Nama gue Aaron, 17 menuju 18 tahun. Sesuai nama geng kita, gue young, dumb & broke. Lucu banget sih sebenernya pake acara bikin geng segala, tapi itu awalnya karena pas ospek gue secara tidak sengaja sekelompok sama 3 orang ini, dan anehnya lagi kita juga sekelas waktu pembagian kelas.
Kehidupan SMA gua tidak beda jauh sama kehidupan anak SMA biasanya. Males? Oh sudah pasti. Cabut jam pelajaran? Apalagi. Tapi diantara kita berempat, yang sealiran dengan ke—sembrono—an gue cuman Yeri. Dua lainnya boro boro mah diajakin cabut, diajakin ke kamar mandi aja mikir dua kali.
Aksara misalnya, sebagai wakil ketua osis dan selalu memenangkan olimpiade bareng Lara, sudah pasti dia banyak meninggalkan kelas dan beberapa mata pelajaran hanya untuk persiapan olimpiade atau rapat dadakan osis. Kata Aksa, kehidupan pendidikan dan organisasinya harus balance. Gue mah boro boro, hidup gue sendiri aja ga balance.
Jujur gue sih pengen kaya Aksa, keluar kelas tiba tiba ada rapat, keluar kelas tiba tiba persiapan olimpiade. Tapi sayangnya gue tidak sepintar itu untuk ikut olimpiade dan tidak semampu itu untuk mengemban kepercayaan sebagai wakil osis. Jadi, disinilah gue, kadang ngerokok bareng geng kantin habis itu masuk BK karena ketauan.
FYI,gue ini sangat sangat bodoh dalam Matematika, sumpah gue ga bohong. Kadang sangking mumetnya kepala gue, 6+5 aja gue ga yakin jawabannya 11 dan akhirnya dengan kebodohan ini gue mempergunakan kalkulator. Ya apa coba gunanya kalkulator kalau ga untuk alat bantu menghitung?
Kilas balik menuju gue di kelas 2 SMA. Waktu itu jam pelajaran Matematika di siang hari, siang bolong. Dimana harusnya lo nyeruput es teh manis di kantin, malah berujung membakar kepala dengan soal soal yang disuguhi tanpa ampun. Ditambah guru Matematika gue ini orangnya tidak terstruktur. Maksudnya, dia bukannya menjelaskan perihal materi dulu, tapi dia langsung memberikan kita semua soal yang sumpah demi Tuhan gue ga paham maksud dan isi nya apa. Dan soalnya ini tuh ada yang dari materi masa lampau dan materi masa depan yang sama sekali belum dipelajari. Bu Suri. Iya, namanya aja serem.
Karena gue udah paham banget dengan tingkah Bu Suri ini kalau ngajar, gue memutuskan untuk hengkang dari kelas Matematika siang itu. Untungnya nih, Bu Suri ini kalau masuk ga pernah absen muridnya satu satu dan pelupa banget parah. Gue udah sering ngibulin dia walaupun sebenarnya didalam hati gue yang paling dalam gue takut kualat karena sudah membohohi guru gue sendiri.
“Lo mau cabut, kan?” Tubuh gue tiba tiba merinding karena dari belakang Yeri berbisik.
“Pake toa, Yer”
“Ga kedengeran juga. Gua ikut”
“Ha?”
“Angkat kaki gue Ron sama bu Suri.” Gue menyeringai. Asik, gue punya temen. Setidaknya kalau ketauan cabut, gue bisa berdiri di ruang BK 2 jam misuh misuh bareng Yeri.
“Lo tau konsekuensinya, kan?” gue harus memastikan dulu, bro. Kalau ni anak lari dari risiko dan menyerahkan semuanya pada gue, ya gue juga sesak nafas juga dong.
“Aman. Sekali aja gue pengen membenam diri tanpa mendengar celotehan dia. tau sendiri lu dikelas ini yang bisa mengambil alih semuanya cuman Aksa”
“Yaudah, yuk”
Kita cabut diam diam. Waktu itu bu Suri belum sempat menginjakan kaki dikelas. Jadi gue keluar duluan tanpa suara sedangkan Yeri mengikuti dibelakang sambil bilang kalau dia mau buang air besar jadi ga mau ditemenin. Karena biasanya tu bocah kalau ke kamar mandi harus bareng Lara.
Kemudian, disinilah kita. Di kantin. Didapur nya kantin. Jadi kantin besar sekolah ini ada dapur tersembunyinya yang biasanya gue dan geng kantin gue jajah. Aman tanpa celah. Dan enaknya lagi, ada meja dan kursi buat para penjual kantin istirahat. Kita berdua sempet makan mi rebus disana dan jadi orang bodoh setelah kekenyangan. Karena kita berdua tiba tiba aja bengong tanpa bicara.
“Cabut keluar ayok” Sumpah ini bukan gue, ini usulan Yeri. Jujur gue agak membelalakan mata sangking kagetnya.
“Gila lo?”
“Lo udah biasa kan, tapi? Ayoklah ajakin gue. Nge—Mall kita. Gue sekalian mau beli liptint”
“Lipstick?”
“Liptint, Ron. Kalau Lipstick itu yang bentukannya kaya Stick, kalau ini tint”
“Au ah manatau gue”
“Yaudah ayo”
“Konsekuensi nya lo—“
“Tau gue tau! Sekali doang, tahun depan udah tamat”
“Sekali doang taunya entar lo ketagihan”
“Banyak bacot lu, ayok lah”
Gue akhirnya ngajak dia keluar dari pekarangan sekolah lewat belakang. Jalurnya memang agak susah karena emang ga pernah dilewatin orang orang dan mungkin ga ada yang tau kalau dari situ bisa langsung keluar dari wilayah sekolah.
Tapi sialnya pas itu satpam lagi keliling dan kita hampir ketauan kalau kita ga cepet cepet nunduk buat sembunyi. Disekitar situ ada meja dan kursi rusak yang berserakan. Gue narik Yeri buat sembunyi dibawah meja untuk beberapa saat. Dari situ, gue bisa ngerasain hangatnya deru nafas Yeri di tekuk gue. Dan anehnya, jantung gue memompa darah dalam keadaan ga normal. Gue menoleh dan akhirnya menemukan lekuk wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajah gue.
“Ron, kayanya udah pergi deh satpamnya” Pernyataan Yeri tadi langsung membuyarkan sebuah lamunan liar untuk beberapa saat.
“Lo liat lorong itu?” Dia mengangguk. “Gue hitung sampe 3 kita lari kesitu”
“Ha? Gimana?”
“3!!”
Gue langsung keluar dari bawah meja dan lari meninggalkan Yeri dibelakang yang kayanya masih kebingungan. Tapi gue bisa lihat dari sudut mata gue kalau dia juga ikutan lari menyelaraskan langkah. Rambut dia yang bergoyang karena terhentak akibat lari nya, alisnya yang mengkerut menandakan fokusnya pada lorong yang gue tunjuk dan senyum di sudut bibirnya. Gue ga pernah tau kalau ternyata Yeri memang semempesona itu.
-
“Tapi, Ron..” Bingkisan di tangan gue terjeda tepat di hadapan Yeri tatkala tangannya juga mengeluarkan sebuah bingkisan yang gue tebak isinya adalah sebuah headphone. “Ini buat Aksa..” gumamnya.
Tanpa perlu ia rentetkan lagi, gue udah paham. Paham bahwasannya gue ditolak dan dia lebih memilih teman gue yang satunya.
“Lo simpen aja, Yeri. Terserah mau lo apain” Gue langsung memindahkan bingkisan tadi ke tangannya dan berlalu pergi.
Sehari sebelum acara pelepasan siswa sebelum UN, gue contact Lara buat nanyain apa kesukaan Yeri dan mengaku kalau gue bakal confess ke Yeri hari itu. Lara bilang, Yeri selalu suka dengan yang namanya Aksesoris dan hal hal berbau make up. Karena gue ga paham soal make up gue memilih membeli paket lengkap aksesoris dan beberapa liptint yang waktu itu pernah gue liat dia beli pas kita cabut setahun yang lalu.
Gue udah sempet bilang kalau gue suka dan dibalas tundukan tak berbahasa dari dia sebelum akhirnya menunjukan bingkisan ditangannya dan ternyata ditujukan buat Aksa. Aksa yang selalu bisa dan Aksa yang akan selalu ada diatas gue dalam segi apapun.
Kemudian, Aaron ini yang sejatinya tak takut bahkan pada panggilan panggilan guru BK ataupun risiko yang ada di depan mata. Kala itu meratapi perasaan Lara nya disudut koridor sekolah. Iya, gue Aaron dan gue menangisi sebuah konsep patah hati
-
“Buat lo, Aksa”
Gue membelalak tatkala tangan itu menyodorkan gue sebuah kotak bingkisan yang isinya adalah barang yang gue impi impikan sejak awal masuk SMA.
“Gue..” Katanya menunduk. “Gue suka sama lo”
Yeri
Untuk yang kesekian kalinya gue membelalakan mata mendengar pernyataan sahabat gue ini. Sahabat yang udah bareng sama gue sejak kita masih ospek. Dan gue merasa sakit hati, karena pada dasarnya, Aksara tidak pernah menaruh rasa pada gadis ini.
“Alasannya?”
“Ha?”
“Alasan suka sama gue?”
“Emang butuh alasan?”
“Isn’t it weird if you don’t have a reason?”
Dia terdiam menatap sepatunya dan jari yang saling tertaut. Apa perasaan dia sama kaya perasaan gue waktu mau speech pas olimpiade? Mau meledak.
Yeri selalu baik. Di lingkaran pertemanan gue antara Aaron dan juga Lara, dia selalu mengorbankan apapun untuk teman temannya. Tapi mungkin gue akan bilang bahwa gue paham dan tau satu hal.
Yeri setiap pagi selalu menyempatkan diri ke kantin dan membelikan gue roti sobek dan sekotak susu. Susu kesukaan gue. Karena dia tau gue jarang sarapan kalau dirumah.
Ketika gue bilang ‘males fotokopi soal’, Yeri akan selalu berdiri dengan tegak dan pergi ke fotokopi sekolah yang jaraknya lumayan jauh kalau jalan kaki.
Yeri selalu menomor satukan gue, misalnya nanyain apa yang mau gue makan kalau kita hangout bareng.
Yeri selalu tau apa yang gue suka dan selalu menjadi pendengar yang baik ketika gue bercerita.
Tapi sayangnya, gue tidak menaruh rasa apa apa walaupun gue sadar tingkah dia berlandaskan pada suatu alasan.
Aksara ini hanya sibuk akan sekolah dan organisasi. Karena itu emang passion gue, prioritas gue.
“Gue rasa gue ga butuh alasan kenapa suka sama lo, Aksa” Dia akhirnya mendongakan pandangannya dan manik mata kita akhirnya bertemu.
Gue tersenyum dan mengelus kepalanya pelan.
“Yeri. Makasih ya selama ini udah baik sama gue. Selalu nyempatin beliin gue sarapan padahal jam masuk udah mepet.” Elusan pertama.
“Makasih udah selalu jadi pendengar yang baik kalau gue lagi pengen cerita” Elusan kedua.
“Makasih karena selalu menjadikan eksistensi gue nyata tanpa lupa dengan kehadiran gue” Elusan ketiga.
“Tapi, Yeri..” Elusan keempat. “Gue gabisa nerima perasaan lo..”
Mungkin bukan hanya Yeri yang sakit hati sekarang, pun gue. Seperti yang gue bilang, gue sakit karena sekalipun tidak pernah menaruh rasa pada gadis malang ini.
“Tapi gue punya alasan..” Elusan kelima dan terhenti. “Alasan gue gabisa nerima lo, karena agama kita ga bakal bisa nerima kita”
Satu lagi alasan yang gabisa gue tutup secara nyata mau seberapa keras gue dan mungkin Yeri mencoba, gue selalu beribadah 5 waktu setiap hari sedangkan dia pergi untuk beribadah seminggu sekali.
*Kala itu, ada sebuah Lara yang berlandaskan pada perasaan yang sejatinya bisa diruntuhkan dengan kehati hatian. Namun, Kala itu juga, ada sebuah Lara yang berlandaskan pada dinding tinggi tak terbatas yang gue, pun dia tak akan pernah bisa diruntuhkan. *
-