#—Sedikit kata.


—to you, who was my light, my muse once. I'm sorry and thank you.


-

25th of January, 20:31

“Wonwoo” Katanya, Wonwoo tadi menjabat tanganku dan menggandeng seorang gadis, yang dulu pernah jadi milikku.

“Happy Wedding ya sekali lagi” Dia tersenyum menatapku dan seorang gadis yang memegang erat sebouquet bunga disampingku, kemudian ia turun bersama si Wonwoo tadi dan duduk berdua di kursi tamu.

“Cantik ya..” Seung Wan namanya, seorang gadis yang akan aku habiskan masa hidupku sampai mati bersama.

“Siapa?”

“Itu, mantan kamu..” Aku terkekeh. Menatap si ‘mantan’ tadi bersama lelakinya tengah tertawa entah menertawakan apa. Yang aku dapati kemudian adalah bagaimana sorot matanya melihat kikikan Wonwoo, sorot mata yang dulu pernah menjamah hidupku, sorot mata yang selalu mau aku tatap. Tiap menit, tiap detik.

“Aku suka kalau kamu ngeliat aku kaya gitu” Ucapanku barusan mengundang tawa dari sana, dari seseorang dihadapanku ini.

“Emang aku ngeliatnya gimana? Kok bisa suka?” Ku topang daguku dengan tangan, memiringkan kepala kemudian menatap dirinya.

“Rasanya tuh kaya..” Ia menanti jawaban dariku, masih dengan sorot mata yang sama, masih dengan tatapan penuh tanya. “Kaya seluruh dunia berputarnya disitu..” Kutunjuk bola matanya. Coklat, seperti teh manis yang biasa aku seduh di pagi hari.

“Aku mau ini..” Kataku lagi, masih menunjuk objek yang sama. “Aku mau sorot mata kamu jadi punyaku terus.. sampai selamanya, bisa ga?”

Aku, 3 tahun yang lalu mungkin. Seorang Kim Mingyu dengan harapan sederhana sebetulnya, meminta sebuah tatapan teduh dan menenangkan untuk di tatap ketika bangun dari mimpi, pun ketika mau pergi kembali ke alam mimpi. Mingyu ini, dengan kenaifannya, meminta.

Tapi apa yang harus di gantungkan dari harapanku sendiri? Sayangnya, dunia ini tak berputar untukku, sayangnya apapun yang aku minta, tak melulu mendapatkan sebuah jawaban “Iya, ini untuk Mingyu.” Dunia ini, tak sesederhana itu karena disinilah aku; down the aisle, but not with a stare that once i had wanted for.

Dan diujung sana, ada Wonwoo yang memiliki tatapannya.

Pernikahan jadi bahan pembicaraan paling serius. Acara tanpa sebuah gladi, kehidupan setelah pernikahan tanpa ada masa percobaan. Gagal akan gagal, berhasil maka akan berhasil. Satu dan hanya satu sampai maut menjemput.

“Mingyu, kalau kita nikah di Paris gimana ya?” Aku terkekeh mendengar pertanyaannya. Sore itu, di bagasi belakang mobilku dengan pintu yang menganga, kami menyantap beberapa makanan ringan dan menunggu matahari tenggelam menuju ufuk barat sana.

“Tunggu aku banyak duit deh, nanti aku bawa semua keluarga kita ke Paris”

“Estimasinya berapa tahun dulu nih?” Ia terkikik. Aku mendekat, mengelus pipinya kemudian menatap bola mata miliknya lalu tersenyum.

“Aku gabisa jamin 2 atau 3 tahun bisa bawa keluarga kita ke Paris, tapi.. tungguin, ya?”

Bohong kalau aku bilang bahwa aku tidak pernah jatuh cinta pada sosoknya. Jauh sebelum kejadian itu, aku sudah jatuh berkali kali. Babak belur, sakit, pincang, ringkih. Tapi, si lemah Mingyu ini tetap menginginkan sakitnya berulang kali.

Aku selalu jadi yang penakut. Si Dia, selalu bilang padaku bahwa apapun yang terjadi, apapun yang telah terjadi dan apapun yang mungkin akan terjadi, komunikasi. Tapi seperti orang bodoh yang tuli dan buta aksara, aku pergi. Aku melakukan kesalahan dan pergi. Tanpa pamit, tanpa mengucapkan satu kata pun. Dengan bodohnya, aku pergi.

Aku masih ingat, sorot matanya ketika melihatku duduk didalam mobil dengan seorang gadis yang bukan dirinya. Dulu aku sang empunya tatapan magis itu, segala apapun yang tak pernah mampu ia katakan, akan tergambar disana. Dan waktu itu, bisa aku lihat betapa hancurnya ia. Dan aku, ikut hancur melihat kehancuran itu, akibat ulahku sendiri.

“Kurang cukup ya aku dimata kamu?” Malam itu jantungku serasa jatuh keperut ketika ia melontarkan kalimat itu. Sosoknya, tak pernah kurang kecuil pun. Adanya hanya aku yang selalu merasa kurang padahal dihadapanku adalah kesempurnaan.

Setelah kekacauan yang aku buat, aku kabur. Mencari tempat yang jauh untuk bersembunyi. Pilihanku ada disebelah Timur benua Australia, ibukotanya; Canberra.

Berbulan aku menghilang, pun dari sosok Seung Wan. Sosok yang duduk bersamaku di dalam mobil, sosok yang punggung tangannya aku cium. Dan diujung sana, si Dia menyaksikan segalanya padahal ia menungguku untuk kembali.

“Tumben, Gyu? Lo ngunjungin gue? Sehat gak?” Minghao, sudah memijaki Canberra setelah kami berdua selesai sekolah.

“Life hasn’t treat me so well lately, Hao”

“Jadi lo kabur?”

“Gitu ya? Keliatannya?”

“What happen, bro? You seem bad”

“Kalau lo jadi gue, lo bakal pilih yang cinta sama lo, apa yang lo cinta?”

“Konteksnya apa dulu nih bro?”

“Ya cinta” Minghao terkekeh. Dibalkon rumahnya, kita berdua duduk tadi menyesap angin dan kini dirinya bangkit menggenggam pagar balkon dan terdiam sejenak dengan ucapanku.

“Love is complicated, Mingyu. Lo ngapain sampe harus nanya pertanyaan kaya gitu ke gue?”

“Selingkuh” Minghao terdiam. Ekspresinya yang tadi cerah merekah kini berubah jadi abu. Tak berekspresi dan menatapku tajam. “Gue tanya dulu, kenapa?”

“Weirdly, this girl named Seung Wan, her personality fit enough with mine, Hao”

“Terus? Yang satu lagi?”

“And i don’t want to lose the other”

“Lo tau ga kalau sekarang lo sedang bersikap egois?” Ucapnya. “Ralat, bukan sekarang tapi pas kejadian itu”

“Kenapa lo gak mau kehilangan dia?” Sambung Minghao.

“Gila lo, Hao. Segala galanya yang udah gue habisin sama dia, segala galanya yang udah dia lakuin buat gue, semuanya tuh gaada cacatnya. Gue gabisa nemuin dia dimana mana kalau gue lepasin”

“Terus kenapa pertahanin Seung Wan?”

“Dia..” Aku mengawang menggantung kata “Dia nerima gue, Hao. Seung Wan nerima gue. Segala bentuk kekurangan yang ada disini, dia nerima gue”

“Mingyu, pertanyaan yang lo tanya tadi ga berlaku dengan kejadian ini. Dua pilihan itu udah ga relevan lagi. Dan mau di jelasin kaya gimanapun ga akan bisa masuk akal dan nemuin titik terang. Mingyu, lo harus tau..” Minghao menggantung kalimatnya.

“Lo harus tau kalau yang lo lakuin itu adalah kehancuran yang ga akan bisa lo perbaiki”

Dan aku akan akui itu, segala galanya jadi tumpang tindih. Perasaanku yang entah berlabuh kemana, keadaan yang tak mampu di rekonsiliasi, dan hanya kehancuran yang ada di pupil mata. Dengan berat hati, aku kemudian memilih.

Seung Wan waktu itu datang mengunjungiku ke Canberra, menghalalkan segala cara supaya bertemu denganku yang saat itu melarikan diri. Tak ingin sebenarnya berkomunikasi pada siapapun.

“Playlist kamu selalu ada lagu Baby Blue Eyes, suka banget ya?” Seung Wan mengotak atik stereo system mobilku.

“Iya suka, punya A Rocket to the Moon..”

“Besok besok aku dengerin deh, supaya hafal..”

“Terus kalau udah hafal?”

“Kita bisa nyanyi bareng pas lagi mobilan kaya gini..”

Terus tersesat? Terus aku akhirnya nganter kamu pulang kerumah jam 2 malam? Terus aku yang minta kamu ninggalin jejak jejak bibir di pipiku? Terus kamu nyuruh aku pulang kerumah Mama? Gitu?

“Gausah ah, lagu lain aja”

“Loh kenapa memangnya?”

“Engga papa, Son Seung Wan.. Lagu lain aja kita nyanyiin bareng..”

“Sekali aja, kita nyanyi Baby Blue Eyes. Aku mau ikut nyanyi lagu kesukaan kamu juga, Mingyu..”

And then, there we were. Seung Wan was felt the euforia while sang that Baby Blue Eyes. Me either. But that euforia being lost upstate with her. Dia yang entah sedang apa disana. Dia yang selalu aku terka apakah air mata nya hari ini sudah mengering atau belum. Dia, yang sepenuhnya masih disini. Di saraf sarafku.

Malam malamku selalu di penuhi tanda tanya. Malam malamku selalu di penuhi sesak. Soal aku yang terkadang menyesal telah melepas sosoknya, soal aku yang tidak akan mampu kembali dan memperbaiki. Dulu, akan selalu ada dia yang aku telfon dan berdetik kemudian sudah ada suaranya yang menyahut. Dulu, aku akan mengadu dan bilang bahwa aku tidak bisa tidur dan seperti seorang bocah, ia akan menyanyikan lagu nina bobo. Suaranya, secara magis akan mengantarku tidur kemudian. Apapun yang ada dikepalaku, sesaat ketika ia bergumam, terkikik, tertawa, atau memanggil namaku, segalanya jadi semu, yang ada hanya aku dan suaranya.

Masih di Canberra waktu itu, di random playlist ponsel milikku, pukul 1 dini hari, terputar lagu milik Passenger berjudul Let Her Go. Dan berpotong liriknya, mampu membuatku tersungkur ke lantai dengan dada yang sesak dibanjiri air mata.

Well you only need a light when it’s burning low Only miss the sun when it starts to snow Only know you’ve been high when you’re feeling low Only hate the road when you’re missing home Only know you love her when you let her go And you let her go.

And i let her go.

Aku kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur. Mata yang sembab, tenggorokan yang perih, dada yang sesak, menatap plafon kamar dengan iringan musik pagi itu yang belum berhenti.

Staring at the ceiling in the dark Same old empty feeling in your heart Cause love comes slow, and it goes so fast.

Hey? Lagi lagi aku gabisa tidur. Bisa gak ya kira kira aku telfon kamu buat sekedar nyanyiin lagu nina bobo? Atau, sekedar denger suara kamu barang sedetik aja?

Mingyu yang sangat egois.

Aku selalu berusaha mengirim pesan. Lagi lagi, Mingyu ini selalu jadi yang penakut. Ketika kalimat itu sudah terketik rapi, berkali kali selalu aku urungkan dan berakhir gagal menghubungi. Padahal, waktu itu aku ingin menanyakan kabar dan keadaannya.

Awal tahun, kutemukan sosoknya yang bahagia. Senyum lebar, lipstik warna rose pink dan polesan blush di kedua tulang pipinya. Aku memang mahir bersembunyi dalam banyak konteks, tapi malam itu, kerinduanku benar benar tak terbendung.

Kalau saja, ikatan ini belum terikat, sudah kupeluk ia erat. Sudah ku letakan kepalanya di ceruk leherku, sudah kubiarkan ia menangis memukul dadaku karena meninggalkannya tanpa patah kata, sudah ku usap ubun kepalanya agar ia merasa aman, kalau saja.

Tapi nyatanya, harus kukeluarkan kertas undangan itu di hadapannya. Mengharapkan ia hadir disana, entah untuk apa. Menyaksikan ia melihatku bahagia, atau aku yang menyaksikan ia tersedu? Tapi mungkin aku salah, ia dengan senyum menerima kertas undangan tadi. Kalaupun ia datang, maka ia akan jadi orang yang bahagia melihat setengah dirinya dulu akhirnya menemukan kebahagiaan.

Malam itu banyak hal yang terlintas dikepalaku ketika melihatnya. Apakah kalau kalau saat itu pilihanku berlabuh ke dirinya, akankah ada kami yang lebih bahagia dari sebelumnya? Apakah keadaan akan berubah? Apakah harapan yang hancur lebur itu dapat aku dan ia bangun agar jadi sempurna?

Namun, diluar segala pemikiran itu, yang aku akan garis bawahi adalah, ada ataupun tidak ada dia dihidupku di masa yang akan datang, dirinya adalah yang dulu pernah kucinta. Dan itu tak akan pernah berubah walau arah mata angin dari Timur berubah ke Selatan sana.

“Katanya kamu gabisa dateng?”

“Aku mau ucapin selamat langsung, Mingyu”

“Sama”

“Maksudnya?” Ia mengernyitkan alis. Wonwoo—nya tadi katanya memperbolehkan aku berbincang sejenak dengan gadis ini, pun dengan Seung Wan yang sekarang sedang berbincang dengan kolega Ayahnya. Jasku tak lagi terpakai meninggalkan vest dengan kemeja tak rapi dan tangan yang tergulung seperempat bagian.

“Mau ngucapin selamat..” Kalimatku menggantung . Aku mengelus puncak kepala dirinya yang tengah duduk. “Selamat Jalan harapanku yang dulu, inginku yang dulu..” Tenggorokanku perih.

“Cintaku yang dulu..”

-

“Kenapa Seung Wan?”

“Dia bisa nerima gue”

“So you think your past lover couldn’t?”

“Seung Wan ga pernah nuntut gue untuk berkomunikasi kalau ada masalah. Ternyata ga bisa berkomunikasi bukan kurangnya gue tapi adalah gue. Dan Seung Wan, ga pernah berusaha untuk ngubah itu. And for that, I’m eternally grateful. “

Bukan Seung Wan, namun, aku tidak akan bisa menemukan sosok itu dimana pun aku berpijak. Aku, Si Mingyu ini, jadi orang yang paling jatuh cinta akan sosoknya, melebihi Seung Wan sendiri. Tapi, itu akhirnya tidak menjadi jaminan bahwa seberapa keras pun aku jatuh pada seseorang, ia akan jadi rumah tempat aku mengadu, tempat aku berteduh, tempat aku pulang. Tidak.

Tapi Dirinya, tak akan pernah jadi satu hal yang dengan menggebu gebu aku hapus eksistensinya. Bibit yang tertanam dan dirawat akan selamanya menjadi sebuah pohon. Perasaan yang aku tanam dulu dan aku rawat, selamanya akan jadi perasaan. Apapun bentuk perasaannya, sekali kali nanti akan aku rayakan sebagai simbol bahwa ketulusan itu memang pernah ada dan bukan sekedar omongan belaka. Walaupun atas kesalahan yang kubuat, tak ada lagi kata kita.

Entah aku atau Dia yang mengibarkan bendera putih, tanda bahwa akhirnya kita menyelesaikan sebuah perasaan yang rumpang ini dengan hati yang lapang dan jiwa yang ikhlas. Dirinya masih terduduk disana, menatap kerlip lampu di kota Jakarta. Binar matanya yang teduh dan sunggingan senyum di sudut bibirnya. Ia disini, disampingku untuk memberikan selamat karena akhirnya aku berhasil berlabuh. Ia disini, bukan sebagai tempatku pulang. Ia, hanya jadi bagian petualanganku. Dan Ia, harusnya pantas mendapatkan yang lebih dari diriku.

“Mingyu..” Manikku kini bertemu miliknya saat ia memanggil namaku, dan tersenyum. “All is well now, it is”

“Yes.. it is”