“i called you, would you love to come home?”
-
Dulu, Mas Rendra menolak untuk dipanggil Mas, “Aku maunya di panggil Abang, Mah..” Celetuknya. Membuat saya tertawa kecil melihatnya bermain dengan si kecil Migu.
Sebenarnya, Mas Rendra tidak sepenuhnya rela untuk berbagi mainannya kepada adiknya. Terkadang, ia marah. Tapi bermenit setelahnya, ia akan menghampiri saya yang sedang menenangkan Migu yang menangis dan memberikan mainannya. Sewaktu saya tanya kenapa, jawabannya: “Karena tugasnya Abang tuh kaya gitu, Mah, berbagi..” Jelas, itu bukan bahasa saya. Jelas, itu adalah Bi Ratih. Yang mewarisi bahasa bahasa baik bagi Mas Syarendra, yang kemudian meninggalkan sedikit kepada Migu.
Saya merasa jadi orang tua yang gagal. Mas Haditya Hadiutama, suami saya, adalah orang yang cukup sibuk dan tidak punya banyak waktu dirumah. Ia menjalankan banyak bisnisnya untuk membawa pulang barang-barang mewah untuk perhiasan rumah, tidak terlupa rumah mewah ini sendiri.
Saya sempat menjalankan bisnis butik disalah satu pusat perbelanjaan mewah yang ada di Jakarta, sehingga membuat saya jarang mengawasi anak-anak saya sendiri dengan tangan saya. Semuanya, ada di tangan Bi Ratih yang ulet dengan etos kerja yang luar biasa. Saya lupa, bagaimana saya menemukan Bi Ratih dulu. Bahkan ia sudah saya dan mas Hadi anggap sebagai keluarga.
Mas Rendra selalu siap siaga untuk Migu. Apapun itu. Entah ketika adiknya jatuh dari sepeda, atau jatuh akibat tersandung kakinya sendiri. Mas Renda akan siap untuk membersihkan pecahan kaca akibat tangan Migu yang luar biasa cerobohnya, dan akan menyalurkan segala tenaganya. Yang membuat saya senang, bahagia sekaligus khawatir.
Migu kemudian tumbuh menjadi anak yang ‘ogah-ogahan’ kalau bahasa milenial sekarang. Mas Rendra akan berusaha untuk membuat jalannya sendiri, namun Migu akan bersembunyi dibalik punggung kakaknya dan berjalan dituntun. Ia sulit belajar tanggung jawab, ia akan selalu bersembunyi dibalik dalih ‘abang’ yang terkadang membuat saya menyalahkan diri sendiri.
Sampai ketika saya harus melepas Mas Rendra pergi ke New York untuk meniti karir dan pendidikannya. Semua itu, juga tidak terlepas dari jerih payah Mas Hadi.
Migu banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya di sekolah. Sewaktu saya pulang bekerja, Migu sudah tidur. Sewaktu ia berangkat sekolah, biasanya saya harus sudah ikut Mas Hadi untuk urusan bisnisnya yang saya juga tidak tau untuk apa saya harus menghadirinya. Tapi saya merasa bahwa saya penting dan harus berada di sana.
Pada akhirnya, Migu menjadi remaja yang jauh dari peluk tangan Ibunya sendiri. Saya tidak tau bagaimana hasil raportnya, karena biasanya Juan yang bekerja sebagai tangan kanan Mas Hadi yang selalu mewakili. Saya tidak tau bagaimana perkembangan ia disekolah, atau mungkin yang mirisnya, saya tidak tau kapan ia sudah lulus SMA ketika itu.
Yang ada di pikiran saya setiap harinya adalah: “Mamah kangen Mas Rendra.”
Mas Hadi sering mendapatkan beberapa laporan dari sekolah perihal Migu yang gemar sekali membuat masalah. Yang pada akhirnya akan mengeluarkan kalimat “Gak bisa apa-apa kamu tanpa Papah.” Yang akan membuat saya menangis dalam tidur, yang membuat saya berjalan pelan menuju kamar Migu dan mendapati kamarnya terkunci rapat.
Saya merasa, jarak antara saya dan anak saya pada akhirnya jadi jarak yang tidak lagi mampu saya gapai.
Disetiap malam saya hanya mampu menggumamkan nama Mas Rendra. Saya rindu sosoknya. Saya rindu bagaimana ia yang biasanya pulang memijakkan rumah kemudian mencium kedua pipi saya, mata saya, kemudian menceritakan banyak hal tentang New York. Apalagi kalimat, “Mamah, nanti adek dibawa ke New York aja.” Yang kemudian membuat saya berfikir, bahwa Migu harus membuat jalannya sendiri.
Tapi keputusan saya dan Mas Hadi mungkin salah.
Saya dan Mas Hadi terlalu lama membungkam diri dalam sebuah jurang kesedihan dan menolak untuk bangkit. Sedangkan Migu diatas sana sedang memanggil. Ia memanggil untuk dielus pundaknya, ia memanggil untuk ditepuk bahunya. Ia memanggil untuk mencari-cari tau, adakah masih orang tuanya disisinya. Migu sendirian. Kami yang sudah terlupa kepada ia. Kami dirundung kesedihan dan menolak bahwa masa depan kami masih panjang dan didepan sana ada Migu yang sedang menunggu.
Mas Rendra ditemukan di sebuah gang becek pada satu malam di kota New York yang tidak pernah tidur. Ditemukan luka tusuk di perutnya yang menembus hati. Manusia-manusia keji itu mengikis habis seluruh harta Mas Rendra, tak bersisa sedikitpun, bahkan nyawanya. Jangan tanya bagaimana perasaan saya sebagai orang tua ketika menyadari buah hatinya kini kembali dalam keadaan tidak lagi menuai senyum. Tubuhnya dingin, matanya tertutup.
Berbulan-bulan, saya berusaha menerima keadaan. Saya tidak menerima kalimat apapun dari orang-orang. Saya bagaikan mayat hidup. Setiap hari hanya dipenuhi amarah. Sedikit-sedikit mematik api dan berakhir berkelahi bersama Mas Hadi.
Saya harus dimengerti bahwa saya ini baru kehilangan seorang Putra. Sebegitu egoisnya saya sampai bertahun-tahun bahkan merasa bahwa Migu tidak membutuhkan saya. Saya mengemban prinsip bahwa itu adalah cara saya supaya Migu bisa membuat jalannya sendiri. Sama seperti Mas Rendra. Tapi saya lupa, Migu adalah Migu yang harus saya buai, dan Mas Rendra adalah mas Rendra yang harus saya ikhlaskan.
Satu malam sebelum saya mendapatkan pesan dari Juan bahwa Migu kritis disana bersamaan dengan histori yang kembali mengulang kejadian yang sama, saya bermimpi. Saya bermimpi Migu mengelus kedua pipi saya. Migu bilang kalau ia akan merasa bersyukur kalau ia lahir kembali dari rahim saya, yang berarti membuat ia kembali jadi adik dari Mas Rendra.
“Mamah.. Kalau boleh, nanti Migu minta sama Tuhan supaya Migu lahir dari rahim Mamah lagi, supaya Migu bisa tetep jadi adeknya abang.” Mulut saya ketika itu tidak bisa terbuka. Saya tidak bisa menangis. Tapi yang saya rasakan, betapa saya merindukan senyum ini yang tidak pernah saya lihat kembali setelah bertahun-tahun lamanya.
Dan disinilah saya kemudian, berangkat bersama Juan dan Mas Hadi kemudian menyusul. Saya mulai mempertanyakan bagaimana nasib anak kami satu-satunya ini. Tubuhnya tidak berdaya, dokter bilang tusukan di perutnya cukup dalam, membuat ia koma akibat tubuhnya mengalami shock karena berjuang untuk mengkompensasi kehilangan darah yang cukup besar. Kami hanya mampu mengharapkan sebuah keajaiban. Entah keajaiban yang mana, entah keajaiban yang seperti apa.
Saya bersalah. Saya orang tua yang gagal. Saya menjadi egois, saya harusnya tau mimpi-mimpi yang Migu tuai. Kini, ia hanya tergolek lemas.
Sekarang, saya bingung. Bagaimana cara saya belajar mengikhlaskan kembali apabila hal yang sama terjadi, padahal sakit yang lalu belum lagi saya ikhlaskan. Sambil mengelus hangat tangan yang sudah bertahun tahun tidak pernah saya sentuh, setetes air mata jatuh dari mata Migu yang tertutup, mimpi apa ia di dalam sana?
“Nak..” Panggil saya berulang-ulang. Berharap jadi sebuah penuntun untuk membawanya pulang kembali pada peluk saya.