youngswritting

wildest

#Wildest Dream;


“Dia menangis semalam, melambai pada kepergianku”


Dunia paramedik di abad 25 tak akan membuat tiap orang menyangka, mereka sudah melakukan inovasi dengan teknologi. Bahkan, mereka bisa bermain dengan otakmu untuk melihat apakah teknologi yang mereka ciptakan memang berkerja dengan maksimal.

Di zaman yang sudah berada diatas kata modern, segala sesuatu dijamin oleh pemerintah bahkan identitas pasien yang akan dijadikan bahan percobaan teknologi mereka. Mereka dilindungi oleh undang undang bahkan tak jarang diberikan keistimewaan tersendiri akibat kesukarelaan mereka.

Jeon Wonwoo, orang orang biasa memanggilnya dokter Jeon. Diusia matang dan cerdas, ia memilih mengabdikan dirinya sebagai anggota anggota hebat yang mencetuskan berbagai macam sistem teknologi untuk membantu peramedik. The Technology Inovation of Paramedic. Ia biasa menghabiskan waktunya di pusat teknologi bersama dokter lainnya.

“Kita masih belum tau apakah sistem pengiriman ke otaknya benar benar bekerja. Jadi inovasi milik dokter Jeon masih belum bisa kita bilang berhasil”

“Pak? Bukankah kita terlalu membuang waktu untuk menunggu hasil inovasi milik dokter Jeon? Bukannya kita bisa berdiskusi untuk memikirkan inovasi yang baru?”

Jeon hanya terdiam mendengar para rekannya berkomentar soal pencetusan ide nya yang sampai sekarang belum bertemu titik hasil pada rapat kali ini. Petinggi komunitas sekaligus direktur utama rumah sakit hanya termangut sambil sesekali memainkan pena nya.

“Bagaimana perkembangan kedua pasienmu?”

“Percobaan pertama 5 tahun yang lalu sejujurnya belum menghasilkan hasil yang signifikan pak, tapi untuk pasien kedua ini, selama 3 tahun belakangan grafiknya meningkat” Jelas Jeon.

“Pak, 5 tahun itu bukan waktu yang sebentar, dan kita sudah kehabisan banyak biaya untuk mendukung inovasi dokter Jeon yang keberhasilannya saja tidak kita tau..” Kata seorang dokter lainnya.

“Bukankah biaya operasionalnya bisa kita jadikan modal untuk membuat inovasi yang baru, Pak?”

Jeon hanya membuang nafasnya, pasrah akan keadaan. Segala keputusan yang diambil kepala petinggi akan ia terima apapun yang ia katakan.

5 tahun yang lalu, Jeon membuat sebuah inovasi untuk mengirimkan pesan kepada otak. Lebih di khususkan kepada para pasien yang sedang mengalami koma. Ia berprinsip, dari pada menunggu pasien pulang pada kehidupan nyata, bukankah lebih baik kita jemput mereka? Otak mereka masih sepenuhnya dalam keadaan sadar walaupun dalam keadaan antara hidup ataupun mati. Itulah yang menjadikan Jeon percaya diri melampirkan sebuah proposal resmi agar ide nya disetujui. Tapi, sudah sejak 5 tahun yang lalu, ide nya masih abu abu. Belum bisa ia sebut berhasil pun gagal.

Dalam suasana hening rapat, seorang pria yang mengenakan jaket dokter menerobos masuk tanpa aba aba. Menciptakan gebrakan dari daun pintu dan membuat semua orang menoleh. Ia terengah diikuti cucuran keringan di pelipisnya. Tertulis nama di dada kirinya “Kwon Soon Young”

“Dokter Kwon?”

“Jeon! Kalu! Pasienmu Kalu baru saja bangun..”

Jeon terkesiap dan langsung bangkit berlalu meninggalkan rapat dan berlari menuju rumah sakit utama dimana pasien dibawah tanggung jawabnya itu dirawat. Jarak antara pusat teknologi paramedik dan rumah sakit utama cukup jauh, tak heran kenapa dokter Kwon barusan berlari terengah dengan cucuran keringat di pelipisnya, juga matahari yang berdiri tepat diatas kepala.

Di koridor rumah sakit, berkali kali ia hampir menabrak para pasien pun perawat yang berlalu lalang. Bahkan kacamata bulat yang bertengger manis di tulang hidungnya berkali kali juga hampir jatuh dari sana.

Disinilah kemudian Jeon. Dengan akses yang ia punya, ia berjalan dengan nafas yang sesak akibat berlari tadi. Kakinya yang lemas ia angkat dan mulai menyusuri lorong yang sunyi, sepi dan dingin itu.

“Dokter, Kalu baru saja bangun..” Kata Seorang perawat wanita dengan catatan laporan di tangannya ia sodorkan kepada Jeon.

“Tidak heran, grafiknya terus meningkat. Tapi kita masih belum bisa menyimpulkan apakah ia terbangun dengan teknologi paramedik milik saya atau memang bangun dengan sendirinya..” jawab Jeon.

“Rawat dulu dia seperti biasa, besok atau lusa siapkan ruangan wawancara ya. Oh iya, panggil dokter fisioterapi, saya yakin tubuhnya kaku dan harus diajak bergerak kemana mana..” Sambungnya, sang perawat kemudian mengangguk dan mengambil kembali catatan laporan tadi.

Dari luar, Jeon melihat seorang gadis atas nama Kalu terduduk menerawang kemana mana. Ia mungkin bingung atas apa yang terjadi pada dirinya 3 tahun belakangan, dan Jeon paham akan hal itu.

-

Diruangan persegi empat dengan latar putih serta kedap suara itu kini terduduk Jeon dan seorang gadis yang rambutnya menjulur sampai ke pinggang. Ia terduduk tegak dengan pakaian pasiennya dan Jeon dengan catatan laporan dan pena ditangan kanannya.

“Halo, Kalu. Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri ya. Saya Jeon Wonwoo, bisa kamu panggil dokter Jeon. Dan saya adalah dokter penanggung jawab kamu disini..”

Kalu mengangguk paham, berkali kali ia menekuk bibirnya dan manik matanya yang mengembara kemana mana.

“Boleh kamu perkenalkan diri kamu?”

“Kaluna Zora..” Jawabnya.

“Umur?”

“19 tahun..”

Jeon terdiam sejenak, tersenyum kemudian membetulkan kacamatanya.

“Kalu, kamu 2 minggu yang lalu berumur 22 tahun..” Kalu termenung mendengar pernyataan Jeon kemudian menatap sang dokter.

“Kamu tau apa yang terjadi?” Tanya Jeon.

“Tidur..” Jawab sang gadis cepat kemudian terdiam. “Tapi rasanya sangat lama..” Sambungnya.

“Kalu, kamu sudah tidur selama 3 tahun..”

“Selama itu?”

“Iya, selama itu. Bagaimana perasaanmu sekarang?”

Kalu terdiam. Diruangan itu yang terdengar hanya suara detak jantung masing masing. Jeon mengapit jari jarinya didepan wajah dengan sikut yang ia jadikan tumpuan sambil menunggu jawaban sang gadis.

“Sedih..” Jawabnya.

“Sedih?”

“Rasanya seperti aku baru saja meninggalkan seseorang dan dadaku rasanya sesak” Matanya terpaku entah kemana, berusaha mengingat.

“seseorang?”

“Mungkin aku Cuma bermimpi ya, Dok” Tanya Kalu.

Jeon mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan yang dilontarkan pasiennya ini. Ia hanya berspekulasi bahwa mungkin saja gadis ini memang bermimpi.

“Kamu memimpikan seseorang dalam koma mu, Kalu?”

“ada orang disana. Tapi aku gak terlalu ingat. Yang aku ingat cuma bisikan bisikan yang nyuruh aku kembali.”

“Kalu? Kamu dengar itu?”

“Rasanya suaranya ada dimana mana” Cicit sang gadis.

Jeon kemudian bisa menyimpulkan bahwa apa yang ia lakukan kemungkinan akan menghasilkan sebuah kata berhasil.

“Kalu, kamu bilang ada orang lain disana..” Kalu mengangguk pelan dan menatap Jeon. “Boleh aku tau siapa? Dan bagaimana bisa kamu bersama orang ini?”

“Aku gak terlalu ingat, tapi..” Mata Kalu mengembara berusaha mengingat disertai jarinya yang terus terusan ia usap.

“Sebuah lapangan hijau dan ilalang..” Katanya.

“Bunga Lily, Bunga Krisan, Bunga Daisy dan ada Baby’s Breath” Bibirnya bergetar menjelaskan.

“Cahaya matahari, pohon besar dan banyak sarang burung, teduh dan dibawah sana..” Ia menutup matanya, mengekerutkan alis dan membuang nafasnya. “Ada seseorang..”

-

Terakhir yang aku ingat adalah aku tenggelam dan kepalaku terbentur. Kemudian, disinilah aku. Lapangan tak berujung, ilalang dan bunga bunga kecil, matahari yang cahayanya menusuk tapi tak terasa panas, pohon besar yang teduh, juga..

Seseorang di bawah sana.

Aku pikir aku sudah mati. Disini tenang, tak dingin dan tak panas. Yang aku dengar hanyalah kicauan burung serta hembusan angin. Juga suara petikan ukulele dari seseorang dibawah sana dengan kaki kanan yang ia lipat dan punggung serta kepalanya yang menempel pada pohon.

“Little Love.. I’m Lost and might be never found. I’m hoping you can help me out..” Ia bernyanyi.

“TUHAN!!” Katanya terkejut melihat eksistensiku dengan memegangi dadanya.

“Siapa?”

“Aku? Aku Kalu..”

“Kenapa bisa disini? Kamu udah mati ya?”

“Hah? Memangnya ini tempat orang mati?”

“Ga tau sih..”

“Kenapa ga tau?”

“Waktu itu yang aku ingat cuman aku kecelakaan, terus tiba tiba disini. Berarti aku udah mati, kan?”

“Berarti aku juga udah mati?”

“M-mungkin?”

Aku dan lelaki ini terdiam. Ia masih memegangi ukulelenya. Mungkin saja aku harus menerima fakta bahwa aku memang sudah mati. Ia kemudian duduk kembali dibawah pohon dengan posisi yang sama seperti tadi, diikuti aku yang juga ikut duduk disampingnya tapi menciptakan jarak.

“Kalau udah mati, kenapa bisa ada ukulele?” Tanyaku.

“Jangan tanya aku, soalnya tiba tiba aja ada..”

“Berarti ini surga, gitu?”

“Ga mungkin juga, soalnya cuman ada kita berdua. Kalau memang ini surga, pasti bakal ada banyak orang disini..”

“Terus apa dong namanya kalau ga surga?”

“aku ga tau”

“kenapa kamu bisa bilang cuman kita berdua?”

“Semenjak aku disini, ga pernah ada siapapun. Terus tiba tiba ada kamu..”

“Oh, mangkanya kamu kaget ya tadi?” Tanyaku sambil mencabut rumput dan memainkannya.

“Iya..”

Kami kembali terdiam. Ia memetik senar ukulelenya tanpa bernyanyi seperti tadi. Yang aku dengar hanya kicauan burung dan suara gemerisik ilalang yang ditiup angin.

“Aku tadi udah kenalin diri, nama kamu siapa?” Tanyaku. Dirinya yang sendari tadi memetik senar kemudian memutar tubuh dan menghadap padaku, duduk bersila dan tersenyum.

“Mingyu!”

“Kaya nama hari..” Balasku menjabat tangannya karena ia duluan menyodorkannya.

“Itu Minggu..” Katanya. “Kamu kenapa bisa disini?”

“Gatau. Aku cuman ingat kalau aku tenggelam terus kepalaku kena sesuatu, terus tiba tiba aja ada disini..”

“Kamu bunuh diri ya?”

“enggak..”

“Oh, kirain kamu bunuh diri..”

“Mungkin dibunuh..”

“Maksudnya?” Ia membenarkan posisi duduknya. Menopang dagu dengan tangan dan fokus menatapku.

“Ga tau. Pokoknya aku diajak main ke pinggir sungai, pas diajak foto entah ga sengaja atau sengaja aku ngerasa kaya ditolak? Ga tau juga.” Jelasku. “Kakiku kesandung batu terus jatuh..”

Mingyu mengangguk kemudian, masih memeluk ukulelenya.

“Kamu? Kenapa bisa ada disini?” Tanyaku. Ia kembali kepada posisi awalnya. Bersandar pada pohon dan membelakangiku.

“Aku berantem sama pacarku..” Katanya.

“Terus?”

“Aku marah, jadi malam itu aku naik mobil dan ga peduli berapa kecepatannya.” Ia terdiam sejenak. “Di persimpangan aku dengar klakson dan..”

“Dan?”

“Dan tiba tiba udah disini..” Ia menoleh menatapku.

“Rasanya gimana, Mingyu?”

“Rasanya kecelakaan?”

“Iya, Hahaha” Jawabku sambil terkekeh sedikit.

“Di dada kiriku sekarang ada bekas luka, mungkin bekas luka gara gara kecelakaan itu. Aku ga terlalu ingat rasanya gimana, tapi dadaku sesak..”

“Pasti sakit ya..”

“Kan kamu juga luka, Kalu..” Cicit Mingyu. “Itu di jidat kamu ada luka..” Sambungnya.

“Ha? Masa?” Aku cukup terkejut. Kupegangi jidatku dan merasakan adanya luka kering yang memanjang disana. Lama kusentuh, kupegangi dan kurasa dengan seksama.

“Kamu becermin aja di sungai dekat sini..” Sahut Mingyu kemudian. “Mau aku anterin?”

-

“Aku gatau kalau airnya bakal sejernih ini” Sahutku. Mingyu bersender pada sebuah pohon dipinggir sungai. Kemeja putih kebesaran dan celana berwarna khaki yang memeluk tubuhnya. Ia memainkan patahan ranting di jarinya.

Aku berlutut kemudian menatap wajahku dengan luka memanjang di dekat pelipis kanan, Mingyu benar, ada luka disana. Kupegangi namun tak terasa sakit sama sekali.

“Ga sakit”

“Memang..”

“Kamu tau?”

“Coba aja cubit pipimu, pasti ga sakit..” Aku kemudian mencubit pipiku kuat.

“Berarti ini mimpi?” Tanyaku setelah menyadari dibagian manapun aku cubit, tak ada rasa nyeri sedikitpun. Aku menoleh pada Mingyu, ia hanya mengangkat kedua bahunya kemudian berbalik dan pergi.

“Kamu mau kemana?” Tanyaku mengikutinya dari belakang. Ia bergeming, terus melangkah memijak rerumputan hijau yang tingginya semata kaki dan aku yang terus menatap punggungnya dari belakang.

Ia kemudian berhenti di pinggir tebing, duduk kemudian memeluk kakinya diikuti aku yang juga duduk disebelahnya. Matanya memantulkan cahaya senja matahari dan hamparan bukit tak berujung.

“Disini aneh..” Katanya. “Aku sering jatuh terus luka, tapi gaada rasa perih sama sekali. Aku ga perlu mandi karena disini mau aku lari seberapa jauh pun aku ga bakal keringatan. Aku bisa terjaga 48 jam tanpa ngerasain capek, selama disini, aku gapernah ngerasain emosi yang kacau. Tapi aku gatau ini tempat apa..” Sambungnya menatapku.

“Jadi kamu jangan kaget ya, ini udah aku kasih tau beberapa hal yang mungkin bakal aneh buat kamu..” Ia mengalihkan pandangannya. Mencabut rumput kemudian memainkannya.

“Kamu udah berapa lama ada disini?”

“Aku ga pernah ngitung, mungkin sekitar 2 tahun? Sendirian..”

-

Jauh di pinggir sungai dan tebing ada sebuah rumah kayu tak berdinding. Hanya bersekat jejaring dan sebuah ayunan gantung diantara dua pohon tak jauh dari halamannya. Mingyu kemudian langsung berbaring disana menutup matanya dengan lengan.

“Aku biasanya tidur disitu..” tunjuknya pada sebuah kasur untuk satu orang didalam rumah kayu tersebut. “Boleh kamu pake..”

“Terus kamu?”

“Disini..” Katanya.

“Bukannya nanti bakal digigit nyamuk?” Tanyaku.

“Terus gimana? Kamu mau tidur berdua sama aku?” Aku berdeham sejenak mendengar pertanyaannya tadi. “Gamau kan?” Sambungnya.

“Lagian selama aku disini gaada nyamuk..” Aku mengangguk. Kemudian duduk diatas rumput disamping ayunan gantung yang Mingyu tiduri.

“Kalau makan, kamu makan apa?” Tanyaku. Ia yang tadi menutup matanya dengan lengan kini menengadah menatap langit yang tertutup dedaunan pohon yang menjulang.

“Aku ga pernah makan..”

“Hah?” Aku berbalik menatap dirinya.

“Aku ga pernah laper..”

“Yang bener aja?” Tanyaku sekali lagi memastikan.

“Aneh kan?” Katanya. “Berarti ini memang bukan surga..”

“Terus ini apa?”

“Gatau. Dibilang mimpi juga terlalu nyata. Tapi memang banyak hal aneh disini. Dan gaada jalan keluar.”

Kami kembali terdiam. Mingyu yang masih menengadah ke langit dan aku yang menatap lurus kedepan dengan bukit bukit yang ditangkap manik mata.

“Mingyu..” Panggilku.

“Hm?”

“Nanti kalau kamu udah nemuin jalan keluar dan balik ke dunia yang biasanya kamu jalani, kamu bakal bilang apa ke pacarmu?” Aku bertanya.

“Aku ga yakin dia masih nungguin aku..”

“Kalau ternyata masih?”

“Aku mau bilang maaf..”

“Karena marahin dia dan pergi gitu aja?”

“Maaf karena aku terlalu baik buat dia”

“Hah? Maksudnya?”

“Kayanya dia disana baik baik ajadeh, Lu..”

“Kok?”

“Terakhir kali, aku lihat dia sama cowo lain..” Mingyu kini turun dari ayunan gantung tadi dan duduk disebelahku. “Aku marah terus pergi..” Ia menyunggingkan senyum penuh desperasi sambil menunduk kemudian menatapku. “Harusnya aku gaperlu buang buang waktu buat marah, dan berakhir disini..”

Ia kemudian bangkit, merenggangkan tubuhnya. Kini langit sudah sepenuhnya gelap, tapi tak pernah seindah ini di mataku. Disana ada ribuan bintang bertaburan serta Aurora dimana mana. Membuatku mengerjap.

“disini kamu bisa liat Aurora..” Sahut Mingyu. “Kalau beruntung, kamu bisa lihat bintang jatuh..” Aku ikut berdiri kemudian, menengadah ke langit.

“Kamu udah berapa kali lihat bintang jatuh?” Tanyaku, masih mendongak.

“Sekali..” Kemudian pandanganku aku pindahkan ke lelaki disebelahku yang sedang menengadah. “Cuman sekali?” Ia mengangguk sebagai sebuah jawaban. “Terus kamu minta apa?” Sambungku.

“Kamu percaya kalau bintang jatuh itu bikin semua keinginan kita berkabul?”

“Hmm.. Bukannya memang gitu?”

“Awalnya aku ga percaya, Kalu. Tapi mungkin sekarang aku percaya..”

“Kamu minta apa memangnya?” Ulangku tapi hanya dibalas senyuman kecil dan usapan dikepalaku dengan tangannya yang besar, bisa kurasakan seluruh tempurung kepalaku di sentuh telapak tangannya. “Udah malem, tidur..” Katanya sebagai balasan dan penutup hari yang penuh dengan tanda tanya bagiku.

Esoknya, ketika cahaya matahari masuk melalui jejaring sebagai sekat di rumah kayu yang aku tempati ini, mataku berkali kali mengerjap. Rasanya tak seperti tidur sama sekali, tidak ada mimpi. Rasanya hanya tertidur selama satu detik kemudian bangun dan menyadari bahwa matahari sudah melakukan tugasnya.

Aku bangkit, merapikan tempat tidur yang seluruhnya berwarna putih itu kemudian berjalan keluar namun tak menemukan Mingyu dimanapun. Aku menoleh kekanan dan kekiri, berusaha menerka akan eksistensinya namun nihil.

Kakiku bergerak menyusuri tempat itu, melewati padang ilalang kemudian melihat sungai. Melewati bukit bukit dengan bunga bunga yang mekar disana, kemudian hutan yang aku tak tau ujungnya akan kemana. Daripada tersesat, kujauhkan tukaiku dan berniat kembali. Namun selang berdetik, seseorang menutup mataku dengan tangannya.

“Mingyu?”

“Kok tau?”

“Kata kamu Cuma kita berdua disini..” dapat aku dengar dengusannya sembari melepas tangannya tadi yang sempat menutup kedua mataku dari belakang.

“Darimana?”

“Jalan jalan pagi..” Jawabnya.

“Hah? Iya?” Kami berjalan beriringan kemudian.

“Kalau aku kasih tau nanti kamu ketawa, Kalu..” Katanya.

“Kenapa gitu?”

“Aku..” Ucapnya tertahan. “Nyari jalan keluar..” Aku berhenti kemudian diikuti ia yang menoleh kebelakang karena sempat mendahuluiku.

“Setiap pagi?”

“Iya..” jawabnya. “Tapi ga pernah ketemu..”

“Selama 2 tahun, Mingyu?”

“Iya, Kalu..” Ia tersenyum kemudian mendekatiku. “Main main aja ayo bareng aku..”

“Kemana?”

“Ayo..” Ia menarik pergelangan tanganku kemudian berlari. Gemerisik rumput yang kami pijak, angin yang mengelus wajah, burung yang berkicau, surai hitam legam milik Mingyu yang berantakan dikarenakan kami harus berlari, kala itu, rasanya campur aduk.

Tanganku masih ia genggam, sesekali ia menoleh kebelakang untuk melihat wajahku sembari tertawa menampakan kedua gigi taringnya yang begitu mencolok. Aku tak pernah tau bahwa gigi taring kemudian akan seindah itu.

Kami berhenti disebuah pohon besar dengan akar yang menjuntai kebawah. Ada dua buah akar yang bersatu menjadi sebuah ayunan seperti di taman bermain.

“Mau main ga? Aku dorongin..” Katanya. Aku tertawa melihat ia tertawa ketika melontarkan pertanyaan itu. Kemudian, disinilah aku. Duduk dengan Mingyu yang mendorong punggungku.

“Biasanya aku main sendiri..” Katanya. “Sekarang udah ada temennya..”

“Mingyu kamu tau film Tinkerbell ga?” Ucapku sedikit berteriak dibalik deru angin yang menerpa dan ayunan yang berjalan.

“Taulah..” Kudengar jawabnya. “Kenapa?”

“Kaya di film Tinkerbell..”

“Kaya Neverland?”

“Iyaa..” Ucapku berteriak.

Aku tertawa, kemudian menghentikan gerak ayunan dengan kakiku yang terbalut pansus putih dan bangkit.

“Main yang lain..” ajakku. Untuk kesekian kali, ia menggenggam pergelangan tanganku dan kubiarkan ia menariknya sesuka hati. Pada menit berikutnya, aku jumpai genangan yang wajahku dapat terpantul disana. Diikuti Mingyu yang berdiri menekan lutut dengan tangannya dibelakangku, kemejanya ia lipat sampai siku dan menampakan urat urat tangannya, kemudian ia tersenyum menatapku dari genangan.

“Cantik..” Katanya. Aku tersenyum kemudian bangkit berdiri disamping Mingyu.

“Cantikan mana sama pacar kamu?” Tanyaku. Ia melipat kedua tangannya didepan dada kemudian tertawa. “Ga punya pacar”

“Bohong..” Aku mengkerutkan hidung mendengus kemudian berjalan duluan meninggalkan dirinya.

Lagi, ia menarik pergelangan tanganku dan berlari. Menoleh dan sekali lagi tertawa menampakan kedua taringnya.

“Gak ada capek kan?” Tanyanya disela sela larian kami. Aku kemudian tersenyum menggeleng sebagai jawaban.

Di padang ilalang, ia menjatuhkan diri disana, menatap langit kemudian menjadikan tangannya sebagai bantalan. Diikuti aku yang duduk memeluk kaki disampingnya. Ia bersiul sesekali, menggumamkan nyanyian nyanyian yang tidak aku ketahui.

“Pasti kamu kesepian banget ya, Mingyu?”

“Sekarang udah ada kamu..” Katanya. Menoleh kearahku.

“Walaupun gitu, pasti sebelum ada aku kamu kesepian..”

“Ga disini juga kesepian..”

“Kenapa?”

“Apasih makna orang orang disekitar kamu kalau kamu lahirnya sendiri?” Ucap Mingyu. “Sendiri itu ya sepi..”

“Tapi setidaknya ada yang hibur kamu..”

“Kamu..”

“Aku kenapa?”

Ia menyipitkan mata akibat siraman cahaya matahari, menoleh kearahku lalu tersenyum tipis. “Ga papa, Kalu..”

Kemudian berbulan berlalu dan selalu ada aku dan Mingyu. Bermain di pinggir sungai, menjajahi hutan, bermain di padang ilalang, memetik bunga yang tumbuh di kaki bukit kemudian merangkainya dan menjadikannya hadiah satu sama lain kemudian berkomentar. Memaknai bunga bunga yang tumbuh padahal buta makna, menatap matahari tenggelam kemudian menunggu akankah malam ini ada bintang yang berbaik hati menjatuhkan diri.

Di kaki bukit, Mingyu dengan telaten membuat api unggun dengan kayu yang ia ambil dari pinggir hutan. Menghangatkan tubuh padahal tak sama sekali dingin, pun tak sama sekali terasa hangat. Tertidur diatas rumput dengan tangan yang menjadi bantalan.

“Masih nunggu bintang jatuh?” tanyanya, ia tau bahwa aku selalu menunggu adanya bintang jatuh. Aku mengangguk sebagai jawaban. “Mau minta apa memangnya?”

Ia yang duduk dengan memeluk kaki diikuti wajahnya yang terpantul oleh cahaya api membuatku ikut duduk disebelahnya mengingat tadi aku dengan santai menidurkan tubuhku.

“Rahasia..” Kataku. Ia hanya terkekeh kemudian menatap dalam kedalam semburat merah api dihadapannya.

“Mingyu, kamu dengar kan?” Tanyaku.

“Dengar apa?” Ia menoleh kepadaku.

“Itu.. suara itu..”

“Hah? Suara apa, Kalu?”

Aku menyadari sesuatu kemudian, ada sebuah suara yang belakangan ini selalu aku dengar dengan rutin setidaknya sebulan atau dua bulan sekali. Sebuah suara yang mengajakku untuk pulang dan kembali. Aku yakin tak hanya diriku yang mendengarnya tapi ketika aku tanya, jawaban seseorang ini adalah sebuah tanya kembali padaku.

“Suara supaya aku pulang, Mingyu..”

“Perasaan kamu aja mungkin, Kalu..”

“Masa sih?”

Ia mengangkat bahunya sebagai jawaban. Kemudian kembali menatap api yang ia nyalakan seorang diri tadi.

-

Bertahun kembali berlalu, aku katakan selalu ada hal hal menarik dan tidak pernah ada kata bosan saat hal hal itu aku habiskan dengan pria ini. Masih selalu berlari dikaki bukit, bersembunyi dibalik pohon agar ia menemukanku, bersembunyi dibalik tinggi nya bunga ilalang, berbasahan di sungai, atau aku yang sesekali mendorong punggungnya di ayunan akar, pun sebaliknya.

Dan kadang, di hamparan bunga dibawah kaki bukit sana, tak jarang kami merangkai bunga dengan jari yang sesekali terkait. Waktu itu, dipetiknya bunga Daisy putih dan diselipkannya di telingaku. Kemudian menautkan jari dan menuntunku entah kemana ia suka.

Matahari diujung sana hampir tenggelam. Semburat oranye terpantul ke wajahnya, bercampur dengan kulit coklat milik Mingyu yang selalu indah di pandang mata. Kali ini, jauh lebih indah. Ketika tadi ia menarik tanganku, kali ini ia berhenti dan menatap wajahku. Diapitnya kedua pipiku dan di tatap nya aku dengan binar matanya.

“Disana nanti, kamu kira kira bakal ingat aku enggak ya, Kalu?” Aku terdiam. Pertanyaan yang ia lemparkan juga jadi pertanyaan yang selalu aku tanyakan untuk diriku sendiri. Kalau memang tempat ini bukan surga, dan aku harus kembali ke dunia dimana aku hidup, maka orang ini belum tentu ada disana.

Belum tentu disana ada Mingyu yang masa ini sedang mengapit kedua pipiku tengan tangan besarnya. Belum tentu ada agenda agenda luar biasa yang aku akan lakukan dengan sosoknya. Belum tentu ada dia, belum tentu aku akan ingat semua.

Ia tersenyum, kemudian berkata “Gak papa, Kalu. Cukup disini aja udah buat aku bahagia. Makasih udah jadi harapan bintang jatuhku.”

Kemudian ia berjalan meninggalkanku yang terdiam ditempat. Tangannya ia masukan ke kantung celana dan terus berjalan. Kakiku kemudian ikut melangkah menatap punggungnya dari belakang.

“Mingyu, berarti perasaan disini bisa berubah, ya?” Ia langsung berhenti, memutar tubuhnya.

“Mungkin”

“Nanti, semisal kita beneran ketemu disana..” Kataku menggantung “Perasaan kamu yang ini, bakal tetap sama gak, ya?”

“Kalu..” Lagi lagi ia berjalan perlahan mendekat. “Bahkan gaada jaminan yang bisa mastiin bahwa kita bakal ketemu disana nanti”

“Iya..” Cicitku kemudian sebagai balasan atas pernyataannya.

“Jadi..” Ia merapihkan helai rambutku yang tertiup angin. “Apa yang ada sekarang, itu yang harus kita coba hargai. Apapun yang terjadi besok, kita punya hari ini”

Aku lagi lagi menghabiskan sisa malam duduk di dekat tebing bersama Mingyu. Ada satu batang pohon yang rendah tumbuhnya, aku jadikan tumpuan dudukku. Sedangkan Mingyu, benar benar duduk dipinggir tebingnya.

“Ini kalau aku lompat, ceritanya bakal gimana ya?” Sahutnya tiba tiba kemudian menoleh kearahku.

“Coba aja, gaada yang tau ceritanya kalau kamu belum coba” Jawabku menaikkan alis.

“Beneran nih?”

“Coba”

Ia kemudian berdiri, mengambil ancang ancang untuk melompat tapi kemudian melirik diriku.

“Serius kamu nyuruh aku lompat?” Sahutnya diikuti lirikan tadi. “Aku kira kamu memang senekat itu, Mingyu”

“Aku Cuma mau ditahan kamu aja” Pernyataannya barusan kemudian mengundang tawa bahak dari diriku dan ia yang mengusap tekuknya, kemudian dirinya mendekatiku dan duduk di posisi kosong disebelahku.

“Masih nungguin bintang jatuh?” Tanyanya, mendongak kelangit sana. “Memangnya mau minta apa?”

“Rahasia”

“Yah, main rahasia rahasiaan”

“Kamu juga awalnya gitu”

“Ya tadi udah aku kasih tau”

“Memangnya hari itu kamu minta apa, Mingyu?” Ia tertunduk malu. Dibalik tunduk itu dapat aku lihat pipinya yang merona semu, dan ia yang berkali kali mengulum senyum.

“Aku minta supaya ada yang temenin aku. Bintang kirimnya kamu” Aku tersenyum menatap ketulusan di garis matanya ketika menoleh kearahku.

“jadi sebenernya ini adalah anugrah atau musibah buat aku, Mingyu?” Tanyaku dengan kekehan sedikit.

“Tergantung dari prespektif mana kamu ngejalanin semuanya sama aku, Kalu”

“Anugrah berarti” Jawabanku mengundang sunggingan senyum dari kedua sudut bibirnya. Kemudian ketika ia menoleh menuju langit sana, ekspresinya berubah.

“Kalu, itu!”

“Apa?”

“Itu! Cepet buat permintaan!”

“Mingyu itu beneran bintang jatuh yang tadi?”

“Iya, Kalu. Cepetan.”

Aku menutup mataku kemudian. Menarik nafasku dalam dalam, befikir dengan matang, dan bergumam di dalam hatiku sendiri.

“Bintang, disana nanti, temukan aku lagi akan sosok ini. Mingyu ini”

-

Aku menggosok mataku dengan buku buku jari, melangkah pelan dan melihat Mingyu menidurkan dirinya di ayunan gantung.

“Selamat bobo, Kaluna” Dengan mata yang sayu, aku tertawa sedikit atas ucapannya. Bukannya melangkah masuk, aku malah mendekati sosoknya.

“Sama kamu, boleh ga?”

“Ha?”

“Berdua, Mingyu. Bobo sama kamu”

Here we are, then. Dibalik selimut yang sama, dan lengannya yang jadi tumpuan kepalaku. Aku bisa merasakan dirinya yang masih terjaga. Karena dengan mataku yang tertutup pun, dirinya disana melihat kearahku.

“Tidur Mingyu” Kataku.

Aku bisa merasakan dirinya yang bergetar akibat terkikik geli. Kemudian menjawab. “Kenapa kamu tiba tiba ngajak tidur bareng?” Aku yang sendari tadi menutup mataku, kini kubuka dan menatap lawan bicaraku ini. Belum pernah aku berhadapan sedekat ini dengan Mingyu sebelumnya. Deru nafasnya bahkan bisa kurasakan menampar pori wajahku.

“Gaada jaminan buat kita bisa ketemu disana, kan? Apapun yang terjadi besok, kita punya hari ini” kuulang kalimat miliknya tadi sore, dan dibalas senyum oleh dirinya.

“Iya, gaada jaminan” Kini jemari nya menyapu kulit wajahku. Buku buku jarinya bermain disana dan terus mengelus, membuat mataku menjadi berat.

“Kalu..” Cicitnya. Aku dapat mendengar suaranya yang berat dan rendah menyambangi pendengaranku.

“Hm?”

“Bibirnya aku cium, boleh?”

Aku terdiam. Banyak hal yang detik itu campur aduk. Matanya masih menatapku, jarinya masih bermain dipipiku. Tapi kemudian ketika balasan yang aku berikan adalah diam, buru buru ia angkat tangannya, kemudian berkata “Maaf”

“aku eng—“

“Boleh, Mingyu”

Berdetik selanjutnya adalah bagaimana aku menutup kedua mataku dan bibirku yang merasakan bahwa ada bibir lain yang menempel disana, bermain.

Kejadian itu tak berlangsung lama. Dirinya langsung memindahkan bibirnya dari sana dan bergantian menatapku, dengan tatapan yang sungguh demi apapun sama sekali tak aku inginkan untuk hilang, atau terlupakan. Tatapan yang dengan penuh harap ingin sekali kumiliki selama sisa sisa hidupku. Ia tersenyum, kemudian kembali menjatuhkan kepalaku diatas lengannya. Menarik selimut sampai menutup leherku.

“Sekarang tidur. Selamat bobo, Kalu”

-

Hari hariku selalu dipenuhi bisikan bisikan aneh yang sama sekali tidak bisa aku jabarkan. Tapi selama ada disini, suaranya selalu datang dari padang ilalang. Kemudian aku berspekulasi bahwa suara ini muncul, dari tempat aku datang dulu. Karena ketika berlalu di padang ilalang, suaranya semakin jelas dan kuat.

“Hari ini ke kaki bukit, yuk? Aku lihat kemarin ada krisan yang baru tumbuh” Mingyu menggenggam pergelangan tanganku, tapi ketika ia ingin menariknya, aku tahan.

“Mingyu, aku mau ke padang ilalang”

“Oh gitu, boleh. Ayo”

“Mingyu kamu denger gak sih?”

“Iya, kita mau ke padang ilalang kan? Yaudah ayo?”

“Bukan. Suara itu”

“Suara apasih, Kalu? Engga ada suara apa apa”

“Suara yang nyuruh pulang, Mingyu”

“Kalu, maaf ya. Tapi aku gak denger apa apa”

“Yaudah ayo coba sekarang kita ke padang ilalang”

Awalnya hening, tidak ada suara yang aku dengar seperti biasa. Mingyu disana, menatapku yang kebingungan mencari sumber suara yang selalu aku ceritakan pada dirinya.

“Kalu, ada?”

“Kalu. Dimanapun pesan ini sampai, kamu sedang tidur di komamu. Jadi kalau kamu dengar ini, tolong, kembali pulang”

“Ada”

Kemudian tukaiku melangkah, menjauh dari Mingyu dan mendekati sumber suara. Mingyu diam diujung sana, tak bergeming dan hanya menatap sosok ku yang sibuk kesana kemari.

“Mingyu, ayo” Teriakku.

“Aku gabisa, Kalu..”

“Maksudnya?”

Ia mundur beberapa langkah kebelakang.

“Kalu..” Sahutnya. Dari jauh, suaranya masih mampu menyambangi pendengaranku. “Aku tau kalau hal ini pasti kejadian, karena ini bukan surga” Ia terdiam, menunduk.

“Kalu, jalanku bukan yang itu. Jadi aku ngga bisa ikut pergi sama kamu”

“Mingyu..”

“Kalu, kalaupun disana nyatanya kita ga bisa ngelakuin hal yang biasa kita lakuin disini, aku gapapa. Bahkan gaada jaminan kan kalau kita bisa ketemu?” Ia tersenyum, menautkan jemarinya. “Jalan yang panjang, Kalu. Jalan yang panjang.”

Ia menangis disana, berkali kali menunduk dan mengusap matanya.

“Mungkin gak disini, ataupun gak disana. Dilain waktu, dikehidupan lain ya, Kalu. Terimakasih sudah jadi bintangku dulu. Sudah ada disini bareng sama aku. Semoga kamu tetap jadi bintangku, nanti dilain waktu”

“Mingyu” Lirihku. Diujung sana sosoknya melambai, menaikan tangan keudara.

“Kalu, aku sayang kamu”

Begitu bagaimana aku mundur dan berlari menjauhi sosoknya. Terseguk, tenggorokan yang perih dan pipi yang sudah banjir. Aku terus berlari dihantui oleh hari hari dimana hanya ada senyumnya yang hadir. Bagaimana rangkaian bunga yang kami diamkan di kaki bukit agar supaya kering dan bisa kami bawa pulang. Bagaimana ayunan akar yang selalu dijadikan objek senang senang dan bagaimana Mingyu yang menyirami diriku berkali kali saat bermain di sungai.

Aku menutup mulutku dengan punggung tangan, masih menangisi keadaan. Masih terlukis dengan jelas bagaimana sosoknya melambai kearah diriku. Melambai kepada kepergiaku. Sampai ketika aku tersandung dan jatuh, kemudian segalanya jadi gelap, dan hilang arah.

-

“Rasanya tubuhku kaya dihisap sesuatu, Dok” Jelasnya lagi. Jeon mengangguk. Mencatat entah apa di catatan laporan di hadapannya. Ia kemudian melirik jam tangan disebelah kirinya dan menatap sang gadis bergantian.

“Kalu, kamu boleh istirahat. Terimakasih atas waktunya ya, saya panggilkan perawat untuk bawa kamu kembali”

Kaluna mengangguk. Jeon kemudian hilang dibalik pintu dan diganti oleh seorang peerawat yang membawa kursi roda dan segera membawanya kembali menuju ruang tempatnya beristirahat.

Kalu merasakan lubang besar didadanya. Rasanya seperti pernah ada orang disana, menyambangi hidupnya dan melakukan hal hal luar biasa. Kalu merasakan kesedihan tapi ada air mata yang tertahan. Seperti sebuah perasaan bahwa dirinya ingin menangis tapi ia tidak tau alasan dibaliknya. Ia murung, bahkan saat perawat membawakan dirinya makanan, ia melahap tak semangat.

“Kaluna, besok ada jadwal wawancara lagi dengan dokter Jeon, ya? Saya antarkan seperti tadi” Si perawat tersenyum, mengusap kepala Kalu kemudian berlalu pergi meninggalkan gadis dengan bermacam perasaan bercampur aduk didalam dirinya.

Esok hari, seperti janji yang sudah diberi tau oleh perawatnya kemarin, Kalu duduk di kursi roda bersiap diantarkan menuju ruangan tempat kemarin dirinya di wawancarai oleh dokter Jeon. Di lorong rumah sakit yang gelap dan sunyi itu, ada brankar yang didorong oleh dua petugas dan sesosok pria diatasnya tanpa kain yang menutup, hanya mengenakan baju pasien. Pucat pasi, tak bernyawa. Di jempol kanannya, ada tag bertuliskan ‘MG’

Kalu sesak dan menangis histeris detik itu, mengundang Jeon dan salah satu rekannya yang mendekat dan berusaha menenangkan sosoknya.

“Kalu, are you okay?” Begitu bagaimana Jeon menangkup kedua pipi pasiennya dan menemukan matanya yang basah akibat tangisan. Kalu menggeleng, kemudian berkata “Rasanya kaya ada lubang dok, disini. sesak” Kalu menunjuk dadanya, masih terseguk. Ia menggumamkan banyak hal aneh. Salah satunya seperti deja vu yang terjadi, atau seperti ada angan yang akhirnya ditepati semesta atau hadiah dari bintang. Bertemu seseorang lain, misalnya.

Jeon memeluk pasiennya, memberikan tenang. Mengatakan bahwa dirinya baik baik saja, dan tak ada yang harus dikhawatirkan. Manik mata Jeon menangkap brankar yang didorong tadi, salah satu pasiennya. Dengan malang, berakhir di kamar mayat.

-

Pagi sebelum rencana pelaksanaan wawancara dengan Kalu yang berakhir batal karena Jeon memutuskan untuk memberi waktu dan ruang kepada pasiennya yang sempat histeris tadi tanpa alasan, Jeon bertemu kerabatnya.

Dokter Kwon menunjukan hasil grafik seorang pasien pria kepada Jeon, kemudian Kwon menggeleng.

“Alasan kenapa Kalu bangun adalah karena memang dia tidur di koma nya, Jeon. Sedangkan pasienmu yang ini, dia bertahan hidup karena alat yang dipasang ditubuhnya.”

“Jadi memang dasarnya dia udah meninggal ya?”

“Yap. Dari semenjak kecelakaan itu dia memang udah ga bisa ditolong kan, tapi kamu yang ngotot mau jadiin dia bahan percobaan sistem mu. Sistemnya gak sampai ke otaknya, Jeon. Gak seperti Kalu” Kwon duduk disamping pasien pria itu, menatap banyak alat yang menempel pada tubuhnya.

“Tapi anehnya, beberapa bulan yang lalu grafiknya menuju angka 50 dari 100.” Sambung Kwon.

“Mungkin hasil pengaruh dari alat alat bantuan ini. Kayanya memang udah gaada harapan ya, Kwon?”

“Dari awal juga memang udah ga ada harapan, dokter Jeon” Jeon membuang nafasnya berat. Berdetik kemudian memanggil asisten perawatnya.

“Yerim, beritau keluarga pria ini ya. Alatnya harus kita lepas”

“Gagal ya dok?” Tanya gadis dengan tubuh mungil yang di sapa Yerim tadi.

“Bukan gagal, dari awal memang dia udah ga punya harapan” Ketiganya menatap nanar seseorang yang tak berdaya diatas hospital bed itu dengan berbagai macam alat menempel ditubuhnya.

“Kwon, dicabut aja”

“Iya.” Begitu kemudian Yerim membantu dokter Kwon melepas berbagai macam alat yang menempel pada sosok pria tersebut.

“Mingyu, kamu memang pria yang malang” Kwon menatap iba sosok yang terus memejamkan matanya bertahun tahun terakhir. Ini sudah jalannya, ini akhirnya.

-

Kita ini laut dan pantai, sayang. Tak pernah tau mengapa saling dipertemukan. Kita ini bulan dan bintang, tak pernah tau kenapa saling bersanding menyinari malam. Kita ini sungai dan gunung, tak pernah tau kenapa jadi sumber kehidupan. Kita ini sebuah pertemuan tanpa awal dan perpisahan tanpa akhir. Tak pernah tau kenapa kita, dan selalu ada kita, tapi tak satu jua.

Say you’ll remember me, standing in a nice dress Staring at the sunset Red lips and rosy cheeks, say you’ll see me again.