Candra hari itu.

“Biar saya aja yang bayar” Itu plan pertama yang akhirnya terpikirkan.

Gue bisa melihat dia yang terkejut karena memang gue langsung nyosor ke samping buat ngasih debit card ke baristanya sekalian gue menyebutkan pesanan untuk diri sendiri. Dia cuman diam dan gue sedikitnya mengulum senyum menahan malu.

Untuk kesekian kalinya dia hanya bilang makasih dan hampir berlalu, sebelum tangannya gue pegang untuk mencegat.

Iya, agak gak sopan.

“Sorry” Kata gue langsung melepas tangannya karena emang hal itu terjadi diluar kemauan gue sendiri. Impulsivitas.

“Iya gapapa, Mas” Katanya. Apa keliatan setua itu? Batin gue.

“Sibuk ga? Kalau duduk sebentar sama saya, mau?”

Dia diam cukup lama menunduk memandangi sepatunya. Gue deg deg an banget nunggu jawaban, karena kalau dia nolak, besoknya gue harus mikirin plan lainnya untuk ngajak dia duduk bareng gue.

“Boleh”

Disitu rasanya gue kaya menang lotre dan akan jadi miliarder ngalah ngalahin Papa. Disitu rasanya gue pengen mengepalkan tangan gue dan loncat seakan akan gue juaranya. Padahal dia cuman mengiyakan ajakan duduk bareng gue.

Kita akhirnya duduk sebentar di kursi di trotoar yang udah di sediakan. Berisik karena harus mendengar suara motor dan mobil yang berlalu lalang. Jadi kadang sesekali gue atau Wendy harus teriak kalau mau ngomong dan hal itu mengundang tawa kecil diantara kita.

Hari itu, gue langsung memberanikan diri buat minta nomor telfonnya dia.

Sekali lagi, bersyukurnya gue semesta merealisasikan angan gue soal Wendy.

Gue kemudian akan bilang bahwa pemikiran abstrak soal Wendy dan gue ditiap jam 4 subuh akhirnya di restui semesta. Karena akhirnya ada gue dan Wendy, ada kita.

Kebahagiaan yang terjadi kala itu gue kabarin ke Johan dan dia gak kalah senengnya karena cuman dia yang tau apa apa yang terjadi saat gue mati matian mengejar eksistensi Wendy untuk gue miliki. Dia tepuk pundak gue dan bilang “Gitu dong, Bro! Gerak cepat” atau “Gilaa! Congrats ya Cand, besok jajanin gue bakso aja deh”

“Jajan yang mahal aja mah kita, Han” Kemudian kita berlarut dalam tawa.

Selepas itu, gue selalu bawa Wendy kalau ada acara makan malam keluarga atau sekedar kumpul biasa di rumah. Mama, Papa dan adik adik gue membuka tangan dengan lebar akan kehadiran Wendy di keluarga, dan gue sangat bersyukur soal itu.

Kadang ada Mama yang selalu menanyakan bagaimana fashion wanita zaman sekarang kepada Wendy, atau hal hal yang Mama mungkin sudah ketinggalan zaman dan akan berujung bertanya kepada Wendy. Dan sosok itu, sangat luwes terhadap keluarga gue. Lagi lagi gue sangat mensyukuri itu.

Dilain waktu saat wisuda gelar dokter, Wendy juga datang, tapi sendirian. Gue kira dia akan bawa orang tuanya juga yang mungkin akan dikenalkan ke Mama dan Papa, tapi nihil. Hanya batang hidung Wendy yang muncul hari itu.

Bahkan saat wisuda gelar dokter spesialis, lagi lagi Wendy datang sendirian.

“Mama sama Papa ga kamu ajak, Wen?” Tanya gue.

“Mereka sibuk, Cand. Udah aku kasih kabar”

Setelah itu muncul banyak pertanyaan soal kesibukan apa yang orang tuanya miliki sampai sampai dua kali wisuda dokter gue mereka tidak muncul. Bahkan pertanyaan dari Mama dan Papa datang bertubi tubi menuju gue, soal apakah Wendy serius ada disamping gue atau hanya membuang buang waktu. Gue kemudian memberikan sedikit pengertian padahal gue juga abu abu dalam menyikapi soal ini.

Gue dan Johan kemudian di tugaskan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Rumah sakit yang sama pada saat kita koas dulu. Gue bersyukur bahwa pada akhirnya semesta tidak memisahkan gue dan Johan, karena disinilah akhirnya kita, dapat tugas shift malam dan sedang menyeruput kopi instan dalam cup plastik.

“Jadi? Kapan lo mau ngelamar Wendy?” Kata Johan membuka pembicaraan.

“Gimana ya, Han. Gue sama sekali belum diajak dia ketemu orang tuanya” Kata gue menyunggingkan senyum frustasi.

“Tapi lo baik baik ajakan sama dia?”

“Iya baik. Tapi ya itu, dua kali wisuda gue, orang tuanya sama sekali ga dateng, bahkan ga ngucapin selamat” Gue menyeruput kopi yang ada ditangan. “Alasannya selalu sibuk”

“Lo sendiri? Udah 27 Han, masa gaada yang kecantol?” Tanya gue, karena semenjak kuliah dan selalu bersama dengan Johan, sosok itu ga pernah sekali pun cerita ke gue soal asmara.

“Gue mau di jodohin” Gue sedikit tersedak mendengar pengakuan Johan.

“Hah? Serius lo?”

“Bokap gue ga pernah maksa buat nerima, ya maksudnya terserah gue mau cari calon Istri dimana dan siapa.“

“Terus?”

“Jadi bokapnya si cewe ini temennya bokap gue pas dulu masih pelatihan. Katanya waktu ketemu gue beberapa hari yang lalu, dari dulu kalau ngeliat gimana gue ngejaga dan ngerawat adik perempuan gue, dia ngerasa kalau apapun yang ada di genggaman gue pasti akan terawat dengan baik” Johan menyunggingkan senyum. “Padahal selama jadi kakak paling tua, gue banyak kurangnya, Cand”

“Ya prespektif orang dalam melihat pasti bakal beda beda, Han. Kalau emang bokapnya bisa percaya, berarti emang ada sesuatu didalam diri lo yang gabisa orang lihat dan dia dengan yakin percayain putri nya buat lo” Kata gue. “Kalau gue jadi lo, gue gabakal sia siain kesempatan itu”

“Mama, doain Candra ya. Nanti apapun kabarnya pasti Candra kasih tau” Gue mencium punggung tangan Mama diikuti beliau yang mencium kedua pipi gue. Begitupun dengan Papa.

Hari ini gue berniat memantapkan diri untuk mendatangi rumah Wendy untuk berbicara dengan kedua orang tuanya. Awalnya gue udah sempet contact Wendy dan dia juga udah bilang kalau gue lebih baik datang sehabis sholat Ashar. Tapi semenjak Dzuhur tadi, pesan gue belum di balasnya.

Gue berniat untuk meminta izin, nanti ketika akhirnya semua direstui barulah gue memboyong keluarga gue kepada Wendy.

Sesaat mobil gue berhenti di pekarangan rumahnya, gue meihat ada mobil lain terparkir disana. Awalnya gue merasa agak ragu karena barangkali Ayahnya sedang ada tamu, lagi lagi pesan yang gue kirimkan tak kunjung mendapat balasan. Gue tetap meneguhkan niat dan berjalan menuju pintu rumah dan memencet bel dengan mantap. Berkali kali hingga seorang wanita yang sangat gue kenal tertangkap manik mata gue.

Matanya sedikit bergetar melihat eksistensi gue, dan tak lama seorang wanita paruh baya muncul dibalik daun pintu.

“Wen? Siapa?”

“Candra, Bu” Jawabnya.

Ketika daun pintunya sudah sepenuhnya terbuka, manik mata gue dapat melihat dengan jelas sosok Johan disana, bersama kedua orang tuanya dan adik kecilnya yang selalu dengan bangga ia ceritakan ke gue.

Masih didepan pintu, kaki gue mendadak lemas dan tenggorokan gue perih.

“Siapa, Nak? Temen kerjamu, toh?” tanya Ayahya.

Teman kerja.

Gue bisa melihat Johan yang tatapannya berair menatap gue, begitupun balasan tatapan gue yang sejujurnya sakit melihat bahwa sejatinya sahabat gue yang terduduk disana, dihadapan Ayah Wendy.

“Nak Candra, masuk dulu”

-

“Ayah, ini Candra. Pacarnya Wendy” Itu kata Wendy sebagai pembuka pembicaraan dipenghujung sore menuju malam kala itu.

Lelaki gagah itu terdiam membuang nafas sambil menyenderkan punggungnya ke kursi.

“Ayah kan sudah bilang Nak, kalau kamu akan Ayah jodohkan dengan Putranya teman Ayah”

Johan.

“Pak, kita dengarkan dulu maksud Nak Candra ini datang kerumah. Jangan buru buru mengambil keputusan” Ibu Wendy mengusap punggung gue, setidaknya gue mendapatkan ketenangan barang sedikit saat itu.

Gue, Orang tua Wendy dan Wendy sendiri kini ada di ruang kerja milik Ayahnya. Cukup untuk kami berempat sedangkan di luar sana Johan dan keluarganya menunggu. Dari sudut mata gue, gue bisa melihat bagaimana Johan bersikap kepada adik kecilnya yang sejujurnya sudah tidak pantas disebut kecil karena keperawakannya yang sudah gadis. Sikap yang ga pernah gue tuangkan kepada adik adik gue.

“Pak, saya ingin melamar putri Bapak”

-

Diruangan itu bersisa gue dan Ayah Wendy. Bermenit yang lalu, Ayahnya menyuruh Ibu dan Wendy untuk meninggalkan ruang kerja ini. Kini, ada dua pasang mata yang saling bertaut dan mata gue yang penuh takut.

“Nak Candra..” Suaranya berat dan membuat jantung gue berdetak tak karuan.

“Wendy itu putri semata wayang saya. Dia tidak punya kakak dan tidak punya adik. Untuk mendapatkan Wendy saja, saya dan Ibu nya berjuang mati matian.” Itu kata Ayahnya.

“Kalau saya umpamakan, barang berharga yang sedang saya genggam ini, tak akan rela saya berikan Cuma Cuma. Saya bahagia dengan ini dan diapun harus saya bahagiakan karena ini adalah sebuah bentuk cinta orang tua yang tidak terbatas nilainya.”

“Nak Candra. Saya mohon maaf, ya? Kalau pun boleh, tidak rela saya berikan putri saya kepada siapapun. Kalau pun boleh, saya mau hanya saya yang membahagiakan dirinya sampai ia mati. Tapi itu hanya akan menjadikan saya seorang Ayah yang egois. Ia harus tetap menjalani hidup. Mungkin kelihatannya saya egois karena harus menentukan kepada siapa ia harus mengabdikan dirinya, tapi kemudian ini adalah bentuk kasih sayang dan cinta saya kepada putri saya, Nak”

“Johan..” Kata Ayahnya, sesaat kemudian gue melihat sosoknya diluar sana tertunduk dan sesekali menatap kedalam ruangan ini.

“Dari semenjak dulu, saya selalu suka ketika ia dengan sangat luwes menjaga adiknya, memperlakukan adiknya seakan akan ada berlian ditangannya. Semenjak itu, terbesit niat bahwa putri saya akan saya percayakan kepada Johan. Tidak ada ragu sedikit pun dalam diri saya ketika melihat Johan.”

“Nak Candra, saya tau niat kamu datang adalah untuk meminta izin bahwasannya kamu akan menjaga putri saya dan menggantikan posisi saya. Tapi restu saya hanya ada pada Johan, sekali lagi saya mohon maaf sebesar besarnya.“

Sosok gagah itu kemudian memeluk gue. Tubuhnya yang sudah hampir dimakan waktu mengelus pundak gue dengan kasih sayang. Wajah gue sudah sepenuhnya tersembunyi didalam leher lelaki paruh baya itu. Hanya dari bentuk usapan lembut dari telapak tangannya, gue tahu betul betapa Ayahnya sangat menyayangi dan menjaga Wendy dengan penuh kehati hatian.

Setelahnya, gue meminta izin untuk berbicara kepada Wendy, setidaknya untuk terakhir kali.

“Dulu aku selalu datang ke Coffee Shop biar ketemu sama kamu, Candra. Aku gabisa dan ga berani untuk memulai. Dan alasan aku nolak ajakan kamu, karena aku gamau hal ini terjadi tapi akhirnya aku ga bisa menahan diri untuk ga jatuh. Kamu tau ga betapa bahagianya aku pas kamu ajak duduk berdua walaupun Cuma di trotoar?” Ia tersenyum sembari menunduk.

“Alasan nama kamu ga pernah aku sebut adalah karena Ayah udah memantapkan bakal jodohin aku sama anak temannya yang aku gatau kalau itu sahabat kamu sendiri. Semesta emang kejam ya, Candra?” Matanya kini dialiri tetesan bening yang jatuh secara bergantian.

“Aku selalu bicara sama Ibu, supaya setidaknya aku bisa memperjuangkan cintaku sendiri, tapi nihil. Setiap pembicaraan selalu berujung pada Johan. Hari ini pun aku kira dengan datangnya kamu, Ayah akan luluh, tapi sama sekali enggak kan, Candra?” Ia masih tertunduk.

“Perjuangan Ayah dan Ibu dalam membesarkan aku ga mungkin aku balas dengan pemberontakan. Dan aku ga akan sampai hati untuk menjadi anak durhaka untuk mereka..” Ia memutar tubuhnya dan kini berhadapan dengan gue.

“Candra, terimakasih ya sudah singgah di hidup ku yang bahkan aku gapunya kendali penuh atas jalan hidupnya. Terimakasih sudah berjalan beriringan bersamaku dalam mengejar mimpi kita masing masing, terimakasih sudah dikenalkan kepada Mama, Papa dan dua adik kamu yang mereka selalu dengan senang hati nerima kehadiranku. Aku titip salam, ya.” Tangannya menangkup kedua pipi gue yang kali ini sudah dibanjiri air mata.

“Candra..” Suaranya, senyumnya, cahaya matanya. Hal yang selalu gue kira akan selamanya jadi milik gue.

“Terimakasih sudah mencoba berjuang bersama, hari ini kamu boleh istirahat. Perjuangannya selesai sampai disini, ya?”

Malam itu gue bersimpuh di kaki Mama, memberikan kabar bahwasannya putra sulungnya ini harus merelakan suatu hal yang sangat ia cintai untuk hal tersebut mencapai kebahagiaannya sendiri. Usapan lembut yang diberikan Mama di pundak gue dan air mata yang terjatuh akibat ulah yang bukan gue inginkan ini membuat gue bertanya, sosok Ibu ini hanya menginginkan sebuah kebahagiaan dari putra nya, kenapa cukup sulit untuk terealisasi?

Gue terseguk dan kini membenamkan diri di lutut Mama, tangannya tak berhenti mengusap punggung gue yang bergetar hebat.

“Nak, istirahat. Kamu disuruh istirahat. Besok akan ada hal baik yang singgah dihidupmu dan dihidup Mama. Candra tidak pernah mengecewakan Mama, kehadiran Candra selalu jadi anugrah bagi Mama dan Papa. Sudahi sedih mu ya, Nak. Besok masih ada hari untuk mengejar cita cita dan cintamu yang tertunda..”

Kemudian, pada Kala itu bertitik titik Lara menghujami eksistensi gue, tak kenal ampun sampai kini ada perasaan yang sudah mati rasa.