Edgar Allan Poe Street.
-
Gue beli satu gedung di Edgar Allan Poe Street. Gue tau street ini kurang influenced dan sebenarnya kalo gue buka exhibit juga pasti engga terlalu berpengaruh. Tapi, entah kenapa rasanya, arsip abang yang waktu itu belum selesai ditulis, yang mengarah kesini bikin gue memutuskan kalau gue harus melabuhkan pilihan gue untuk membuka Exhibit disini.
Gue belum memulai apapun, beberapa hasil potret gue belum sepenuhnya gue selesaikan. Beberapa foto yang abang jadikan arsip juga akan gue pamerkan disini. Mikel bilang, ada satu foto yang mau dia lukis, dan katanya, mau dia sumbangkan buat Exhibition ini dan gue sepenuhnya sangat-sangat berterima kasih untuk itu.
Besok, gue masih harus pergi ke California dulu. Untuk apa, sebenarnya jawabannya juga masih cukup abu.
Selepas pamit dengan Sienna, gue buru-buru turun dari Apartemen. Memanggil taksi kemudian meluncur ke Bandara. Bicara soal Sienna, ternyata dia yang menjebloskan pelaku penusukan gue ke penjara, dan gue engga pernah merasa cukup untuk bilang terimakasih sama dia. Sienna juga udah punya pacar baru yang sering dia bawa ke Apartemen; Niccolo, imigran Italia yang ternyata adalah seorang pengusaha kaya raya.
Selepas sampai di California, gue duduk sebentar di balkon kamar hotel dan menyaksikan semua dengan seksama. Sebenarnya, engga ada yang berubah. Atau mungkin perasaan gue aja yang sebelumnya gue tinggal disini? Entahlah, gue juga gak bisa memetakan dengan baik.
Besok hari, menjelang sore, gue telfon Mala untuk gue ajak ke Malibu. Surprisingly, dia mau. Bermodalkan Uber, gue dan dia duduk di bangku penumpang penuh dengan canggung, gue lupa udah berapa lama gue engga merasakan hal ini.
Sampai di Malibu, di pantai dimana pertama kali kita ketemu, gue dan Mala malah berkontemplasi. Menatap jauh langit yang warnanya lebih terang dibandingkan di New York sana. Sunyi memenuhi jarak antara gue dan Mala, bingung harus memulai apa, dari mana.
“Gu..” Panggilnya, membuat gue menoleh kebelakang. Rasanya, gue mendadak kaya balik ke masa-masa dimana Mala ini, masih sepenuhnya punya gue. “Habis ini, aku mau re-sign dan balik ke Indonesia.”
Gue, engga percaya dia barusan ngomong apa. Tiba-tiba hati gue rasanya mencelus. Ada perih seukuran buah cherry di tenggorokan gue yang bisa meledak kapan aja jadi tangis. Tapi, gue rasa ini bukan waktu yang tepat untuk pecah.
“Kapan?” Tanya gue pelan-pelan.
“Rencananya sehabis trip ini. Aku balik ke New York dulu, terus pulang.”
“Ra.. boleh gak di undur sedikit?” Tawar gue, takut-takut.
“Exhibit kamu ya?” Apa ya, Mala tuh.. gue gak tau gimana cara mendeskripsikan dia, tapi dia selalu tau. Dan dengan dia yang selalu tau, gue merasa bahagia, banget.
“Hm..” Gue mengangguk.
“It’s okay. Take your time. Aku tunggu.”
Mala melangkah maju, membiarkan kakinya dihantam busa air laut. Gue terkekeh kecil, Mala masih sama.
“Ra..” Panggil gue, membuat dia kali ini menoleh. Menatap mata gue yang memang sejujurnya, haus akan tatapan Mala yang seperti ini. “If in any cases i could love you the same way like yesterday, i swear i’ll love you right.” Itu, adalah kalimat yang udah gue siapin dari kapan tau. Dan baru bisa gue lepaskan hari ini.
“Ra.. can i have the second chance?” Raut wajah Mala menggambarkan sesuatu yang sulit gue elaborasi maknanya, gue takut, gue juga merasakan sedikit hangat dari sana. Gue, engga tau.
“Kamu.. kamu masih percaya kalau kita bakal berakhir beda? Engga kaya sebelumnya?”
“Aku.. gak tau. Aku juga selalu berandai-andai hal yang sama. But, why don’t we try to turn the page, maybe we’ll find a brand new ending?” Mala tertawa kecil, gue tau itu terdengar cheezy karena itu salah satu kutipan dari lagu Maroon 5 yang gue curi. Dulu, gue dan Mala selalu nyanyiin lagu yang sama semisal kita habis jalan-jalan entah darimana.
“I left all of your ghosts here, gu. all.” Mala membuang nafasnya pelan. “So, the old Migu lives here. But in any cases, our fate aligned like how it should be, don’t choose Malibu, there are so much pain.”
Tanpa gue sadari, diluar kuasa gue sendiri. Secercah senyum hadir dikedua sudut bibir gue. Ternyata, gue.. masih dikasih kesempatan yang lain. “Falling in love in New York?”
“Take me back, then. take me back to New York. Where all of your dreams becoming true.”
“You are becoming true.”
Akhirnya, gue dengan berani menarik Mala kedalam peluk. Mala masih menyimpan hangat yang sama setelah bertahun-tahun berlalu. Dan hati gue, mendadak jadi penuh. Ini, ini adalah bagaimana mimpi mengantarkan gue untuk pulang.
“Honestly, i kinda miss New York.” Kekeh Mala, masih didalam pelukan gue.
“Kalau gitu, kita pulang bareng?”
“Iya.. ayo kita pulang.”
Pada akhirnya, gue paham bahwa kita semua hanyalah bintang-bintang yang kehilangan arah. Dituntun oleh kompas rusak dan menatap bulan yang selalu lebih dulu diagungkan. Mencari jalan untuk setidaknya duduk dan beristirahat. Tapi, segala kerumpangan dan pelik yang sekali pernah memeluk diri, jadi sepadan sewaktu berselisih dengan hal-hal baik. Itu sebabnya kita disini, tersesat dan kehilangan arah, untuk melangkah mencari jalan menuju rumah.
Gue akhirnya menggenggam kembali jemari yang gue rindu cukup lama. Kali ini, buat ngajak dia balik dan pulang. Entah, gue masih belum tau apakah New York akan jadi rumah untuk pulang. Tapi apapun itu, selama Mala ada, gue yakin, gue ada di rumah.
-
Ternyata, Exhibition gue berjalan lancar. Gue gak expect kalau akan ada banyak orang yang datang. Bahkan ada yang dari Boston, well, thanks to Sienna.
Beberapa hari setelah Exhibition gue selesai, Mala juga udah selesai dengan semua. Dia akhirnya resign dan memutuskan untuk bekerja disana, sambil ngurus Ibunya yang lagi sakit. Mala bilang, dia gak mau semisal nanti Ibu-nya dipanggil yang maha kuasa, Mala sama sekali engga diingat. Kembali lagi, apapun yang mau diperjuangkan, beberapa harus direlakan.
Gue, gue masih bingung. Apakah ini saatnya gue untuk juga pulang, atau.. jadiin New York sebagai rumah. Berhari hari gue diam di apartemen berkontemplasi dengan hal yang sama, sampai akhirnya gue memutuskan.
Gue akan pulang sebentar ke Indonesia, gue akan jemput Mama, dan tinggal di New York selamanya. Iya, sampai gue mati dan gue engga peduli. Gue, harus mati ditempat gue bermimpi.
Setelah memesan tiket untuk pulang ke Indonesia, gue pamit sama Dika dan Mikel. Gue juga berjanji kalo gue bakal balik lagi dan mewujudkan mimpi-mimpi yang ini, mimpi yang bareng sama mereka berdua.
Gue sempat mengunjungi Solo, untuk bertemu bi Ratih dan cucu-nya yang ternyata sudah SD. Sewaktu ketemu, Bi Ratih nangis-nangis meluk gue. Katanya, setiap malam dia selalu bertanya-tanya gimana keadaan gue di negeri orang.
Gue dan Mala juga sempet ke jogja, akhirnya gue merealisasikan hal yang dulu cuma jadi angan. Ternyata, Jogja juga penuh dengan hal-hal magis yang sulit gue jelaskan. Most especially, waktu kita berdua jalan di Malioboro.
Semua barang-barang gue yang dulu ada di rumah Papa, kini dibawa semuanya kerumah nenek semenjak Mama dan Papa pisah. Gue sempet ketemu Papa sebentar dan pamit, minta maaf karena gue engga bisa melanjutkan bisnisnya. Karena bagi gue, walaupun pekerjaan gue di New York sana engga seberapa, tapi gue hidup didalam mimpi gue sendiri.
Di kamar yang dingin di rumah nenek, yang dulu sering gue tempati bareng abang, gue membongkar banyak barang-barang yang gue juga gak tau isinya apa.
Sampai kemudian gue menemukan secarik surat yang gue tulis untuk abang bertahun-tahun yang lalu. Gue ketawa sebentar, kemudian menangis. Ternyata, perjalanan gue udah jauh banget sampe disini. Gue sudah bisa memetakan hidup gue dengan baik, siapa sangka kalau gue juga sudah bertahan antara hidup dan mati. Gue.. gue ternyata jadi manusia yang merasakan hidup. Dan kalaupun nanti akhirnya kematian tepat ada didepan wajah, gue udah siap. Karena hidup tanpa merasakan hidup akan jauh lebih tersiksa.
Ini gue, Migu, dan seluruh hal yang membentuk gue untuk menjadi manusia seutuhnya. Selepas ini, dibawah ambisi yang gue punya, gue pasrahin hidup akan mengantar gue kemana. Ke negara belahan lainnya, atau pulang di rumah yang mana. Terserah, karena intinya, gue akan tetap berusaha untuk hidup di dalam hidup.
This is Migu’s last call, and have great life.