am i home or am i dreaming?

-

Kaki gue, cukup lemas. Ada perih di sekitaran perut dan membuat gue agak terseok sewaktu berjalan. Mata gue perih, seakan-akan matahari ada diatas kepala, sejuk angin menyapu seluruh tubuh gue tapi engga bikin merinding.

Gue kemudian menyadari bahwa gue ada entah dimana; tanah dan rumput hijau, satu pohon yang gue yakini adalah pohon Oak, batangnya bak kaki gurita dan seluruhnya sunyi, tapi awan dilangit masih bergerak.

“Migu!” Panggilan familiar dari balik pohon Oak tadi membuat gue menoleh. “Gue pulang!” Kalimat setelahnya kemudian jadi bentuk gema.

Gue, lagi mimpi, ya?

Dengan masih melangkah terseok, gue mendekati pohon Oak tadi, menemukan satu orang laki-laki yang bertahun-tahun yang lalu hilang sudah segala jejaknya dari muka bumi. Abang, ada abang disini dan gue pastikan bahwa gue memang sudah mati.

“Hari ini mataharinya lebih cerah dari kemarin.” Ia duduk sambil memeluk lututnya, dan mengucapkan kalimat barusan tanpa menoleh ke arah gue. Senyumnya masih sama, masih Abang yang terakhir kali gue ketemu. “Hari ini, bunga dibawah pohon Oak juga tiba-tiba mekar, engga biasanya.” Sambungnya lagi. “Mungkin, memang ada yang mau datang hari ini.”

Diatas pijakan gue sendiri, gue menangis. Terus-terusan menghapus air mata yang hampir jatuh dengan baju kemeja putih lusuh yang gue pake. Gue bahkan gak ingat apakah terakhir kali gue memang pake baju ini.

“Tapi gue engga mengharapkan bahwa lo yang bakalan datang,” Mendadak Abang menggantungkan kalimatnya. “..Migu.” Setelahnya, kalimat yang keluar dari mulut Abang jadi engga jelas, kaya kaset rusak, kaya telfon yang hilang jaringannya.

“Bang Rendra..” Cicit gue.

“Gue pulang, Dek.”

“Gue dimana sih, Bang?”

“Harusnya batang pohonnya melingkar kesini.”

“Abang..”

“Dek, bunganya ungu merah kekuningan, kaya yang dulu kita tanam di belakang rumah.”

“Bang..”

Mendadak semua jadi hening. Angin juga mendadak berhenti, dan gemerisik dedaunan dari pohon Oak ini ikut diam, mungkin menanti sebuah kalimat yang selanjutnya akan keluar dari mulut Bang Rendra.

“Gue, kangen Mamah, Papah.. dan Adek.” Untuk sekian kali, gue menangis. Tapi kali ini, dia jemput tangan gue untuk kemudian duduk disebelahnya. Ia tepuk pelan pundak gue kemudian kita diam cukup lama.

“Bang..” Panggil gue setelah sunyi yang berkepanjangan. “Mamah sekarang sama gue suka lupa. Mamah.. memang yang paling sakit sewaktu Abang pergi. Tapi..” Abang menoleh, wajahnya berseri. “..Gue juga. Gue jauh lebih sedih karena mamah nutup matanya dan gak mau ngeliat gue yang berjuang sendirian berusaha menerima keadaan. Mamah bisa ikut Papah kemana mana buat sekedar lari, tapi gue gak bisa kemana mana, Bang.”

Abang diam, seakan tau kalau masih ada hal yang belum selesai keluar dari mulut gue.

“Bang, kalau semisal waktu itu keadaan gak kaya gini, mungkin tetep ada kita gak sih bang yang ngisi ruang tamu sama celotehan kalau gak ketawanya kita pas main game?” Gue terkekeh. “Mungkin, Mamah juga pasti bakalan selalu baik-baik aja. Papah apalagi. Abang kan anak emasnya papah, sama kaya gue menganggap Abang itu Abang emas juga.”

Abang masih diam.

“Bang, gue bener bener berusaha untuk engga membenci keadaan dan setiap paginya berusaha sekuat tenaga untuk nerima segala keputusan. Mamah terluka, Papah juga. Termasuk gue yang umurnya masih belasan. Gue gak tau apa-apa, tapi yang gue denger, tameng gue udah pergi, abang waktu itu.. pergi.”

Abang terus diam dengan wajahnya menatap ke arah gue.

“Bang, lo nyata gak sih sekarang?” Tiba-tiba Abang nepuk pundak gue. Senyum berseri yang lagi-lagi ingin membuat gue menangis.

“Migu..” Lirihnya. “Lo ternyata udah sampai disini. Gue.. bangga sama lo. Seribu tahun lo akan selalu jadi adek kebanggaan gue.”

Ini sebenernya gue udah mati belum sih?

“Bang, tapi gue udah gak sanggup lagi.”

“Kenapa?”

“Gue boleh bareng sama lo lagi gak? kaya yang biasa kita lakuin pas masih kecil dulu?” Tiba-tiba angin nyapu rambut gue dan rambut abang. Abang kemudian mengalihkan pandangannya engga lagi menatap wajah gue sedangkan gue udah terpaku cukup lama. Dari samping, dia tiba-tiba senyum lagi, gue gak bisa memaknai itu, tapi hati gue teduh.

“Gu..” Lirihnya.

“Hm?”

“Bukannya lo masih ada sesuatu yang mau lo selesaiin disana?”

Gue mendadak bisu, menoleh kesana kemari. Tapi, ini tempat yang asing bagi gue. “Bang kita ini ada dimana sih?”

“Gu. Lo bakalan bareng sama gue. Tapi gak sekarang.”

“Bang..”

“Ya?”

“Di kehidupan selanjutnya abang masih mau gak jadi abangnya Migu?” Selepas kalimat itu meluncur, gue menangis, lagi.

“Gu, gue minta maaf ya, karena gue gak bisa pulang kerumah waktu itu. Maksudnya, gue pulang kerumah, tapi gue yakin itu bukan keadaan yang lo harapin buat gue untuk pulang kerumah. Tapi, Gu, nanti.. di kehidupan selanjutnya yang lo bicarain itu, gue janji, gue janji bakal nemuin lo untuk jadi adik gue lagi. Dikehidupan manapun, Gu, kalau ada tempat dimana semuanya berjalan sesuai yang kita mau, gue akan tetap dan akan selalu jadi Abang. Dan Migu, akan jadi adeknya abang, selalu.” Telunjuknya nyentuk puncak hidung gue.

Rasanya jiwa gue kaya dirobek-robek. Gue gak tau harus teriak seberapa desibel supaya Tuhan dengerin seberapa gue hampir mati karena rindu sama orang ini. Seberapa hati gue hancur ketika Abang ninggalin gue bahkan tanpa kalimat selamat tinggal.

Gue nangis lari ke pelukan abang yang sebenernya gue gatau nyata apa enggak. Tapi dengan dia yang ngelus kepala gue, bener bener bikin gue balik jauh sewaktu umur gue masih belia. Dimana sewaktu gue jatuh dari sepeda, abang narik gue ke pelukannya dan ngelus kepala gue.

Rasanya masih sama. Dan gue merasa menjadi Migu yang itu. Migu kecil dan lututnya yang berdarah. Migu kecil yang dipeluk abangnya. Migu kecil dan dunianya.

Gue, adalah si Migu kecil itu.

Setelah ini, gue berharap didalam hati, kalau Tuhan mau ambil semua tentang Abang, yaudah ambil aja, itu bukan lagi ranah kuasa gue atas seorang manusia. Tapi gue berharap Tuhan sisain satu; suara Abang. Gue berharap suara Abang tetap menggema dikepala gue sampai kapanpun.

Gue mau suara abang tetap ada.