Apasih poin dari jatuh cinta tanpa bisa memilliki? Ga ada.

Namanya Kak Dirga. Kelas 3 SMA di sekolah yang sama sepertiku. Kami ada dibawah naungan 1 nama sekolah swasta di Jakarta Pusat. Sedangkan aku? Hanya anak SMP yang tidak tau diri untuk jatuh cinta pada orang yang jarak umurnya jauh dari umurku sekarang.

Atau pantaskah aku sebut jatuh cinta? Bukannya kata itu terlalu tua untuk umurku yang dini ini?

Apapun itu, aku selalu senang melihat dia saat upacara di lapangan sekolah. Wajahnya yang disiram cahaya matahari selalu membuat degup jantungku berdetak tak karuan. Dia jarang senyum, dia diam. Kata Yeri, anak anak SMA selalu suka dengan perangai Kak Dirga, tapi katanya juga, jangan pernah berharap untuk jadi milik Kak Dirga. Karena hanya orang orang beruntung yang bisa membuatnya jatuh hati dan memilih menghadirkan sebuah status.

Kak Iren misalnya.

Aku ini bocah sembrono tebal muka yang dengan percaya diri selalu memberikan hal hal sederhana untuk ku suguhkan pada kak Dirga. Di koridor gedung SMA. Wajahnya akan menunjukan senyum ribuan arti yang pada dasarnya sama sekali tidak bisa kuartikan.

Pagi ini, saat aku berniat untuk kesekian kalinya memberikan sesuatu, kudengar percakapan soal Kak Dirga yang mengajak Kak Iren membangun hubungan serius di depan kelas Kak Iren. Iya, Kak Iren ditembak.

Detik itu aku hanya terdiam sambil berusaha memproses hal yang sedang aku dengar. Aku Lara, mungkin namaku terdengar pantas untuk kasus ini.

Kak Iren berada jauh bertingkat tingkat diatasku. Cantik, putih, tinggi, ambisius dan punya jiwa pemimpin. Dia selalu dipercaya oleh tiap guru untuk dijadikan panitia panitia inti pada setiap acara pensi sekolah. Dan aku harap aku ada di posisinya.

Kak Dirga anggota basket. Iya, Lara yang bukan siapa siapa ini tak tau diri untuk menumbuhkan rasa pada seorang kak Dirga yang mengejar seorang wanita keren 1 sekolah bernama kak Iren. Lara, tidak akan pernah mampu bersaing.

2 minggu yang lalu aku dan Yeri pergi mencari sebuah souvenir untuk dijadikan kenang kenangan dan akan aku berikan langsung pada kak Dirga rencananya. Minggu depan adalah acara pelepasan siswa kelas 3 SMA mengingat seminggu kemudian mereka harus menjalani UN.

Jujur, aku tidak bisa medeskripsikan perasaanku sendiri. Aku sedih, tentu saja. Tapi apakah bocah tidak tau apa apa sepertiku pantas menangisi hal itu? Ditambah hal ini adalah kesalahanku sendiri.

Yeri berkali kali bilang padaku bahwa kak Dirga bukan orang yang gampang untuk dimiliki. Tapi kemudian apakah perasaan yang aku letakan ini adalah sebuah kesalahan? Awalnya aku berfikir bahwa itu bukan kesalahan, perasaan tidak pernah bisa dipaksa dan terkadang ia tumbuh pada orang orang diluar kendali pikiran kita sendiri. Tapi aku akan ucapkan sakit hatiku sekarang sebagai kesalahan yang aku perbuat sendiri dan ini adalah konsekuensi.

-

Pagi itu dirumah, aku duduk dipinggir tempat tidur menatap bingkisan yang akan aku berikan pada kak Dirga nanti disekolah. Aku berkali kali menggosok buku buku tanganku. Risau dan gelisahku menjadi satu. Bimbang dan dilema. Haruskah aku berikan atau aku buang saja bingkisan ini?

Isinya jam tangan. Sederhana memang, tapi yang aku harapkan adalah apabila ia bersedia menggunakannya, maka aku akan merasa bahwa ada aku di tiap waktu ia melihat detiknya. Tapi kemudian semuanya pupus. Tak akan ada hal semacam itu.

Orang orang selalu benar soal jangan pernah berharap pada sesuatu yang tidak pasti adanya, karena disinilah aku. Duduk termenung memikirkan hancurnya skenario bahagia yang dulu aku dambakan. Pada pukul 08.30 aku sudah duduk manis di bangku kelasku dengan bingkisan yang masih saja aku amati dalam diam. Disampingku ada Yeri yang terus terusan bulak balik berfikir tentang cara terbaik agar bisa aku berikan bingkisan ini.

“Gausah dikasih deh” Katanya. Aku kemudian menolehkan pandanganku. “Tapi dikasih aja” Katanya lagi membuatku mengernyitkan dahi.

“Aduh gimana ya, Ra” Yeri kemudian membanting tubuhnya duduk dikursi kosong sebelahku.

“Ada dua konsekuensi.” Ia memutar tubuhnya dan menatapku. “Pertama, Kalo lo ngasih ini dan kak Iren tau, lo habis. Kedua, kalo lo ga ngasih ini, ini hari terakhir lo ketemu sama kak Dirga dan lo gabisa tau kapan lo bakal ketemu sama dia lagi. “

“Jadi?” Tanyaku.

“Karena dua duanya berkonsekuensi, keputusan ada ditangan lo” Yeri diam dan aku juga diam. Aku diam memikirkan yang mana baiknya aku pilih karena dua duanya punya konsekuensi masing masing.

Aku memang tidak kenal baik dengan kak Iren, tapi yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana jadinya seorang bocah belum menginjak remaja sepertiku dengan berani menghadiahi pacarnya sebuah jam tangan. Atau bagaimana pandangan anak SMA digedung sebelah sana yang mengetahui soal hubungan Kak Dirga dan Kak Iren kemudian menemukan seseorang yang dengan senang hati memberikannya bingkisan.

Lara, kamu memang sudah tidak waras.

Tapi kemudian, akhirnya aku memutuskan. “Gue kasih aja, Yeri”

Aku memang masih bocah. Umurku masih 12 tahun dan aku masih duduk di bangku SMP. Tapi, kakakku dan aku selalu di didik agar selalu menghargai kesempatan dan belajar berani mengambil risiko. Kedua kasus yang diberitahu Yeri tadi sama sama memiliki risiko, tapi untuk opsi kedua mungkin aku akan menyesali nya apabila tidak ku ambil kesempatannya.

“Gue anterin lo nanti. Gue dukung lo, Ra. Ini terakhir kali lo ketemu kak Dirga”

-

Jam sudah menunjukan hampir jam 12 siang, sebentar lagi waktu Dzuhur akan tiba dan acara pelepasan akan ditunda untuk sementara. Aku berdiri di gedung tingkat atas gedung SMP, menerawang untuk mencari sosok itu namun nihil dalam pandangan mataku. Disebelahku juga ada Yeri yang ikut mencari keberadaan sosok itu.

“Yer, lo yakin ga sama gue?”

“Yakin lah. Liat lo ikut olimpiade Bahasa Inggris aja gue yakin apalagi cuman ngasih bingkisan doang?”

“Kalau habis ini gue dilabrak?”

“Lawan aja” Katanya. “Pake bahasa Inggris” Kami terbahak sejenak, degup jantungku yang tak karuan tadi pun agaknya mulai tertempo dengan rapi.

“Ra, itu Ra. Dibawah pohon”

Manik mata kami berdua menangkap sosok itu. Sosok lelaki tinggi dengan kacamata bulat bertengger manis di tulang hidungnya dan senyum dingin di bibirnya. Ia bersandar di batang besar pohon itu dengan kedua tangan merogoh saku.

“Ra. Gue percaya sama lo. Urusan dilabrak atau engga itu urusan belakangan. Yang paling penting sekarang adalah lo kasih ini dan ucapin salam perpisahan” Yeri merangkul kedua bahu ku dan kaki kami berjalan pelan menuruni tangga. Namun disini, kakiku sedikit lemas dan bergetar mengingat bahwa aku akan berhadapan dengan ketakutanku.

-

Kini jarak aku, Yeri dan Kak Dirga kira kira terhitung 3 meter. Pandangan sosok itu fokus pada acara di atas panggung masih dengan posisi yang sama dengan yang tadi. Sedangkan aku dan Yeri, kami berdua terhenti sejenak menatap representasi nya disana.

“Gue tunggu disini buat mantau, sekarang lo maju, Ra” Tangan Yeri mendorong tubuhku dan disinilah aku berjalan pelan dengan tukai yang bergetar dan degup jantung yang tak karuan. Disela langkahku, aku berkali kali menelan ludah karena tenggorokanku yang mengering.

Kini berlangkah dihadapanku ada Kak Dirga yang akhirnya sadar akan eksistensiku. Ia memperbaiki posisi berdirinya dan memperbaiki kacamatanya. Aku sadar soal manik matanya yang menatap sesuatu di tanganku.

“Kak Dirga, sebelumnya aku mau minta maaf dulu kalau aku lancang. Tapi karena minggu depan anak SMA udah mulai UN, dan mungkin ini hari terakhir aku ketemu Kakak, ini ada bingkisan dari aku. Dari Lara. Di ingat ya kak”

Jantungku sudah jatuh keperut bahkan sebelum aku berucap, kakiku lemas, tenggorokanku perih dan mataku panas. Sesaat aku melempar senyum dan memindahkan bingkisan itu dari tanganku ke tangannya, aku kemudian beranjak pergi sebelum air itu mengucur keluar dari pelupuk mataku.

“Makasih ya, Lara”