Gue.. ingin menjadi tidak terbatas dan ingin mencoba banyak hal, katakanlah seperti itu. Tapi dalam kasus kehidupan tanpa batas ini, gue hanyalah manusia dan tidak semua hal mampu gue genggam sepenuhnya, seluruhnya, seutuhnya.

New York sudah jauh lebih dari sekedar mimpi, New York, sekarang adalah rumah. Untuk gue dan Mama.

3 setengah tahun yang lalu, gue masih beringsut dalam keheningan hidup. Mencari jejak semu, mengejar mimpi yang gue gak pernah bayangkan bisa dicapai di titik ini. But afterall, here i am right now.

Tapi, mungkin ada yang sedikit berbeda. Migu yang hari ini, kembali jadi seorang anak kuliah di umur yang hampir kematangan, tidak dalam lingkup bisnis seperti apa yang dulu Papa gue mau, tapi dalam lingkup yang kali ini gue mau, arsitektur, gue tengah belajar dalam dunia bangun dan desain—gue, ingin menjadi seorang arsitek.

Keinginan gue yang sembrono ini dimulai 3 setengah tahun yang lalu dimana kantong gue sedang kering-keringnya. Dalam artian bahwa gue juga sedang bertanggung jawab untuk Mama. Pemasukan dari Exhibition hanyalah ¼ dari kebutuhan hidup di New York, belum lagi gue juga bertanggung jawab banyak dalam berbagai macam bentuk tagihan.

Ucapan terimakasih yang akan paling pertama gue sematkan sudah pasti untuk Malandara. Shit, it feels like she doesn't deserve me at all. Beberapa kali dalam kurun waktu belakangan, dia coba bantuin gue dalam ranah finansial, padahal dia juga sedang berjuang untuk biaya pengobatan Ibunya di Indonesia sana.

Setelah Mala pindah ke Indonesia sehabis pembukaan perdana Exhibition gue di Lispenard Street tiga setengah tahun yang lalu, kita secara berkala memberi kabar lewat pesan. Yang lagi-lagi harus membuat gue dan dia memupuk sabar setinggi mungkin akibat perbedaan waktu yang cukup signifikan.

Why it has to be Architecture?” Malam itu, musim dingin di New York tiga setengah tahun yang lalu dan gue sayup-sayup bisa mendengar deru hujan lewat sambungan telfon gue dan Mala.

The idea of 'membangun' is such an amazing things for me, Ra.” Balas gue.

“Kenapa? Give me the specific reason, please?”

Gue terkekeh geli. “Pada dasarnya, arsitektur punya banyak konsep. Semisal, nih, konsep metafora, bangunan yang tinggi menjulang nyimpen kiasan dalam bentuknya. Atau konsep analogi, disitu kamu bisa bercerita terkait dengan kemiripannya secara visual, entah dengan keajaiban alam atau konsep dasar pemikiran manusia. Atau secara stage paling tinggi, konsep utopia, dimana imajinasi kamu jadi nyata. the Idea of 'membangun' dalam bermacam konsep dan sesuatu yang bisa kamu sentuh, kamu tinggali, yang bisa melindungi dan bisa dikagumi, it is just.. cool, isn't it?” Gue bisa denger Mala menggumamkan 'hmmm' dari ujung sana.

“Kaya.. bangunan museum Tsunami di Aceh, kamu tau gak kalau bentuknya itu kaya kapal? Bahkan disetiap ruang bangun di dalamnya diselipin memori soal tragedi bertahun lalu.. how great it is sewaktu-waktu bangunan bisa bawa kamu menjelajahi waktu.”

“Ugh..” Mala membuang nafas. “Esensi kamu soal arsitektur berat.” Gue terkekeh. “Temen-temen kamu bilang apa soal kamu yang mau kuliah lagi? Apalagi nekat mau ambil jurusan yang nabrak.”

“Jihoon was too stunned to speak, terus lanjut bilang 'Gue ogah ngabisin waktu buat belajar.'”

“Jihoon just being Jihoon” Balas Mala. “Kak Johan?”

He got my back. Dia dukung sepenuhnya, sampai kemarin beberapa kali coba ngehubungin beberapa temennya soal program no loan colleges.”

And?” Gue membuang nafas dan Mala sudah paham.

It's okay. You know that I got your back as well.” And i hate her even more. Gue sering mempertanyakan hidup gue yang rasanya tiba-tiba berubah 180 derajat. Dulu, gue hidup dalam posisi dimana apapun bisa gue afford tanpa harus memikirkan berapa sisa duit di bank account gue. gue masih inget seberapa kagumnya Keenan sewaktu tau berapa isi salah satu kartu ATM gue saat kita masih kuliah di California dulu. But now look at him, gue yakin saldo ATM gue yang lalu itu gak seberapa sama saldo ATM dia yang sekarang.

“Jadi? Sekarang, gimana?”

Gonna do that with my own money.

Semenjak Mama cerai dengan Papa, semua kebutuhan Mama gue yang tanggung. Apalagi pas gue denger kalau ternyata uang perusahaan Papa di bawa lari sama adik angkatnya yang dari dulu udah gue wanti-wanti. Gue udah tau dari dulu tabiat adik-adik Papa yang mau enaknya aja, but his principal about family comes first is just such a bullshit. Sekarang, media udah gak pernah nge-up berita soal Papa, soal perusahannya dan lain sebagainya. Bagi gue dan Mama, Papa udah hilang. 3 setengah tahun, setitik-pun gue tidak pernah mendengar kabar Papa, sama sekali.

Suhu di New York sekarang mencapai minus 11 derajat celcius, yang membuat gue harus memakai baju setebal mungkin untuk melanglang buana menyusuri seluruh titik subway di New York karena Kak Johan mendadak nyuruh gue datang ke Apartemennya. Sebelum kesana, gue masih harus menyelesaikan pekerjaan gue di kantor Jihoon.

“Migu harus naik jabatan.” Gue terkekeh kencang mendengar pernyataan Vernon. “Udah gak pantes dia jadi pengadaan barang, naik jadi designer lah.” Gue menggaruk tekuk yang sama sekali tidak gatal.

Finish your last report first.” Jihoon menepuk pundak gue kemudian beralih menuju toilet.

Ah.. Last report.

Satu-satunya hal yang bikin gue 100x lebih pressured daripada menjalani 3 setengah tahun belajar arsitektur, adalah Last Report. Sudah ada 3 total judul yang gue ajukan kepada dosen pembimbing gue dan hasilnya nihil, tidak di approve.

Terlepas bagaimana gue menjalani hidup penuh dengan tanggung jawab segunung, bagi gue ilmu juga bagian dari bentuk tanggung jawab gue sebagai mahasiswa. Gue kelimpungan? Iya. Bagaimana gue harus berselaras dengan pekerjaan bersama Jihoon dan kawan-kawan, belum lagi project Exhibition gue yang sempat mangkrak engga ada ide sama sekali.

Ponsel gue mendadak berdering, memunculkan nama dosen pembimbing gue disana. Jantung gue rasanya copot dan jatuh masuk menuju lambung, nafas gue tersenggal. Not again, please, Lord, not again.

7pm in my room.” Dan gue harus membatalkan janji dengan Kak Johan.

-

Professor Frederick, umurnya sudah memasuki kepala 6, rambut pirangnya mulai memutih dan mulai menunjukan gejala kebotakan. Ia berwibawa, satu gelarnya ia dapat di Eropa, beliau sosok yang tegas dan tidak bertele-tele. Sangat spesifik dan.. ya, gue adalah contoh nyata atas ke-spesifikan dirinya.

Gue duduk berhadapan dengannya di satu sofa kulit berwarna maroon kehitaman, sedangkan dia dihadapan gue sedang membulak-balikan kertas yang tempo hari sudah gue serahkan. Tidak ada coretan disana, gue berharap pertemuan gue kali ini dengan beliau adalah bentuk jawaban manis atas penantian gue selama ini.

“Migu..” Cicitnya, badan gue panas dan dingin. “It's your third report, right?”

Gue hanya mampu mengangguk. Ia membuang nafas, menggelengkan kepala sambil membuka berlembar kertas dihadapannya. Ujung kepala hingga ujung kaki gue lemasnya bukan main, mimpi buruk gue masih belum selesai.

Genuinely ask, how long have you lived in Indonesia?” Alis gue menyatu mengkerut, berusaha mengelaborasi maksud dari pertanyaan beliau dan apa korelasinya dengan Last Report gue.

I was born there and.. left when i was 17.” Dia mangut-mangut. Masih menolak melihat gue dan masih tetap fokus pada kertas dihadapannya.

I cannot approve this.” Kali ini tubuh gue benar-benar lemas. Judul apalagi yang harus gue serahkan agar membuat seseorang dihadapan gue ini puas. “Kamu.. tau Wolff Schoemaker?” Kali ini, mata Professor Frederick jatuh menuju mata gue. Ada sejenak jeda karena gue sedang memproses dalam pertanyaan yang baru saja dilemparkan oleh beliau.

Right, that's a probable reason why all of your Last Report's tittle looks so weak.” Tanpa bertele-tele, diam gue pun menjadi jawaban bagi dia. “Wolff Schoemaker, salah satu dari 3 arsitek ternama bersama Albert Aalbers dan Henri Maclaine Pont yang mendesain banyak gedung di Hindia Belanda, sekitar dekade 1930-an. Kamu.. tidak tau?”

Jawabannya adalah tidak.

Ada senyum kecil disudut bibirnya, yang mengutarakan seakan-akan gue ini lemah dalam mencari informasi, apalagi dari tempat dimana gue berasal.

“Semua orang tau sejarah Frank Lloyd Wright, tau kalau dia tidak punya spesifikasi khusus dalam dunia arsitektur dan memilih berguru kepada Louis Sullivan. Satu kampus ini juga tau siapa Frank dan esensi seluruh bangunannya. La Pedrera-Casa Milà dan Antoni Gaudi, sudah terlalu banyak mahasiswa yang mengambil nama dan karya-nya untuk dijadikan acuan sebagai laporan-laporan mereka.” Ia menyandarkan punggungnya menuju kepala sofa. “Saya tau kamu bisa membuat sesuatu yang lebih dari ini.”

Mata gue beralih dari jemari yang sedari tadi gue taut menuju mata Professor Frederick. “Saya mau kamu tulis banyak hal tentang karya Wolff dan esensi bangunannya yang identik dengan rasa etnis. Kamu bisa lakukan observasi, atau mengajukan dana kepada kampus untuk turun langsung.” Tubuh gue mendadak jadi tegak, mata gue terbelalak, jantung gue kencang berdetak. “Atau, saya bisa buatkan kamu surat rekomendasi untuk membiayai perjalanan kamu menuju Indonesia.”

Ada sedikit senyum yang tersematkan di kedua bibir Professor Frederick. “Kamu seharusnya tidak boleh lupakan tempat kamu berakar, Migu. Kamu boleh menjadi besar, tidak terbatas dan melampaui segalanya dengan menjadi tau. Tapi, alangkah baiknya kalau kamu menjadi tidak terbatas dengan terus mengikat akarmu. Saya suka Indonesia, Indonesia bagi saya lebih dari sekedar negara, ada rasa disana yang susah untuk saya deskripsikan. Jadi.. saya mau kamu bawa Indonesia dalam tulisan ini kepada saya.” Ada sebuah rasa perih yang menghujam jantung gue sesaat apa yang dikatakan oleh Professor Frederick meluncur dari mulutnya. Tempat gue berakar, negara yang lebih dari sekedar negara.

“Saya beri waktu 2 minggu untuk kamu jelaskan latar belakang dan pemilihan judul. Saya juga beri kamu waktu, untuk berfikir.. apakah perlu saya ajukan surat rekomendasi untuk kamu.”

Malam itu, gue terduduk lemas diatas sofa Apartemen Kak Johan dengan pandangan entah kemana, pikiran apalagi. Gue, mendadak merasa ingin meledak, entah dalam amarah atau rasa bahagia. Apa ini? Kenapa gue harus kembali kesana untuk tulisan yang pada akhirnya terconggok tidak akan tersentuh oleh siapapun di rak paling tinggi perpustakaan?

“Migu, you good?” Jeon muncul dari balik pintu, membawa tas ransel yang cukup besar dan kamera di tangan kanannya.

“I'm all good.” Kata gue, beralih dari sofa dan menilik isi kulkas, mencari air mineral dingin untuk gue tegak. Gue masih menunggu Kak Johan kurang lebih 1 setengah jam, tapi ternyata karena gue membatalkan janji tadi, Kak Johan pergi agak jauh menuju Harrisburg di Pennsylvania untuk urusan pekerjaannya.

“Gu, gue seminggu di Harrisburg. Minggu depan, ya.”

Lalu gue memutuskan untuk pulang. Malam dingin di New York waktu itu gue tutup dengan lagu milik God Bless, band rock tahun 1970-an yang dulu sering di putar Papa di rumah. Rumah Kita, mengalun sendu sampai yang terakhir gue dengar adalah decitan suara pintu kamar Mama.

-

Charles Prosper Wolff Schoemaker, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang menetap di Indonesia di zaman per-gejolakan perang kedua. Gue juga menemukan fakta bahwa ia pernah menjadi seorang Angkatan Darat sampai akhirnya ia diberhentikan secara hormat dan membangun perusahaan sendiri di Weltevreden, Batavia. Yang sekarang merupakan daerah sekitar Sawah Besar dan Jalan Raya dari RSPAD Gatot Subroto sampai ke Jalan Raya Museum Gajah. Dan setelah gue ulik kembali, ternyata Weltevreden adalah kawasan elit Eropa pada zamannya.

Gue berdiam diri cukup lama di depan laptop di perpustakaan kampus. Sambil berharap ada buku biografi yang membahas tokoh satu itu. Tapi sumber yang gue dapatkan dari buku bisa gue hitung menggunakan jari dan sama sekali tidak mendukung. Jadi, tujuan Professor Frederick adalah memang untuk mempersulit hidup gue.

Gue kembali mengulik, sampai gue berhenti di titik bahwa Gedung Merdeka di Bandung merupakan karya miliknya.

Entah bagaimana, tiba-tiba memori gue berputar jauh, menuju masa dimana gue sedang menikmati soto bening khas Solo yang dimasak oleh bi Ratih.

'Den Migu tau gak gedung-gedung Belanda yang ada di Bandung, nah anaknya Bi Ratih kerja disitu.” Gue memperhatikan punggung Bi Ratih yang masih mengaduk panci berisi kuah soto bening yang sedang dihangatkan oleh beliau. Karena gue jarang main keluar Jakarta, ya udah pasti gue sama sekali tidak tau gedung-gedung Belanda yang dimaksud.

“Emang kerja apa disana, Bi?” Tanya gue, mencampur nasi hangat dengan kuah Soto tadi. Harusnya gue mengundang Mikel dan Dika buat makan siang bareng disini.

“Yah, jajakin buku, Den. Memang hobinya membaca buku, jadi disana jualan Buku, lumayan lah pemasukannya untuk dia sendiri. Toh, belum menikah juga.” Aksen medhok mulut Bi Ratih membuat rumah gue jadi selalu lebih khas, jadi lebih hangat karena ia selalu berbicara dengan lembut bersamaan dengan aksen medhoknya itu.

Mata gue mendadak panas dan tenggorokan gue jadi perih. Bagaimana kabar Bi Ratih sekarang? Gue sudah tidak pernah mendengar kabar beliau sejak kapan tau, bahkan mungkin berita Mama pindah ke New York pun tidak sampai ke telinganya.

Lalu, memori gue kembali pada waktu gue dan janji yang keluar dari mulut gue soal kunjungan yang akan gue lakukan semisal gue kembali ke Indonesia yang sampai sekarang belum terealisasikan. Untuk kesekian kali, gue berdiam diri cukup lama. Suara di perpustakaan menjadi pengang dan pikiran dikepala gue mulai berisik. Salah satu yang paling menggema adalah suara Professor Frederick, “Saya juga beri kamu waktu, untuk berfikir.. apakah perlu saya ajukan surat rekomendasi untuk kamu.”

Sebelum itu, gue harus meyakinkan diri, kenapa gue harus balik menuju tanah air. Apa esensi penting dari Wolff Schoemaker sampai mengharuskan gue untuk menapak tilas sejarah yang tersimpan dibalik dinding-dinding tua yang telah melintasi zaman itu? Apa sesederhana konsep etnis yang ia sematkan dalam design arsitekturnya, atau ternyata ada kerinduan di dalam benak gue yang sudah terpupuk dan keinginan gue untuk mencium tanah basah Indonesia sehabis dirundung hujan? Atau Mala? Atau Bi Ratih? Atau, alasan lain yang mungkin tersimpan jauh di lubuk hati gue yang tidak bisa gue namakan?

Pada akhirnya, waktu memakan keseluruhan detik hari-hari gue dan mengantarkan gue menuju hari dimana keputusan harus gue ambil sebelum judul yang gue tulis ini diserahkan.

“Balik ke Indonesia? Biayanya?” Mama terbelalak. Tangannya mengambang di udara dengan sebuah sendok yang berisi makanan yang harusnya ia suapkan ke mulutnya.

“Migu minta surat rekomendasi dulu.” Gue menolak menatap mata Mama, tangannya turun dan meletakkan sendoknya rapih di atas piring. Ruang sunyi mengikis hangat diantara gue dan Mama, gue masih menunggu jawaban lain yang keluar dari sana, tapi nihil. Sampai kemudian gue mendongak dan menemukan air mata di kedua pipinya. “Ma?” Panggil gue, kini bangkit dan menghampiri pundaknya.

“Boleh, Nak. Boleh.” Lirihnya. Gue bingung, kenapa Mama harus menangis soal surat rekomendasi dan kepergian gue menuju Indonesia? “Titipkan salam Mama untuk Rendra.” Dan, semua kemudian jadi masuk akal.

Seminggu sebelum gue menyerahkan judul untuk Last Report gue, gue memutuskan memang harus kembali ke Indonesia untuk melakukan observasi langsung. Mengingat sumber yang gue butuhkan pun disini kurang mendukung, pada akhirnya gue harus menyerahkan diri kepada Indonesia.

Setelah kembali dari kampus dan menyelesaikan pekerjaan di kantor, gue melangkah menuju Apartemen Kak Johan. Pagi tadi gue dapat pesan kalau dia udah balik dari Harrisburg dan ingin dibawakan masakan Mama. Akhirnya, gue menenteng tas besar yang berisi ber-pack-pack masakan yang sudah dimasak untuk Kak Johan simpan berminggu-minggu di dalam kulkasnya yang kerap kali hanya diisi air mineral alih alih makanan yang wajar.

“Gue makan dulu, Dek.” Katanya, mengambil setumpuk nasi putih dan menambahkan lauk-lauk yang gue bawa untuk menghias piringnya. 30 menit berlalu dengan cerita Kak Johan perihal Harrisburg dan perjalanan darat yang menyebalkan untuknya.

“Dek, lo inget gak pas lo awal awal mau kuliah Arsitektur?” Pandangan gue yang awalnya fokus pada siaran TV tiba-tiba teralih pada Kak Johan yang duduk memainkan laptopnya di meja makan.

“Kenapa?”

“Soal No Loan Colleges?” Tubuh gue yang awalnya bersandar malas pada kepala sofa mendadak terkesiap dan tegap.

“Emang kenapa soal No Loan itu?” Lama Kak Johan menjawab pertanyaan gue, dia sibuk mengutak-atik Laptopnya.

“Coba check email lo, Dek.” Notifikasi muncul di layar ponsel gue. Program No Loan Colleges dari satu perusahaan yang cukup terkemuka di Amerika Serikat.

“Gue selalu lihat nilai lo disetiap semester,” Kak Johan sialan. Padahal gue udah bulak-balik bilang tolong di log out akun mahasiswa gue dari web kampus yang tersangkut di Laptopnya.

“Anjir lo, Kak.”

“Sorry for that.” Katanya mengacungkan jari telunjuk di udara. “And you got best GPA score in each semester, Dek.” Gue masih membaca email yang dikirim Kak Johan pada layar ponsel gue. “Lo tinggal ngelengkapin berkas, nilai, dan boom! Setengah biaya lo kuliah mungkin bakal dikompensasiin.”

“Kak ini beneran apa boongan, sih?” Kak Johan terkekeh.

“Try it.”

Setelah menghabiskan waktu tepat selama 2 minggu lamanya melakukan re-search seadanya lewat buku dan internet yang ada, gue selesai membuat judul baru beserta latar belakangnya. Siang itu, didepan ruang dosen di kampus, mata gue terus melirik jam tangan yang melingkar, kaki gue gak bisa diam dari tadi. Di dalam tas, sudah ada berlembar kertas yang akan gue serahkan hari ini. Dan, status approval dana untuk penelitian gue yang juga gue tunggu-tunggu. Sejak pagi tadi gue terus terusan bersumpah serapah, berharap hari seperti ini tidak perlu terjadi di hidup gue.

15 menit gue menunggu, kini gue tengah berhadapan dengan Professor Frederick. Tidak lama, sebuah amplop mendarat tepat di depan wajah gue. Secara bergantian gue menatap amplop coklat dan wajah Professor Frederick yang nihil ekspresi.

“Approved.” Mata gue membelalak hebat, luar biasa hebat sehingga hampir membuat gue berteriak kalau saja akal sehat gue tidak sedang bekerja detik itu.

“But i need to see your new tittle for your Last Report first, Migu.” Dada gue naik dan turun. Gue terus terusan memberikan kalimat affirmasi dengan mengatakan bahwa re-search gue selama 2 minggu berturut-turut ini tidak akan sia-sia. Bahwa gue akan mendedikasikan diri gue sepenuhnya untuk menyelesaikan Last Report ini menuju Indonesia dan kembali dengan membawa hasil yang memuaskan.

Gue serahkan kemudian berlembar kertas itu menuju Professor Frederick. Kini tangannya sepenuhnya menggengam, membalik, dan pupil matanya bergerak dari kiri ke kanan, terus seperti itu selama kurang lebih 10 menit tanpa bersuara. Kini matanya terpaku menuju mata gue dan membuat sekujur tubuh gue merindingnya bukan main.

Ia tersenyum dan berbisik. “Bring me back Indonesia, and good luck.” Sembari menyerahkan kembali lembar Last Report milik gue. Ada ledakan penuh kegembiraan didalam hati, kini jantung gue berdetak bukan karena kegagalan yang selalu gue terima, tapi keberhasilan setelah rasanya mengarungi beribu purnama.

Sambil tersenyum, gue lirik kembali sampul Last Report yang telah gue ajukan. Tulisan di atasnya lagi-lagi membuat jantung gue berdebar, Historical Markers in Archipelago Architectural Principles : Indo-Europeeschen Architeectuur Stjil from Charles Prosper Wolff Schoemaker in Bandung, Indonesia.

-

Mama sore itu sibuknya bukan main. Ia membongkar seluruh lemari gue dan memilah-milih baju yang harus gue bawa kembali ke Indonesia.

“Mah, Migu cuma 2 minggu loh disana. Gausah sampe bawa baju segini banyaknya lah.” Tapi Mama hanya acuh dan masih terus melanjutkan agenda menyusun bajunya.

Gue masih sibuk bergelut dengan Laptop, masih menyelesaikan surat cuti yang harus gue serahkan paling lambat besok sebelum mendapatkan approval dari Jihoon.

“Lo berarti ke Jakarta, kan?” Kemarin malam, Keenan menyempatkan menelfon gue setelah gue beri kabar bahwa gue akan balik ke Indonesia. “Atau langsung ke Bandung?” Suaranya mengecap, menandakan bahwa ia sedang mengunyah makanan di ujung telfon sana.

“Engga.” Kata gue.

“Lah, kok enggak?”

“Gue mau ke Jogja dulu.” Ucap gue, malam itu masih sibuk melengkapi berkas-berkas untuk program No Loan Colleges yang disarankan Kak Johan.

“Sekalian liburan?”

“Nope.”

“Lah terus?”

Jantung gue masih cukup kencang berdebar, mengingat judul gue yang sudah di approved dan kepulangan gue menuju tempat yang katanya adalah tempat dimana gue berakar. “Ada janji dulu yang harus gue selesaiin.”

Kurang dari 6 jam keberangkatan gue, Kak Johan sudah berdiam diri di Apartemen gue sambil berbincang banyak dengan Mama. Secara tidak sadar sebenarnya, gue merasa Mama mendadak jadi penuh. Ia kerap kali menghabiskan waktu memasak makanan rumahan dan sering kali meminta tolong gue untuk mengantarkan kepada Kak Johan.

Sama seperti beberapa tahun yang lalu, Kak Johan pun menjadi seorang penyampai kisah dan pesan yang baik perihal Abang kepada Mama. Gue tau hati Mama masih cukup terluka untuk mengetahui itu semua tapi pada akhirnya, Kak Johan disana untuk bantu Mama mengeringkan luka yang udah terlampau lama basah. Ada disana di hari paling kelam punya Mama dan bantu beliau untuk menelisik sedikitnya cahaya hidup dan bangkit dari perihnya kehilangan.

“the grieves, lived alongside with us, Gu. Satu-satunya hal yang bisa bikin kita waras cuma diri kita sendiri. Tapi gak semua orang beruntung bisa cukup sanggup menggantungkan diri buat dirinya sendiri. Tapi selama gue bisa dan mampu, gue mau.” Itu, kalimat yang pernah Kak Johan sampaikan kepada gue soal Mama, dan gue tidak pernah merasa sebersyukur ini. Dan kalau bisa, gue mau bilang makasih ke Abang karena bisa menjaga seorang teman dengan begini baiknya dan mengantarkannya kepada gue, dan Mama.

Siang hari, Mama, Kak Johan dan dua sejoli Michael dan Dika mengantarkan gue ke Bandara. Sebelum gue masuk, pada lambaian setengah sanggup dari tangan Mama, ada perasaan yang sulit untuk gue elaborasi. Kali ini gue bingung harus mengatakan apakah sekarang ini gue akan pulang atau pergi. Dimana rumah gue, dimana akar gue yang sebenarnya? Di Indonesia tempat gue lahir, atau di New York sini, tempat gue berusaha menumbuhkan akar pada mimpi-mimpi gue sampai nyawa hidup dan mati gue pun gue perjuangkan?

Senyum milik Mama halus muncul disela kerutan yang mulai melukis saksi diatas kulitnya. Cinta gue sampai mati, terlepas seberapa besar luka yang dulu pernah ada, ikatan gue dan Mama gak akan pernah putus seberapa jauh pun gue dan Mama terpisah, seberapa jauhpun gue melangkah.

Dan disana gue membalikkan tubuh, meninggalkan punggung untuk dilihat oleh orang-orang yang akan gue tinggalkan, untuk sementara.

-

Dari Bandara Yogyakarta menuju kota, gue menghabiskan waktu menggunakan Kereta Api Bandara. Dari stasiun kota, gue beralih naik commuterline, menuju Solo.

Janji gue, janji gue yang kali ini ada di Solo, ada pada bi Ratih.

Alamat rumah bi Ratih gue dapatkan dari bang Juan, seseorang yang masih berhubungan baik dengan gue daripada Papa gue sendiri. Sebuah ironi yang sampai sekarang masih jadi pokok pertanyaan kepala gue. Selepas sampai, gue cukup takut sebenarnya, takut-takut bukan lagi Bi Ratih yang menempati alamat yang diberikan.

Ketika gue mengetok pintu beberapa kali, munculah seseorang yang wajahnya masih familiar dalam kenangan gue. Rambutnya sudah terlampau rata oleh uban, garis kerutan diwajahnya kali ini jauh lebih keras daripada beberapa tahun yang lalu semasa beliau gue tinggalkan. Dan ia sekoyong-koyongnya menangis dan menjatuhkan diri pada pelukan gue.

“Masyaallah, Den Migu.” Dan gue, pun, alih-alih menjadi wadah untuk beliau jatuh, ikut jatuh dalam kerinduan yang tidak lagi mampu terbendung.

-

Gue disuguhkan semua makanan yang bi Ratih punya. Memaksa gue untuk tinggal barang semalam, supaya bisa ia masakan banyak makanan Indonesia. Hati gue mencelus cukup dalam, mengingat janji beliau yang pernah mengatakan akan memasakan banyak makanan kalau semisal gue balik ke Indonesia. Tapi kenyataannya sewaktu itu adalah gue yang tidak sempat kembali sebelum beliau dipulangkan oleh Mama dan Papa gue.

Beliau kenalkan gue pada anak bungsu-nya yang masih tinggal serumah dengan beliau, memperkenalkan gue pada cucu-cucunya. Cara beliau mengayomi, mengingatkan gue kembali pada masa-masa gue kecil sewaktu Abang masih ada. Sewaktu Mama dan Papa hanya dimiliki oleh pekerjaannya, bukan gue dan Abang, bi Ratih selalu ada disana.

Gue juga menanyakan apakah anak Bi Ratih yang dulu masih bekerja di Bandung, mengingat tujuan gue datang kembali kesini bukan hanya untuk berkunjung tapi soal tanggung jawab lain yang harus gue selesaikan.

“Masih di Bandung, Den, sekarang sudah menikah. Dapat orang Bandung dan memutuskan tinggal disana.”

Namanya Dimas, berdasarkan informasi yang gue dapatkan, kalau Mas Dimas ini masih bekerja di daerah Braga, dimana gedung-gedung ala Indo-Belanda masih terus dijaga sebagai pengingat masa. Gue bertukar obrolan sedikit dengan Mas Dimas lewat sambungan telfon, beliau katakan akan mencoba membantu apa yang sekiranya bisa dibantu untuk laporan gue ini.

Gue akhirnya memutuskan untuk tinggal barang semalam, karena terus-terusan di paksa oleh Bi Ratih. Keesokan paginya, meja makan dirumah Bi Ratih penuh dengan makanan yang katanya sudah beliau masak dari subuh. Sejujurnya gue merasa tidak enak, mengingat bisa jadi semua bahan makanan yang digunakan hari ini, bisa dimasak oleh mereka untuk beberapa hari kedepan. Sebelum pamit, gue selipkan sedikit uang sebagai ganti seluruh makanan dan bermalamnya gue, tapi ditolak mentah-mentah oleh beliau.

Untuk terakhir kali, gue peluk Bi Ratih. Gue tidak lagi menyisipkan janji, karena kali ini, belum tentu mampu gue tepati. Yang gue sisipkan adalah doa-doa dan harapan, semoga panjang umur beliau, bahagia selalu terlepas bagaimana penuhnya hari besok dengan teka-teki. Tangis beliau jadi hal terakhir yang gue lihat sebelum akhirnya taksi online yang gue pesan mengantarkan gue menuju stasiun kereta api kembali, yang ternyata memakan waktu sampai 9 jam lamanya sebelum gue sampai ke Bandung.

Di stasiun Bandung, gue dijemput oleh Mas Dimas menggunakan toyota Corolla jadul tahun 1998. Sepanjang perjalanan kita ngobrol banyak, bagaimana dulu masa kecil gue dengan Bi Ratih dan alasan gue yang kembali ke Indonesia.

“Oh, kalau dulu saya jualan buku di gedung Landmark, Mas Migu. Cukup susah juga, karena peminat baca di Indonesia kan kurang.” Mas Dimas tertawa sambil mengusap tekuknya. Aksen jawa-nya masih melekat disela-sela aksen sunda-nya.

“Tapi sekarang, masih di daerah Braga juga?”

“Kalau sekarang Alhamdulillah saya kerja di gedung Nedhandel, sekarang orang-orang nyebutnya gedung Mandiri.” Mas Dimas tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan. Ruang diantara gue dan beliau hanya terisi dari suara radio yang sinyalnya jelek.

“Tentang apa, toh, Mas, laporan akhir njenengan?”

“Mas jangan panggil saya begitu.” Kata gue, tertawa sedikit. “Panggil nama aja gak papa.” Mas Dimas tertawa.

“Yo, Mas Migu kan secara gak langsung juga orang yang saya hormati, boss saya juga.”

Gue tertawa kikuk. “Jangan gitu, Mas. Panggil nama aja, biar lebih enak dan kasual.” Balas gue lagi.

“Yawis, kalau Migu memaksa.” Kali ini gue tertawa lebih lepas. Lagian, Mas Dimas juga umurnya jauh lebih diatas gue, buat apa dia manggil gue dengan embel-embel 'Mas'.

“Jadi, sebenarnya saya mau tau aja sih mas soal informasi gedung-gedung yang dibangun sama Arsitek Belanda yang nge-bangun gedung-gedung yang ada di Braga. Nah salah satunya itu gedung Merdeka, kira-kira mas Dimas tau gak, untuk informasi seperti itu harus saya tanya sama siapa?”

Mas Dimas melepas tangannya dari stir karena didepan juga sedang lampu merah. Ia lama berfikir sembari melipat tangannya didepan dada. “Siapa ya, saya ndak pernah tau-tau soalnya kalau urusan gedung. Tapi nanti saya coba bantu tanyakan.”

Sebelum Mas Dimas mengantar gue menuju tempat yang akan gue tempati selama ada di Bandung, beliau mengajak gue melintasi seluruh jalanan Braga, dan yang paling penting, gedung Merdeka dan juga gedung Landmark, yang Mas Dimas katakan pernah jadi tempat ia mengadu nasib dalam menjual perbukuan duniawi.

Pun, ketika sampai di rumah Mas Dimas, gue disuguhkan dengan rak yang penuh berisi buku. Buku-buku yang sempat Mas Dimas jajakan ketika berjualan dulu bercampur dengan buku-buku yang sudah ia baca. Dari mulai penulis legendaris seperti Nh. Dini, Pramoedya Ananta Toer, hingga Suwarsih Djojopuspito. Mas Dimas juga mengoleksi beberapa buku karya Soe Hok Gie yang disusun sesuai dengan tahun terbitnya.

Gue membulak balik buku karya Suwarsih Djojopuspito berjudul Manusia Bebas ketika Mas Dimas kembali dari dapur dan membawakan 2 gelas teh hangat diatas nampan.

“Maaf ya, Migu, cuma bisa menyuguhkan ini.” Gue mengibaskan tangan di udara, menyiratkan bahwa teh hangat juga sudah cukup dan mengucapkan terimakasih.

Pupil mata Mas Dimas jatuh kepada buku yang sedang gue genggam, ia tersenyum hangat. “Itu buku kesukaan saya.” Katanya tiba-tiba. “Manusia Bebas.” Ulangnya lagi.

“Oh iya, Mas?”

“Iya. Ada satu perkataan yang saya suka, masih saya ingat sampai sekarang.” Ucap Mas Dimas tersenyum, mengangkat gelas berisi teh dan menyeruputnya. “Begitulah orang-orang kita, ingin berkorban, penuh pengabdian, akan tetapi karena kesukaran sehari-hari, mereka menjadi seperti mati, menyerahkan diri pada nasibnya sendiri-sendiri.” Matanya melirik kosong melompong entah kemana pada lantai keramik yang beberapa sisinya terlihat retak.

“Setelah pekerjaan menjual buku di gedung Landmark tidak lagi menguntungkan seperti dulu, saya bingung harus mengupayakan cara seperti apa lagi untuk bertahan hidup, lalu saya baca kutipan itu dan nangis.” Mas Dimas terkekeh. “Sehabisnya, saya hancur-hancuran dan mati-matian membuktikan kalau saya tidak mau disetiri oleh nasib, bahwa bukan nasib yang menentukan saya tapi harus saya yang menentukan nasib.”

Gue mengukir sedikit senyum, mengembalikan buku Mas Dimas kembali ke dalam rak dan berbincang selama kurang lebih satu jam, kemudian diantarkan kembali menuju sebuah kos-kosan sederhana dimana gue akan menghabiskan waktu selama 2 minggu kedepan.

Kalimat Mas Dimas terngiang-ngiang di dalam kepala gue sepanjang perjalanan sampai ketika gue hampir tertidur diatas kasur berukuran 120x200 itu, 'bahwa bukan nasib yang menentukan saya tapi harus saya yang menentukan nasib.' Dan gue tertidur tanpa bermimpi sedikitpun.

-

Mas Dimas mengabari gue 3 hari kemudian untuk wawancara narasumber perihal bangunan Gedung Merdeka dan beberapa gedung lain karya Charles Prosper Wolff Schoemaker. Beliau adalah Pak Bimo, salah satu dosen Arsitektur di salah satu kampus swasta yang ada di Bandung. Keperawakannya tinggi dan tegap, walaupun jauh lebih tinggi tubuh gue kalau dibandingkan semisal kita berdiri bersebelahan. Rambutnya sudah tidak lagi hitam pekat, melainkan bercampur dengan uban, mungkin umurnya sudah masuk lebih dari setengah abad.

“Keren loh, kamu memilihnya Wolff Schoemaker.” Pak Bimo membulak balikan kertas laporan yang masih berisi pendahuluan singkat dan membaca notebook kecil gue yang berisi beberapa informasi perihal gedung-gedung yang ada di Braga.

Selepasnya, kita jalan beriringan. Beliau bercerita kalau beberapa mahasiswanya tidak terlalu vokal mengangkat Schoemaker sebagai judul skripsinya atau makalah dan sebagainya. “Bukan karena apa, mereka maunya yang modern saja.” Kata Pak Bimo, sedikit tertawa.

“Ini saya juga berdasarkan rekomendasi dosen saya di sana, Pak.” Balas gue. Karena ya, jujur aja, tanpa bimbingan dari Professor Frederick, gue juga gak akan tau Schoemaker itu siapa.

Seluruh informasi yang kemudian gue dapat dari Pak Bimo selama beberapa hari gue satukan dalam satu file yang wujudnya masih berantakan. Gue juga membuat kuisioner untuk mengumpulkan bentuk validasi, apakah memang gedung-gedung di Braga ini masih meninggalkan esensinya sebagai penanda sejarah dari beberapa dekade yang sudah lewat.

“Hal yang saya suka dari Schoemaker adalah dia yang tertarik dengan nilai etnik walaupun sebenarnya dia tidak menggali lebih dalam esensi sebenarnya dari nilai etnik itu sendiri. Tapi, jenis gaya ini, menunjukan bahwa ia menghargai dimana ia berpijak.” Pak Bimo dengan senyum khasnya pada satu sore didepan gedung Landmark.

Somehow, gue hampir menyelesaikan seluruh laporan yang gue punya dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. Gue beberapa kali melakukan Skype dengan Professor Frederick untuk memeriksa seluruh tulisan yang sudah gue tulis. Gue selesaikan revisi dalam waktu secepat mungkin, agar tuntas, agar bisa gue pulang menuju New York sana.

Tapi pemikiran itu kemudian terlintas dikepala gue. Gue, pulang? Ke New York? Jadi, apa makna pulang yang sebenarnya? Faktanya, akar gue ada disini, di Negara Demokrasi ini. Gue, lahir dari rahim Ibu Pertiwi, kenapa gue menganggap bahwa gue bukan lagi Indonesia?

Akhirnya, pemikiran yang memenuhi kepala gue jadi pengantar tidur. Di satu kos-kosan kecil, bermodalkan sebuah kipas angin, dinding dingin yang saling berhadapan dan lampu remang yang seakan berteriak minta diganti. Migu bertahun yang lalu tidak akan pernah menyangka kalau titik hidupnya ada disini. Tapi, hidup adalah hidup, detik selanjutnya jauh dari kira, kita hanya mampu menerka, sekalian ikut berdoa.

3 hari sebelum kembali menuju New York, gue berniat menemui Mala di Jakarta. Bertemu Ibu, bertemu Barra. Gue mengunjungi rumah Mas Dimas sebelum kembali, berpamitan. Ia menyelipkan buku usang dari rak bukunya; Arus Balik oleh Pramoedya Ananta Toer, sambil berbisik, “Ini juga buku kesukaan saya, Migu.” Gue juga menemui Pak Bimo dan mengucapkan banyak terimakasih atas bimbingan yang sudah beliau berikan selama beberapa hari bertemu.

Pagi pukul 9, gue bersiap menuju stasiun kereta, membawa barang-barang gue karena nanti, gue akan kembali ke New York dari Jakarta. Disana ada Barra, gue bisa menginap barang beberapa hari di rumahnya.

Setibanya gue, Mala dan Barra sudah menunggu di stasiun Gambir. Gue peluk erat perempuan kesayangan gue ini sampai rasanya ingin gue remukan seluruh tubuhnya. Gue ayunkan lembut ia ke-kanan dan ke-kiri, masih tidak menyangka akhirnya gue mampu untuk membunuh jarak dan memulangkan peluk. Gue menyapa Barra dan kita bertiga berakhir menghabiskan waktu di Taman Ismail Marzuki.

Malam hari, Barra bilang kalau dia harus ke rumah sakit, dan meninggalkan gue sendiri di rumahnya. Hati gue merasa mendadak kosong, ada perih yang menyeruak dan naik menuju tenggorokan, rasanya gue ingin menangis.

“Migu?” Sapa suara lembut di ujung sana yang beberapa jam lalu baru gue dengar langsung. “Are you okay?”

“I'm fine.” Balas gue, sambil memelintir ujung selimut.

“Terus? Udah mau tengah malam, kenapa nelfon?” Ada senyap sejenak yang mengisi ruang antara gue dan Mala.

“Dulu waktu di New York..” Ucap gue lirih. Gue menyempatkan berdeham terlebih dahulu, karena tenggorokan gue mendadak tercekat. “Kamu ngerasa ada di rumah gak?”

“Maksudnya?”

“Atau, rumah buat kamu tetap ada di Indonesia?” Mala diam, tidak langsung menjawab pertanyataan gue.

“Gu, i'm not sure that you are fine, are you?”

“I.. I don't know, Ra. It feels weird.” Lagi-lagi senyap, sunyi sedang berpesta pora.

“Migu, kalau kamu nanya aku, rumah buatku adalah tempat dimana aku selalu merasa aman.” Jelasnya, mungkin berhasil menarik benang kusut dari pertanyaan gue barusan. “Terus, apa New York bukan rumah buat aku? California? Atau Jakarta? Semua pernah jadi rumah, semua pernah kasih aku rasa aman. Tapi pertanyaannya, aman yang mana yang mau kamu pilih?”

“Dan kamu pilih Jakarta?”

“Dan aku pilih Jakarta.” Gue bisa membayangkan senyum kecil yang dia tunjukan. “Disini ada Ibu, Gu, ribuan aman lain yang gak bisa aku dapet dari New York ataupun California.” Hati gue mencelus. Gue kangen Mama. Setelah berekonsiliasi, gue cuma bersandar di bahu Mama yang terkadang menyandarkan dirinya kepada Kak Johan. Gue masih ingat senyum setengah sanggupnya ketika melambai mengantarkan gue pada pintu keberangkatan 2 minggu yang lalu.

“Ra, besok janjinya di undur jam 10 boleh? Pagi ada urusan yang harus aku selesain dulu.”

“Boleh, Migu. Jangan lupa kabarin aku.”

Pukul 8 pagi keesokannya, gue berakhir disalah satu alamat yang malam hari gue minta lagi-lagi kepada Bang Juan. Sebuah jalan yang jauh dari bisingnya jalan utama. Ada sebuah warung dan rumah sederhana dibagian belakangnya.

Tubuh gue bergetar hebat, entah apa yang ada di dalam pikiran gue sebelumnya sampai gue berani memutuskan ini. Tapi, Jakarta belum tentu jadi destinasi gue lagi setelah nanti gue kembali ke New York. Jadi, harus gue tuntaskan ini.

Dari jauh, sayup-sayup dari belakang rumah, ada alunan lagu milik band rock Godbless yang gue tau apa judulnya itu.

Kan kuikuti jejak langkah mentari

Walau kutahu jejaknya tak bertepi

Aku harus mampu memeluk bumi ini

Jendela yang terbuka setengah, tapi pintu yang terbuka lebar. Dari sini, dari pintu yang terbuka lebar, gue bisa lihat sofa berwarna khaki yang agak lusuh, dan seorang lelaki yang duduk menatap radio tempat lagu tadi diputar. Gue baru sadar kalau dia juga ikut menggumamkan lagunya ketika langkah gue sudah semakin dekat. Gue tidak mengutarakan kalimat apapun, belum sempat mengetuk sesaat lelaki tadi menoleh dan menemukan gue yang terpaku.

Kita berdua mematung sebentar, sampai akhirnya berlari dan jatuh pada pelukan masing-masing.

Gue menangis, menangis dipelukan seseorang yang gak mungkin bisa bikin gue nangis. Dipelukan Ayah gue sendiri, Papa. Yang bisnisnya telah bangkrut, yang menjual semua asetnya untuk melunasi hutang-hutangnya, belum lagi hartanya yang dibawa lari. Gue berani bersumpah kalau Papa tidak pantas untuk mendapatkan ini semua, tapi kembali lagi, hidup adalah hidup, detik selanjutnya jauh dari kira, kita semua hanya mampu menerka. Dan hidup gue, hidup Papa, berubah 180 derajat jauhnya.

Papa hanya tinggal sendiri. Gue duduk di ruang tamunya, isi rumah yang terlampau kosong dengan dalih, “Kan cuma Papa yang tinggal disini.” Ada halaman belakang yang rumputnya tumbuh setinggi lutut, beberapa tumpukan kayu yang gue tanya untuk apa, tapi tidak langsung dijawab oleh Papa. Pada akhirnya beliau mengaku, kalau dulu sempat ada yang mau membeli kayu-kayu itu, Papa yang berusaha mencari supplier, tapi ternyata ditipu. “Zaman sekarang, sudah tidak ada yang mau lagi kayu model begitu, Migu.” Katanya.

Di ruang tengah, masih ada bingkai foto kita ber-4, gue dan Abang, Mama dan Papa. Those old days, man, i wish i could just go back and froze the time.

“Tapi Papa seneng hidup yang sekarang.” Lirihnya dari arah dapur, sedang berusaha membuat minum yang entah apa. “Tidak terlalu berisik.”

Gue menceritakan hidup gue dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan. Kuliah, pameran, Mama, sampai tujuan dan alasan gue kembali ke Indonesia. Pun dengan Papa, warung didepan rumahnya, rumah ini yang ia dapat hanya dari iklan dan dibantu oleh Bang Juan, barang-barang yang akhirnya beliau sadar betapa berharganya setelah semuanya hilang dari genggaman, serta tujuan ia setelah ini.

“Engga ada.” Katanya.

“Kok gitu? Maksudnya, kan Papa dulu pernah punya bisnis besar, kenapa gak coba start dari awal lagi aja?” Papa tersenyum.

“Migu, zaman sekarang kan berbeda dari zaman pertama kali Papa merintis bisnis. Itu detail yang sangat Papa sesali. Papa tidak mau belajar bagaimana caranya supaya tidak dilindas oleh zaman, maunya hanya membayar orang saja. Malas berfikir, malas belajar. Sekarang, duit sudah tidak ada, mau apa? Yasudah, uang seadanya, Papa alokasikan ke warung depan itu.” Tunjuk Papa. “Bisa menutupi kebutuhan sehari-hari ternyata.” Papa tertawa.

Sejenak, kita hanya menatap kosong keluar dari pintu yang masih terbuka lebar. Tapi, gue tau kalau mata Papa tidak bisa bohong, ada yang sedang ia pikirkan jauh didalam kepalanya.

“Nanti, kalau Papa meninggal, kamu pulang ke Indonesia, gak? Mengantarkan Papa sampai bawah?”

“Apaan sih, Pa?”

Papa terkekeh. “Ya, cuma tanya saja.” Kini tersenyum kecil. “Papa kan gak punya siapa-siapa disini.”

“Pulang.” Cicit gue, menolak menatap mata Papa. “Migu pasti Pulang.” Gue tidak bisa bohong, mata gue perlahan mulai memupuk air mata di sela percakapan gue dengan Papa. Betapa suara beliau yang sangat gue rindukan, terlepas dari apa yang telah terjadi antara Papa dan Mama.

“Nak,” Selepas panggilan itu keluar, gue memberanikan diri mendongak mencari mata Papa. “Kamu harus tau, kalau kamu selalu diterima disini. Selama Papa masih disini, masih ada, kalau kamu mau ke Jakarta, anggap ini rumahmu, ya? Papa gak pernah menyangka kalau apa yang dulu Papa bayangkan, apa yang Papa angan-angankan itu jadi kenyataan. Melihat kamu didepan pintu rumah reyot kaya gini.” Tawa kekeh Papa tidak bisa menutup kesedihan di matanya. “Walau kadang-kadang, Papa bayanginnya kamu dan Abang pulang sama-sama. Kalau yang itu, udah pasti engga mungkin.” Ia menepuk lutut gue pelan, kemudian membuang matanya kembali keluar dari pintu yang terbuka lebar.

Rasanya, gue gak mau kemana-mana. Walaupun hanya sederhana, bukan rumah masa kecil gue juga, tapi ada perasaan masa lalu yang narik gue kenceng, menahan diri gue untuk bangkit dari sofa lusuh berdebu ini. Rasanya, gue mau masuk ke salah satu kamar, melemparkan diri gue ke atas kasur, dan tidur, seakan-akan tidur siang selepas pulang sekolah, kemudian bangun dan menemukan ada Mama didapur sana sedang menyiapkan makan malam.

Tapi gue harus pamit. Gue memeluk erat Papa, sekali lagi menangis di atas pundaknya begitupun ia. Entah kapan gue akan pulang ke rumah ini, tapi gue berharap, supaya nanti, masih ada kesempatan gue untuk bisa kembali pulang kesini. Ke tempat salah satu penanda baru dalam sejarah hidup gue; rumah kecil sederhana dan mungkin sebuah ketenangan di dalamnya.

Tadi malam, sebelum gue tidur, diatas tangan gue serta merta buku Pramoedya Toer yang diberikan mas Dimas, gue teringat garis yang ia tarik pada satu kalimat panjang, katanya : “Biarlah hati ini patah karena sarat dengan beban, dan biarlah ia meledak karena ketegangan. Pada akhirnya, perbuatan manusia menentukan, yang mengawali dan mengakhiri.” Dan gue mulai mengerti.

Penanda sejarah diri gue sendiri adalah seluruh tempat yang pernah gue tapak di Indonesia. Bahwa sebelum adanya New York, gue pernah lahir dan dibuai angin malam pada jantung hati Ibu pertiwi. Gue, pun, ikut melintasi zaman pada kurun waktu yang memang tidaklah panjang, tapi gue tau, jejak yang tertinggal disini, di negeri merah-putih ini, pernah mengawali dan mengakhiri, pernah mengubah sejarah orang-orang yang gue temui. Semuanya, berselaras, mengantarkan gue kepada pulang dan pergi.

Rumah akan selalu jadi tempat dimana gue dipeluk, dan aman yang ikut terbawa didalamnya. Dimanapun itu, entah kepada jantung kota New York, entah kepada jantung kota Jakarta. Sehabis ini, gue tau bahwa ada hati yang sudah penuh, bahwa makna pulang tidak lagi soal berkontemplasi perihal dimana dan dimana, tapi soal diterima.

-

“Dan Migu diterima.”